HUBUNGAN SANITASI DASAR DENGAN INSIDEN PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN DI PERUMAHAN ADB I DESA RANTAU PANYANG TIMUR KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI

  HUBUNGAN SANITASI DASAR DENGAN INSIDEN PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN DI PERUMAHAN ADB I DESA RANTAU PANYANG TIMUR KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI Oleh: RUSNI NIM : 07C10104156 PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TEUKU UMAR KABUPATEN ACEH BARAT MEULABOH 2013

  HUBUNGAN SANITASI DASAR DENGAN INSIDEN PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN DI PERUMAHAN ADB I DESA RANTAU PANYANG TIMUR KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Oleh: RUSNI NIM : 07C10104156 PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TEUKU UMAR KABUPATEN ACEH BARAT MEULABOH 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

  Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mencapai Indonesia Sehat, yaitu suatu keadaan dimana setiap orang hidup dalam lingkungan yang sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat, mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi- tingginya (Dinkes, 2009).

  Visi pembangunan kesehatan saat ini adalah Indonesia sehat 2014 untuk mewujudkan masyarakat yang mandiri dan berkeadilan. Visi ini dituangkan kedalam empat misi salah satunya adalah meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani (Depkes RI, 2009). Misi pembangunan kesehatan tersebut diwujudkan dengan menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Perilaku hidup bersih dan sehat adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran atas hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat (Dinkes, 2009).

  Menurut Notoatmodjo (2007), usaha kesehatan lingkungan merupakan suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan optimum bagi manusia yang hidup didalamnya.

  Lingkungan permukiman dan perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga merupakan determinan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan hampir separuh hidup manusia akan berada di rumah, sehingga kualitas rumah akan sangat berdampak terhadap kondisi kesehatannya (Depkes RI, 2002). Rumah seharusnya menjadi tempat yang bebas dari gangguan, rasa kebersamaan. Rumah yang sehat mampu melindungi dari panas dan dingin yang ekstrim, hujan dan matahari, angin, hama, bencana seperti banjir dan gempa bumi, serta polusi dan penyakit (Wicaksono, 2009).

  U

  ntuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka paling sedikit yang harus tercakup dalam pelayanan kesehatan dasar adalah: a). Pendidikan kesehatan, b). Peningkatan persediaan pangan dan kecukupan gizi, c). Penyediaan air minum dan sanitasi dasar, d). Pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana, e). Imunisasi, dan f). Pengobatan dan pengadaan obat (Hasanah, 2010).

  Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan lingkungan pemukiman sehat yang memenuhi syarat kesehatan meliputi penyediaan air bersih, pembuangan kotoran manusia (jamban/wc), pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah (tempat sampah). Sarana sanitasi ini merupakan prasarana pendukung untuk melakukan program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) (Azwar, 1999).

  Kejadian penyakit maupun gangguan kesehatan pada manusia, tidak terlepas dari peran faktor lingkungan. Hubungan interaktif antara manusia serta perilakunya dengan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit, penyakit satu dengan yang lain masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Dalam hal ini faktor lingkungan memegang peranan sangat penting. Interaksi manusia dengan lingkungan telah menyebabkan kontak antara kuman dengan manusia. Sering terjadi kuman yang tinggal di tubuh host kemudian berpindah ke manusia karena manusia tidak mampu menjaga kebersihan lingkungan. Hal ini tercermin dari tingginya kejadian penyakit berbasis lingkungan yang masih merupakan masalah kesehatan terbesar masyarakat Indonesia. Untuk mengurangi masalah kesehatan akibat penyakit-penyakit lingkungan adalah dengan merencanakan dan melaksanakan suatu manajemen penyakit yang berbasis wilayah (Depkes RI, 2002).

  Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dari 7 miliar penduduk dunia masih ada sekitar 2,6 miliar orang yang tidak memiliki akses toilet dan fasilitas sanitasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merangking negara-negara dengan sanitasi terburuk di dunia dan Indonesia menduduki peringkat ke-3 (Wahyuningsih, 2011)

  Di Indonesia terdapat 4 dampak kesehatan besar disebabkan oleh pengelolaan air dan sanitasi yang buruk yakni diare, tipus, polio dan cacingan.

  Hasil survei pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kejadian diare pada semua usia di Indonesia adalah 423 per 1.000 penduduk dan terjadi satu-dua kali per tahun pada anak-anak berusia dibawah lima tahun. (Elok, 2008).

  Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat tahun 2012 tentang persentase rumah sehat, terdapat 42,091 (25,925%) rumah tangga dengan jumlah rumah tangga yang diperiksa 25,925 (61,6%) rumah Cakupan sanitasi dasar persediaan air bersih 28,263 (57,9%) Kepala Keluarga memiliki persediaan air bersih, yang memiliki jamban 12,693 (26,0%), yang memiliki tempat sampah 4,525 (9,3%), pengelolaan air limbah 2,533 (5,2%). Penyakit 10 besar dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat, yang pertama penyakit

  ISPA 25%, penyakit Hypertensi 22%, Infeksi Kulit (15%), Reumatik (14%), Common Cold (8%), Diare (7%), Bronchitis dan Disentri masing – masing (3%).

  (Profil Dinas Kesehatan Aceh Barat. 2012).

  Keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar di wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat tahun 2012 Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 4,725 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah yang diperiksa 1.400 Kepala Keluarga (KK), terdapat persediaan air bersih 1,338 Kepala Keluarga memiliki persediaan air bersih, yang memiliki jamban 1,103, tidak ada yang memiliki tempat sampah dan pengelolaan air limbah.

  Dengan keadaan pemukiman serta failitas sanitasi yang masih kurang tersebut, menyebabkan masih tingginya angka penyakit ISPA dengan jumlah 2.047 kasus yang menduduki peringkat 1 dalam 10 penyakit terbesar di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo (Laporan Puskesmas Meureubo. 2012).

  Selain sarana sanitasi dasar faktor perilaku juga merupakan faktor yang sangat penting dalam usaha kesehatan masyarakat. Walaupun sarana sanitasi dasar tersedia jika tidak didukung oleh perilaku hidup sehat dari masyarakat maka tujuan pembangunan kesehatan tidak akan tercapai.

  Hasil survei awal yang dilakukan penulis di perumahan ADB I Desa Rantau Panyang Timur Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat didapati bahwa jumlah penduduk sebanyak 699 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 130 KK, semua penduduk memiliki rumah permanen, penduduk menggunakan air sumur bor sebagai sumber air bersih, umumnya rumah tangga sudah mempunyai fasilitas WC/jamban, pengelolaan sampah di perumahan ADB I masih kurang hal ini masih banyak di jumpai sampah rumah tangga yang tidak di buang pada tempatnya. Sedangkan pembuangan air limbah rumah tangga masih menggenagi di belakang rumah tangga di karenakan tersumbatnya saluran air yang ada.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis menetapkan rumusan masalah penelitian ini yaitu bagaimanakah hubungan sanitasi dasar di perumahan ADB I Desa Rantau Panyang Timur Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat dengan insiden penyakit berbasis lingkungan?

  1.3. Tujuan

  1.3.1 Tujuan Umum

  Untuk mengetahui hubungan sanitasi dasar di perumahan ADB I Desa Rantau Panyang Timur Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat dengan insiden penyakit berbasis lingkungan.

  1.3.2 Tujuan Khusus

  1. Untuk mengetahui hubungan sarana penyediaan air bersih terhadap insiden penyakit berbasis lingkungan di perumahan ADB I Desa Rantau Panyang Timur Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

  2. Untuk mengetahui hubungan sarana pembuangan air limbah terhadap insiden penyakit berbasis lingkungan di perumahan ADB I Desa Rantau Panyang Timur Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

  3. Untuk mengetahui hubungan sarana pembuangan kotoran manusia terhadap insiden penyakit berbasis lingkungan di perumahan ADB I Desa Rantau Panyang Timur Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

  4. Untuk mengetahui hubungan sarana pengelolaan sampah terhadap insiden penyakit berbasis lingkungan di perumahan ADB I Desa Rantau Panyang Timur Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

1.4. Manfaat Penelitian

  1.4.1 Teoritis

  Untuk mendapatkan tambahan wawasan tentang hubungan sanitasi dasar dengan insiden penyakit berbasis lingkungan.

  1.4.2 Aplikatif

  1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat tentang sanitasi dasar perumahan ADB I Desa Rantau Panyang Timur Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat sehingga masyarakat dapat terhindar dari berbagai penyakit yang mungkin disebabkan oleh lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

  2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah tentang sanitasi dasar sehingga dapat mendukung tersedianya sarana sanitasi dasar yang layak bagi masyarakat di perumahan ADB I Desa Rantau Panyang Timur Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan

  Kesehatan lingkungan menurut WHO (World Health Organization) adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Ruang lingkup kesehatan lingkungan meliputi : penyediaan air minum, pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran, pembuangan sampah padat, pengendalian vektor, pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia, higiene makanan termasuk higiene susu, pengendalian pencemaran udara, pengendalian radiasi, kesehatan kerja, pengendalian kebisingan, perumahan dan pemukiman, aspek kesehatan lingkungan dan transportasi udara, perencanaaan daerah perkotaan, pencegahan kecelakaan, rekreasi umum dan pariwisata, tindakan – tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi/wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk, tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan. (Ghandi, 2010).

