Esensi Pemaknaan Kata “Demokratis” Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indoneisa Pasca Perubahan UUD NRI 1945 (Studi Konstitusional Terhadap Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Gerakan reformasi pada tahun 1998 yang telah menghentikan pemerintahan Orde Baru melahirkan berbagai perubahan di bumi persada Indonesia. Kegelisahan dan keresahan segenap warga akan pemerintahan Orde Baru yang dinilai sebagai rezim yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme mengharuskan presiden soeharto meletakkan jabatannya pada saat itu. Kesepakatan umum yang timbul ketika itu bahwa proses transisi menuju demokrasi harus dimulai dengan melakukan reformasi konstitusi. Dasar logika dari kesepakatan umum ini sederhana yakni bahwa krisis multidimensi yang sulit diatasi disebabkan oleh tampilnya pemerintahan yang tidak demokrastis atau otoriter, sedangkan otoriterisme itu sendiri dibangun melalui manipulasi tafsir dan implimentasi atas konstitusi yang memang membuka celah untuk dibelokkan. Atas dasar inilah ketika itu muncul semacam jargon bahwa tiada reformasi tanpa
amandemen kostitusi.1 Untuk mencegah berulangnya kecenderungan otoriter
pemerintahan tersebut, maka sangat tepat untuk memperbaharui Undang Undang Dasar Tahun 1945 guna mengukuhkan dan menjamin pelaksanaan demokrasi.
Tuntutan untuk melakukan amandemen tersebut dirasa perlu mengingat kedudukannya sebagai norma dasar (staats fundamental norm) penyelenggaraan pemerintah. Sehingga apabila ingin melakukan pergantian pemerintahan (goverment reform) demi terwujudnya kedaulatan rakyat dan demokrasi, perlu
1
Mahfud MD kata pengantar dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hal. xvii.
(2)
kiranya dilakukan perubahan terhadap aturan dasarnya2. Aturan dasar atau yang disebut dengan konstitusi ini, pada hakikatnya merupakan landasan eksistensi suau negara sebagai organisasi kekuasaan, pembagian dan pembatasan kekuasaan, alat rakyat untuk mengonsolidasikan kedudukan hukum dan politiknya dalam
rangka mencapai cita-cita bersama.3
Sebagai tindak lanjut atas desakan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan berlandaskan pasal 37 UUD 1945 telah melakukan amandemen dengan cara adendum yaitu sebanyak empat kali. Amandemen pertama kali terjadi pada sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999, kemudian amandemen kedua berlangsung dalam sidang Tahunan MPR dari tanggal 7-18 Agustus 2000, amandemen ketiga berlangsung pada sidang Tahunan MPR tanggal 1-9 November 2001, dan amandemen keempat
berlangsung pada sidang tahunan MPR dari tanggal 1-11 Agustus 2002.4
Perubahan yang dilakukan sebanyak empat kali itu secara substansial telah
mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar5. Salah satu ciri yang
menandai perubahan itu adalah diserahkannya kedalatan itu kepada rakyat dan dijalankan berdasarkan Undang Undang Dasar. Sebelum perubahan UUD 1945 disebutkan bahwa MPR masih memiliki wewenang didalam menjalankan kedaulatan rakyat.
2
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Yrama Widya Bandung, 2007, hal. 1.
3
Banks Lynda, dalam Ibid., hal. 56.
4
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyawaratan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jendral MRR RI Jakarta, 2006, hal. 41.
5
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung, Fokusmedia, 2007, hal. 9.
(3)
Kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari demokrasi. Menurut Prof.
Miriam Budiardjo6 demokrasi adalah rakyat berkuasa atau goverment by the
people. Demokrasi yang berasal dari kata Yunani demos berarti rakyat, kra tos/kra tein berarti kekuasaan/berkuasa. Pandangan terhadap istilah demokrasi
diidentikkan dengan istilah kedaulatan rakyat.7 Demokrasi atau paham kerakyatan
kemudian diasumsikan sama dengan pemaknaan kedaulatan rakyat yang dalam perkembangannya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan dengan
kedaulatan hukum (nomokrasi).8
Indonesia merupakan negara yang menganut paham demokrasi. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, dalam arti rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan
untuk mewujudkan cita-cita bangsa.9 Suatu pemerintahan dari rakyat haruslah
sesuai dengan filsafat hidup rakyat itu sendiri yaitu filsafat Pancasila, dan ini
menjadi dasar filsafat demokrasi Indonesia.10 Demokrasi Pancasila11 merupakan
ideologi atau cita-cita negara digunakan sebagai landasan pembentukan peraturan negara. Nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai kerakyatan yang menunjukkan peran masyarakat Indonesia sebagai pelaku demokrasi. Nilai
6
Miriam Budiardjo,Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 105.
