IBRAH DARI KISAH NABI IBRAHIM DAN AYAHNYA : STUDY PENAFSIRAN TENTANG AYAT-AYAT KISAH NABI IBRAHIM DAN AYAHNYA.

(1)

IBRAH DARI KISAH NABI IBRAHIM DAN AYAHNYA

(Studi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Tentang Kisah Nabi

Ibrahim dan Ayahnya)

Skripsi :

Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) dalam ilmu al-Qur’an dan tafsir

Oleh :

ZIYAN FITRI MAWADDAH (E33212099)

PRODI ILMU AL- QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN AL- QUR’AN DAN HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Ziyan Fitri Mawaddah, Ibrah dari Kisah Nabi Ibrahim dan Ayahnya (Studi

Terhadap Penafiran Ayat-ayat Tentang Kisah Nabi Ibrahim dan Ayahnya).

Beberapa ayat yang berkaitan dengan tema kisah Nabi Ibrahim dan

ayahnya terdapat dalam surat al-An’am ayat 74, surat Maryam ayar 41-45,

al-Anbiya ayat 52, as-Syuara 70, as-Shaffat ayat 85, az-Zukhruf ayat 26, at-Taubah ayat 114, dan lain-lain. Namun, fokus masalah yang akan diteliti adalah penafsiran surat Maryam ayat 41-45 tentang dakwah Nabi Ibrahim kepada ayahnya yang mana pada saat itu ayahnya merupakan penyembah berhala, dan Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk meninggalkan berhala itu untuk kembali ke jalan yang benar. Dari kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya dalam surat Maryam ayat 41-45, penulis mengharapkan agar karya ini dapat dijadikan pelajaran untuk pembacanya.

Metode yang

digunakandalampenelitianiniadalahmetodekualitatifmelaluikajianliteratur-literatur

yang terkaitdengantopik kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya (Library Reseacrh).Data

yang

dihimpunmelaluikajianliteraturtersebutkemudiandianalisisberdasarkanprosedurdal

ammetodemawdu>’i semi tahlili, karena ayat yang akan dianalisis merupakan

pilihan dari ayat-ayat yang bertemakan kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya serta ayat tersebur berurutan sehingga dikatakan semi tahlili. Dengan merujuk pada

karya-karya tafsir al-Qur’a>n yang terkait dengan topik kisah Nabi Ibrahim dan

ayahnya. Kajian teori yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah teori kisah dan munasabah. Menggunakan teori kisah karena, menurut penulis teori ini sangat cocok karena tema yang bersangkutan adalah tentang kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya, sehingga penulis berharap agar dapat menemukan ibrah dari kisah tersebut. Menyertakan teori munasabah karena, teori tersebut merupakan teori yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan surat Maryam ayat 41-45.

Ibrah dari Kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya ini mengacu kepada ketauhitan. Yang mana Nabi Ibrahim merupakan sosok yang sangat patuh kepada Allah dan memiliki ayah yang menyembah kepada berhala. Sebagai seorang anak yang mengetahui kebenaran, maka Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk kembali ke jalan yang benar (Allah). Perjuangan Nabi Ibrahim untuk mengahancurkan berhala-berhala yang merupakan sesembahan ayahnya merupakan suatu keberanian yang harus dilakukan demi kebahagiaan ayahnya, namun ayahnya menolak ajakan Nabi Ibrahim untuk kembali kepada Allah. Nabi Ibrahim merupakan sosok yang sangat penyabar, memiliki keyakinan yang kuat, dan tawakkal. Dari beberapa penafsiran para mufasir, terdapat perbedaan pendapat antara Ibnu Katsir dan Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan ayat 41 surat Maryam. Pebedaan yang mencolok terdapat pada maksud dari al-Kitab, menurut Ali

Ash-Shabuni, al-Kitab yang disebutkan adalah al-Qur’a>n.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah ... 1

B. RumusanMasalah ... 9

C. TujuanPenelitian ... 9

D. KegunaanPenelitian ... 9

E. Kerangka Teori... 9

F. KajianPustaka ... 10

G. MetodePenelitian ... 11

H. SistematikaPembahasan ... 14

BAB II TEORI KISAH DAN MUNASABAH A. Pengertian Kisah ... 16

1. Pengertian Qas}as (Kisah) ... 16

2. Macam-macam Kisah ... 18

3. Tujuan kisah ... 22

B. Muna>sabah ... 28

1. Pengertian Muna>sabah ... 26

2. Sejarah Perkembangan Muna>sabah ... 29


(8)

4. Urgensi Muna>sabah ... 33 BAB III. PENAFSIRAN DAN ANALISA SURAT MARYAM AYAT 41-45

TENTANG KISAH NABI IBRAHIM DAN AYAHNYA

A. Surat Maryam ayat 41-45dan Terjemah ... 35

B. Penafsiran Surat Maryam ayat 41-45... 36

C. Analisa Penafsiran Surat Maryam ayat 41-45 ... 51

BAB IV.Penutup

A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 64


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Al-Qur’a>n adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab, melalui malaikat Jibril yang menjadi

mukjizat dan berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia.1 Kehidupan manusia

dan segala sesuatunya telah diatur oleh Allah swt dan tertulis di dalam al-Qur’a>n. Sebagaimana Allah telah memberikan petunjuk bagi umat manusia, salah satu petunjuk-Nya adalah melalui kisah- kisah umat terdahulu. Allah swt menjadikan kisah-kisah umat tedahulu untuk memberikan pelajaran bagi umat- umat yang akan datang.

Kisah-kisah dalam al-Qur’a>n didefinisikan sebagai pemberitaan dalam al-Qur’a>n tentang peristiwa umat yang terdahulu. Al-Qur’a>n banyak memuat keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri,

dan peniggalan-peninggalan atau jejak setiap umat.2 Sebagaimana kisah yang

menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah, kisah-kisah dalam al-Qur’a>n tidak hanya bertujuan untuk menyatakan pengalaman ummat terdahulu saja. Tujuan yang paling penting dari kisah-kisah tersebut adalah peringatan tentang

1Kementerian Agama RI, Mukadimah al-Qur’a>n dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi,

2010), 8.

2Manna’ Khalil al-Kattan, Study Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, terj. Muzakkir, cet. ke 3, (Jakarta : Litera Antar Nusantara, 1973), 436.


(10)

2

berlakunya hukum Allah dalam kehidupan sosial serta baik dan buruk dalam

kehidupan manusia.3

Kisah-kisah umat pada zaman dahulu yang terdapat di dalam al-Qur’a>n merupakan gambaran kehidupan para suri tauladan, yang mana kehidupannya agar dapat dijadikan contoh oleh umat yang akan datang. Melalui kisah, al- Qur’a>n memberikan pelajaran berharga bagi manusia agar mengoptimalkan

potensi nalar dalam setiap amal.4

                                        

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'a>n itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi

kaum yang beriman.5

Kisah merupakan suatu metode pembelajaran yang memiliki daya tarik tersendiri yang dapat menyentuh perasaan dan kejiwaan serta daya pikir seseorang. Kisah memiliki fungsi edukatif yang sangat berharga dalam sebuah proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam. Islam menyadari sifat alamiah manusia, yaitu menyukai seni dan keindahan yang mampu memberikan pengalaman emosional yang mendalam, dapat menghilangkan kebosanan dan

3 Ahmad Asy- Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’a>n, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994),

59-60.

4 Novita Siswayanti, Dimensi Edukatif pada Kisah-Kisah Al- Qur’a>n, Jurnal Kajian Al-

Qur’a>n dan Kebudayaan, vol. 3 no. 1 (2010), 76.

5 Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2012),


(11)

3

kejenuhan, dan memunculkan kesan yang mendalam. Oleh karena itu Islam

menjadikan kisah sebagai salah satu metode pembelajaran.6

Dalam buku Ilmu-ilmu Al-Qur’a>n karya Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, mengatakan bahwa terdapat tiga kategori kisah dalam al-Qur’a>n, diantaranya adalah :

1. Kisah para Nabi (qas}as al-Anbiya). Al-Qur’a>n mengandung cerita tentang

dakwah para Nabi dan mukjizat-mukjizat para Rasul, sikap para umatnya

yang menentang. Marhalah-marhalah dakwah dan perkembangannya.

Menerangkan berbagai akibat yang dihadapi orang mukmin dan golongan-golongan yang mendustakan. Misalnya dalam kisah Nabi Ibrahim (QS. Ash-Shaffaat 37 : 38-99), kisah Nabi Nuh (QS. Huud 11:

25-49), dan lain-lain.7

2. Kisah tentang peristiwa masa lalu dan beberapa orang yang tidak

dipastikan kenabiannya, seperti kisah Talut dan Jalut (QS. Al-Baqarah 02 : 246-251), kisah Ashab al-Kahfi (QS. Al- Kahfi 18 : 10-26), dan

lain-lain.8

3. Kisah tentang peristiwa pada masa Nabi Muhammad saw, seperti perang

Badar dan Uhud yang diterangkan dalam surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk yang diterangkan dalam surat at- Taubah, perang Ahzab yang

6 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Logos, 1997), 97.

7 Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, ed. Fuad Hasbi Ash

Shiddieqy (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), 191-192. Atau lihat di Amru Kholid, Romantika Yusuf (Bandung : Pustaka Maghfirah, 2007), 7.


