Esensi Pemaknaan Kata “Demokratis” Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indoneisa Pasca Perubahan UUD NRI 1945 (Studi Konstitusional Terhadap Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945)

(1)

ESENSI PEMAKNAAN KATA “DEMOKRATIS” DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONEISA PASCA PERUBAHAN

UUD NRI 1945 (STUDI KONSTITUSIONAL TERHADAP PASAL 18 AYAT 4 UUD NRI 1945)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H

Juanda Tampubolon NIM : 110200321

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ESENSI PEMAKNAAN KATA “DEMOKRATIS” DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONEISA PASCA PERUBAHAN

UUD NRI 1945 (STUDI KONSTITUSIONAL TERHADAP PASAL 18 AYAT 4 UUD NRI 1945)

S K R I P S I

Dia juka n Untuk Memenuhi Tuga s da n Melengkapi Sya ra t Guna Memperoleh Gela r Sa rja na Hukum

OLEH :

JUANDA TAMPUBOLON NIM: 110200321

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Tata Negara

Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H.,M.Hum. NIP. 195909211987031002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II,

Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum. Yusrin, S.H., M.Hum. NIP. 197212261998021001 NIP.197506122002121002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ESENSI PEMAKNAAN KATA “DEMOKRATIS” DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONEISA PASCA PERUBAHAN

UUD NRI 1945 (STUDI KONSTITUSIONAL TERHADAP PASAL 18 AYAT 4 UUD NRI 1945)

*) Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum **) Yusrin, S.H., M.Hum

***) Juanda Tampubolon ABSTRAK

Demokrasi merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Salah satu cara mewujudkan demokrasi ini adalah melalui pemilihan kepala daerah secara langsung maupun melaluii DPRD tentunya juga harus berdasarkan pemilihan kepala daerah yang demokratis seperti amanat pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Pemilihan kepala daerah yang demokratis ini juga memliki prosedur dan tahapan yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan demokratis yang dimaksud. Memaknai kata demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tidak serta merta melihat pemilihan kepala daerah itu harus dengan lpemilihan kepala daerah secara langsung begitu juga sebaliknya. Memaknai pemilihan kepala daerah yang demokratis harus mengetahui, mempelajari dan menganalisa 2 model pemilihan kepala daerah di Indonesia agar mendapatkan data yang akurat untuk dapat mengetahui demokratis yang seperti apa yang dikehendaki oleh konstitusi Negara Republik Indonesia.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah ppenelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan bahan bahan dari buku-buku, makalah, peraturan perundang-undangan serta media Internet juga hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat hubungannya dengan maksud tujuan dari penulisan skripsi ini.

Hasil penelitian ini menjelaskan makna demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, untuk lebih mengetahui pemilihan kepala daerah yang demokratis yang diamanatkan konstitusi untuk dijalankan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Demokrasi dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia

Kata Kunci: Pemilihan Kepala Daerah, Demokratis *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis ucapkan pada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kesehatantidak pernah meninggalkan, mengecewakan, dan telah memberikan pengharapan dalam hidup untuk terus teguh memegang janji-janji-Nya bagi anak-janji-janji-Nya yang bersandar padajanji-janji-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Guna melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ada pun judul skripsi penulis adalah “ESENSI PEMAKNAAN KATA

“DEMOKRATIS” DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONEISA

PASCA PERUBAHAN UUD NRI 1945 (STUDI KONSTITUSIONAL TERHADAP PASAL 18 AYAT 4 UUD NRI 1945)”

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak berusaha semaksimal mungkin namun karena keterbatasan yang dimiliki, penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari penyajian materi maupun penyampaiannya. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa banyak sekali menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kepada Ayah penulis Jubel Tampubolon dan Mama penulis Roida

Simanjuntak tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya

kepada penulis selama 22 tahun dibesarkan dan disekolahkan 16 tahun lamanya dengan tenaga, keringat dan doa yang tulus sehingga penulis berada dalam kebaikan dalam setiap langkah yang penulis jalani; 2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku dekan


(5)

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku pembantu dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syariffuddin Hasibuan, S.H., DFM, M.H., selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum., selaku ketua departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H. M.Hum., selaku dosen pembimbing I, yang telah memberikan perhatian lebih dan kepedulian, juga telah banyak memberikan bantuan berupa masukan, arahan, serta bimbingan nya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;

8. Bapak Yusrin, S.H., M.Hum., selaku sekretaris Departemen Hukum Tata Negara sekaligus dosen pembimbing II, yang telah bersedia memberikan bimbingan dengan teliti dan memberikan banyak arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

9. Ibu Rafiqoh Lubis S.H., M.Hum., selaku dosen wali penulis yang telah memberikan nasihat dan semangat untuk penulis selama ini di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10.Seluruh dosen yang telah memberikan perkuliahan selama berada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(6)

11.Adik-adik ku, Robinson Tampubolon, Ferry Fadly Tampubolon, Amsal Natanael Tampubolon, Salma Natalia Tampubolon, adik-adik yang sangat penulis sayangi dan kasihi, dan semoga menjadi anak-anak yang sukses kedepan nya dan tetap takut akan Tuhan dan terus meraih cita-cita yang tinggi;

12.Untuk partner, calon teman hidup yang terkasih Venia Larissa, yang terus membawa saya dalam doa dan memberikan dukungan, semangat dan motivasi yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

13.Teman tawa, sahabat yang sama-sama menikmati suka-duka, saudara yang telah 4 tahun bersama di fakultas hukum dan akan tetap bersama untuk hidup dimasa depan GASTER, Guntur, Asido, Vincent, Syahputa, Ivan, Nio Romario, Danny, Lambok, Philipus, Rio Setiadi, Leider Tirta, Bruno, Devid, Richard, John, Arius, Togar, Choky; 14.Sahabat di kost para bintang tarigan 2-A, Ibu Kost, Arivin Zebua, Bill

Clinton, Samuel Simanjuntak, Rey Purba; 15.Keluarga besar UKM KMK UP FH USU;

16.Kelompok kecil di UKM KMK UP FH USU, kelompok solafide-ozora, bg Erikson Sibarani, S.H., kak Joice Simatupang, S.H., Kristy Pasaribu, Daniel Sinaga, Harytama Simanjuntak, Oktanta Ginting, Rcky Sidabutar, Maruli Sinaga;


(7)

17.Rekan-rekan seperjuangan di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum USU, Garry, Jeremy, Tri Marilando, Farah, Herry, Elmas, Saprizal, Tody, Dyna, Benny;

18.Rekan-rekan di Group G dan Group C dan rekan-rekan klinis selama berada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, trimakasih untuk kerjasamanya;

19.Seluruh Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Hidup Mahasiswa!;

20.Para penulis buku, majalah, skripsi, tesis, disertasi yang penulis jadikan referensi data guna mengerjakan skripsi ini hingga selesai; Setiap manusia diberikan pilihan masing masing untuk menentukan jalan hidupnya, dan setiap manusia diberikan talenta masing-masing untuk dapat meneruskan hidupnya. Tuhan membentuk penulis di Fakultas Hukum untuk memberikan bekal dan persiapan menuju ladang yang baru. Terimakasih atas berbagai hal yang bermanfaat yang telah diberikan kepada penulis. Kiranya Tuhan memberikan berkat dan perlindungan-Nya kepada kita semua

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun kepada para pembaca dan dapat digunakan untuk kemajuan bangsa dan negara.