7
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat:Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Per bandingannya dengan Negara Lain, Cetakan I, Nusamedia, Bandung, 2007, hal. 5.
8 Ni’matul Huda,
Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 245.
9
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2002, hal.100.
10
Ibid, Hal. 101.
11“Demokrasi Pancasila” adalah demokrasi yang berlaku di Indonesia meskipun dasar
-dasar konstitusional bagi demokrasi di Indonesia sebagaimana yang berlaku sekarang ini sudah ada dan berlaku jauh sebelum tahun 1965 tetapi istilah “Demokrasi Pancasila” itu baru dipopulerkan sesudah lahir Orde Baru dalam buku Prof. Moh. Mahfud MD, 2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.41-42.
(4)
kerakyatan tersebut dapat ditunjukkan dengan cara masyarakat bebas mengeluarkan pendapatnya, bebas memenuhi haknya sebagai warga negara, dan
bebas menentukkan pilihannya dalam sebuah pemilihan umum.12
Demokrasi dalam praktek bernegara dewasa ini semakin mengalami perkembangan. Dimana demokrasi dalam pengertian yang sederhana sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (goverment of the people,
by the the people, and for the people)13 begitu gencar melanda setiap negara
termasuk Indonesia. Bahkan saat ini demokrasi tidak sekedar menjadi wacana intelektual melainkan juga impian politik berbagai negara, khususnya negara -negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini mensyaratkan diakuinya suatu negara dalam pergaulan Internasional terletak pada pengakuannya akan
demokrasi.14
Demokrasi dapat diaplikasikan melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu yang berlangsung di Indonesia merupakan wujud warga negara untuk menyalurkan hak politiknya sebagai implementasi dari demokrasi. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia adalah cara untuk mewujudkan pemilu secara langsung, umum, bebas, jujur, rahasia, dan adil dalam Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945)15 dan Pancasila. Setelah UUD NRI 1945 mengalami
12
https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/03/15/tinjauan-konstitusi-pemilihan-kepala-daerah/ Diakses pada tanggal 17 Maret 2015 pada pukul 10.30 WIB
13
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah; ; Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung, 2004, hal. 62.
14
https://hamdanzoelva.wordpress.com., Op. Cit.
15
Untuk selanjutnya Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 akan ditulis dengan UUD NRI 1945, penulisan ini berdasarkan penulisan UUD NRI 1945 setelah amandemen.
(5)
amandemen, salah satu ketentuan dalam konstitusi pasca amandemen yang memayungi perihal mekanisme pemilihan kepala daerah ialah Pasal 18 ayat (4)
UUD NRI 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa, “Gubernur, Bupati dan
Wa likota ma sing – ma sing sebaga i Kepa la Pemerinta h Da era h Pr ovinsi,
Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.”16
Sebelum perubahan UUD 1945 pemilihan Kepala Daerah menjadi bagian dari agenda kegiatan pemerintah, dan akibat dominasi pemerintah tersebut maka timbul ketidakpuasan dan ketidakadilan, timbul keinginan untuk melakukan perubahan melalui perubahan UUD 1945. Setelah dilakukan perubahan UUD 1945 pada Pasal 18 ayat (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Pemahaman demokratis tersebut menimbulkan multi tafsir, harus dikaji secara mendalam tentang pengaturan pemilihan Kepala Daerah sehingga penerapannya dapat memberikan manfaat bagi demokratisasi daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah. Selain itu dapat dilihat dari tafsir sosiologis bagaimana kemauan dan fakta di masyarakat terhadap persoalan tersebut, sehingga ini dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam membentuk peraturan perundang-undangan khususnya terkait dengan masalah pemilihan kepala daerah. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Demokrasi secara umum dimaknai dari, oleh dan untuk rakyat, dengan demikian dalam pengambilan keputusan seharusnya diberikan akses kepada rakyat untuk ikut menentukan.