(12)

4

diterangkan dalam surat al-Ahzab, kisah tentang peristiwa Hijrah (QS. Muhammad 47 : 13), perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw yang

diterangkan dalam surat al-Isra’, dan lain-lain.9

Salah satu kisah-kisah yang tedapat di dalam al-Qur’a>n, adalah kisah dari Nabi Ibrahim dan ayahnya. Yang mana kisah dari Nabi Ibrahim dan

ayahnya terdapat ‘ibrah (pelajaran) yang dapat dijadikan contoh oleh semua

orang, khususnya bagi orang tua dan anak. Orang tua merupakan bagian yang paling penting dalam kehidupan. Oang tua adalah pendidikan pertama bagi keturunan yang ada di dalamnya. Apabila dalam suatu keluarga memiliki orang tua yang mana hubungan diantara ke duanya sangat baik, maka keluarga tersebut akan menjadi keluarga yang utuh. Begitu pula sebaliknya, apabila hubungan orang tua dalam suatu keluarga tidak baik, maka hubungan keluarga tersebut tidak baik atau bisa dikatakan hubungan keluarga yang retak. Pada zaman sekarang banyak terjadi sebuah keluarga yang memiliki perbedaan agama atau keyakinan. Dari kasus perbedaan keyakinan dalam sebuah keluarga, banyak dari mereka mengalami perpecahan, karena mungkin kuanganya, toleransi atau sikap mereka dalam mengadapi masalah tersebut. Maka dari itu, penulis berharap agar dari kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya yang berbeda keyakinan ini dapat dijadikan pelajaran atau pedoman bagi pembacanya.


(13)

5

Allah swt telah menurunkan al- Qur’a>n untuk dijadikan petunjuk bagi

ummat manusia, salah satunya tentang hubungan antara orang tua dan anak. Berikut adalah QS. At-Taubah ayat 114 yang mana ayat ini mengisahkan tentang Nabi Ibrahim dan ayahnya.

                                         

Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi

penyantun.10

Dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsi disebutkan bahwa, Qatadah mengatakan, kepada kami, bahawa Rasulullah saw pernah bersabda :

أدق و تاملك يلأ ه ىح

Yang artinya : ‚Allah telah mewahyukan kepadaku beberapa kalimat‛.11

Ats-Tsauri juga menuturkan, dari Asy-Syaibani, dari Sa’id bin jubair, dari Ibnu Abbas, ia berkata : ‚ada seorang Yahudi yang meninggal dunia, sedang ia mempunya seorang anak Muslim, tetapi ia tidak ikut pergi menghantarkan (orang tua) nya.‛ kemudian hal itu diceritakan kepada Ibnu

10 Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2012),

205.

11 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ter. M.’Abdul Ghaffar E. M. (Jakarta : PUSTAKA


(14)

6

Abbas, maka ia pun mengatakan : ‚seharusnya ia mengantarkannya, menguburkannya dan mendoakan kebaikannya selama ia masih hidup dan jika ia sudah meninggal dunia, maka ia serahkan pada keadaannya. Kemudian Ibnu

Abbas membacakan ayat di atas. Yang berarti Ibrahim tidak mendoakannya.12

Keshahihan hadis tersebut diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan njuga perawi lainnya, yaitu dari Ali ra. Ia menceritakan,

ketika Abu Thalib meniggal dunia, kukatakan: ‚Ya Rasulullah sesungguhnya

pamanmu yang sudah tua lagi sesat itu telah meninggal dunia.‛ Maka Nabi saw bersabda yang artinya: ‚pergi dan kuburkanlah dia, serta jangan berkata apapun hingga engaku datang padaku.‛13

‘Atha’ bin Abi Rabah mengatakan: ‚aku tidak meninggalkan shalat (jenazah) atau seorang dari ahlul qiblah (mengerjakan shalat ketika hidupnya), meskipun atas seorang wanita Habasyah yang hamil atas perbuatan zina, karena aku tidak pernah mendengar Allah menghalang-halangi shalat, kecuali

terhadap orang-orang musyrik. Allah swt berfirman yang artinya: ‚tidak

sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. Dan ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya.‛ Ibnu Abbas mengatakan: ‚Ibrahim masih terus memohonkan ampun untuk

12 Ibid.,

13 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ter. M.’Abdul Ghaffar E. M. (Jakarta : PUSTAKA


(15)

7

ayahnya, sehingga ayahnya meninggal dunia. Dan ketika tampak jelas bahwa

ayahnya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim pun berlebas diri darinya.14

Dalam sebuah riwayat disebutkan ketika ayahnya meninggal dunia, maka jelaslah baginya bahwa ayahnya adalah musush Allah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh mujahid, Adh-Dhahhak, Qathadah dan ulama

lainnya.15

Pemaparan kisah dalam al-Qur’a>n sering disisipi nasihat keagamaan. Nasihat itu antara lain berupa pengesahan Allah swt dan keharusan percaya

adanya kebangkitan manusia dari kubur.16

Misalnya ketika al-Qur’a>n menuturkan kisah Nabi Musa dalam surat Taha dari ayat 9-98, di tengah-tengah kisah ini yaitu ayat 50-55, disisipkan tentang kekuasaan Allah dan kebangkitan manusia dari kubur. Dan di akhir ayat tentang ke Esaan Allah. Demikian pula kisah Nabi Yusuf dalam surah Yusuf ayat 1-111. Pada kisah ini disispkan ajaran beriman kepada Allah (ayat 37), tidak mempersekutukanNya, bersyukur atas nikmat yang diberikanNya (ayat 38), pahala di akhirat, Allah itu Maha Penyayang (ayat 64), Allah akan mengakat derajat orang-orang yang dikehendakinNya, dan di akhiri dengan penjelasan bahwa al-Qur’a>n itu sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang

14 Ibid.,

15 Ibid.

16 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’a>n (Pengantar Orientasi Studi al-Qur’a>n),


(16)

8

yang beriman (ayat 111). Dengan demikian tema sentral dari ayat-ayat yang

memuat kisah dalam al-Qur’a>n adalah kisah para Nabi dan ummat terdahulu.17

Diantara para nabi, Nabi Ibrahim memiliki kedudukan yang sangat istemewa. Ia adalah nenek moyang Bani Israel, Nabi Isa, Musa dan Nabi Muhammad adalah keturunan Nabi Ibrahim. Kaum Yahudi dan Nasrani mengakui bahwa Nabi Ibrahim adalah nenek moyang para Nabi. Demikian pula kaum muslimin, khususnya orang arab. Mereka beranggapan sebagai

keturunan Nabi Ibrahim lewat putra pertamanya Ismail.18

Dalam penelitian ini, penulis akan menelaah kembali kisah Nabi Ibahim dan ayahnya dalam surat Maryam ayat 41-45, sehingga kisah tersebut dapat dijadikan pelajaran (ibrah) bagi pembacanya. Beberapa hal yang menjadi alasan kenapa penulis memilih kisah dari Nabi Ibrahim dan ayahnya dalam surat Maryam ayat 41-45, karena dalam ayat tersebut berisikan dakwah Nabi Ibrahim kepada ayahnya, yang mana ayahnya adalah seorang penyembah berhala, dan Ibrahim merupakan sosok yang memiliki kesabaran, dengan iman yang kuat dan tawakal. Dengan pendekatan teori kisah dan munas>abah terebut penuli ingin mengetahui cabang ulu>m Qur’a>n dalam sehari-hari tampak nyata dan benar-benar diamalkan. Maka, hal ini seharunya menjadi motivasi bagi pengkaji untuk mengkaji lebih jauh.

17 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’a>n (Pengantar Orientasi Studi al-Qur’a>n),

(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), 72.

18 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’a>n, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep


(17)

9

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana penafsiran surat Maryam ayat 41-45 yang berkaitan dengan kisah

Nabi Ibrahim dan ayahnya?

2. Bagaimana ibrah dari kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya?

C.Tujuan Masalah

1. Menjelaskan tentang penafsirkan surat Maryam ayat 41-45 yang berkaitan

dengan kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya.

2. Menjelaskan ibrah dari kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya.

D.Kegunaan Penelitian

Penelitian ini digunakan untuk menganalisis penerapan cabang ulu>m Qur’a>n yang diguankan oleh mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n yang berkaitan dengan kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya. Dari isni dapat diketahui sejauh mana dan bagaimana para mufasir menggunakan ulum al-Qur’a>n sebagai alat untuk menafsirkan ayat dengan tema tersebut.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan, serta pemahaman kepada masyarakat dan pembaca, khususnya kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya.

E. Kerangka Teoritik

Penelitian ini akan membahas ayat-ayat al-Qur’a>n tentang kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya, yang mana pada saat itu ayahnya merupakan penyembah berhala dan Nabi Ibrahim beusaha mengajak ayahnya untuk kembali kejalan yang benar, serta untuk mengetahui sejauh mana para


(18)

10

mengetahui suatu teori yang digunakan oleh para mufassir maka perlu dipahami terlebih dahulu cabang-cabang ulum al-Qur’a>n, khususnya yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n yang berkaitan dengan kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya. Dalam penelitian ini cabang ulum al-Qur’a>n yang digunakan adalah teori kisah (qas}as) dan munasabah. Apakah para mufassir yang ada telah menggunakan ilmu ini secara keseluruhan ataukah parsial, sehingga menghasilkan produk tafsir yang menginformasikan bahwa ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut meruapakan prinsip dasar hubungan antara Nabi Ibrahim dan ayahnya.