2.1.1 Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan

  Kontribusi lingkungan dalam mewujudkan derajat kesehatan merupakan hal yang essensial di samping masalah perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Lingkungan memberikan kontribusi terbesar terhadap timbulnya masalah kesehatan masyarakat.

  Ruang lingkup Kesehatan lingkungan adalah :

  1. Menurut WHO

  a. Penyediaan air minum

  b. Pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran

  c. Pembuangan sampah padat

  d. Pengendalian vektor

  e. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia

  f. Higiene makanan, termasuk higiene susu

  g. Pengendalian pencemaran udara

  h. Pengendalian radiasi i. Kesehatan kerja j. Pengendalian kebisingan k. Perumahan dan pemukiman l. Aspek kesling dan transportasi udara m. Perencanaan daerah dan perkotaan n. Pencegahan kecelakaan o. Rekreasi umum dan pariwisata p. Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi/wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk. q. Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan.

  2. Menurut UU No 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan (Pasal 22 ayat 3), ruang lingkup kesehatan lingkungan sebagai berikut : a. Penyehatan air dan udara

  b. Pengamanan Limbah padat/sampah d. Pengamanan limbah gas

  e. Pengamanan radiasi

  f. Pengamanan kebisingan

  g. Pengamanan vektor penyakit

  3. Menurut Kepmenkes RI Nomor HK.03.01/160/I/2010, ruang lingkup kesehatan lingkungan sebagai berikut : a. Persentase penduduk yang memiliki akses terhadap air minum berkualitas

  b. Persentase kualitas air minum yang memenuhi syarat

  c. Persentase penduduk yang menggunakan jamban sehat

  d. Persentase cakupan tempat-tempat umum yang memenuhi syarat

  e. Persentase cakupan tempat pengolahan makanan yang memenuhi syarat

  f. Persentase cakupan rumah yang memenuhi syarat

  g. Persentase penduduk stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS)

  h. Cakupan daerah potensial yang melaksanakan strategi adaptasi dampak kesehatan akibat perubahan iklim i. Persentase provinsi yang memfasilitasi penyelenggaraan STBM sebesar

  100% Kab/Kota j. Persentase provinsi yang memfasilitasi penyelenggaraan kota sehat yang sesuai standart 50% k. Persentase Kab/Kota Kawasan yang telah melaksanakan

  Kab/Kota/Kawasan sehat Menurut Kusnoputranto ruang lingkup dari kesehatan lingkungan meliputi: 1. Penyediaan air minum.

  2. Pengolahan air buangan dan pengendalian pencemaran air.

  3. Pengelolaan sampah padat.

  4. Pengendalian vektor penyakit.

  5. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah.

  6. Hygiene makanan.

  7. Pengendalian pencemaran udara.

  8. Pengendalian radiasi.

  9. Kesehatan kerja, terutama pengendalian dari bahaya-bahaya fisik, kimia dan biologis.

  10. Pengendalian kebisingan.

  11. Perumahan dan pemukiman, terutama aspek kesehatan masyarakat dari perumahan penduduk, bangunan-bangunan umum dan institusi.

  12. Perencanaan daerah dan perkotaan.

  13. Aspek kesehatan lingkungan dan transportasi udara, laut dan darat.

  14. Pencegahan kecelakaan.

  15. Rekreasi umum dan pariwisata.

  16. Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi, bencana alam, perpindahan penduduk dan keadaan darurat.

  17. Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin agar lingkungan pada umumnya bebas dari resiko gangguan kesehatan (Kusnoputranto, 2003).

2.2 Penyakit Berbasis Lingkungan

  Lingkungan tidak mungkin mampu mendukung jumlah kehidupan yang tanpa batas dengan segala aktivitasnya. Karena itu, apabila lingkungan sudah tidak kesulitan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berdampak pada kualitas daya dukung lingkungan, yang pada akhirnya akan merusak lingkungan itu sendiri. Eksploitasi sumberdaya yang berlebihan akan berdampak buruk pada manusia (Anies, 2006).