16
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen ke IV pasal 18 ayat (4)
(6)
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), tidak mengatur secara tegas tentang model pemilihan kepala daerah sehingga menimbulkan multi tafsir. Pembentuk undang-undang menafsirkan model pemilihan kepala daerah sesuai dengan kemauan politik. Sesudah perubahan UUD NRI 1945 pemiliha kepala daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 200417, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 201418 dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 201519. Pengaturan pemilihan Kepala Daerah pada
undang-undang tersebut terdapat perbedaan yaitu sebelum dan sesudah amandemen UUD NRI 1945, perbedaannya terletak pada pola pemilihan Kepala Daerah. Sebelum amandemen UUD 1945 Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan sesudah amandemen UUD NRI 1945 Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Tujuannya dari perubahan pola pemilihan Kepala Daerah ini adalah agar masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial di daerah.
Dari rumusan pasal yang demikian ini secara sepintas dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat ukuran baku menurut konstitusi bagaimana pemilihan Kepala Daerah yang demokratis. Konsekuensi logisnya ialah bahwa masih terlalu dini bagi masyarakat untuk mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah yang
17
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125;Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
18
Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243;Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5586)
19
Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23;Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5656)
(7)
demokratis adalah pemilihan kepala daerah secara langsung ataupun pemilihan
kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)20 itu tidaklah
demokratis. Sebagaimana dimaksudkan dalam rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, kita terlebih dahulu memaknai kata demokratis tersebut untuk mengetahui seperti apa pemilihan kepala daerah demokratis yang dimaksudkan oleh pasal 18 ayat (4) tersebut. .
Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan meneliti persoalan ini lebih lengkap, dengan mengambil judul “Esensi Pemaknaan Kata Demokratis Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Pasca Perubahan UUD
NRI 1945 (Studi Konstitusional Terhadap Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945)”.
B. Rumusan Masalah
Setelah mengetahui latar belakang masalah dalam penulisan ini. Maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan pemilihan kepala daerah dalam peraturan
perundang-undangan setelah amandemen UUD NRI 1945 di Indonesia?
2. Bagaimana pemaknaan demokrasi terhadap pemilihan kepala daerah di
Indonesia?
3. Bagaimana pemilihan kepala daerah yang demokratis berdasarkan konsep
negara demokratis kontusional?
20
Untuk selanjutnya penulisan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditulis dengan kata DPRD
(8)
C. Tujuan dan Manfaaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan dalam skripsi ini, maka sudah sepatutnya juga memberikan uraian cermat dan jelas mengenai tujuan pembahasan yang terdapat dalam skripsi ini. Secara rinci maka tujuan dari pembahasan skripsi ini sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pengaturan pilkada dalam peraturan
perundang-undangan setelah amandemen UUD NRI 1945 di Indonesia.
b. Untuk mengetahui pemaknaan demokrasi terhadap pemilihan kepala daerah
di Indonesia.
c. Untuk lebih mengetahui pemilihan kepala daerah yang demokratis
berdasarkan konsep negara demokratis kontusional.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara Teoritis
1. Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan menambah wawasan dalam bidang hukum tata negara, khususnya yang berkaitan dengan demokrasi didalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.
2. Bagi penulis sendiri, penulisan skripsi ini bermanfaat dalam memenuhi syarat untuk menyelesaikan studi dan meraih gelar sarjana program strata satu (S-1) di depertemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(9)
b. Secara Praktis
Dapat dijadikan rujukan dan sebagai pedoman bagi rekan rekan mahasiswa dan masyarakat luas untuk pengetahuan yang lebih dalam mengenai makna kata demokratis didalam pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pengetahuan penulis dan pemeriksaan mengenai penelitian
yang ada, penelitian mengenai “Esensi Pemaknaan Kata “Demokratis” Dalam
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Pasca Perubahan UUD NRI 1945
(Studi Konstitusional Terhadap Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945)” belum pernah di bahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau bukan diambil dari skripsi orang lain. Penulisan ini dilakukan memalui berbagai referensi seperti buku-buku, media cetak dan elektronik serta bantuan dari berbagai pihak yang dapat menunjang kelengkapan dari skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini dapat di pertanggung jawabkan kebenaran ilmiahnya. Dengan demikian, penulis menyatakan bahwa keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan.
E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara Normatif. Mengacu pada tipologi penelitian menurut Sorjono Soekanto, studi pendekatan terhadap hukum yang normatif mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, peraturan dan
(10)
perundang-undangan yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu sebagai
produk dari suatu kekuasaan negera tertentu yang berdaulat21.
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah meneliti bagaimana prinsip demkrasi itu didalam pemilihan pemilihan kepala daerah. Pendekatan normatif yang dimaksudkan untuk menggali dan mengkaji peraturan perundang-undangan sebagai dasar berpijak dalam meneliti dalam persoalan.