F. Kajian Pustaka

Berdasarkan pencarian penulis, telah banyak ditemukan karya tulis dan buku yang membahas tentang kisah Nabi Ibrahim, di antaranya adalah sebagai berikut :

Tesis karya M. Dzul Fahmi Arif, Program Study Hukum Islam yang

bejudul Pola Hubunga Orang Tua dan Anak Nabi Ibrahim dalam Al- Qur’a>n

dan Relevensinsnya dengan Hukum Anak di Indonesia. Dalam tesis ini, penulis memiliki tujuan agar mengetahui pola hubung yang terjalin antara Nabi Ibrahim dengan ayahnya (sebagai anak) dan anak- anaknya (sebagai ayah), dan menjelaskan relevansi kisah Nabi Ibrahim dalam hubungan orang tua dan anak dengan UU pengasuhan anak di Indonesi.

Selanjutnya, tesis karya Robitoh Widi Astuti yang berjudul

Komunikasi Orang Tua dan Anak Perspektif Kisah dalam Al- Qur’a>n,


(19)

11

bagaimana ragam komunikasi orang tua dan anak yang dipresentasikan oleh kisah dalam al-Qur’a>n, dan bagaimana pesan moral yang disampaikan dalam kisah tersebut.

Kemudian, mengenai kisah dari Nabi Ibrahim, terdapat pula sekripsi dari Nurul Utami Bahri, Fakultas Ilmu Tabiyah dan Keguruan, yang berjudul Nilai- Nilai Pendidikan Tauhid dalam Kisah Nabi Ibrahim (Kajian Tafsir QS. Ash- Shaffat ayat 100-110). Dalam sekripsi tersebut, penulis menyajikan

bagaimana para ulama memaknai QS. Ash- Shaffat ayat 100-110, pendapat –

pendapat para ahli tentang nilai – nilai pendidikan tauhid dalam ayat tersebut. Pentingnya pendidikan tauhid bagi orang tua adalah karena orang tua merupakan panutan dalam keluarga dan mempunyai tanggung jawab atas anak-anaknya. Orang tua yang dapat memberikan pendidikan tauhid kepada anaknya akan dapat membentuk karakter anak yang taat kepada Allah swt.

G.Metode Penelitian

1. Model Penelitian

Penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif.19 Model

penelitian kualitatif merupakan model penelitian yang ingin menghasilkan data bersifat deskriptif, yaitu berupa hasil ucapan, tulisan, dan perilaku

individu atau kelompok yang dapat diamati berdasarkan subjek itu sendiri.20

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap ibrah dari kisah Nabi Ibrahim dan

19 Metode kualitatif merupakan proses penelitian yang ingin menghasilkan data bersifat

deskriptif, yaitu berupa hasil ucapan, tulisan, dan perilaku individu atau kelompok yang

dapat diamati berdasarkan subyek itu sendiri. Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif

dan Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010), 9.

20 Sugiyono, Metodologi Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,


(20)

12

ayahnya dalam surat Maryam ayat 41-45 melalui riset kepustakaan yang sudah ada.

Penelitian ini menggunakan metode maudhu’i, metode tersebut mempunyai dua bentuk yakni:

1) Pembahasan mengenai suatu surat secara menyeluruh dan utuh

atau dengan beberapa ayat dengan kesatuan tema dengan menjelaskan maksudnya yang berisifat umum dan khusus menjelaskan korelasi antar berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga dalam surat itu terdapat satu pemahaman yang utuh dan

cermat.21

2) Menghimpun dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan

satu masalah tertentu, ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan dan selanjutnya dikaji secara maudhu’i.22

2. Sumber Data Penelitian

Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan, yang terdiri dari dua sumber yaitu :

1) Sumber primer merupaka sumber digunakan sebagai rujukan utama

yatu:

a. Tafsir Ibnu Katsir karya Ibnu Katsir

b. Safwatut Tafsir karya Syaih Muhammad Ali Ash-Shabuni

21 Abd. Al Hayy al Farmawi, Bidayah Fiy al-Tafsir al-Maudhu’i (Kairo: Hadrat

al-Ghrabiyyah, 1977), 35-36.


(21)

13

c. Tafsir Al-Misbaholeh M. Quraish Shihab

2) Sumber sekunder sebagai rujukan pelengkap, yaitu:

a. Al-Qur’a>n dan Tafsirnya, Kementrian Agama RI

b. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, Manna Khalil al-Qattan

c. Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy

d. Dimensi Edukatif pada Kisah-Kisah Al-Qur’a>n, Novita

Siawayanti

e. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, Manna Khalil Qattan.

3. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul baik data primer maupun sekunder dianalisis berdasarkan sub bahasan masing-masing. Setelah itu dilakukan telaah mendalam terkait ayat-ayat yang telah dihimpun dalam suatu tema kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya dengan menggunakan prosedur dalam metode tafsir mawdu’i. Metode tafsir tematik adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu yang dalam hal ini adalah tentang kisah

Nabi Ibrahim dan ayahnya. Lalu mencari pandangan al-Qur’a>n tentang tema

tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakan tantang kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlaq digandengkan dengan yang muqayyad dan

lain-lain. 23


(22)

14

Adapun langkah-kangkah metode tematik kontekstual adalah sebagai

berikut: pertama, menetapkan tema yang akan dibahas, yakni tentang kisah

Nabi Ibrahim dan ayahnya. Kedua, menghimpun ayat-ayat yang berkaitan

dengan tema tersebut, dalam hal ini penulis akan menganalisa surat Maryam

ayat 41-45. Ketiga, menafsirkan ayat-ayat tersebut menyertakan aspek kisah

untuk menemukan ibrah dari kisah tersebut. Kemudian, penulis juga menyertakan aspek munasabah ayat-ayat yang ditafsirkan agar menemukan

makna yang hendak dicari. Keempat, menyusun pembahasan dalam kerangka

yang sempurna sesuai problem akademis. Kemudian membuat

kesimpulan-kesimpulan.24

H.Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Bab pertama adalah pendahuluan yang mana membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang landasan teori sebagai pijakan dalam penelitian ini dengan menggunakan teori kisah (qas}as) dan munasabah terkait surat Maryam ayat 41-45. Dimana pada bab ini menjelaskan gambaran secara umum tentang teori kisah dan munasabah dalam menafsirkan ayat al-Qur’a>n.

24 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’a>n dan Tafsir (Jogjakarta: Tim Idea Press,


(23)

15

Bab ketiga mengandung penafsiran para mufassir dan analisa terhadap surat Maryam ayat 41-45 terkait kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya. Sub-sub bab yang dibahas dalam bab ketiga ini antara lain : pendapat para mufassir dalam menafsikan surat Maryam ayat 41-45. Kemudian analisa penafsiran dalam surat Maryam ayat 41-45 tersebut serta analisa ibrah dari kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya.

Bab keempat tentang kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta saran untuk penelitian selanjutnya demi kesempurnaan karya-karya selanjutnya.


(24)

BAB II

TEORI KISAH DAN MUNASABAH

Dalam penelitiaan ini penulis menggunakan teori Qas}as dari Ulumul

Qur’a>n sebagai alat untuk meneliti penafsiran para mufassir dalam menafsirkan surat Maryam ayat 41-45. Karena, menurut penulis teori Qas}as paling cocok untuk menganalisis suatu peristiwa atau kejadian yang bekaitan dengan kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya dalam surat Maryam ayat 41-45.

A. Kisah (Qas}as)

1. Pengertian Kisah (Qas}as)

Menurut bahasa, kata kisah berasal dari bahasa arab, yaitu qa}sas. Kata qa}sas sendiri merupakan jamak dari kata qis}as yang berarti mengikuti jejak

atau menelusuri bekas atau cerita (kisah).1 Kisah merupakan metode

pembelajaran yang meliliki daya tarik tersendiri yang dapat menyentuh daya fikir seseorang. Kisah memiliki fungsi edukatif yang sangat berharga dalam suatu proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam. Islam menyadari sifat alamiah manusia yang menyenangi seni dan keindahan. Sifat alamiah tersebut mampu memberikan pengalaman emosional yang mendalam dan dapat menghilangkan kebosanan serta kenejuhan dan menimbulkan kesan yang


(25)

17

sangat mendalam. Oleh karena itu, Islam menjadikan kisah sebagai salah satu

metode dalam sebuah pembelajaran.2

Suatu peristiwa yang berkaitan dengan sebab dan akibat dapat menarik perhatian para pendengar. Apabila dalam peristiwa tersebut terselip berbagai pesan dan pelajaran yang berkaitan dengan berita orang terdahulu, rasa ingin tahu merupakan faktor utama yang dapat menenamkan kesan sebuah peristiwa ke dalam hati seseorang. Apabila suatu nasihat dituangkan dalam bentuk kisah yang menarik dan menggambarkan peristiwa dalam realita kehidupan, maka akan terwujud dengan jelas tujuannya. Orang akan merasa senang mendengar, memperhatikan dengan oenuh kerinduan serta rasa ingin tahu. Pada dasarnya ia akan terpengarus dengan nasihat dan pelajaran yang tekandung di

dalamanya.3

Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’a>n surah Ali Imran ayat 62:                          

Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang

Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.4

2 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Logos, 1997), 97.