  Pengaruh lingkungan dalam menimbulkan penyakit pada manusia telah lama disadari, seperti dikemukakan Blum dalam Planing for health, development and applicationof social change theory, bahwa factor lingkungan berperan sangat besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Sebaliknya kondisi kesehatan masyarakat yang buruk, termasuk timbulnya berbagai penyakit juga dipengaruhi oleh lingkungan yang buruk (Anies, 2006).

  Interaksi manusia dengan lingkungan telah menyebabkan kontak antara kuman dengan manusia. Sering terjadi kuman yang tinggal ditubuh host kemudian berpindah kemanusia karena manusia tidak mampu menjaga kebersihan lingkungannya. Hal ini tercermin dari tingginya kejadian penyakit berbasis lingkungan yang masih merupakan masalah kesehatan terbesar masyarakat Indonesia. Beberapa penyakit yang timbul akibat kondisi lingkungan yang buruk seperti ISPA, diare, DBD, Malaria dan penyakit kulit (Depkes RI, 2002).

2.2.1 ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)

  ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari, yang dimaksud dengan saluran pernafasan adalah mulai dari hidung sampai gelembung paru beserta organ-organ disekitarnya seperti sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru (Depkes RI, 2001).

  ISPA disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia, hemophilhillus influenza, asap dapur, sirkulasi udara yang tidak baik, tempat berkembang biaknya disaluran pernapasan, ISPA dapat ditularkan melalui udara yang terkontaminasi dengan bakteri ketika penderita batuk yang terhirup oleh orang sehat masuk kesaluran pernafasannya (Depkes RI, 2001).

  ISPA dapat dicegah dengan cara menjaga sirkulasi udara dalam rumah dengan membuka jendela setiap hari, menghindari polusi udara di dalam rumah seperti asap dapur dan asap rokok, tidak padat penghuni di kamar tidur, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitarnya (Depkes RI, 2001).

2.2.2 Diare

  Diare adalah buang air besar lembek sampai encer yang lebih dari 3 kali dalam satu hari. Diare dapat disebabkan oleh bakteri/virus seperti : Rotavirus,

  

Escherrichia Coli Enterotoksigenik (ETEC), Shigella, Compylobacter Jejuni,

Cryptospondium (Depkes RI, 2001).

  Diare karena bakteri Escherrichia Coli (E.Coli) disebabkan oleh bakteri

  

E.Coli , tempat berkembang biak bakteri ini adalah dalam tinja manusia, cara

  penularan melalui makanan yang terkontaminasi dengan bakteri E.Coli yang dibawa oleh lalat yang hinggap pada tinja yang dibuang sembarangan, melalui minum air yang terkontaminasi bakteri E.Coli yang tidak dimasak sampai mendidih, melalui tangan yang terkontaminasi bakteri E.Coli karena sudah buang air besar tidak mencuci tangan dengan sabun (Depkes RI, 2001).

  Cara pencegahan diare dapat dilakukan antara lain : menutup makanan agar tidak dihinggapi lalat, tidak buang air besar sembarangan, mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan dan setelah buang air besar, mencuci bahan makanan dengan air bersih, memasak air sampai mendidih dan menggunakan air bersih yang memenuhi syarat (Depkes RI, 2001).

2.2.3 Demam Berdarah Dengue (DBD)

  Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti, dengan cara seseorang yang dalam darahnya mengandung virus Dengue bila digigit nyamuk akan terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk dan berkembang biak, kemudian masuk ke dalam kelenjar air liur nyamuk setelah satu minggu di dalam tubuh nyamuk, bila nyamuk menggigit orang sehat akan menularkan virus Dengue, virus ini tetap berada di dalam tubuh nyamuk sehingga dapat menularkan kepada orang sehat lainnya (Depkes RI, 2001).

  Nyamuk Aedes Aegypti berkembang biak di dalam dan di luar rumah seperti ember, drum, tempayan, tempat penampungan air bersih, vas bunga, kaleng bekas yang berisi air bersih bak mandi, lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, potongan bambu yang dapat menampung air (Depkes RI, 2001).

  Upaya praktis yang dapat dilakukan dalam pengendalian vector dan pemberantasan penyakit DBD adalah sebagai berikut (Anies, 2006) :

  1. Menguras tempat penyimpanan air seperti bak mandi, drum, gantilah air di vas bunga serta di tempat minum burung sekurang-kurangnya seminggu sekali.

  2. Menutup rapat tempat penampungan air seperti drum dan tempayan agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak.