2. Alat pengumpul data
Pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library resea rch). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan dari kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
F. Tinjauan Kepustakaan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dikaji guna menghindari meluasnya pembahasan yang dapat mengakibatkan kaburnya pokok bahasan. Masalah yang dikaji terbatas pada kata demokrasi yang terdapat dalam rumusan pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 secara khusus mengenai pemaknaan kata demokrasi tersebut dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Pembahasan makna demokrasi dalam penulisan skripsi ini berlandaskan pada konsep Konstitusi dan Kedaulatan Rakyat sebagai teori utama (grand
21
(11)
theory). Penggunaan konsep ini didasari pemikiran bahwa demokrasi tidak terlepas dari konstitusi dan kedaulatan rakyat.
1. Teori Konstitusi
Secara etimologis antara kata konstitusi, konstitusional dan konstitusionalisme inti maknaya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan atau Undang Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain segala tindkan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan tersebut tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Dalam bahasa Inggris konstitusi (constitusion) berarti keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana
suatu pemerintahan dilaksanakan dalam masyarakat.22
Teori konstitusi muncul melalui proses yang sangat panjang, dimulai dari perdebatan antara filsuf Yunani Kuno kemudian dilanjutkan oleh para sarjana yang lahir pada abad-abad berikutnya seperti: socrates, Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Polibius dan Cicero. Negara dalam pandangan Aristoteles merupakan perkumpulan manusia palinh sempurna dari seluruh jenis perkumpulan dalam
22
Dahlan Thaib. dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 7-8.
(12)
rangka mencapai kebahagiaan hidup bersama. Pendapat ini berangkat dari asumsi Aristoteles yang menilai manusia sebagai makhluk pilitik (zoon politicon) yang cenderung mengedepankan cita-cita hidup bersama. Menurut Aristoteles manusia didalam negara itu mulai mengkontruksikan gagasan dalam menata masyarakat politik dimana hak dan kewajiban masyarakat diatur, hukum harus diatas segala-galanya dan berlaku bagi setiap manusia baik rakyat maupun penguasa negara itu. Aristoteles mengatakan bahwa orang yang adil adalah orang yang mengambil tidak melebihi dari haknya. Pengakuan hak milik harus bermakna fungsi sosial yang artinya hak milik dapat menjadi alat untuk kebaikan kehidupan bersama masyarakat. Eksistensi konstitusi akan menentukan apakah kehidupan suatu
negara demokrastis atau oligarkhis hanya akan eksis jika hukum berdaulat.23
Pada abad pertengahan di Perancis muncul sebuah buku yang berjudul Le Contra t Socia l karya J.J Rousseau. Dalam buku ini Rosseau mengatakan bahwa manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hak-haknya sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Tiap manusia sungguh-sungguh merdeka. Untuk menjamin kepentingannya maka manusia memberikan hak dan kekuasaannya pada suatu organisasi bernama negara. Kepada orgnaisasi ini diberikan kemerdekaan dan dibawah organisasi ini manusia mendapat kembali kemerdekaan sipil, yaitu kemerdekaan berbuat segala sesuatu asal dalam batas
lingkungan undang-undang.24 Karena deklarasi inilah yang mengilhami
pembentukan Konstitusi Perancis (1971) khususnya menyangkut hak-hak asasi
23
Dikutip dari Disertasi Mirza Nasution, Perubahan Pertanggungjawa ban Gubernur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan UUD 1945, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 29-40.
24
(13)
manusia. Pada masa inilah awal dari konkritisasi konstitusi dalam arti tertulis (modern) seperti yang ada di Amerika.
Konstitusi model Amerika (yang tertulis) ini kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi tertulis diberbagai negara di Eropa. Seperti konstitusi Spanyol (1812), konstitusi di Norwegia (1814), konstitusi di Nederland (1815), konstitusi di Belgia (1831), konstitusi di Italy (1848), konstitusi di Austria (1861), dan konstitusi di Swedia (1861). Sampai pada abad XIX, tinggal Inggris, Hongaria, dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi secara tertulis. Konstitusi disini
belum menjadi hukum dasar yang penting.25
Konstitusi sebagai Undang Undang Dasar dan hukum dasar yang
mempunyai arti penting atau sering disebut dengan “konstitusi modern” baru
muncul bersamaan dengaan semakin berkembangnya sistem demokrasi
perwakilan dan konsep nasionalisme. Menurut L.J. Van Apeldoorn26, Undang
Undang Dasar sebagai bagian tertulis dari konstitusi. Demikian pula dengan pakar Indonesia antara lain Sri Soemantri, Bagir Manan dan J.C.T Simorangkir tidak
membedakan antara konstitusi dengan Undang Undang Dasar.27 Bagir manan
menjelaskan bahwa konstitusi atau Undang Undang Dasar hanya merupakan gabian hukum konstitusi (Constitusional Law) diluar jurisprudensi dan konvensi
ketatanegaraan.28
25
Dahlan Thaib, Op.Cit., hal. 5-6.