3 Manna Al- Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al- Qur’an (t.k.t.: Maktabah Wahbah, 2000),

300


(26)

18

Menurut istilah, qasas al-Qur’a>n adalah pemberitaan al-Qur’a>n tentang hal ihwal umat yang lalu, kenabian yang terdahulu, dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur’a>n banyak mengandung kejadian jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan

mempesona.5

Secara epitimologi (bahasa), al-qashah juga berarti urusan (al-amr), berita (khabar) dan keadaan (hal). Dalam bahasa Indonesia, kata itu

diterjemahkan kisah yang berarti kejadian (riwayat dan sebaganinya).6

Adapun yang disebut qashas adalah pemberitaan mengenai keadaan ummat

terdahulu, Nabi-nabi terdahulu dan peristiwa yang pernah terjadi.7

2. Macam-macam Kisah dalam al-Qur’a>n

Kisah dalam al-Qur’an memiliki berbagai macam kategorinya. Diantaranya ialah menceritakan para Nabi dan umat terdahulu, mengisahkan berbagai macam peristiwa dan keadaan dari masa lampau, masa kini, ataupun yang akan datang. Pembagian ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi waktu

dan materi.8

a. Ditinjau dari segi waktu

Ditinjau dari segi waktu, terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam al-Qur’a>n, dapat dibagi menjadi tiga macam, diantaranya adalah:

5 Ibid.

6 Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 65.

7 Ibid, hal 67.


(27)

19

1) Kisah ghaib pada masa lalu

Kisah ghaib pada masa lalu menceritakan tentang kejadian-kejadian ghaib yang sudah tidak dapat ditangkap oleh panca indera yang terjadi pada masa lampau, sepeti kisah Maryam (Ali Imran : 44), kisah Nabi Nuh (surat Hud : 25-49), dan kisah ashab al-Kahf (surat al-Kahfi :

10-26).9

2) Kisah ghaib pada masa kini

Kisah ghaib pada masa kini adalah kisah yang menerangkan keghaiban pada masa sekrang (meski sudah ada sejak dahulu dan masih akan tetap ada sampai masa yang akan datang) dan yang menyingkap rahasia orang-orang munafik. Seperti kiah yang menerangkan kaum munafik (surat at-Taubah : 107), kisah yang menerangkan keadaan manusia saat terjadinya hari akhir (surat al-Qariat : 1-6), dan pencabutan

nyawa manusia oleh para malaikat (surat an-Nazi’at : 1-9).10

3) Kisah ghaib pada masa yang akan datang

Kisah ghaib pada masa yang akan datang ialah kisah-kisah yang menceritakan beberapa peristiwa yang akan datang yang belum terjadi pada waktu turunnya al-Qur’a>n. Kemudian peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Oleh karena itu, pada masa sekarang merupakan peristiwa yang dikisahkan telah terjadi, seperti jaminan Allah swt terhadap keselamatan

9 Ibid., 296-297.


(28)

20

Nabi Muhammad saw dari penganiayaan orang-orang yang mengancam akan membunuhnya pada saat itu (surat al-Maidah : 64), kemenangan bangsa Romawi atas Persia (surat ar-Rum : 1-4), dan kebenaran mimpi Nabi Muhammad yang dapat masuk kedalam Masjidil Haram bersama para sahabat dengan keadaan sebagian dari mereka bercukur rambut dan

yang lain tidak (surat al-Fath : 27).11

b. Ditinjau dari segi materi

Jika ditinjau dari segi materi, maka kisah dalam al-Qur’a>n dibagi menjadi tiga macam, diantaranya adalah :

1. Kisah para Nabi, tahapan dan perkembangan dakwahnya, berbagai

mukjizat yang dapat memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, dan akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakannya, seperti kisah nabi Nabi Ibrahim (surat as-Saffat : 38-99, al-Anbiya : 57-60), kisah Nabi Isa (surat al-Maidah : 110-120), dan kisah Nabi Musa (surat al-Maidah : 21-16).

2. Kisah orang-orang yang belum tentu Nabi dan sekelompok manusia

tertentu, seperti Qarun yang mengkufuri nikmat (surat al-Qasas : 76-81), kisah ashab Kahf (surat Kahfi : 10-26), dan kisah Talut (surat al-Baqarah : 246-252).


(29)

21

3. Kisah peristiwa dan kejadian pada masa rasulullah saw, seperti Perang

Badar dan Uhud (surat Ali Imran), Perang Huanain dan Tabuk (surat at-Taubah), dan perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw (surat al-Isra’).12

Pemaparan kisah dalam al-Qur’a>n memiliki cara yang spesifik, salah satunya ialah aspek seni. Di samping aspek seni, perhatian aspek-aspek keagamaan sangatb mendominasi da dalam kisah. Teknik pemaparan ini dapat di pilih-pilih, seperti berawal dari kesimpulan, ringkasan cerita, adegan klimaks, tanpa pendahuluan, adanya keterlibatan imajinasi manusia, dan

penyisipan nasihat keagamaan.13

Menurut Muhammad Abduh al-Qu’a>n tidak bermaksud menerangkan materi sejarah atau menuturkan peristiwa-peristiwa secara kriminologis. Pengurutan peristiwa itu disesuakan dengan gaya bahasa yang dapat mempengaruhi hati, menggerakkan pikiran, dan menghentakkan jiwa manusia

agar mereka mau mengambil pelajaran.14

Kisah dalam al-Qur’a>n banyak yang di susun secara garis besarnya saja. Adapun kelengkapannya diserahkan kepada imajinasi manusia. menurut

penelitian W. Montgomery Watt dalam bukunya Bell’s Intoduction to the

Qur’a>n, al-Qur’a>n di susun dalam ragam bahasa lisan (oral). Untuk

12 Mustafa Muhammad Sulaiman, Al-Qissah fi al-Qur’a>n al-Karim wa Thara Haula min

Syabbaha wa ar-Radd ‘Alaiha(Mesir : Matba’ al-Amanah, 1994),21-22.

13 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’a>n (Pengantar Orientasi Studi al-Qur’a>n), ed.

Musjaffa’ Maimun, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1997), 67..


(30)

22

memahaminya hendaknya dipergunakan (tambahan) daya imajinasi yang dapat melengkapi gerakan yang dilukiskan oleh lafal-lafalnya. Ayat-ayat yang

mengandung unsur bahasa ini, jika dibaca bengan penyertaan dramtic action

yang tepat, niscaya akan dapat membantu pemahaman. Sebenarnya gambaran yang dramatika yang berkualitas ini merupakan ciri khas gaya bahasa al-Qur’a>n.15                         Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha

Mendengar lagi Maha Mengetahui".16

Pada kalimat wa idh yarfa’ Ibrahim al-Qa’id min al-bait wa Isma’il

dalam imajinasi seseoang tergambar suatu pentas yang terdidir dari dua tokoh, yaitu Ibrahim dan Isma’il. Dengan background Baitullah (Ka’bah).17

3. Tujuan Kisah dalam al-Qur’a>n

Tujuan kisah dalam al-Qur’a>n menjadi bukti yang kuat umat manusi bahwa al-Qur’a>n sangat sesuai dengan kondisi mereka, karena sejak kecil sampai dewasa dan tua sangat suka dengan kisah. Apalagi kisah tersebut memiliki tujuan yang ganda, yaitu pengajaran dan pendidikan juga berfungsi

15 W. Montgomery Watt, Bell’s Intoduction to tha Qur’a>n (Edinburg: The University

Press, 1970), 60.

16 Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2012), 20.


(31)

23

sebagai hiburan. Bahkan disamping disamping tujuan yang mulia itu, kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam bahasa yang sangat indah dan menarik.

Menjadikan orang yang mendengar dan membacanya sangat menikmatinya.18

Pengungkapan yang demikian sengaja Allah buat dengan tujuan yang sangat mulia, yakni menyeru umat kejalan yang benar demi keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Apabila dikaji secara seksama, maka diperoleh gambaran bahwa dalam garis besarnya tujuan pengungkapan kisah dalam al-Qur’an ada dua macam, yaitu tujuan pokok dan tujuan

skunder.19

Menurut Sayyid Qutub, tujuan kisah dalam al-Qur’a>n adalah:20

1. Untuk menetapkan bahawa al-Qur’a>n adalah benar-benar wahyu dari

Allah dan Muhammad adalah benar-benar utusan Allah yang ummi, ia tidak pandai baca tulis dan tidak pernah belajar kepada pendeta Yahudi dan Nasrani, sebagaimana yang telah dituduhkan oleh orang-orang yang tidak menyukainya.

2. Untuk menerangkan bahwa semua agama samawi sejak dari Nabi Nuh

sampai kepada Nabi Muhammad saw semuanya bersumber sama, yaitu dari Allah swt. Dan semua ummat yang beriman merupakan umat yang

18 Nasarudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),

230.

19 Ibid.

20 Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’a>n (Surabaya: UIN


(32)

24

satu dan bahwa Allah swt yang Maha Esa adalah Tuhan bagi semuanya.21

Hal ini tercantum dalam aurat al-Anbiya’ ayat 48.

          

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang

bertakwa.22

3. Untuk menjelaskan bahwa agama samawi itu asasnya satu, yaitu

mentauhidkan Allah swt. Sebagaimana terdapat dalam surat Hud ayat 50.                             Dan kepada kaum Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia.

Kamu hanyalah mengada-adakan saja.23

4. Untuk menerangkan bahwa misi para nabi dalam berdakwah Allah sama

dan sebutab kaumnyapun sama, serta bersumber dari yang sama. Dengan demikian, cara yang ditempuh dalam dakwah juga sama. Sepeti tecantum dalam QS. Hud ayat 25, 50, 60 dan 62.

5. Untuk menjelaskan bahwa antara agama Nabi Muhammad saw dan Nabi

Ibrahim as khususnya, dan dengan agama Bani Israil pada umumnya

21 Ibid.,276

22 Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2012),

326.