  3. Mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan seperti kaleng bekas, ban bekas, botol bekas.

  4. Tutuplah lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen.

  5. Jangan meletakkan pakaian digantungan di tempat terbuka misalnya di belakang pintu kamar agar nyamuk tidak hinggap.

  6. Untuk tempat penampungan air yang sulit dikuras taburkan bubuk abate ke dalam genangan air tersebut, untuk membunuh jentik-jentik nyamuk, ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali. Takaran penggunaan bubuk abate, untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram bubuk abate.

  7. Perlindungan diri terhadap gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan anti nyamuk dan memakai kelambu yang diberi intektisida pada saat tidur.

2.2.4 Malaria

  Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium yang termasuk golongan protozoa, yang penularannya melalui vector nyamuk Anopheles spp, dengan gejala demam, pening, lemas, pucat, nyeri otot, menggigil, suhu bias mencapai 40ºC terutama pada infeksi Plasmodium falcifarum. Di Indonesia terdapat 4 spesies Plasmodium yaitu (Achmadi, 2008) :

  1. Plasmodium vivax , memiliki distribusi geografis terluas, termasuk wilayah beriklim dingin, subtropik hingga daerah tropic. Demam terjadi setiap 48 jam atau setiap hari ketiga, pada waktu siang atau sore. Masa inkubasi Plasmodium vivak antara 12 hingga 17 hari dan salah satu gejala adalah pembengkakan limpa atau splenomegali.

  2. Plasmodium falciparum , merupakan penyebab malaria tropika secara klinik berat dan dapat menimbulkan berupa malaria cerebral dan fatal. Masa inkubasi malaria tropika sekitar 12 hari, dengan gejala nyeri kepala, pegal

  3. Plasmodium ovale , masa inkubasi malaria dengan penyebab Plasmodium ovale adalah 12 hngga 17 hari, dengan gejala setiap 48 jam, relatif ringan dan sembuh sendiri.

  4. Plasmodium malariae merupakan penyebab malaria guartana yang memberikan gejala demam setiap 72 jam, malaria jenis ini umumnya terdapat pada daerah gunung dataran rendah pada daerah tropic. Biasanya berlangsung tanpa gejala dan ditemukan secara tidak sengaja namun malaria jenis ini sering mengalami kekambuhan.

  Beberapa faktor ligkungan sangat berperan dalam berkembangbiaknya nyamuk sebagai vector penular malaria, faktor-faktor tersebut antara lain, lingkungan fisik seperti suhu udara, suhu udara mempengaruhi panjang pendeknya masa inkubasi ekstrinsik yaitu pertumbuhan fase sporogoni dalam perut nyamuk.

  Kelembaban udara yang rendah, akan memperpendek umur nyamuk, hujan yang diselingi panas semakin besar kemungkinan perkembangbiakannya (Achmadi, 2008).

  Tempat berkembangbiak nyamuk Anopheles antara lain : kolam ikan yang tidak dipakai lagi, bekas galian tanah atau pasir yang terisi air hujan, batang bambu yang dapat menampung air hujan, kaleng bekas, ban bekas yang dapat menampung air hujan serta saluran air yang tidak mengalir (Depkes RI, 2001).

  Lingkungan biologi juga berperan dalam perkembangbiakan vector penular malaria, misalnya ada lumut, ganggang berbagai tumbuhan air yang membuat Anopheles sundaicus merasa nyaman untuk membesarkan anak keturunannya berupa telur dan larva (Achmadi, 2008).

  Penyakit malaria dapat menular dengan cara nyamuk malaria menggigit dan menghisap darah orang yang sakit malaria, parasit di dalam tubuh manusia masuk ke dalam tubuh nyamuk, parasit tersebut berkembangbiak dalam tubuh nyamuk dan menjadi matang dalam waktu 10-14 hari, setelah parasit matang, jika nyamuk menggigit manusia sehat maka parasit malaria akan masuk ke dalam tubuh orang yang sehat, maka orang yang sehat akan menjadi sakit (Depkes RI, 2001).

  Malaria dapat dicegah dengan membasmi tempat perindukan nyamuk seperti menyebarkan ikan pemakan jentik, membersihkan semak belukar di sekitar rumah, mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan, membersihkan tempat air minum burung dan vas bunga secara teratur, menimbun atau mengalirkan air yang tergenang, membersihkan tambak, empang serta saluran irigasi dari tumbuhan air (Depkes RI, 2001).

  Pencegahan malaria juga dapat dilakukan dengan memasang kasa nyamuk dan jendela, memasang kelambu yang berinsektisida waktu tidur pada malam hari, menggunakan anti nyamuk, jangan bergadang pada malam hari serta menutup seluruh badan jika diluar rumah pada malam hari (Depkes RI, 2001).