Medan, Juli 2015


(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Daftar Isi... iv

Abstrak... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang... 1

B. Perumusan masalah... 7

C. Tujuan dan manfaat penulisan... 8

D. Keaslian penulisan... 9

E. Metode penulisan... 9

F. Tinjauan kepustakaan... 10

G. Sistematika penulisan... 19

BAB II PENGATURAN PILKADA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SETELAH AMANDEMEN UUD NRI 1945 DI INDONESIA... 21

A. Demokrasi dalam pilkada sebelum perubahan UUD 1945... 21

B. Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004... 23

C. Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014... 33

D. Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015... 45

BAB III PEMAKNAAN DEMOKRASI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA A. Pengertian demokrasi... 48

B. Sejarah perkembangan demokrasi... 51

C. Demokrasi di Indonesia... 59

D. Pemilihan kepala daerah di Indonesia... 64

BAB IV PEMILIHAN KEPALA DAERAH YANG DEMOKRATIS BERDASARKAN KONSEP NEGARA DEMOKRASI KONSTITUSIONAL A. Konsep Demokrasi Konstitusional dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945... 69


(9)

B. Pemilihan kepala daerah yang demokratis pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945... 72

1. Kepala daerah secara langsung... 75 2. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD... 81 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 86 B. Saran... 87 DAFTAR PUSTAKA


(10)

ESENSI PEMAKNAAN KATA “DEMOKRATIS” DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONEISA PASCA PERUBAHAN

UUD NRI 1945 (STUDI KONSTITUSIONAL TERHADAP PASAL 18 AYAT 4 UUD NRI 1945)

*) Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum **) Yusrin, S.H., M.Hum

***) Juanda Tampubolon ABSTRAK

Demokrasi merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Salah satu cara mewujudkan demokrasi ini adalah melalui pemilihan kepala daerah secara langsung maupun melaluii DPRD tentunya juga harus berdasarkan pemilihan kepala daerah yang demokratis seperti amanat pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Pemilihan kepala daerah yang demokratis ini juga memliki prosedur dan tahapan yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan demokratis yang dimaksud. Memaknai kata demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tidak serta merta melihat pemilihan kepala daerah itu harus dengan lpemilihan kepala daerah secara langsung begitu juga sebaliknya. Memaknai pemilihan kepala daerah yang demokratis harus mengetahui, mempelajari dan menganalisa 2 model pemilihan kepala daerah di Indonesia agar mendapatkan data yang akurat untuk dapat mengetahui demokratis yang seperti apa yang dikehendaki oleh konstitusi Negara Republik Indonesia.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah ppenelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan bahan bahan dari buku-buku, makalah, peraturan perundang-undangan serta media Internet juga hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat hubungannya dengan maksud tujuan dari penulisan skripsi ini.

Hasil penelitian ini menjelaskan makna demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, untuk lebih mengetahui pemilihan kepala daerah yang demokratis yang diamanatkan konstitusi untuk dijalankan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Demokrasi dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia

Kata Kunci: Pemilihan Kepala Daerah, Demokratis *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Gerakan reformasi pada tahun 1998 yang telah menghentikan pemerintahan Orde Baru melahirkan berbagai perubahan di bumi persada Indonesia. Kegelisahan dan keresahan segenap warga akan pemerintahan Orde Baru yang dinilai sebagai rezim yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme mengharuskan presiden soeharto meletakkan jabatannya pada saat itu. Kesepakatan umum yang timbul ketika itu bahwa proses transisi menuju demokrasi harus dimulai dengan melakukan reformasi konstitusi. Dasar logika dari kesepakatan umum ini sederhana yakni bahwa krisis multidimensi yang sulit diatasi disebabkan oleh tampilnya pemerintahan yang tidak demokrastis atau otoriter, sedangkan otoriterisme itu sendiri dibangun melalui manipulasi tafsir dan implimentasi atas konstitusi yang memang membuka celah untuk dibelokkan. Atas dasar inilah ketika itu muncul semacam jargon bahwa tiada reformasi tanpa amandemen kostitusi.1 Untuk mencegah berulangnya kecenderungan otoriter pemerintahan tersebut, maka sangat tepat untuk memperbaharui Undang Undang Dasar Tahun 1945 guna mengukuhkan dan menjamin pelaksanaan demokrasi.

Tuntutan untuk melakukan amandemen tersebut dirasa perlu mengingat kedudukannya sebagai norma dasar (staats fundamental norm) penyelenggaraan pemerintah. Sehingga apabila ingin melakukan pergantian pemerintahan (goverment reform) demi terwujudnya kedaulatan rakyat dan demokrasi, perlu

1

Mahfud MD kata pengantar dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hal. xvii.


(12)

kiranya dilakukan perubahan terhadap aturan dasarnya2. Aturan dasar atau yang disebut dengan konstitusi ini, pada hakikatnya merupakan landasan eksistensi suau negara sebagai organisasi kekuasaan, pembagian dan pembatasan kekuasaan, alat rakyat untuk mengonsolidasikan kedudukan hukum dan politiknya dalam rangka mencapai cita-cita bersama.3

Sebagai tindak lanjut atas desakan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan berlandaskan pasal 37 UUD 1945 telah melakukan amandemen dengan cara adendum yaitu sebanyak empat kali. Amandemen pertama kali terjadi pada sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999, kemudian amandemen kedua berlangsung dalam sidang Tahunan MPR dari tanggal 7-18 Agustus 2000, amandemen ketiga berlangsung pada sidang Tahunan MPR tanggal 1-9 November 2001, dan amandemen keempat berlangsung pada sidang tahunan MPR dari tanggal 1-11 Agustus 2002.4

Perubahan yang dilakukan sebanyak empat kali itu secara substansial telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar5. Salah satu ciri yang menandai perubahan itu adalah diserahkannya kedalatan itu kepada rakyat dan dijalankan berdasarkan Undang Undang Dasar. Sebelum perubahan UUD 1945 disebutkan bahwa MPR masih memiliki wewenang didalam menjalankan kedaulatan rakyat.

2

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Yrama Widya Bandung, 2007, hal. 1.

3

Banks Lynda, dalam Ibid., hal. 56.

4

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyawaratan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jendral MRR RI Jakarta, 2006, hal. 41.

5

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung, Fokusmedia, 2007, hal. 9.


(13)

Kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari demokrasi. Menurut Prof. Miriam Budiardjo6 demokrasi adalah rakyat berkuasa atau goverment by the people. Demokrasi yang berasal dari kata Yunani demos berarti rakyat, kra tos/kra tein berarti kekuasaan/berkuasa. Pandangan terhadap istilah demokrasi diidentikkan dengan istilah kedaulatan rakyat.7 Demokrasi atau paham kerakyatan kemudian diasumsikan sama dengan pemaknaan kedaulatan rakyat yang dalam perkembangannya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan dengan kedaulatan hukum (nomokrasi).8

Indonesia merupakan negara yang menganut paham demokrasi. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, dalam arti rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita bangsa.9 Suatu pemerintahan dari rakyat haruslah sesuai dengan filsafat hidup rakyat itu sendiri yaitu filsafat Pancasila, dan ini menjadi dasar filsafat demokrasi Indonesia.10 Demokrasi Pancasila11 merupakan ideologi atau cita-cita negara digunakan sebagai landasan pembentukan peraturan negara. Nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai kerakyatan yang menunjukkan peran masyarakat Indonesia sebagai pelaku demokrasi. Nilai

6

Miriam Budiardjo,Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 105.

7

Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat:Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Per bandingannya dengan Negara Lain, Cetakan I, Nusamedia, Bandung, 2007, hal. 5.

8 Ni’matul Huda,

Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 245.

9

Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2002, hal.100.

10Ibid

, Hal. 101.

11“Demokrasi Pancasila” adalah demokrasi yang berlaku di Indonesia meskipun dasar

-dasar konstitusional bagi demokrasi di Indonesia sebagaimana yang berlaku sekarang ini sudah ada dan berlaku jauh sebelum tahun 1965 tetapi istilah “Demokrasi Pancasila” itu baru dipopulerkan sesudah lahir Orde Baru dalam buku Prof. Moh. Mahfud MD, 2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.41-42.


(14)

kerakyatan tersebut dapat ditunjukkan dengan cara masyarakat bebas mengeluarkan pendapatnya, bebas memenuhi haknya sebagai warga negara, dan bebas menentukkan pilihannya dalam sebuah pemilihan umum.12

Demokrasi dalam praktek bernegara dewasa ini semakin mengalami perkembangan. Dimana demokrasi dalam pengertian yang sederhana sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (goverment of the people, by the the people, and for the people)13 begitu gencar melanda setiap negara termasuk Indonesia. Bahkan saat ini demokrasi tidak sekedar menjadi wacana intelektual melainkan juga impian politik berbagai negara, khususnya negara -negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini mensyaratkan diakuinya suatu negara dalam pergaulan Internasional terletak pada pengakuannya akan demokrasi.14

Demokrasi dapat diaplikasikan melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu yang berlangsung di Indonesia merupakan wujud warga negara untuk menyalurkan hak politiknya sebagai implementasi dari demokrasi. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia adalah cara untuk mewujudkan pemilu secara langsung, umum, bebas, jujur, rahasia, dan adil dalam Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)15 dan Pancasila. Setelah UUD NRI 1945 mengalami

12

https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/03/15/tinjauan-konstitusi-pemilihan-kepala-daerah/ Diakses pada tanggal 17 Maret 2015 pada pukul 10.30 WIB

13

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah; ; Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung, 2004, hal. 62.