23 Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2012),


(33)

25

terdapat kesamaan dasar serta memiliki hubungan yang erat. Hal ini sebagaimana tersirat dalam kisah Nabi Ibrahim, Musa, Isa dan lain-lain

yang diulang-ulang ceritanya dalam al-Qur’a>n.24

6. Untuk mengungkapkan adanya janji pertolongan Allah kepada para

Nabinya dan menghukum orang-orang yang mendustakannya. Seperti dalam surat al-Ankabut ayat 14.

                      

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka

mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang alim.25

7. Untuk menjelaskan adanya nikmat dan karunia Allah swt kepada para

Nbai dan semua utusan dan orang-orang pilihan-Nya. Seperti kisah Nabi Dawud, Nabi Ayyub, Nabi Ibrahim, Nabi Sulaiman, Maryam, Zakaria, Nabi Yunus, Musa, dan lain-lain.

8. Untuk mengingatkan anak cucu Adam (Bani Adam) atas tipu daya syetan

yang merupakan musuh abadi bagi manusia.26

Menurut Nasarudin Baidan, maksud dari tujuan pokok kisah dalam al-Qur’a>n ialah merealisir tujuan umum yang dibawa oleh al-al-Qur’a>n untuk menyeru dan memberi petunjuk kepada manusia ke jalan yang benar. Agar

24 Ibid.,277.

25 Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2012),

597.

26 Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’a>n (Surabaya: UIN


(34)

26

mereka selamat di dunia dan akhirat.27 Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki

menyatakan bahwa kisah dalam al-Qur’a>n mempunyai tujuan yang tinggi. Tujuan tersebut ialah mananamkan nasihat dan pelajaran yang dapat diambil

dari peristiwa yang lalu.28

Sedangkan yang dimaksud dengan tujuan sekunder kisah dalam al-Qur’a>n adalah :

1. Untuk menetapkan bahwa Nabi Muhammad saw benar-benar menerima

wahyu dari Allah swt, buakan dari orang-orang ahli kitab seperti Yahudi dan Nasrani. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah surat Ali Imran ayat

44, surat Yusuf ayat 10, dan surat Taha ayat 99.29

2. Untuk pelajaran bagi umat manusia. Hal ini terdapat dua aspek. Pertama,

menjelaskan kekuasaan Allah swt dan kekuatan-Nya, memperlihatkan mermacam-macam azab dan siksaan yang pernah ditimpakan kepada

umat-umat terdahulu akibat kesombongan, keangkuhan, dan

pembangkangan terhadap kebenaran.30 Aspek kedua ialah,

menggambarkan kepada manusia bahwa misi agama yang dibawa oleh para Nabi sejak dulu hingga sekarang adalah sama. Misi tersebut ialah, mentauhidkan Allah swt dimanapun berada. Kaidah-kaidah tauhid yang

27 Nasarudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),

231.

28 Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, Keistimewan-keistimewaan al-Qur’a>n, ter. Nur

Faizin, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001), 46.

29 Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 231-232.


(35)

27

disampaikan tidaklah berbeda satu sama lain dan tidak pula berubah

sedikitpun.31

3. Membuat jiwa Nabi Muhammad saw tentram dan tegar dalam berdakwah.

Dengan dikisahkan kepadanya berbagai bentuk keingkaran dan kedurhakaan yang dilakukan oleh ummat-umat di masa lalu terhadap para Nabi dan ajaran-ajaran yang di bawa mereka. Maka Nabi Muhammad saw merasa lega karena apa yang dialaminya dari bermacam-macam cobaan, ancaman, dah siksaan dalam bedakwah juga pernah dirasakan oleh para Nabi sebelumnya. Bahkan cobaan tersebut lebih keras dan kejam daripada

yang dialami oleh Nabi Muhammad saw.32

Dengan demikian akan timbul imajinasi dalam dirinya bahwa kesukaran tersebut tidak hanya dia yang merasakan, melainkan para Nabi sebelumnya juga merasakannya dan bahkan ada di antara mereka yang dibunuh oleh kaumnya sendiri, seperti Nabi Zakariya, Nabi Yahya dan lain

sebagainya.33 Selain itu, mereka tetap sabar dan ulet serta tetap semangat

dalam menyeru umat ke jalan yang benar. Oleh karena itu, Allah swt menasehati Nabi Muhammad saw agar senantiasa bersikap sabar dan berlapang dada dalam menghadapi berbagai halangan dan hambatan yang

ditujukan oleh umat kepadanya.34

31 Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 235.

32 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), juz 1, 132.

33 Ibid.,132.


(36)

28                                          

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta

disegerakan (azab) bagi mereka.35

4. Mengkritik para ahli kitab terhadap berbagai keterangan yang mereka

sembunyikan tentang kebenaran Nabi Muhammad saw dengan mengubah isi kitab mereka. oleh karena itu al-Qur’a>n menentang mereka supaya mengemukakan kitab Taurat dan membacanya jika benar, seperti

tercantum dalam surat Ali Imran ayat 93.36

5. Menanamkan pendidikan akhlak al-Karimah dan mempraktikkannya.

Karena keterangan kisah-kisah yang baik itu dapat meresap dalam hatinurani dengan mudah dan baik. Selain itu dapat mendidik eseorang

untuk meneladani yang baik dan menghindari yang buruk.37

B. Muna>sabah

1. Pengertian

Secara epistimologi, istilah muna>sabah berasal dari kata بسن yang

mengandung arti pendekatan atau mirip. Dari segi etimologi tersebut diperoleh sebuah gambaran bahwa muna>sabah terjadi antara dua hal yang

35 Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2012),

503.

36 Baidan, Wawasan Baru, 237.


(37)

29

mempunyai hubungan atau pertalian baik dari fisik maupun maknannya.38

Nashruddin baidan mengemukakan bahwa, Al-Alma’i mendefinisikan muna>sabah sebagai ‚pertalian antara dua hal dalam aspek apa pun dari

berbagai aspeknya.‛ Sedangkan menurut Manna al-Qattan, muna>sabah

mengandung pengertian ada aspek hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam himpunan beberapa ayat, maupun hubungan surat dengan surat yang

lainnya.39

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa muna>sabah adalah keterkaitan dan keterpaduan hubungan antara bagian-bagian ayat, ayat-ayat, dan surat-surat dalam al-Qur’a>n. Dalam rangka memahami ayat diperlukan muna>sabah agar dapat diketahui keterkaitan dan keterpaduan antara ayat yang

sebelum dan sesudahnya begitu juga antara surah dengan surah yang lain.40

2. Sejarah Perkembangan Muna>sabah

Ilmu muna>sabah merupakan kajian yang cukup penting dalam ruang lingkup ulum al-Qur’a>n. Karena itu banyak ulama tafsir terdahulu yang mencurahkan segala perhatiannya pada kajian ini. Awal mula munculnya kajian tentang muna>sabah tidak diketahui secara pasti, namun berdasarkan

penuturan Nasarudin Baidan, ‚dari literatur yang ditemukan, para ahli

cenderung berpendapat bahwa kajian ini dimunculkan oleh Abu Bakr

38 Baidan, Wawasan Baru, 183.

39 Manna Al- Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al- Qur’a>n , ter. Muzdakir AS.(Bogor: Pustaka

Litera Antarnusa, 2011), 138.

40 Kementrian Agama RI, Muqaddimah al-Qur’a>n dan tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi,


(38)

30

Abdullah bin Muhammad al-Naysaburi di kota Baghdad sebagaimana diakui

oleh Abu al-Hasan al-Sahrabani seperti dikutip oleh Alma’i.‛41 Al-Syuyuti

juga mengutarakan pendapat yang serupa. Dari pendapat terseut dapat diambil sebuah informasi bahwa kajian tentang ilmu munasabah sudah berkembang sejak abad ke-4 H. Ini bersamaan dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman yang lain yakni pada abad-abad I sampai dengan IV.

Benih-benih ilmu munasabah ini sudah ada sejak zaman Nabi, dari para ulama tafsir terdahulu pasti sudah paham bagaimana ilmu munasabah ini. Pada masa diturunkannya al-Qur’a>n, Nabi telah memberikan isyarat adanya keserasian antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam al-Qur’a>n. Seperti penafsiran Nabi pada kata zhulm dalam ayat 82 ayat al-An’am dengan syirik

yang terdapat dalam ayat 13 surah Luqman.42 Penafsiran Nabi yang demikian

dapat ditemukan dalam kitab tafsir bi al-ma’thur seperti tafsir at-Thabari. Dalam kitab tafsir tersebut, seperti yang dijelaskan oleh al-Zarqani dan dikutip oleh Nasharuddin Baidan, dijelaskan bahwa kata Dzalimin dalam ayat 124 surah al-Baqarah ditarsirkan dengan ‚antek-antek (ahl) penganiyayaan dan syirik.‛43

Pada abad-abad ke I sampai dengan ke III hijriyah, ilmu munasabah ini belum dibahas secara khusus dan sistematis oleh para ulama. Satu karya yang kemudian muncul dengan pembahasan ilmu munasabah secara khusus dan

41

Baidan, Wawasan Baru, 185.

42

Ibid, 186.