26
Miriam Budiarjo, Op.Cit., hal. 54.
27
Mirza Nasution, Op.Cit., hal. 56.
28
(14)
Pada prinsip nya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak hak yang diperintah, dan merumuskan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.29
Konstitusi merupakan norma dasar yang mengatur cara penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran R.M Mac.Iver yang menempatkan konstitus sebagai inti dari hukum tata negara sedangkan nyoman dekker menempatkan konstitusi dalam posisi teratas dari suatu hukum tata negara. Untuk itu penggunaan teori konstitusi sebagai alat untuk membedah permasalahan demokratisasi dalam pemilihan kepala daerah ini terkait erat dengan keberadaan konstitusi sebagai hukum dasar negara yang mengatur cara rakyat
menyelenggarakan kedaulatannya dalam suatu sistem ketatanegaraan.30
2. Kedaulatan Rakyat
Menurut Jimly Asshiddiqie, Kedaulatan atau souvereiniteit (souvereignty) merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan Negara. Kata “daulat” dan “kedaulatan” berasal dari kata Arab daulah yang berarti rezim politik atau kekuasaan. Makna aslinya seperti yang dipakai dalam Al-Quran
adalah peredaran dalam konteks pengertian kekuasaan.31
Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa gagasan kedaulatan sebagai konsep mengenai kekuasaan meliputi proses pengembalian keputusan. Persoalannya adalah seberapa kekuatan keputusan-keputusan yang ditetapkan itu, baik dilapangan legislatif maupun eksekutif (the administration law). Sedangkan
29
Dahlan Thaib, Op.Cit., hal. 27.
30
Ibid., hal. 38.
31
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, 1997, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Hal.143.
(15)
jangkauan kedaulatan (domain of sovereignty), melalui analisis relasional
(rela tiona l a na lysis) antara ‘souvereign’ dan ‘subject’, terkait soal siapa atau apa
yang menjado objek dalam arti sasaran yang dijangkau oleh kekuasaan tertinggi itu.32
Mengenai jangkauan kedaulatan, dalam konsep ini ada dua hal penting, yaitu :
a. Siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara ;
b. Apa yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan tertinggi.
Berkaitan dengan siapa atau apa yang menguasai, maka kedaulatan itu pada prinsipnya dapat di pegang oleh seseorang, sekelompok orang, sesuatu badan
yang melakukan administrasi fungsi-fungsi pemerintahan33.
Dalam ajaran berbagai macam kedaultan diklasifikasikan menjadi 5 (lima) teori atau ajaran, yaitu: Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Raja, Teori Kedaultan Rakyat, Teori kedaulatan Negara, dan Teori Kedaulatan Hukum.
Khusus mengenai Kedaulatan Rakyat, teori ini memandang dan memaknai bahwa kekuasaaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan
demokrasi.34 Jadi keberadaan konsep kedaulatan rakyat sebagai suatu kajian
filsafat kemudian berkembang menjadi teori kedaulatan rakyat dalam kajian keilmuan. Demokrasi merupakan praktis dari teori kedaulatan rakyat dalam suatu
32
Ibid,. Hal. 144.
33
Ibid,. Hal. 150.
34
(16)
sistem politik maupun pula bila menyamaka kedaulatan rakyat dengan
demokrasi.35
Sebagai negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 1
ayat (2) UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa :“Kedaulatan berada di
ta nga n ra kya t da n di da sa rkan menurut Undang Unda ng Da sa r” Maka Indonesia
menyelenggarakan demokrasi secara langsung maupun dengan tidak langsung. Penyelenggaraan ini merupakan bentuk penyaluran gagasan kedaulatan rakyat itu sendiri. Sebagai negara modren, tentunya tidak bisa hanya menerapkan demokrasi secara langsung karena hal tersebut hanya efektif dilakukan dengan bentuk negara kota (polis) ketika era Yunani kuno, maka diakuilah adanya suatu bentuk demokrasi tidak langsung atau yang seringdikatakan sebagai demokrasi perwakilan melalui keberadaan wakil-wakil rakyat di parlemen. Maka baik demokrasi langsung maupun tidak langsung dijalankan bersama-sama atau
dijalankan secara beriringan.36 Secara langsung misalnya dalam bentuk pemilihan
umum kepala daerah dan secara tidak langsung misalnya menciptakan lembaga perwakilan rakyat sebagai perlembagaan kedaulatan rakyat.