14

https://hamdanzoelva.wordpress.com., Op. Cit.

15

Untuk selanjutnya Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 akan ditulis dengan UUD NRI 1945, penulisan ini berdasarkan penulisan UUD NRI 1945 setelah amandemen.


(15)

amandemen, salah satu ketentuan dalam konstitusi pasca amandemen yang memayungi perihal mekanisme pemilihan kepala daerah ialah Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa, “Gubernur, Bupati dan Wa likota ma sing ma sing sebaga i Kepa la Pemerinta h Da era h Pr ovinsi,

Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.”16

Sebelum perubahan UUD 1945 pemilihan Kepala Daerah menjadi bagian dari agenda kegiatan pemerintah, dan akibat dominasi pemerintah tersebut maka timbul ketidakpuasan dan ketidakadilan, timbul keinginan untuk melakukan perubahan melalui perubahan UUD 1945. Setelah dilakukan perubahan UUD 1945 pada Pasal 18 ayat (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Pemahaman demokratis tersebut menimbulkan multi tafsir, harus dikaji secara mendalam tentang pengaturan pemilihan Kepala Daerah sehingga penerapannya dapat memberikan manfaat bagi demokratisasi daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah. Selain itu dapat dilihat dari tafsir sosiologis bagaimana kemauan dan fakta di masyarakat terhadap persoalan tersebut, sehingga ini dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam membentuk peraturan perundang-undangan khususnya terkait dengan masalah pemilihan kepala daerah. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Demokrasi secara umum dimaknai dari, oleh dan untuk rakyat, dengan demikian dalam pengambilan keputusan seharusnya diberikan akses kepada rakyat untuk ikut menentukan.

16

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen ke IV pasal 18 ayat (4)


(16)

Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), tidak mengatur secara tegas tentang model pemilihan kepala daerah sehingga menimbulkan multi tafsir. Pembentuk undang-undang menafsirkan model pemilihan kepala daerah sesuai dengan kemauan politik. Sesudah perubahan UUD NRI 1945 pemiliha kepala daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 200417, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 201418 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 201519. Pengaturan pemilihan Kepala Daerah pada undang-undang tersebut terdapat perbedaan yaitu sebelum dan sesudah amandemen UUD NRI 1945, perbedaannya terletak pada pola pemilihan Kepala Daerah. Sebelum amandemen UUD 1945 Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan sesudah amandemen UUD NRI 1945 Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Tujuannya dari perubahan pola pemilihan Kepala Daerah ini adalah agar masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial di daerah.

Dari rumusan pasal yang demikian ini secara sepintas dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat ukuran baku menurut konstitusi bagaimana pemilihan Kepala Daerah yang demokratis. Konsekuensi logisnya ialah bahwa masih terlalu dini bagi masyarakat untuk mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah yang

17

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125;Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4437)

18

Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243;Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5586)

19

Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23;Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5656)


(17)

demokratis adalah pemilihan kepala daerah secara langsung ataupun pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)20 itu tidaklah demokratis. Sebagaimana dimaksudkan dalam rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, kita terlebih dahulu memaknai kata demokratis tersebut untuk mengetahui seperti apa pemilihan kepala daerah demokratis yang dimaksudkan oleh pasal 18 ayat (4) tersebut. .

Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan meneliti

persoalan ini lebih lengkap, dengan mengambil judul “Esensi Pemaknaan Kata

Demokratis Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Pasca Perubahan UUD NRI 1945 (Studi Konstitusional Terhadap Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945)”.

B. Rumusan Masalah

Setelah mengetahui latar belakang masalah dalam penulisan ini. Maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan pemilihan kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan setelah amandemen UUD NRI 1945 di Indonesia?

2. Bagaimana pemaknaan demokrasi terhadap pemilihan kepala daerah di Indonesia?

3. Bagaimana pemilihan kepala daerah yang demokratis berdasarkan konsep negara demokratis kontusional?

20

Untuk selanjutnya penulisan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditulis dengan kata DPRD


(18)

C. Tujuan dan Manfaaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan dalam skripsi ini, maka sudah sepatutnya juga memberikan uraian cermat dan jelas mengenai tujuan pembahasan yang terdapat dalam skripsi ini. Secara rinci maka tujuan dari pembahasan skripsi ini sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan pilkada dalam peraturan perundang-undangan setelah amandemen UUD NRI 1945 di Indonesia.

b. Untuk mengetahui pemaknaan demokrasi terhadap pemilihan kepala daerah di Indonesia.

c. Untuk lebih mengetahui pemilihan kepala daerah yang demokratis berdasarkan konsep negara demokratis kontusional.

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

1. Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan menambah wawasan dalam bidang hukum tata negara, khususnya yang berkaitan dengan demokrasi didalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.

2. Bagi penulis sendiri, penulisan skripsi ini bermanfaat dalam memenuhi syarat untuk menyelesaikan studi dan meraih gelar sarjana program strata satu (S-1) di depertemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(19)

b. Secara Praktis

Dapat dijadikan rujukan dan sebagai pedoman bagi rekan rekan mahasiswa dan masyarakat luas untuk pengetahuan yang lebih dalam mengenai makna kata demokratis didalam pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pengetahuan penulis dan pemeriksaan mengenai penelitian yang ada, penelitian mengenai “Esensi Pemaknaan Kata “Demokratis” Dalam

Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Pasca Perubahan UUD NRI 1945 (Studi Konstitusional Terhadap Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945)” belum pernah di bahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau bukan diambil dari skripsi orang lain. Penulisan ini dilakukan memalui berbagai referensi seperti buku-buku, media cetak dan elektronik serta bantuan dari berbagai pihak yang dapat menunjang kelengkapan dari skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini dapat di pertanggung jawabkan kebenaran ilmiahnya. Dengan demikian, penulis menyatakan bahwa keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan.

E. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan secara Normatif. Mengacu pada tipologi penelitian menurut Sorjono Soekanto, studi pendekatan terhadap hukum yang normatif mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, peraturan dan


(20)

perundang-undangan yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu sebagai produk dari suatu kekuasaan negera tertentu yang berdaulat21.

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah meneliti bagaimana prinsip demkrasi itu didalam pemilihan pemilihan kepala daerah. Pendekatan normatif yang dimaksudkan untuk menggali dan mengkaji peraturan perundang-undangan sebagai dasar berpijak dalam meneliti dalam persoalan.

2. Alat pengumpul data

Pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library resea rch). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan dari kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

F. Tinjauan Kepustakaan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dikaji guna menghindari meluasnya pembahasan yang dapat mengakibatkan kaburnya pokok bahasan. Masalah yang dikaji terbatas pada kata demokrasi yang terdapat dalam rumusan pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 secara khusus mengenai pemaknaan kata demokrasi tersebut dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Pembahasan makna demokrasi dalam penulisan skripsi ini berlandaskan pada konsep Konstitusi dan Kedaulatan Rakyat sebagai teori utama (grand

21


(21)

theory). Penggunaan konsep ini didasari pemikiran bahwa demokrasi tidak terlepas dari konstitusi dan kedaulatan rakyat.

1. Teori Konstitusi

Secara etimologis antara kata konstitusi, konstitusional dan konstitusionalisme inti maknaya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan atau Undang Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain segala tindkan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan tersebut tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Dalam bahasa Inggris konstitusi (constitusion) berarti keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan dilaksanakan dalam masyarakat.22

Teori konstitusi muncul melalui proses yang sangat panjang, dimulai dari perdebatan antara filsuf Yunani Kuno kemudian dilanjutkan oleh para sarjana yang lahir pada abad-abad berikutnya seperti: socrates, Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Polibius dan Cicero. Negara dalam pandangan Aristoteles merupakan perkumpulan manusia palinh sempurna dari seluruh jenis perkumpulan dalam

22

Dahlan Thaib. dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 7-8.