43


(39)

31

sistematis adalah Durat al-Tanzil wa ghurrah al-Ta’wil karya Kitab

al-Iskafi (w 420 H). Karya ini dikategorikan kitab tafsir tertua dalam bidang munasabah ini. Setelah itu diikuti oleh karya Taj al-Qurra’ al-Karmani (w.505

H) yang berjudul al-Burhan fi Tawjih Mutasyabih al-Qur’a>n. Pada periode

berikutnya muncul kitab al-Burhan fi Munasabat Tartib Suawar al-Qur’a>n

karya Abd Ja’far ibn al-Zubair al-Andalusi. Kemudian Burhan al-Din al-Biqa’i menulis pula kitab khusus tentang munasabah yang berjudul Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar. Dari sekian kitab yang ada, para ulama cenderung berpendapat bahwa karya al-Biqa’i lah yang tampak lebih lengkap.

3. Bentuk-bentuk Munasabah

Ada beberapa bentuk munasabah yang masing-masing ulama mempunyai pikiran yang berbenda-beda. Secara umum, bentuk-bentuk munasabah dibagi menjadi tiga, antara lain:

1. Munasabah antara bagian-bagian dalam satu ayat

2. Munasabah antara ayat dengan ayat, yaitu kaitan ayat dengan ayat

sebelumnya

3. Munasabah antar surah dengan surah

Sedangkan Manna al-Khattan menjelaskan bahwa munasabah itu terjadi antara ayat dengan ayat. Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya. Terkadang munasabah juga terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara. Selain itu, munasabah juga


(40)

32

terjadi antara satu surah dengan surah yang lain dan antara awal surah dengan

akhir surah.44

Selanjutnya Quraish Shihab dengan karya disertasinya yang berjudul Nazm ad-Durar li al-Biqa’i tahqiq wa dirasah membagi bentuk-bentuk munasabah menjadi tujuh bagian, yang kemudian dikutip oleh Nasharuddin Baidan sebagai berikut:

1. Munasabah antar surat dengan surat, seperti munasabah surat

al-Fatihah, al-Baqarah dan Ali Imran. Ketiga surah ini ditempatkan secara berurutan dan menunjukkan bahwa ketiga surah ini mengacu kepada satu tema tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh as-Suyuti bahwa al-Fatihah mengandung tema sentral ikrar ketuhanan, perlindungan kepada Tuhan, dan terpelihara dari agama Yahudi dan Nasrani. Sedangkan surah al-Baqarah mengandung tema sentar pokok-pokok (aqidah) agama, sementara Ali Imran mengandung tema sental menyempurnakan maksud yang terdapat dalam pokok pokok

agama itu.45

2. Munasabah antar nama surah dengan tujuan turunnya. Keserasian itu

merupakan inti pembahasan surah tersebut serta penjelasan menyangkut tujuan surah itu. Sebagaimana diketahui dalam urah al-Baqarah yang berarti lembu betina. Cerita tentang lembu betina yang

44 Manna Al- Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al- Qur’an, 142.

45 Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti, Asrar Tartib al-Qur’an, ad. ‘abd al-Qadir


(41)

33

terdapat dalam surat itu pada hakikatnya menunjukkan kekuasaan Tuhan dalam membangkitkan orang-orang yang sudah mati, sengga dengan demikian tujuan dari surah al-Baqarah adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan pada hari kemudian.

3. Munasabah antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat.

Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama, munasabah antara satu kalimat dengan

kalimat lain dalam satu ayat yang menggunakan huruf athf. Kedua,

munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam satu ayat tanpa menggunakan huruf athf.

4. Munasabah antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surat.

5. Munasabah antara penutup ayat dengan isi ayat tersebut

6. Munasabah awal uraian surat dengan akhirnya.

7. Munasabah antara akhir suatu surah dengan awal surah berikutnya.

4. Urgensi Munasabah

Pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antara ayat-ayat itu

bukanlah hal yang tawqifi (tidak dapat diganggu gugat karena telah

ditetapkan oleh Rasul), tetapi berdasarkan ijtihad para mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap mu’jizat al-Qur’a>n, rahasia retorika dan segi keterangannya yang mandiri. Apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat diterima. ‘Izz Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa: ‚munasabah adalah ilmu yang baik, tetapi dalam menetapkan


(42)

34

keterkaitan antara kata-kata secara baik itu disyaratkan hanya dalam hal yang awal dan akhirnya memang bersatu dan berkaitan. Sedang dalam hal yang mempunyai sebab yang berlainan, tidak disyaratkan adanya hubungan antara

yang satu dengan yang lain.46

Melihat uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembahasan munasabah dalam al-Qur’a>n sangat penting. Apalagi bagi mereka-mereka yang mencurahkan segenap perhatiannya untuk mendalami makna ayat-ayat al-Qur’a>n. Berikut urgensi diketahuinya ilmu munasabah:

1. Untuk memahami secara mendalam dalam al-Qur’a>n adalah satu

kesatuan yang utuh dalam uraian kata-kata yang harmonis dengan makna yang kokoh, tepat dan akurat sehingga sedikitpun tidak ada cacat

2. Agar seseorang semakinyakin bahwa al-Qur’a>n adalah benar-benar

kalam Allah, tidak hanya teksnya melainkan susunan dan urutan ayat-ayat dan suratnya tas petunjuk-Nya

3. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan

al-Qur’a>n

4. Agar seseorang dapat merasakan suatu mukjizat yang luar biasa

dalam susunan ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’a>n.47

46 Manna Al- Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al- Qur’a>n, 139.


(43)

BAB III

PENAFSIRAN DAN ANALISA SURAT MARYAM AYAT 41-45

MENGENAI KISAH NABI IBRAHIM DAN AYAHNYA

A.Surat Mayam ayat 41-45 dan Terjemah











































































































































































Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan

lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: "Wahai

bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya


(44)

36

aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha

Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan".1

B.Penafsiran Surat Maryam ayat 41-45

  





   

Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'a>n) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan

lagi seorang Nabi.2

Menurut Ibnu Katsir, “Allah swt berfirman kepada Nabi Muhammad saw, bahwa ceritakanlah kisah Ibrahim di dalam al-Kitab dan bacakanlah kisah ini kepada kaummu yang menyembah berhala. Dan ceritakanlah kepada mereka sebagaian dari kisah Ibrahim, kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, yang merupakan bapak moyang bangsa Arab, dan mereka menduga bahwa diri mereka berada dalam agamanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi, ia hidup bersama ayahnya dan melarang ayahnya menyembah berhala. Untuk itu Ibrahim mengatakan seperti

yang disitir oleh firman-Nya.3

Yakni sesuatu yang tidak dapat memberikan manfaat kepadamu, tidak

pula dapat menolak suatu mudarat pun darimu.4

Menurut Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan ayat 41 dari surat

Maryam adalah, sebagai berikut: Ceritakanlah kisah Ibrahim di dalam Alkitab

(al-Qur’an) ini. Sebutkanlah hai Muhammad dalam al-Qur’an yang agung ini

1 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2012),

308.

2

Ibid.,

3 Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir Jilid I6, ter. M. ‘Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka

Imam Syafi’i, 2009), 155.


(45)

37

kisah Khalil ar-Rahman, Ibrahim as. Sesungguhnya ia adalah seorang yang

sangat membenarkan lagi seorang nabi. Dia selalu jujur dan sangat jujur, dia

seorang shiddiq dan nabi. Tujuannya adalah mengingatkan bangsa Arab akan

kelahiran Ibrahim yang mereka jadikan panutan dalam menyembah berhala,

ternyata adalah imam tauhid. Di membawa ajaran tauhid yang suci murni sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad.”5

Sedangkan, menurut M. Quraish Shihab. Ceritakanlah (hai Muhammad)

kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah

seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.6

Kata

ً قيِّدِص

merupakan bentuk hiperbola dari kata

قدص

(benar), yakni

seorang yang selalu benar dalam sikap, ucapan dan pebuatannya, dia yang

dengan pengertian apapun selalu benar dan jujur, tidak ternodai oleh kebatilan,

tidak pula mengambil sikap yang betentangan dengan kebenaran, serta selalu

tampak dipelupuk mata mereka yang haq. Shiddiq juga berarti orang yang

selalu membenarkan tuntunan-tuntunan Ilahi, pembenaran malalui ucapan dan

pengamalannya.7

Selanjutnya ayat ini mensifati Nabi Ibrahim dengan kata

اّيِبَن

(nabiyyan)

yakni manusia yang dipilih Allah untuk memperoleh bimbingan sekaligus

ditugasi untuk menuntun manusia menuju kebenaran Ilahi. Ia memiliki

5 As-Shabuni, Safwatut Tafsir, 344.

6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 308.