2.2.5 Penyakit Kulit

  Penyakit kuliat atau sering disebut dengan kudis/scabies/gudik/budukan yang disebabkan oleh tungau atau sejenis kutu yang sangat kecil (Sarcoptes Scabies), tempat berkembangbiaknya adalah dilapisan tanduk kulit dan membuat terowongan dibawah kulit sambil bertelur.

  Penularannya dapat melalui kontak langsung dengan penderita dan dapat pula ditularkan melalui perantara seperti baju, handuk, sprei yang digunakan penderita kemudian digunakan oleh orang sehat, pencegahan dapat dilakukan dengan menghindar menukar baju, handuk, lingkungan tidak terlalu padat, menjaga kebersihan lingkungan dan personal hygiene (Depkes RI, 2001).

  2.3 Upaya Kesehatan Lingkungan

  Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimal pula (Soekidjo, 2007).

  Adapun tujuan dilakukannya upaya kesehatan lingkungan adalah untuk menanggulangi dan menghilangkan unsur-unsur fisik pada lingkungan sehingga faktor lingkungan yang kurang sehat tidak menjadi faktor resiko timbulnya penyakit menular dimasyarakat (Muninjaya, 2004).

  Untuk menilai keadaan lingkungan dan upaya yang dilakukan untuk menciptakan lingkungan sehat telah dipilih beberapa indikator, yaitu persentase rumah sehat, persentase keluarga yang memiliki akses air bersih dan air minum, jamban sehat, saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah serta Tempat-Tempat Umum dan Pengolahan Makanan (TTUPM). Beberapa upaya untuk memperkecil resiko turunnya kualitas lingkungan telah dilaksanakan oleh berbagai instansi terkait seperti pembangunan sarana sanitasi dasar, pemantauan dan penataan lingkungan, pengukuran dan pengendalian kualitas lingkungan (Dinkes Dumai, 2008).

  2.4 Perumahan Sehat Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia.

  Perumahan yang baik terdiri dari kumpulan rumah yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukungnya seperti sarana jalan, saluran air kotor, tempat sampah, sumber air bersih, lampu jalan, dan lain-lain. Standar arsitektur bangunan terutama untuk perumahan umum pada dasarnya ditujukan untuk menyediakan rumah tinggal yang cukup baik dalam bentuk desain, letak dan luas ruangan, serta fasilitas lainnya agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga atau dapat memenuhi persyaratan rumah tinggal yang sehat dan menyenangkan (Budiman, 2006).

  Adapun kriteria rumah sehat yang tercantum dalam Residential

  Environment dari WHO (2004) antara lain :

  1. Harus dapat melindungi dari hujan, panas, dingin dan berfungsi sebagai tempat istirahat.

  2. Mempunyai tempat untuk tidur, masak, mandi, mencuci, kakus dan kamar mandi.

  3. Dapat melindungi dari bahaya kebisingan dan bebas dari pencemaran.

  4. Bebas dari bahan bangunan yang berbahaya.

  5. Terbuat dari bahan bangunan yang kokoh, dan dapat melindungi penghuninya dari gempa, keruntuhan dan penyakit menular.

  6. Memberi rasa aman dan lingkungan tetangga yang asri.

  Sementara itu, kriteria rumah menurut Winslow antara lain : 1. Dapat memenuhi kebutuhan fisiologis.

  Terdapat beberapa variabel yang perlu diperhatikan didalam pemenuhan kebutuhan fisiologis yang berkaitan dengan perumahan, diantaranya : a. Suhu ruangan. Suhu ruangan harus dijaga agar jangan banyak berubah.

  Suhu sebaiknya tetap berkisar antara 18-20ºC. Suhu ruangan ini sangat dipengaruhi oleh : suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban udara, b. Penerangan. Rumah harus cukup mendapatkan penerangan baik pada siang maupun malam hari. Idealnya, penerangan didapat dengan bantuan listrik.

  Setiap ruangan diupayakan mendapat sinar matahari terutama dipagi hari.

  c. Ventilasi. Pertukaran udara yang cukup menyebabkan udara tetap segar (cukup mengandung oksigen). Dengan demikian, setiap rumah harus memiliki jendela yang memadai. Luas jendela secara keseluruhan kurang dari 15% dari luas lantai. Susunan ruangan harus sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika jendela dan pintu dibuka.

  d. Jumlah ruangan atau kamar. Ruang atau kamar diperhitungkan berdasarkan jumlah penghuni atau jumlah orang yang tinggal bersama didalam satu rumah atau sekitar 5 m per orang.