(22)

rangka mencapai kebahagiaan hidup bersama. Pendapat ini berangkat dari asumsi Aristoteles yang menilai manusia sebagai makhluk pilitik (zoon politicon) yang cenderung mengedepankan cita-cita hidup bersama. Menurut Aristoteles manusia didalam negara itu mulai mengkontruksikan gagasan dalam menata masyarakat politik dimana hak dan kewajiban masyarakat diatur, hukum harus diatas segala-galanya dan berlaku bagi setiap manusia baik rakyat maupun penguasa negara itu. Aristoteles mengatakan bahwa orang yang adil adalah orang yang mengambil tidak melebihi dari haknya. Pengakuan hak milik harus bermakna fungsi sosial yang artinya hak milik dapat menjadi alat untuk kebaikan kehidupan bersama masyarakat. Eksistensi konstitusi akan menentukan apakah kehidupan suatu negara demokrastis atau oligarkhis hanya akan eksis jika hukum berdaulat.23

Pada abad pertengahan di Perancis muncul sebuah buku yang berjudul Le Contra t Socia l karya J.J Rousseau. Dalam buku ini Rosseau mengatakan bahwa manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hak-haknya sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Tiap manusia sungguh-sungguh merdeka. Untuk menjamin kepentingannya maka manusia memberikan hak dan kekuasaannya pada suatu organisasi bernama negara. Kepada orgnaisasi ini diberikan kemerdekaan dan dibawah organisasi ini manusia mendapat kembali kemerdekaan sipil, yaitu kemerdekaan berbuat segala sesuatu asal dalam batas lingkungan undang-undang.24 Karena deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan Konstitusi Perancis (1971) khususnya menyangkut hak-hak asasi

23

Dikutip dari Disertasi Mirza Nasution, Perubahan Pertanggungjawa ban Gubernur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan UUD 1945, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 29-40.

24


(23)

manusia. Pada masa inilah awal dari konkritisasi konstitusi dalam arti tertulis (modern) seperti yang ada di Amerika.

Konstitusi model Amerika (yang tertulis) ini kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi tertulis diberbagai negara di Eropa. Seperti konstitusi Spanyol (1812), konstitusi di Norwegia (1814), konstitusi di Nederland (1815), konstitusi di Belgia (1831), konstitusi di Italy (1848), konstitusi di Austria (1861), dan konstitusi di Swedia (1861). Sampai pada abad XIX, tinggal Inggris, Hongaria, dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi secara tertulis. Konstitusi disini belum menjadi hukum dasar yang penting.25

Konstitusi sebagai Undang Undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai arti penting atau sering disebut dengan “konstitusi modern” baru muncul bersamaan dengaan semakin berkembangnya sistem demokrasi perwakilan dan konsep nasionalisme. Menurut L.J. Van Apeldoorn26, Undang Undang Dasar sebagai bagian tertulis dari konstitusi. Demikian pula dengan pakar Indonesia antara lain Sri Soemantri, Bagir Manan dan J.C.T Simorangkir tidak membedakan antara konstitusi dengan Undang Undang Dasar.27 Bagir manan menjelaskan bahwa konstitusi atau Undang Undang Dasar hanya merupakan gabian hukum konstitusi (Constitusional Law) diluar jurisprudensi dan konvensi ketatanegaraan.28

25

Dahlan Thaib, Op.Cit., hal. 5-6.

26

Miriam Budiarjo, Op.Cit., hal. 54.

27

Mirza Nasution, Op.Cit., hal. 56.

28Ibid


(24)

Pada prinsip nya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.29

Konstitusi merupakan norma dasar yang mengatur cara penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran R.M Mac.Iver yang menempatkan konstitus sebagai inti dari hukum tata negara sedangkan nyoman dekker menempatkan konstitusi dalam posisi teratas dari suatu hukum tata negara. Untuk itu penggunaan teori konstitusi sebagai alat untuk membedah permasalahan demokratisasi dalam pemilihan kepala daerah ini terkait erat dengan keberadaan konstitusi sebagai hukum dasar negara yang mengatur cara rakyat menyelenggarakan kedaulatannya dalam suatu sistem ketatanegaraan.30

2. Kedaulatan Rakyat

Menurut Jimly Asshiddiqie, Kedaulatan atau souvereiniteit (souvereignty) merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan Negara.

Kata “daulat” dan “kedaulatan” berasal dari kata Arab daulah yang berarti rezim politik atau kekuasaan. Makna aslinya seperti yang dipakai dalam Al-Quran adalah peredaran dalam konteks pengertian kekuasaan.31

Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa gagasan kedaulatan sebagai konsep mengenai kekuasaan meliputi proses pengembalian keputusan. Persoalannya adalah seberapa kekuatan keputusan-keputusan yang ditetapkan itu, baik dilapangan legislatif maupun eksekutif (the administration law). Sedangkan

29

Dahlan Thaib, Op.Cit., hal. 27.

30Ibid.,

hal. 38.

31

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, 1997, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Hal.143.


(25)

jangkauan kedaulatan (domain of sovereignty), melalui analisis relasional (rela tiona l a na lysis) antara ‘souvereign’ dan ‘subject’, terkait soal siapa atau apa yang menjado objek dalam arti sasaran yang dijangkau oleh kekuasaan tertinggi itu.32

Mengenai jangkauan kedaulatan, dalam konsep ini ada dua hal penting, yaitu :

a. Siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara ; b. Apa yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan tertinggi.

Berkaitan dengan siapa atau apa yang menguasai, maka kedaulatan itu pada prinsipnya dapat di pegang oleh seseorang, sekelompok orang, sesuatu badan yang melakukan administrasi fungsi-fungsi pemerintahan33.

Dalam ajaran berbagai macam kedaultan diklasifikasikan menjadi 5 (lima) teori atau ajaran, yaitu: Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Raja, Teori Kedaultan Rakyat, Teori kedaulatan Negara, dan Teori Kedaulatan Hukum.

Khusus mengenai Kedaulatan Rakyat, teori ini memandang dan memaknai bahwa kekuasaaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi.34 Jadi keberadaan konsep kedaulatan rakyat sebagai suatu kajian filsafat kemudian berkembang menjadi teori kedaulatan rakyat dalam kajian keilmuan. Demokrasi merupakan praktis dari teori kedaulatan rakyat dalam suatu

32Ibid,. Hal. 144.

33

Ibid,. Hal. 150. 34


(26)

sistem politik maupun pula bila menyamaka kedaulatan rakyat dengan demokrasi.35

Sebagai negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa :“Kedaulatan berada di ta nga n ra kya t da n di da sa rkan menurut Undang Unda ng Da sa rMaka Indonesia menyelenggarakan demokrasi secara langsung maupun dengan tidak langsung. Penyelenggaraan ini merupakan bentuk penyaluran gagasan kedaulatan rakyat itu sendiri. Sebagai negara modren, tentunya tidak bisa hanya menerapkan demokrasi secara langsung karena hal tersebut hanya efektif dilakukan dengan bentuk negara kota (polis) ketika era Yunani kuno, maka diakuilah adanya suatu bentuk demokrasi tidak langsung atau yang seringdikatakan sebagai demokrasi perwakilan melalui keberadaan wakil-wakil rakyat di parlemen. Maka baik demokrasi langsung maupun tidak langsung dijalankan bersama-sama atau dijalankan secara beriringan.36 Secara langsung misalnya dalam bentuk pemilihan umum kepala daerah dan secara tidak langsung misalnya menciptakan lembaga perwakilan rakyat sebagai perlembagaan kedaulatan rakyat.

Kedaulatan Rakyat terdiri atas gabungan istilah “Kedaulatan” dan “Rakyat”. Istilah kedaulatan dapat ditemukan atau dipergunakan dalam berbagai

pengertian sebagaimana dapat dijumpai pengertian kedaulatan dalam hukum Internasional, bahwa kedaulatan yang ditunjukkan kepada Negara dalam hal suatu negara berhak menentukan urusannya sendiri baik menyangkut urusan dalam

35

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.56.

36


(27)

negeri maupun urusan luar negeri tanpa adanya campur tangan dari negara lainnya.