(46)

38

kesungguhan, amanat, kecedasan dan keterbukaan sehingga mereka

menyampaikan segala sesuatu yang harus disampaikan. Mereka adalah

orang-orang yang terpelihara identitas mereka sehingga tidak melakukan dosa atau

pelanggaran apapun.8

Kata

اّيِبَن

terambil dari kata (أ ن) naba’ yang berarti berita yang penting, seorang yang mendapat wahyu dari Allah dinamai demikian, karena ia

mendapat berita penting dari Allah swt. Bisa juga kata nabiyy terambil dari

kata و نلا (an-nubuwwah) yang bermakna ketinggian. Ini karena ketinggian

derajatnya di sisi Allah swt.9

  ً  ً   ً   ً  ً   ً  ً  ً   ً  ً   ً  ً  ً  ً  ً  ًً

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan

tidak dapat menolong kamu sedikit pun?10

Dalam hal ini, Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas merupakan

penekanan terhadap sesembahan yang tidak dapat memberikan manfaat dan

mudarat. Beliau berpendapat bahwa: “yakni sesuatu yang tidak dapat

memberikan manfaat kepadamu, tidak pula dapat menolak suatu mudharat pun darimu”.11

Ingatlah ketia ia berkata kepada bapaknya: wahai bapakku mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak

8 Shihab, Tafsir Al-Misbah, 193.

9 Ibid.,

10 Al-Qur’an, 19 : 42. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 308. 11


(47)

39

dapat menolong kamu sedikit pun. Ibrahim memanggil ayahnya dengan lemah lembut untuk merayunya agar mau memeluk agama Islam dan beriman: Ayah,

kenapa engkau menyembah batu yang tidak bisa mendengar maupun melihat

serta tidak mampu mendatangkan manfaat dan menolak bahaya darimu?.12

Ayat yang lalu memerintahkan Nabi saw mengingatkan tentang

ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang Nabi Ibrahim as. Ayat ini menyebut

secara khusus satu peristiwa yang berkaitan dengan beliau yakni ketika ia

dengan lemah lembut berkata kepada orang tuanya sambil memanggilnya dengan panggilan mesra: “wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yakni berhala-berhala atau bintang-bintang yang tidak dapat

mendengar dan juga tidak dapat melihat serta tidak dapat menolongmu atau

mendatangkan manfaat sedikit pun kepadamu dan tidak juga dapat menampik

mudharat atasmu? Bukankah yang disembah adalah sesuatu yang lebih tinggi

kedudukannya dan jauh lebih mampu dari pada menyembahnya?.”13

Kata

هيبأ

menurut Quraish Shihab dalam mentejemahkan kata ini

adalah dengan orang tuanya. ini serupa dengan terjemahannya untuk ayat 74

dalam surah al-An’am. Di sana antara lain ia kemukakan bahwa bebeda-beda

12 Ibid.,


(48)

40

pendapat ulama menyangkut Azar yang disebut sebagau

بأ

Nabi Ibrahim as,

apakah ia ayah kandung beliau atau pamannya.14

Salah satu alasan yang menolak memahami kata

هيبأ

dalam arti

bapak kandung adalah bahwa jika Azar adalah bapak kandung Nabi Ibrahim,

maka itu berarti ada dari leluhur Nabi Muhammad saw. Ini ditolah oleh banyak

ulama dengan alasan bahwa sekian banyak riwayat yang menyatakan

kebersihan dan kesucian leluhur Nabi saw. Beliau bersabda; “aku dilahirkan

melalui pernikahan bukan perzinaan sejak Adam hingga aku dilahirkan oleh bapak dan ibuku. Aku tidak disentuh sedikit pun oleh kekotoran Jahiliah” (HR. Ibn „adi dan ath-Thabarani malalui „Ali Ibn Abi Thalib). Ini berarti bahwa tidak seorang pun dari leluhur beliau yang mempersekutukan Allah swt, dan

dengan demikian jika memang Azar yang mebuat dan menyembah patung itu

adalah ayah kandung Nabi Ibrahim. Sedang Nabi Ibrahim adalah leluhur Nabi

Muhammad saw, maka itu berarti ada leluhur beliau yang pernah

mempersekutukan Allah swt.15

Terlepas dari perdebatan perbedaan pedapat para ulama menyangkut hal ini, apa yang dikemukakan oleh penafsir Syi’ah, Thabathabi’I

sangat wajar untuk dipertimbangkan. Menurutnya, al-Qur’an menggunakan

kata

دلو

(walid) untuk makna “ayah kandung”, sedang kata

بأ

(ab) digunakan

14 Ibid.,


(49)

41

dalam al-Qur’an untuk makna “kakek” atau “paman” dan lain-lain (baca a.l,

QS al-Baqarah : 133, Yusuf :38).16

Menurut beliau, apa yang dikemukakan di atas benar adanya, tetapi

perlu dicatat bahwa al-Qu’an menggunakan juga kata (ab) untuk menunjuk

orang tua kandung misalnya QS. Yusuf : 4 (

ًِهيِبأً ُفُسوُيًَلاَقًْذِإ

). Disisi lain perlu

juga dicatat bahwa merujuk kepada al-Qur’an, Nabi Ibrahim as menggunakan

kedua kata tersebut. dalam QS. Ibrahim : 41, beliau menggunakan kata (

ً يَدِلاَو

)

untuk menunjuk kepada ibu bapaknya.17

As-Sya’rawi dalam tafsirnya setelah membuktikan bahwa kata

بأ

digunakan untuk menunjuk ayah kandung atau paman, ia mengemukakan

biasanya bila kata (ab) dirangkaikan dengan namanya, maka yang dimaksud

adalah selain ayah kandung. Kalau ada yang akan bertanya kemana ayah

kandung seseorang, maka cukup sudah jika ia bertanya: Ke mana ayahmu?

Tetapi kalau yang ditanyakan selain ayah kandung, maka di sini pertanyaan

harus disertakan dengan nama yang bersangkutan. Nah, ayat al-An’an itu

menggunakan (ab) dalam arti ayah sambil menyebut nama yakni Azar. Dengan

demikian yang bersangkutan bukan ayah kandung Nabi Ibrhaim as. Demikian

menurut ulama Mesir itu ketika menafsirkan ayat al-An’am. Apakah itu berarti

bahwa yang dimaksud dengan (abihi) pada ayat surat Maryam ini, adalah ayah

16 Ibid, 195.


(50)

42

kandung Nabi Ibrahim as, karena kata tersebut tidak dirangkaikan dengan

namanya, sepeti dalam surah al-An’am, hal itu dinilai tidak jelas oleh Quraish

Shihab, karena hingga penafsiran surah ini, tafsir as-Sya’rawi untuk suah ini

belum terbit.18

Kata

تبأ

(abati) terambil dari kata

بأ

yang dirangkaikan dengan huruf

ta’ yang berfungsi sebagai pengganti huruf ya’ yang menunjukkan makna kepemilikan. Sehingga abati bisa diartikan ayahku/bapakku. Kata ini

mengandung makna kelemah lebutan dan memberi kesan merengek untuk

meminta sesuatu kepada orang tua,19

Nabi Ibrahim pada yat ini tidak secara tegas menyebut

berhala-berhala sebagai sembahan orang tuanya, tetapi menyebut sifatnya yakni tidak

dapat mendengar dan melihat, sehingga dengan demikian, beliu sekaligus

membuktikan bahwa apa yang disembahnya itu sama sekali batil dan tidak

beralasan. Pertama, karena yang disembah mestinya adalah suatu yang

kedudukannya lebih tinggi dari yang menyembahnya, sedang manusia jauh

lebih tinggi kedudukannya dari berhala. Bukankah manusia yang mebuat

berhala-berhala itu dan bukankah apa yang disembah ini tidak dapat

mendengar dan melihat. Kedua, sesuatu yang disembah adalah yang

diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang menyembahnya, mendengar

permohonannya dan melihat keadaannya. Apa yang disembah oleh orang tua

18 Shihab, Tafsir Al-Misbah, 195.


(51)

43

Nabi Ibrahim itu, sama sekali tidak memenuhi syarat kelayakan untuk

disembah, sebagaimana ditegaskan oleh akhir ayat di atas.20

   

   



Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu

pengetahuan yang tidak datang kepadamu.21

Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa jika aku berasal dari

sulbimu (keturunanmu) dan kamu pandang diriku lebih kecil daripadamu

karena aku anakmu, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya aku telah

dianugerahi ilmu dari sisi Allah ayng tidak diketahui olehmu dan kamu tidak

memilikinya sama sekali.22

ًًِّوَسًا طاَرِصًَكِدَْأً ِِْعِب تاَف

maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan

yang lurus.23

Yaitu jalan yang lurus yang dapat mengantarkan seseorang untuk

meraih cita-cita yang didambakan dan menyelamatkannya dari hal yang

menakutkan.24

Menurut Ali Ash-Shabuni: “Ingatlah ketia ia berkata kepada

bapaknya: wahai bapakku mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun. Ibrahim memanggil ayahnya dengan lemah lembut untuk merayunya agar mau

20 Shihab, Tafsir Al-Misbah, 196.

21 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya,308.

22 Katsir, Tafsir Ibn Katsir, 155.

23 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya,308.


(52)

44

memeluk agama Islam dan beriman: Ayah, kenapa engkau menyembah batu

yang tidak bisa mendengar mamupun melihat serta tidak mampu mendatangkan manfaat dan menolak bahaya darimu?.”25

Wahai bapakku sesungguhnya telah datang kepadaku sebagai ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Ibrahim mengulang nasihat dengan halus dan tidak mengatainya sebagai orang yang tidak bodoh sehingga

menyembah berhala. Ibrahim betindak halus dan lembut dalam perkataanya.

Yakni telah datang kepadaku ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya yang suci

yang tidak engkau ketahui. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan

kepadamu jalan yang lurus. Terimalah nasehatku wahai ayah dan taatlah

kepaku, maka aku tunjukkan engkau ke jalan yang lurus yang membawa

keselamatan dari kebinasaan, yaitu agama Allah yang tidak ada penyelewengan

padanya.26

Sedangkan menurut M.Quraish Shihab. Setelah Nabi Ibrahim

mengingatkan ayahnya tentang ketidakmampuan berhala bahkan keadaannya

yang justru lebih lemah dari manusia karena ia tidak dapat melihat dan

mendengar, maka kini ia berusaha meyakinkan ayahnya bahwa apa yang

sedang ia sampaikan dan akan disampaikannya adalah kebenaran mutlak.