Kedaulatan Rakyat terdiri atas gabungan istilah “Kedaulatan” dan “Rakyat”. Istilah kedaulatan dapat ditemukan atau dipergunakan dalam berbagai pengertian sebagaimana dapat dijumpai pengertian kedaulatan dalam hukum Internasional, bahwa kedaulatan yang ditunjukkan kepada Negara dalam hal suatu negara berhak menentukan urusannya sendiri baik menyangkut urusan dalam
35
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.56.
36
(17)
negeri maupun urusan luar negeri tanpa adanya campur tangan dari negara lainnya.
C.S.T. Kansil mengatakan kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah segenap rakyat dalam negara itu. Kedaulatan adalah juga kekuasaan penuh untuk untuk mengatur seluruh
wilayah negara tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain.37
2. Pemilihan kepala daerah
Salah satu tujuan reformasi adalah untuk mewujudkan suatu Indonesia baru, yaitu Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa dicapai dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini, baik dimasa orde baru maupun di era reformasi, kedaulatan sepenuh nya berada dilembaga -lembaga eksekutif, dan ditangan lembaga legislatif. Bahkan di era reformasi ini, melalui fraksi-fraksi nya di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dapat melakukan apapun yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara, bahkan dapat memberhentikan presiden sebelum berakhir masa jabatannya, seperti layaknya pada negara dengan sistem Parlementer padahal negara kita menganut sistem presidensil. Di daerah-daerah, DPRD melalui pungutan suara dapat menjatuhkan kepala daerah sebelum berakhir
masa jabatannya.38
UUD NRI 1945 tidak mengatur apakah kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih melalui DPRD, namun pasal 18 ayat (4) menegaskan
37
C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, 1984, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, Hal. 74.
38
H. Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Da erah Secara Langsung, 2005, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 51.
(18)
bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Rumusan “dipilih secara demokratis”, lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR tahun 2004 antara pendapat yang mengkehendaki pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD dan pendapat lain mengkehendaki dipilih melalui pemilukada. Sebagaimana diketahui, pada saat itu berlangsung berbagai pemilihan kepala daerah di Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dipilih oleh DPRD. Sebahagian besar proses maupun hasil pemilihan oleh DPRD tersebut mendapat protes dari rakyat di daerah yang bersangkutan dengan berbagai alasan. Kondisi inilah yang mendorong para anggota MPR untuk berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah dipilih melalui pemilukada untuk mengurangi protes kepada anggota DPRD. Pada sisi lain dengan pertimbangan kesiapan berdemokrasi yang tidak sama antar berbagai daerah di Indonesia serta kebutuhan biaya yang besar dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung, dikhawatirkan akan menimbulkan instabilitas politik dan pembengkakan anggaran negara, sehingga anggota MPR bersikukuh bahwa kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD. Disamping itu, pada saat yang sama terjadi perdebatan sangat tajam tentang cara pemilihan Presiden antara yang mengkehendaki pemilihan langsung oleh rakyat dan pemilihan oleh MPR dengan berbagai variannya, juga turut mempengaruhi perdebatan tentang cara pemilihan
kepala daerah ini.39
Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Makna demokratis disini tidak langsung dipilih oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih
39
https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/03/15/tinjauan-konstitusi-pemilihan-kepala-daerah/ Diakses pada tanggal 17 Maret 2015 pada pukul 10.30 WIB
(19)
oleh DPRD yang angota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui pemilu. Ketika Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah diajukan oleh pemerintahan dan diperdebatkan di DPRD, tidak ada perdebatan yang mendalam lagi tentang apakah kepala daerah itu harus dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD. Hal ini, paling tidak disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama; telah disepakati dalam perubahan ketiga dan keempat UUD NRI 1945 bahwa presiden dan wakil presiden Negara Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat, dan kedua; dari aspirasi dominan masyarakat yang mengkehendaki kepala daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skrispsi ini dilakukan dengan membagi 4 bab, dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini merupakn pembukaaan yang berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan
BAB II PENGATURAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM
PERATURAN PERUNDAN-UNDANGAN DI INDONESIA
Pada bab ini akan diuraikan pembahasan tentang pengaturan pemilihan kepala daerah dalam peraturan pemilihan kepala daerah di Indonesia setelah amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(20)
BAB III PEMAKNAAN DEMOKRASI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA
Bab ini akan membahas mengenai sejarah perkembangan demokrasi, pengertian, demokrasi di Indonesia dan demokrasi didalam pemilihan kepala daerah.