C.S.T. Kansil mengatakan kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah segenap rakyat dalam negara itu. Kedaulatan adalah juga kekuasaan penuh untuk untuk mengatur seluruh wilayah negara tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain.37

2. Pemilihan kepala daerah

Salah satu tujuan reformasi adalah untuk mewujudkan suatu Indonesia baru, yaitu Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa dicapai dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini, baik dimasa orde baru maupun di era reformasi, kedaulatan sepenuh nya berada dilembaga -lembaga eksekutif, dan ditangan lembaga legislatif. Bahkan di era reformasi ini, melalui fraksi-fraksi nya di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dapat melakukan apapun yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara, bahkan dapat memberhentikan presiden sebelum berakhir masa jabatannya, seperti layaknya pada negara dengan sistem Parlementer padahal negara kita menganut sistem presidensil. Di daerah-daerah, DPRD melalui pungutan suara dapat menjatuhkan kepala daerah sebelum berakhir masa jabatannya.38

UUD NRI 1945 tidak mengatur apakah kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih melalui DPRD, namun pasal 18 ayat (4) menegaskan

37

C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, 1984, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, Hal. 74.

38

H. Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Da erah Secara Langsung, 2005, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 51.


(28)

bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Rumusan “dipilih secara demokratis”, lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja

MPR tahun 2004 antara pendapat yang mengkehendaki pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD dan pendapat lain mengkehendaki dipilih melalui pemilukada. Sebagaimana diketahui, pada saat itu berlangsung berbagai pemilihan kepala daerah di Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dipilih oleh DPRD. Sebahagian besar proses maupun hasil pemilihan oleh DPRD tersebut mendapat protes dari rakyat di daerah yang bersangkutan dengan berbagai alasan. Kondisi inilah yang mendorong para anggota MPR untuk berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah dipilih melalui pemilukada untuk mengurangi protes kepada anggota DPRD. Pada sisi lain dengan pertimbangan kesiapan berdemokrasi yang tidak sama antar berbagai daerah di Indonesia serta kebutuhan biaya yang besar dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung, dikhawatirkan akan menimbulkan instabilitas politik dan pembengkakan anggaran negara, sehingga anggota MPR bersikukuh bahwa kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD. Disamping itu, pada saat yang sama terjadi perdebatan sangat tajam tentang cara pemilihan Presiden antara yang mengkehendaki pemilihan langsung oleh rakyat dan pemilihan oleh MPR dengan berbagai variannya, juga turut mempengaruhi perdebatan tentang cara pemilihan kepala daerah ini.39

Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Makna demokratis disini tidak langsung dipilih oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih

39

https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/03/15/tinjauan-konstitusi-pemilihan-kepala-daerah/ Diakses pada tanggal 17 Maret 2015 pada pukul 10.30 WIB


(29)

oleh DPRD yang angota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui pemilu. Ketika Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah diajukan oleh pemerintahan dan diperdebatkan di DPRD, tidak ada perdebatan yang mendalam lagi tentang apakah kepala daerah itu harus dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD. Hal ini, paling tidak disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama; telah disepakati dalam perubahan ketiga dan keempat UUD NRI 1945 bahwa presiden dan wakil presiden Negara Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat, dan kedua; dari aspirasi dominan masyarakat yang mengkehendaki kepala daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan Skrispsi ini dilakukan dengan membagi 4 bab, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini merupakn pembukaaan yang berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II PENGATURAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM PERATURAN PERUNDAN-UNDANGAN DI INDONESIA

Pada bab ini akan diuraikan pembahasan tentang pengaturan pemilihan kepala daerah dalam peraturan pemilihan kepala daerah di Indonesia setelah amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945


(30)

BAB III PEMAKNAAN DEMOKRASI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA

Bab ini akan membahas mengenai sejarah perkembangan demokrasi, pengertian, demokrasi di Indonesia dan demokrasi didalam pemilihan kepala daerah.

BAB IV PEMILIHAN KEPALA DAERAH YANG DEMOKRATIS

BERDASARKAN KONSEP NEGARA DEMOKRASI

KONSTITUSIONAL

Bab ini akan dibahas mengenai pemilihan kepala daerah demokratis yang didalamnya dibahas pemilihan kepala daerah secara langsung dan melalui DPRD serta sisi positif dan negatif dari pola pemilihan kepala daerah tersebut

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini yaitu bab yang ke empat merupakan kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan dan uraian-uraian sebelumnya dan dilengkapi dengan saran penulisan


(31)

BAB II

PENGATURAN PILKADA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SETELAH AMANDEMEN UUD NRI 1945 DI

INDONESIA

A. Pemilihan Kepala Daerah Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen

Dari teori dan praktik yang berkembang selama ini memperlihatkan bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis yang tertinggi dalam negara (the higher la w of the land). Sebagai hukum dasar tertulis yang tertinggi dalam negara, UUD 1945 menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Sehubungan dengan itu, UUD 1945 memuat apapun menggariskan tentang pembagian kekuasaan baik secara vertikal maupun horizontal.40

Untuk memahami secara utuh amanat konstitusi tentang pemilihan kepala daerah perlu terlebih dahulu memahami posisi daerah dalam pandangan. Undang-undang dasar memberikan arah yang jelas tentang posisi daerah itu. Pasal 18

UUD 1945, menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas

daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Inti dari pasal 18 tersebut adalah dalam negara Indonesia terdapat pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tersebut terdiri atas daerah besar dan kecil.

40


(32)

Adanya perintah kepada pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentang desentralisasi teritorial harus memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, yang menurut ketentuan pasal 18 UUD 1945 adalah bahwa dasar permusyawaratan juga diadakan pada tingkat daerah. Dengan demikian, permusyawaratan/ perwakilan tidak hanya terdapat pada pemerintahan tingkat pusat, melainkan juga pada pemerintahan tingkat daerah. Dengan kata lain, pasal 18 UUD 1945 menentukan bahwa pemerintahan daerah dalam susunan daerah besar dan kecil harus dijalankan melalui permusyawaratan atau harus mempunyai badan perwakilan. Dalam susunan kata atau kalimat pasal 18 tidak terdapat keterangan atau petunjuk yang memungkinkan pengecualian dari prinsip atau dasar permusyawaratan perwakilan itu.41

Hatta42 menafsirkan dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa bagian kalimat yang akhir ini dalam undang-undang dasar, menyatakan bahwa hak melakukan pemerintahan sendiri bagi segenap bagian rakyat menjadi sendi kerakyatan Indonesia. Diakui bahwa tiap-tiap bagian untuk menentukan diri sendiri dalam lingkungan yang satu, supaya hidup jiwa rakyat seluruhnya dan tersusun tenaga pembangunan masyarakat dalam segala golongan untuk kesejahteraan Republik Indonesia dan kemakmuran penduduknya.”

41Ni’matul Huda,

Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 283-284.

42

Hatta dalam Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.


(33)

Hak melakukan pemerintahan sendiri sebagai sendi kerakyatan dalam sebuah negara kesatuan (eenheidsstaat) tidak lain berarti otonomi, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Dengan demikian, makin kuat alasan bahwa pemerintahan dalam susunan daerah besar dan kecil menurut pasal 18 UUD 1945 tidak lain dari pemerintahan yang disusun atas dasar otonomi.43

B. Pemilihan kepala daerah dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004

Sistem pilkada dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu Pemilukada dan pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD. Faktor utama yang membedakan kedua metoda tersebut adalah bagaimana partisipasi politik rakyat dilaksanakan atau diwujudkan. Tepatnya adalah metoda penggunaan suara yang berbeda. Pilkada yang tidak memberi ruang bagi rakyat untuk menggunakan hak pilih aktif, yakni hak untuk memilih dan hak untuk dipilih, dapat disebut dengan pilkada tak langsung, seperti sistem pengangkatan dan/atau penunjukan oleh pemerintah pusat atau sistem pemilihan perwakilan oleh anggota DPRD. Dalam sistem pengangkatan dan/atau penunjukan oleh pemerintah pusat, kedaulatan atau suara rakyat diserahkan bulat-bulat kepada pejabat pusat, baik Presiden maupun Menteri Dalam Negeri. Dalam sistem pemilihan perwakilan oleh DPRD, kedaulatan rakyat atau suara rakyat diwakilkan kepada anggota DPRD. Sebaliknya pemilukada selalu memberikan ruang bagi implementasi hak pilih aktif. Seluruh warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena itulah, pilkada langsung sering disebut implementasi demokrasi

43Ni’matul Huda, Op.Cit


(34)

partisipatoris, sedangkan pilkada tak langsung adalah implementasi demokrasi elitis.44

Dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Perubahan yang paling signifikan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah mengenai pemilihan Kepala Daerah melalui pemilukada. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini terdiri dari 240 pasal, dari 240 pasal tersebut, 63 pasal di antaranya mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah melalui pemilukada, yaitu pasal 56 sampai dengan pasal 119. Pemilukada merupakan perwujudan kedaulatan rakyat seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945.45 Melalui pemilukada ekspresi nyata kedaulatan rakyat lebih terjamin dibanding mekanisme lainnya. Pemilukada juga merupakan pelaksanaan dari jaminan konstitusi terhadap hak-hak rakyat, terutama hak-hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan. Dalam UUD NRI 1945 hak ini dijamin pada pasal 27 ayat (1), pasal 28C ayat (2), dan dalam pasal 28D ayat (3).46

Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan reformasi dan amandemen UUD 1945, undang-undang ini menganut

44

Joko Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistemdan Problema Penerapannya di Indonesia, Pustaka Pelajar dan LP3M Universitas Wahid Hasyim, Jakarta, 2005, hal. 209.