  2. Dapat memenuhi kebutuhan psikologis.

  Disamping kebutuhan fisiologis, terdapat kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi dan diperhatikan berkaitan dengan sanitasi rumah. Kebutuhan tersebut, antara lain :

  a. Keadaan rumah dan sekitarnya, cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang sehat.

  b. Adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga yang tinggal dirumah tersebut.

  c. Untuk setiap anggota keluarga, terutama yang mendekati dewasa, harus memiliki ruangan sendiri sehingga privasinya tidak terganggu.

  d. Harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat, seperti ruang untuk

  3. Dapat menghindarkan dari terjadinya kecelakaan atau kebakaran.

  Ditinjau dari faktor bahaya kecelakaan ataupun kebakaran, rumah yang sehat dan aman harus dapat menjauhkan penghuninya dari bahaya tersebut.

  Adapun kriteria yang harus dipenuhi dari perspektif ini, antara lain :

  a. Konstruksi rumah dan bahan-bahan bangunan harus kuat sehingga tidak mudah runtuh.

  b. Memiliki sarana pencegahan kasus kecelakaan di sumur, kolam dan tempat-tempat lain terutama untuk anak-anak.

  c. Bangunan diupayakan terbuat dari material yang tidak mudah terbakar.

  d. Memiliki alat pemadam kebakaran terutama yang menggunakan gas.

  e. Lantai tidak boleh licin dan tergenang air.

  4. Dapat menghindarkan dari terjadinya penularan penyakit.

  Rumah atau tempat tinggal yang buruk atau kumuh dapat mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, seperti : infeksi saluran nafas, infeksi pada kulit, infeksi saluran pencernaan, kecelakaan, dan gangguan mental.

2.5 Sanitasi Dasar

  Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. (Azwar,1999).

  Sanitasi adalah suatu upaya pencegahan penyakit yang menitik beratkan kegiatannya kepada usaha-usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Kualitas lingkungan yang sehat adalah keadaan lingkungan yang bebas dari resiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia, melalui pemukiman antara lain rumah tinggal dan asrama atau yang sejenisnya, lingkungan kerja antara perkantoran dan kawasan industri atau sejenis. Sedangkan upaya yang harus dilakukan dalam menjaga dan memelihara kesehatan lingkungan adalah obyek Sanitasi meliputi seluruh tempat kita tinggal/bekerja seperti: dapur, restoran, taman, publik area, ruang kantor, rumah dan sebagainya.

2.5.1 Penyediaan Air Bersih

  Air merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan, juga manusia selama hidupnya selalu memerlukan air. Dengan demikian semakin naik jumlah penduduk dan laju pertumbuhannya semakin naik pula laju pemanfaatan sumber-sumber air. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang semakin meningkat diperlukan industrialisasi yang dengan sendirinya akan meningkatkan lagi aktivitas penduduk serta beban penggunaan sumber daya air. Beban pengotoran air juga akan bertambah cepat sesuai dengan cepatnya pertumbuhan. Sebagai akibatnya saat ini sumber air minum dan air bersih semakin langka (Soemirat, 2007).

  Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air bersih yang terbatas memudahkan timbulnya penyakit dimasyarakat. Volume rata-rata kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 150-200 liter. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan dan kebiasaan masyarakat.

  Bagi manusia air minum adalah salah satu kebutuhan utama, manusia mengunakan air untuk berbagai keperluan seperti mandi, cuci, kakus, produksi pangan, papan dan sandang. Mengingat bahwa berbagai penyakit dapat dibawa oleh air kepada manusia pada saat memanfaatkannya, maka tujuan utama penyediaan air minum/bersih bagi masyarakat adalah untuk mencegah penyakit bawaan air. Dengan demikian diharapkan, bahwa semakin banyak liputan masyarakat dengan air bersih, semakin turun morbiditas penyakit bawaan air ini (Soemirat, 2007).

  Penyakit yang menyerang manusia dapat ditularkan dan menyebar secara langsung maupun tidak langsung melalui air. Penyakit yang ditularkan melalui air disebut sebagai waterborne disease atau water-related disease. Berdasarkan cara penularannya, mekanisme penularan penyakit terbagi menjadi empat, yaitu :

  1. Waterborne mechanism , didalam mekanisme ini, kuman patogen dalam air yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia ditularkan kepada manusia melalui mulut atau sistem pencernaan.