BAB IV PEMILIHAN KEPALA DAERAH YANG DEMOKRATIS
BERDASARKAN KONSEP NEGARA DEMOKRASI
KONSTITUSIONAL
Bab ini akan dibahas mengenai pemilihan kepala daerah demokratis yang didalamnya dibahas pemilihan kepala daerah secara langsung dan melalui DPRD serta sisi positif dan negatif dari pola pemilihan kepala daerah tersebut
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini yaitu bab yang ke empat merupakan kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan dan uraian-uraian sebelumnya dan dilengkapi dengan saran penulisan
(1)
jangkauan kedaulatan (domain of sovereignty), melalui analisis relasional (rela tiona l a na lysis) antara ‘souvereign’ dan ‘subject’, terkait soal siapa atau apa yang menjado objek dalam arti sasaran yang dijangkau oleh kekuasaan tertinggi itu.32
Mengenai jangkauan kedaulatan, dalam konsep ini ada dua hal penting, yaitu :
a. Siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara ; b. Apa yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan tertinggi.
Berkaitan dengan siapa atau apa yang menguasai, maka kedaulatan itu pada prinsipnya dapat di pegang oleh seseorang, sekelompok orang, sesuatu badan yang melakukan administrasi fungsi-fungsi pemerintahan33.
Dalam ajaran berbagai macam kedaultan diklasifikasikan menjadi 5 (lima) teori atau ajaran, yaitu: Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Raja, Teori Kedaultan Rakyat, Teori kedaulatan Negara, dan Teori Kedaulatan Hukum.
Khusus mengenai Kedaulatan Rakyat, teori ini memandang dan memaknai bahwa kekuasaaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi.34 Jadi keberadaan konsep kedaulatan rakyat sebagai suatu kajian filsafat kemudian berkembang menjadi teori kedaulatan rakyat dalam kajian keilmuan. Demokrasi merupakan praktis dari teori kedaulatan rakyat dalam suatu
32Ibid,. Hal. 144. 33
Ibid,. Hal. 150. 34
(2)
sistem politik maupun pula bila menyamaka kedaulatan rakyat dengan demokrasi.35
Sebagai negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa :“Kedaulatan berada di ta nga n ra kya t da n di da sa rkan menurut Undang Unda ng Da sa r” Maka Indonesia menyelenggarakan demokrasi secara langsung maupun dengan tidak langsung. Penyelenggaraan ini merupakan bentuk penyaluran gagasan kedaulatan rakyat itu sendiri. Sebagai negara modren, tentunya tidak bisa hanya menerapkan demokrasi secara langsung karena hal tersebut hanya efektif dilakukan dengan bentuk negara kota (polis) ketika era Yunani kuno, maka diakuilah adanya suatu bentuk demokrasi tidak langsung atau yang seringdikatakan sebagai demokrasi perwakilan melalui keberadaan wakil-wakil rakyat di parlemen. Maka baik demokrasi langsung maupun tidak langsung dijalankan bersama-sama atau dijalankan secara beriringan.36 Secara langsung misalnya dalam bentuk pemilihan umum kepala daerah dan secara tidak langsung misalnya menciptakan lembaga perwakilan rakyat sebagai perlembagaan kedaulatan rakyat.
Kedaulatan Rakyat terdiri atas gabungan istilah “Kedaulatan” dan “Rakyat”. Istilah kedaulatan dapat ditemukan atau dipergunakan dalam berbagai pengertian sebagaimana dapat dijumpai pengertian kedaulatan dalam hukum Internasional, bahwa kedaulatan yang ditunjukkan kepada Negara dalam hal suatu negara berhak menentukan urusannya sendiri baik menyangkut urusan dalam
35
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.56.
36
(3)
negeri maupun urusan luar negeri tanpa adanya campur tangan dari negara lainnya.