45

Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945; kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.

46

Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945; segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 1945; setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945; setiap warga negara berhal memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.


(35)

sistem pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah melalui pemilukada dengan memilih calon secara berpasangan. Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.47 Asas yang digunakan dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sama dengan asas pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).

Dihapusnya kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi alasan pemilihan Kepala Daerah melalui pemilukada. Hal ini dapat dibacakan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 bagian penjelasan angka 4, yang isinya sebagai berikut;

“Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis. Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka pemilihan secara demokratis dalam Undang-Undang ini dilakukan oleh rakyat secara langsung. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah, dan perangkat daerah”

Semangat dilaksanakannya pemilukada adalah koreksi terhadap pemilihan kepala daerah sebelumnya yang dilakukan oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada rakyat. Oleh karena itu, keputusan politik untuk menyelenggrakan pemilukada adalah langkah strategis dalam rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kuallitas demokrasi. Hal ini juga sejalan dengan

47


(36)

semangat otonomi yaitu terhadap aspirasi dan inisiatif masyarakat daerah untuk menentukan nasibnya.48

Cara paling efektif untuk membedakan pemilukada dan pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD adalah dengan melihat tahapan-tahapan kegiatan yang digunakan. Dalam pilkada melalui DPRD, partisipasi rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Rakyat ditempatkan sebagai penonton proses pilkada yang hanya melibatkan elit. Rakyat sekadar menjadi objek politik, misalnya kasus dukung mendukung. Penonjolan peran dan partisipasi terletak pada elit politik, baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau pejabat pusat. Dalam pilkada langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatansangat terlihat jelas dan terbuka lebar. Rakyat merupakan subjek politik. Mereka menjadi pemilih, penyelenggara, pemantau dan bahkan pengawas. Oleh sebab itu, dalam pilkada langsung, selalu ada tahapan kegiatan pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan sebagainya.49

Mengacu kepada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tahapan pemilukada dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi:50

1. DPRD memberitahukan kepada Kepala Daerah maupun KPUD daerah setempat mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah

48

Suharizal, Pemilukada: Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 42.

49

Joko Prihatmoko, Op. Cit., hal. 210.

50


(37)

2. Dengan adanya pemberitahuan dimaksud Kepala Daerah berkewajiban untuk menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kepada pemerintah dan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD

3. KPUD dengan pemberitahuan dimaksud menetapkan rencana penyelenggaraan pemilukada yang meliputi penetapan tata cara dan jadwl tahapan pemilukada, membentuk Panitiia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) serta pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.

4. DPRD membentuk Panitia Pengawas Pemilihan yang unsurnya terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Perguruan Tinggi, Pers, dan Tokoh Masyarakat.

Sedangkan tahapan pelaksanaan meliputi penetapan daftar pemilih, pengumuman pendaftaran dan penetapan pasangan calon, kampanye, masa tenang pemungutan suara, perhitungan suara, penetapan pasangan calon terpilih serta pengusulan pasangan calon terpilih. Dari enam kegiatan tahap pelaksanaan tersebut, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai pemilih dan pemantau terlihat dalam penetapan daftar pemilih, kampanye, pencalonan, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Hal itulah yang mencirikan bahwa pilkada berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan pilkada langsung. Namun persyaratan pilkada langsung akan lebih lengkap, dalam pengertian warga menggunakan hak pilih aktif, apabila rakyat atau warga terlibat langsung dalam


(38)

tahap pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah serta penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih. Keterlibatan tersebut tidak hanya menjadi calon, namun juga mengawasi proses yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Mantan Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf berpendapat bahwa pemilukada

sebagai sarana pembelajaran demokrasi bagi rakyat (civic education). Pemilukada menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya

meilih pemimpin yang benar sesuai dengan hati nuraninya. Lebih jauh M. Ma’ruf

berpendapat bahwa pemilukada sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pemilukada, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarkat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.51

Pemilukada membuka ruang partisipasi politik rakyat untuk mewujudkan kedaulatan dalam menentukan pemimpin di daerah. Tujuan ideal pemilukada adalah terpilihnya Kepala Daerah yang terpercaya, memiliki kemampuan, kepribadian dan moral yang baik. Idealnya, Kepala Daerah terpilih adalah orang-orang yang berkenan di hati rakyat, dikenal dan mengenal daerah, serta memiliki ikatan emosional kuat terhadap rakyat daerah. Selain itu, pemilukada juga semacam ajang atau arena pelatihan pemimpin dalam rangka menyediakan stok

51M. Ma’ruf dalam Suharizal, Ibid,


(39)

pemimpin untuk tingkatan lebih tinggi dengan ini pemilukada dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 menganut sistem pemilihan “dua putaran” dengan ketentuan sebagaimana diatur pada pasal 107 dengan isi sebagai berikut:52

1. Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh sura lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.

2. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suaran sah, pasangan calon yang memperoleh suara terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

3. Dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar sebagaimana dimaksud pada ayat(2) terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.

4. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua.

5. Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut berhak mengikuti pemilihan putaran kedua.

52


(40)

6. Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. 7. Apabila pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh

oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.

8. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Dengan sistem dua putaran ini akan memberikan ruang yang lebih lagi mencari pemimpin yang benar-benar dipilih oleh mayoritas rakyat itu sendiri, agar sistem pemilihan ini semakin mencerminkan kedaultan rakyat dan demokrasi. Ketika suara yang didapat salah satu pasangan calon lebih dari 50% (lima puluh persen) berarti lebih dari setengah pemilih yang tetap yaitu rakyat dalam sauatu daerah telah mayoritas memilih pasangan calon tersebut.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)53 provinsi, kabupaten, dan kota telah diberikan kewenangan sebagai penyelenggara pemilukada. KPUD yang dimaksudkan dalam Undang Undang 32 Tahun adalah KPUD sebagaimana dimaksud Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini dengan pertimbangan bahwa KPUD adalah lembaga independen yang ada di daerah yang telah mempunyai pengalaman dalam melaksanakan

53

Untuk selanjutnya penulisan kata Komisi Pemilihan Umum Daerah di tulis dengan kata KPUD


(41)

pemilihan secara langsung (DPR, DPD, DPRD, dan Pilpres), sehingga tidak perlu dibentuk lagi lembaga baru sebagai pelaksana pemilukada. Selain itu dengan pertimbangan efisiensi, sarana dan prasarana pemilu yang masih dapat dipergunakan lagi.54 Kewenangan KPUD Provinsi, Kabupaten dan Kota dibatasi sampai dengan penetapan calon terpilih dengan berita acara yang selanjutnya KPUD menyerahkan kepada DPRD untuk diproses pengusulannya kepada pemerintah guna mendapatkan pengesahan. Ketentuan ini diatur dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 bagian penjelasan pada sub bagian I penjelasan umum yang bunyi nya sebagai berikut:

“Melalui undang-undang ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi, kabupaten, dan kota diberikan kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah KPUD sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Untuk itu, tidak perlu dibentuk dan ditetapkan KPUD dan keanggotaannya yang baru. Agar penyelenggaraan pemilihan dapat berlangsung dengan baik, maka DPRD membentuk panitia pengawas. Kewenangan KPUD provinsi, kabupaten, dan kota dibatasi sampai dengan penetapan calon terpilih dengan Berita Acara yang selanjutnya KPUD menyerahkan kepada DPRD untuk diproses pengusulannya kepada Pemerintah

guna mendapatkan pengesahan”

C. Pemilihan kepala daerah dalam Undang Undang Nomor 22 tahun 2014

Dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada tanggal 2 Oktober 2014 oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia pada saat itu Amir Syamsudin melahirkan banyak sekali pro dan kontra karena pada intinya Undang Undang ini menetapkan bahwa Kepala Daerah baik itu Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih

54


(42)

melalui DPRD. Bisa dilihat dari isi Undang-undang ini pasal 3 ayat (1)55 dan ayat (2)56. Kata demokrastis pada ayat 1 berartikan sesuai dengan kedaulatan rakyat. Tapi masih menimbulkan kontra yang seolah-olah ketika Kepala Daerah dipilih oleh DPRD berarti telah membunuh prinsip demokrasi.