Dengan mengulangi panggilan mesranya wahai bapakku, Nabi Ibrahim

melanjutkan sambil mengukuhkan ucapannya bahwa sesungguhnya telah

datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu, yakni aku telah

memperoleh ilmu pengetahuan tentang jalan yang benar tanpa upaya dariku

25

Shabuni, Safwatut Tafsir, 345.


(53)

45

untuk memperolehnya tetapi ia sendiri yang datang sendiri melalui wahyu, dan

itu wahai bapakku, tidak engkau peroleh, maka karena itu ikutilah aku dengan

sungguh-sungguh dan berimanlah kepada apa yang aku serukan kepadamu,

niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus yang mebawamu

kepada kebenaran dan kebahagiaan.27

Ajakan Nabi Ibrahim ini, kelihatannya setelah beliau diangkat Allah

menjadi Nabi. Ini bukan saja diisyaratkan oleh ayat yang lalu yang menegaskan

bahwa beliau adalah Nabi, tapi juga menyatakan bahwa beliau memperoleh

ilmu bukan atas usaha beliau, tetapi ilmu itulah yang datang kepadanya. Ketika

menafsirkan ayt 65 surat al-Kahfi, Quraish Shihab mengemukakan bahwa

setiap aksi pengetahuan memiliki dua factor, yaitu subjek dan objek. Secara

umum subjeklah yang dituntut perannya dalam rangka memahami objek.

Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang

menampakkan dirinya kepada subjek tanpa usaha dari pihak subyek. Ada

planet-planet yang memasuki cakrawala hanya sejenak dalam waktu tertentu,

misalnya Comet Halley. Dalam contoh ini alat-alat astronomi berusaha untuk

menangkapnya. Namun yang lebih beperan adalah kehadiran comet itu sendiri

kepada para ahli dan setelah kehadirannya tesebut ia lenyap kembali. Hal yang

terjadi di dunia ilmiah ini, memberikan gambaran sekaligus bukti bahwa

terkadang obyek pengetahuan dapat mengunjungi manusia, dan


(1)

61

ayat-ayat ini menguraikan tentang mereka yang mempersekutukan-Nya dengan berhala, yakni umat Nabi Ibrahim as.64

Menurut beliau, ayat-ayat lalu memerintahkan Nabi Muhammad saw menyampaikan kisah Maryam as dan putra beliau, kini ayat-ayat diatas memerintahkan bahwa: “ceritakan dan ingatkanlah juga Hai Nabi Muhammad, kisah yang tedapat di dalam al-Kitab yakni ayat-ayat al-Qur’an yang selama ini engkau telah terima, tentang Nabi Ibrahim as sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar sikap, ucapan dan perbuatannya lagi seorang Nabi yang mendapat wahyu dari Allah.65

Dalam menafsirkan ayat 41 dari surah Maryam ini, Quraish Shihab mengemukakan bahwa, Ibrahim memiliki sifat yang bersungguh-sungguh, amanat, cerdas dan terbuka dalam menyampaikan segala hal. Ibrahim termasuk orang-rang yang tepelihara identitasnya sehingga tidak melakukan dosa atau pelanggaran apapun. Dan Ibrahim yang memiliki sifat shidiq yang dengan pengertian apapun selalu benar dan jujur, tidak ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran, serta selalu tampak di pelupuk mata mereka yang haq.

Menurut beliau, ajakan yang terdapat dalam ayat 43 tersebut, dilakukan setelah Ibrahim diangkat Allah menjadi Nabi. Diisyaatkan dengan ayat sebelumnya yang menegaskan bahwa beliau adalah Nabi, tetapi juga pernyatan

64 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an) jilid 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 192.


(2)

62

Ibrahim yang mendapatkan ilmu bukan atas usahanya, namun ilmu tersebut yang datang kepada Ibrahim.

Dalam memaknai kata ta’bud pada ayat 44, maksudnya bukanlah menyembah, tetapi mengikuti setan. Bisa jadi orang tua dan masyarakat Nabi Ibrahim menyembah setan, jin dan malaikat, tetapi semua penyembahan itu lahir dari rayuan dan tipu daya setan yang diikuti oleh para pendurhaka, sehingga pada akhirnya lebih tepat mamahami kata ta’bud dalam arti mengikuti bisikan setan.

Dalam menafsirkan ayat 41-45 surat maryam, M. Quraish Shihab menggunakan teori munasabah. Munasabah ialah persesuaian, hubungan atau relevansi, yaitu hubungan antara surah/ayat satu dengan surah/ayat yang sebelumnya atau sesudahnya.66


(3)

63

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari sekian banyak pemaparan yang tedapat dalam bab III dapat disimpulakan bahwa:

1. Menurut para mufassir, khususnya Ibnu Katsir, Muhammad Ali Ash-Shabuni dan M. Quraih Shihab dalam menafsirkan ayat 41-45 surat Maryam tentang kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya, merupakan bentuk dakwah seorang anak kepada orang tua yang pada saat itu ayah Ibrahim merupakan seorang yang menyembah berhala. Nabi Ibrahim merupakan sosok yang berkeyakinan kuat dan tawakal serta memiliki hati yang tulus, terbukti dengan nasihat-nasihat beliau kepada ayahnya yang tidak merendahkannya dengan menyembah berhala-berhala tersebut. Nabi Ibrahim juga tidak putus asa dalam mengajak ayahnya untuk kembali kepada Allah dan tidak mengingkari-Nya, beliau berusaha merayu ayahnya agar mau kembali ke jalan yang benar yang diyakini oleh Nabi Ibrahim merupan ajaran yang benar.

2. Ibrah atau pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya adalah:

a. Perjuangan Nabi Ibrahim yang sangat keras dalam mengajak ayahnya agar kembali kepada Allah.


(4)

64

b. Kelembutan hati dan kesabaran Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian tersebut

c. Budipekerti atau sikap Nabi Ibrahim kepada ayahnya yang sangat lembut, walaupun ayahnya seorang penyembah berhala.

B.Saran

Kajian tafsir tentang Ibrah dari Kisah Nabi Ibrahim dan Ayahnya dalam surah Maryam ayat 41-45 yang berbentuk skripsi ini masih perlu dilakukan penyempurnaan. Oleh sebab itu sangat diharapkan adanya sebuah kelajutan maupun kajian ulang dari berbagai pihak, agar benar-benar mampu menjadi pengetahuan baru dalam dunia keilmuan.

Adanya saran dan kritik terhadap skripsi ini masih sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Penulis berharap agar skripsi ini dapat menambah wawasan bagi mayarakat dan pembaca terlebih dalam bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, 2000.

Baidan, Nasarudin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

2005.

Departemen Agama RI. al-Qur’a>n dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro,

2012.

Djalal, Abdul. ‘Ulumul Qur’a>n. Surabaya : Dunia Ilmu, 2008.

Hakim, Agus. Perbandingan Agama. Bandung: CV. Diponegoro, 1993.

al-Kattan, Manna’ Khalil. Study Ilmu-ilmu al-Qur’a>n. terj. Muzakkir, cet. ke 3. Jakarta : Litera Antar Nusantara, 1973.

Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. ter. M.’Abdul Ghaffar E. M. Jakarta :

PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI’I 2009.

Kementerian Agama RI. Al-Qur’a>n dan Tafsirnya juz 16-18. Jakarta: Widya

Cahaya, 2011.

Kementerian Agama RI. Mukadimah al-Qur’a>n dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera

Abadi, 2010.

Kholid, Amru. Romantika Yusuf . Bandung : Pustaka Maghfirah, 2007.

al-Maliki, Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki. Keistimewan-keistimewaan

al-Qur’an. ter. Nur Faizin. Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001.

al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Beirut : Dar al-Fikr, t.t. juz 1. Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Logos, 1997.

Qalyubi, Syihabuddin. Stilistika al-Qur’an (Pengantar Orientasi Studi al

-Qur’an). Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.

al- Qattan, Manna. Mabahith fi ‘Ulum al- Qur’an. T.k.t.: Maktabah Wahbah,

2000.

Rahardjo, Dawam . Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep

-Konsep Kunci. Jakarta : Paamadina 2002.


(6)

as-Sayyid, Kamal. Kisah-kisah Terbaik Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Zahra, 2014.

ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu al-Qur’an, ed. Fuad Hasbi

Ash Shiddieqy.

Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002. Atau lihat di Amru Kholid, Romantika

Yusuf . Bandung : Pustaka Maghfirah, 2007.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an)

jilid 8. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Siswayanti,Novita. Dimensi Edukatif pada Kisah-Kisah Al- Qur’an. Jurnal

Kajian Al- Qur’an dan Kebudayaan, vol. 3 no. 1. 2010.

Sugiyono. Metodologi Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,

2010.

Sulaiman, Mustafa Muhammad . Al-Qissah fi al-Qur’an al-Karim wa Thara

Haula min Syabbaha wa ar-Radd ‘Alaiha. Mesir : Matba’ al-Amanah, 1994.

al-Suyuti, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman. Asrar Tartib al-Qur’an, ad. ‘abd al-Qadir

Ahmad Ata’,. T.t: Dar al-I’tisahm, 1978.

asy- Syirbashi, Ahmad. Sejarah Tafsir al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994.

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya. Studi Al-Qur’an. Surabaya:

UIN Sunan Ampel Press, 2013.

Watt, W. Montgomery. Bell’s Intoduction to tha Qur’an. Edinburg: The