C.S.T. Kansil mengatakan kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah segenap rakyat dalam negara itu. Kedaulatan adalah juga kekuasaan penuh untuk untuk mengatur seluruh wilayah negara tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain.37
2. Pemilihan kepala daerah
Salah satu tujuan reformasi adalah untuk mewujudkan suatu Indonesia baru, yaitu Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa dicapai dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini, baik dimasa orde baru maupun di era reformasi, kedaulatan sepenuh nya berada dilembaga -lembaga eksekutif, dan ditangan lembaga legislatif. Bahkan di era reformasi ini, melalui fraksi-fraksi nya di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dapat melakukan apapun yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara, bahkan dapat memberhentikan presiden sebelum berakhir masa jabatannya, seperti layaknya pada negara dengan sistem Parlementer padahal negara kita menganut sistem presidensil. Di daerah-daerah, DPRD melalui pungutan suara dapat menjatuhkan kepala daerah sebelum berakhir masa jabatannya.38
UUD NRI 1945 tidak mengatur apakah kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih melalui DPRD, namun pasal 18 ayat (4) menegaskan
37
C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, 1984, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, Hal. 74.
38
H. Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Da erah Secara Langsung, 2005, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 51.
(4)
bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Rumusan “dipilih secara demokratis”, lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR tahun 2004 antara pendapat yang mengkehendaki pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD dan pendapat lain mengkehendaki dipilih melalui pemilukada. Sebagaimana diketahui, pada saat itu berlangsung berbagai pemilihan kepala daerah di Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dipilih oleh DPRD. Sebahagian besar proses maupun hasil pemilihan oleh DPRD tersebut mendapat protes dari rakyat di daerah yang bersangkutan dengan berbagai alasan. Kondisi inilah yang mendorong para anggota MPR untuk berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah dipilih melalui pemilukada untuk mengurangi protes kepada anggota DPRD. Pada sisi lain dengan pertimbangan kesiapan berdemokrasi yang tidak sama antar berbagai daerah di Indonesia serta kebutuhan biaya yang besar dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung, dikhawatirkan akan menimbulkan instabilitas politik dan pembengkakan anggaran negara, sehingga anggota MPR bersikukuh bahwa kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD. Disamping itu, pada saat yang sama terjadi perdebatan sangat tajam tentang cara pemilihan Presiden antara yang mengkehendaki pemilihan langsung oleh rakyat dan pemilihan oleh MPR dengan berbagai variannya, juga turut mempengaruhi perdebatan tentang cara pemilihan kepala daerah ini.39
Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Makna demokratis disini tidak langsung dipilih oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih
39
https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/03/15/tinjauan-konstitusi-pemilihan-kepala-daerah/ Diakses pada tanggal 17 Maret 2015 pada pukul 10.30 WIB
(5)
oleh DPRD yang angota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui pemilu. Ketika Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah diajukan oleh pemerintahan dan diperdebatkan di DPRD, tidak ada perdebatan yang mendalam lagi tentang apakah kepala daerah itu harus dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD. Hal ini, paling tidak disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama; telah disepakati dalam perubahan ketiga dan keempat UUD NRI 1945 bahwa presiden dan wakil presiden Negara Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat, dan kedua; dari aspirasi dominan masyarakat yang mengkehendaki kepala daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skrispsi ini dilakukan dengan membagi 4 bab, dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini merupakn pembukaaan yang berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan
BAB II PENGATURAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM
PERATURAN PERUNDAN-UNDANGAN DI INDONESIA
Pada bab ini akan diuraikan pembahasan tentang pengaturan pemilihan kepala daerah dalam peraturan pemilihan kepala daerah di Indonesia setelah amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(6)
BAB III PEMAKNAAN DEMOKRASI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA
Bab ini akan membahas mengenai sejarah perkembangan demokrasi, pengertian, demokrasi di Indonesia dan demokrasi didalam pemilihan kepala daerah.
BAB IV PEMILIHAN KEPALA DAERAH YANG DEMOKRATIS
BERDASARKAN KONSEP NEGARA DEMOKRASI
KONSTITUSIONAL
Bab ini akan dibahas mengenai pemilihan kepala daerah demokratis yang didalamnya dibahas pemilihan kepala daerah secara langsung dan melalui DPRD serta sisi positif dan negatif dari pola pemilihan kepala daerah tersebut
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini yaitu bab yang ke empat merupakan kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan dan uraian-uraian sebelumnya dan dilengkapi dengan saran penulisan