Lauddin Marsuni, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andi Djemma Palopo Sulawesi Selatan mengatakan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD itu bertentang dengan UUD NRI 1945 yang menganut paham pemilihan langsung. Berdasarkan argumentasi konstitusional melalui pendekatan ilmu hukum dengan menggunakan penafsiran sistematis, terlihat UUD NRI 1945 menganut paham pemilukada. UUD NRI 1945 dalam penafsirannya terlihat pemilihan secara langsung untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan langsung anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD), pemilihan langsung Kepala Daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) serta pemilihan langsung kepala desa. Lebih lanjut Lauddin Marsuni mengatakan pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2014 yang disetujui dalam rapat paripurna DPR RI, merupakan suatu yang inkonstitusional atau bertentangan dengan alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI 1945. Secara teoritis kedaulatan rakyat bermakna kekuasaan yang dimiliki oleh individu warga negara RI dalam hal penentuan pemerintahan negara dan bersifat tunggal, absolut, tertinggi, tidak terbagi-bagi dan tidak diwakilkan. Ia mengemukakan, kata demokratis

55

Pasal 3 ayat (1) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014; Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.

56

Pasal 3 ayat (2) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014; Bupati dan walikota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.


(43)

sebagaimana tercantum pada Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI 1945 secara sistematis dan gramatikal adalah merupakan turunan dan penjabaran dari kata kedaulatan rakyat, yakni suatu bentuk atau mekanisme dalam sistem pemerintahan negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat. Dengan adanya UU Pilkada ini sama dengan menghilangkan dan mencabut hak konstitusional warga negara Indonesia. Warga negara kehilangan hak dalam Pilkada untuk dipilih menjadi Kepala Daerah maupun hak untuk memilih karena kedua hak tersebut telah dirampas oleh DPR RI dan diserahkan ke DPRD.57 Pernyataan ini berbeda dengan yang disampaikan oleh Hamdan Zoelva58“Ma kna demokra tis di sini tida k ha rus dipilih la ngsung oleh ra kya t, a ka n teta pi dapa t juga berma kna dipilih oleh DPRD ya ng anggota -a nggota nya juga ha sil pemiliha n demokra tis mela lui pemilu”. Dari perbedaan dua pendapat ini dapat kita lihat adanya pro dan kontra ketika UU ini diundangkan, meskipun pada akhirnya presiden Susilo Bambang Yodhoyono mengeluarkan perpu Nomor 1 Tahun 2014 sebagai pengganti UU ini. Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD dapat kita lihat mekanismenya sesuai dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014. Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD diselenggarakan melalui dua tahapan yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi;59

57

Lauddin Marsuni (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andi Djemma Palopo Sulawesi Selatan) dalam situs berita http://www.antaranews.com/berita/455836/pilkada -tak-langsung-dinilai-bertentangan-uud diakses tanggal 23 April 2015

58

https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/03/15/tinjauan-konstitusi-pemilihan-kepala-daerah/

59


(44)

a. penyusunan program, kegiatan, dan jadwal Pemilihan

b. pengumuman pendaftaran bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan bakal calon walikota;

c. pendaftaran bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan bakal calon walikota;

d. penelitian persyaratan administratif bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan bakal calon walikota; dan

e. uji publik

tahap pelaksanaan meliputi;60

a. penyampaian visi dan misi;

b. pemungutan dan penghitungan suara; dan c. penetapan hasil pemilihan.

Dalam Undang Unang Nomor 22 Tahun 2014 ini, diatur pula peserta pemilih yang akan memilih Kepala Daerah di DPRD. Yang menjadi peserta pemilihan adalah calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota yang diusulkan oleh fraksi atau gabungan fraksi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dan/atau calon perseorangan dan juga anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota yang diusulkan sebagai calon gubernur, calon bupati dan calon walikota mempunyai hak untuk memilih.61 Untuk menjadi Kepala Daerah, seorang bakal calon Kepala Daerah harus juga memiliki ayarat-syarat tertentu agar dapat menjadi seorang calon Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota.

60

Pasal 6 ayat 3 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014

61


(45)

Syarat utama adalah seorang warga Negara Indonesia dan dengan persyaratan lain sebagai berikut;62

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; d. telah mengikuti uji publik;

e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan calon walikota;

f. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;

g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 5 (lima) tahun.

h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; j. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;

k. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

l. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memiliki laporan pajak pribadi;

n. belum pernah menjabat sebagai gubernur, bupati, dan/atau walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;

o. berhenti dari jabatannya bagi gubernur, bupati, dan walikota yang mencalonkan diri di daerah lain.

p. tidak berstatus sebagai penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat walikota;

q. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

r. memberitahukan pencalonannya sebagai gubernur, bupati, dan walikota kepada Pimpinan DPR, DPD, atau DPRD bagi anggota DPR, DPD, atau DPRD;

s. mengundurkan diri sebagai anggota TNI/Polri dan PNS sejak mendaftarkan diri sebagai calon.

t. berhenti dari jabatan pada Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; dan

u. tidak berstatus sebagai anggota Panlih gubernur, bupati, dan walikota

62


(46)

Sama halnya dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008.

Dalam UU ini juga diatur mengenai syarat perseorangan untuk menjadi Kepala Daerah. Ada jumlah tertentu pendukungnya untuk dijadikan calon Kepala Daerah. Jumlah tersebut berbeda antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Berikut pengaturannya dalam bentuk tabel;

No. Daerah Pilkada Syarat atau besaran dukungan

1. Provinsi 1. Provinsi dengan jumlah

penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); 2. Provinsi dengan jumlah

penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);

3. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung


(47)

sekurang-kurangnya 4% (empat persen); 4. Provinsi dengan jumlah

penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

5. Jumlah dukungan harus tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi

2. Kabupaten/kota 1. Kabupaten/kota dengan jumlah

penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang- kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);

2. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); 3. kabupaten/kota dengan jumlah


(48)

penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen);

4. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

5. Jumlah dukungan harus tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di Kabupaten/Kota.

Sumber : diolah dari pasal 14 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014

Dukungan harus dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-El) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dukungan diberikan kepada satu calon perseorangan saja tidak lebih.63

63


(49)

Dalam hal pemungutan suara, penghitungan suara, dan penetapan hasil pemungutan suara dalam pemilihan dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pemungutan suara dilaksanakan 1 (satu) hari setelah penyampaian visi dan misi.64 Pemungutan suara dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.65

Setiap anggota DPRD dalam memberikan suaranya untuk menentukan Kepala Daerah hanya kepada 1 (satu) calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota dan dilakukan dengan cara berdiri.66

Penghitungan suara dilakukan oleh Panlih setelah pemungutan suara dinyatakan selesai. Penghitungan suara ini dilakukan dengan cara yang memungkinkan saksi setiap calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota dapat menyaksikan secara jelas penghitungan suara. Berdasarkan penghitungan suara, Panlih menetapkan calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota terpilih yang memperoleh suara terbanyak. Dalam hal hasil penghitungan suara terdapat jumlah suara yang sama, untuk menentukan calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota terpilih dilakukan pemungutan suara ulang paling lambat 2 (dua) jam sejak hasil penghitungan suara putaran pertama diumumkan.Dalam hal hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih terdapat jumlah suara yang sama, dilakukan kembali pemungutan suara ulang paling lambat 2 (dua) jam sejak hasil penghitungan suara putaran kedua diumumkan.Dalam hal masih terdapat perolehan sama sebagaimana dimaksud

64

Pasal 28 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014

65

Pasal 29 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014

66


(50)

pada ayat (3), pemenang ditentukan dengan mengkonversi perolehan suara hasil pemilihan umum dari masing-masing anggota DPRD yang memilih. Hasil perolehan suara dituangkan dalam Berita Acara. Hasil Pemilihan yang ditandatangani oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) anggota Panlih dan saksi yang hadir. Apabila berita acara pemilihan tidak ditandatangani tanpa adanya

alasan dan pengajuan keberatan secara jelas, tidak mengurangi keabsahan berita acara pemilihan. Berdasarkan berita acara pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penetapan calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota terpilih dituangkan dalam Keputusan DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Berita acara dan/atau Keputusan DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota ditembuskan kepada Menteri untuk pemilihan gubernur dan kepada gubernur untuk pemilihan bupati dan walikota. Dalam hal terjadi pelanggaran hukum pada proses Pemilihan, penyelesaiannya ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.67

Pengesahan calon gubernur diusulkan dengan surat pimpinan DPRD provinsi kepada Presiden melalui Menteri paling lambat 3 (tiga) hari setelah keputusan DPRD provinsi tentang penetapan calon gubernur. Pengesahan calon bupati, dan calon walikota diusulkan dengan surat pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada Menteri melalui gubernur paling lambat 3 (tiga) hari setelah keputusan DPRD kabupaten/kota tentang penetapan calon bupati dan calon walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilengkapi dengan dokumen administratif

67


(1)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

1. Pemilihan kepala daerah di Indonesia setelah perubahan Undang Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pola pemilihan kepala daerah secara langsung berdasarkan berlakunya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah.

2. Memaknai kata demokrasi dalam pemilihan kepala daerah adalah

kebebasan dan hak yang dimiliki rakyat untuk dapat memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak rakyat

3. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan pemilihan

kepala daerah secara demokratis adalah pemilihan kepala daerah kepala daerah langsung dan tidak langsung sepanjang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah tidaklah menekankan pada “cara” pemilihan itu dilakukan, yaitu dengan sistem langsung atau sistem perwakilan, namun yang menjadi penegasan dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah “proses” pemilihan, yaitu bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara demokratis berdasarkan syarat-syarat, dan prossedur yang mementingkan hak rakyat sebagaimana amanat pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang undang dasar.


(2)

B. Saran

1. Pemerintah diharapkan agar kedaulatan rakyat yang diamanatkan dalam

UUD NRI 1945 dilaknakan dengan semestinya sehingga kedaulatan itu benar-benar menjadi milik rakyat.

2. Kepada lembaga swadya masyarakat diharapkan untuk mencerdaskan

masyarakat mengenai pemilihan kepala daerah yang demokratis, agar masyarakat lebih memahami arti demokratis dan tidak memandang demokratis itu hanya pemilihan kepala daerah secara langsung atau pun melalui DPRD.

3. Saran ketiga ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia agar memaknai

pemilihan kepala daerah yang demokratis itu bukan karena pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, tetapi harus cermat melihat politik hukum pemerintah. Jangan mudah tergoda dengan iming-iming secara langsung. Lebih banyak lagi belajar agar kepentingan masyarakat yang menjadi landasan utama pemilihan kepala daerah di Indonesia.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku;

Abdullah, H. Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Da era h Seca ra La ngsung. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Agustino, Leo. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitualisme. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. _______. Konsolida si Na ska h UUD 1945 setela h peruba ha n keempa t, Pusa t

Studi Hukum Ta ta Nega ra . Depok: Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2002

_______. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemiliha n Kepa la Da era h. Jakarta: BPHN, 2011.

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 2008.

Basah, Syahran. Ilmu negara, pengantar, metode dan sejarah perkembangan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.

Depertemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Gafar, Affan. Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004.

Gaffar, Janedjri M. Demokrasi Konstitusional; Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setela h Peruba ha n UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.

Firdaus. Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi. Bandung: Yrama Widya, 2007.

Huda, Ni’matul. Hukum Ta ta Nega ra Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi

Pa rlementer da la m Sistem Presidensia l Indonesia. Jakarta: Rajawali


(4)

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah: Kewenangan Antara Dewan Per wakilan Ra kya t Da era h da n Kepa la Da era h, Bandung: Alumni,

Kaelan. Pendidikan Pancasila . Yogyakarta: Paradigma, 2002.

Kansil, C.S.T. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia , Jakarta: Ghalia Indonesia,1984.

Lubis, M Soly. Ilmu Negara . Bandung: Mandar Maju, 2007

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyawaratan

Unda ng-Undang Da sa r Nega ra Republik Indonesia Ta hun 1945. Jakarta:

Sekretariat Jendral MRR RI.

Mahfud MD, Moh. Dasar dan Struktur ketatanegaraan Indonesia . Yogyakarta: UII Press, 1993.

_______. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: studi tentang interaksi politik da n kehidupa n keta ta nega ra a n. Jakarta Rineka Cipta, 2000.

_______. Hukum dan Pilar PIlar Demokrasi.

Manan, Bagir. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Nasution, Faisal Akbar. Pemerintah Daerah dan Sumber Sumber Pendapatan Asli Da era h. Jakarta: Softmedia, 2009.

Nasution, Mirza. Pertangungjawaban Gubernur dalam Negara Kesatuan Indonesia. Jakarta: Softmedia, 2011.

Nadir, Ahmad. Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi. Averroes Press, 2005.

Prihatmoko, Joko. Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistemdan

Problema Penera pa nnya di Indonesia , Jakarta: Pustaka Pelajar dan

LP3M Universitas Wahid Hasyim, Jakarta, 2005.

Purnama,Eddy. Nega ra Keda ula ta n Ra kya t:Ana lisis Terha dap Sistem

Pemerinta ha n Indonesia da n Perba ndinga nnya denga n Nega ra La in..

Bandung: Nusamedia, 2007.

Rosyada dkk. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Ma nusia & Ma sya ra ka t Ma da ni. Jakarta: Kencana, 2004.


(5)

Saukani HR dkk. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Soekanto, Soejono. Pengantar Peneitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soemantri, Sri. Tentang Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1993.

Suharizal. Pemilukada: Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.

Suyatno. Menjela jahi Demokrasi. Yokyakarta: Liebe book.

Thaib. Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Yuhana, Abdy. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945 . Bandung, Fokusmedia. 2007.

B. Peraturan Perundang Undangan

Indonesia. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

Indonesia. Perubahan Pertama Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta hun 1945.

Indonesia. Perubahan kedua Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta hun 1945.

Indonesia. Perubahan ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta hun 1945.

Indonesia. Perubahan keempat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta hun 1945.

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125;Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4437).

Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243;Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5586)

Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (Lembar Negara


(6)

C. Makalah, Jurnal dan Skripsi/Tesis/Disertasi

Djokosoekarto, Agung. Membangun Kepempinan Lokal Yang Demokratis,

Ma ka la h pa da seminar nasional Pemilihan Langsung Kepala daerah

seba ga i Wujud Demokra si Loka l. Adeksi. 2003.

Hasanudin. Lili. Pemilihan langsung Kepala daerah menuju terwujudnya pemerinta ha n loka l yang demokratis di Indonesia , Makalah pada seminar nasional Pemilihan Langsung Kepala daerah sebagai Wujud Demokrasi Lokal. Adeksi. 2003

Widjojanto, Bambang. Pemilihan Langsung Kepala Daerah : Upaya Mendorong Proses Demokra tisa si, Makalah pada seminar nasional Pemilihan Langsung Kepala daerah sebagai Wujud Demokrasi Lokal. Adeksi. 2003. Aziz, Noor dkk, Pengkajian Hukum Tentang Pemilihan Kepala Daerah, Badan

Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Cililitan Jakarta, 2011.

Susilo. Menyongsong Pilkada yang Demokratis, Artikel, Jurnal Legislasi Indonesia , Vol.2 No. 2 – Juni 2005

Dianto. Jurnal Ilmiah Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Oleh Rakya t Da n Mela lui DPRD, Vol. 1 No.2 – 2013

Hani Adhani, Proses penyelesaian sengketa pilkada pasca perubahan Undang

Unda ng Nomor 32 Ta hun 2004 tentang pemerinta ha n da era , Tesis FH

UI, 2009

Nasution, Mirza. Peruba ha n Perta nggungja wa ba n Gubernur Da la m

Penyelengga raa n Pemerinta ha n Da era h Berda sa rka n UUD 1945.

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan D. Internet

www.antaranews.com

www.hamdanzoelva.wordpress.com www.hukumonline.com

www.pemilu.com. www.politik.kompasiana www.portalgaruda.org