  2. Waterwashed mechanism , mekanisme penularan semacam ini berkaitan dengan kebersihan umum dan perseorangan. Pada mekanisme ini terdapat tiga cara penularan, yaitu : (a) infeksi melalui alat pencernaan, (b) infeksi melalui kulit dan mata dan (c) penularan melalui binatang pengerat.

  3. Water-based mechanism , penyakit yang ditularkan dengan mekanisme ini memiliki agen penyebab yang menjalani sebagian siklus hidupnya didalam tubuh vektor atau sebagai intermediate host yang hidup didalam air.

  4. Water-related insect vector mechanism , agen penyakit ditularkan melalui gigitan serangga yang berkembang biak didalam air.

  Agar air minum tidak menyebabkan penyakit, maka air tersebut hendaknya diusahakan memenuhi persyaratan-persyaratan kesehatan, setidak-tidaknya diusahakan mendekati persyaratan tersebut. Air yang sehat harus mempunyai persyaratan sebagai berikut :

  1. Syarat fisik. Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah tidak berwarna, tidak berasa, suhu dibawah suhu udara diluarnya. Cara mengenal air yang memenuhi persyaratan fisik ini tidak sukar.

  2. Syarat bakteriologis. Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri patogen. Cara ini untuk mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri patogen, adalah dengan memeriksa sampel (contoh) air tersebut.

  3. Syarat kimia. Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu dalam jumlah yang tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia dalam air, akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia. Penyediaan air bersih, selain kualitasnya, kuantitasnya pun harus memenuhi standar yang berlaku. Untuk ini perusahaan air minum, selalu memeriksa kualitas airnya sebelum didistribusikan kepada pelanggan. Karena air baku belum tentu memenuhi standart, maka seringkali dilakukan pengolahan air untuk memenuhi standart air minum (Soemirat, 2007).

  Pengolahan air minum dapat sangat sederhana sampai sangat kompleks, tergantung dari kualitas air bakunya. Apabila air bakunya baik, maka mungkin tidak diperlukan pengolahan sama sekali. Apabila hanya ada kontaminasi kuman, maka desinfeksi saja cukup. Dan apabila air baku semakin jelek kualitasnya maka pengolahan harus lengkap, yakni melalui proses koagulasi, sedimentasi, filtrasi dan desinfeksi (Soemirat, 2007).

  Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau. Air minumpun seharusnya tidak mengandung kuman pathogen dan segala makhluk yang membahayakan kesehatan manusia. Tidak mengandung zat kimia yang dapat mengubah fungsi tubuh, tidak dapat diterima secara estetis dan dapat merugikan secara ekonomis (Soemirat, 2007).

2.5.2 Pengelolaan Pembuangan Kotoran Manusia (Jamban)

  Ekskreta manusia yang terdiri atas feses dan urine merupakan hasil akhir dari proses yang berlangsung dalam tubuh manusia yang menyebabkan pemisahan dan pembuangan zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh tersebut berbentuk tinja dan air seni (Budiman, 2007).

  Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Karena kotoran manusia (feses) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks (Soekidjo, 2007).

  Peranan tinja di dalam penyebaran penyakit sangat besar, disamping dapat langsung mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran dan sebagainya, juga air, tanah, serangga dan bagian-bagian tubuh kita dapat terkontaminasi oleh tinja-tinja tersebut (Soekidjo, 2007).

  Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk, jelas akan mempercepat penyebaran penyakit yang ditularkan melalui tinja. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain : tifus, disentri, kolera, schistosomiasis dan sebagainya (Soekidjo, 2007).

  Untuk mencegah dan mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan- persyaratan sebagai berikut (Soekidjo, 2007) :

  1. Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban tersebut

  2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya

  3. Tidak mengotori air tanah di sekitarnya

  4. Tidak terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa dan binatang- binatang lainnya

  5. Tidak menimbulkan bau

  6. Mudah digunakan dan dipelihara

  7. Sederhana desainnya

  8. Murah

  9. Dapat diterima oleh pemakainya Teknologi pembuangan kotoran manusia untuk daerah pedesaan sudah tentu berbeda dengan teknologi jamban di daerah perkotaan. Oleh karena itu, teknologi jamban di daerah pedesaan disamping harus memenuhi persyaratan jamban sehat juga harus didasarkan pada sosiobudaya dan ekonomi masyarakat pedesaan (Soekidjo, 2007).

  Pengelolaan tinja manusia dapat dilakukan didalam septik tank. Di dalam septik tank tinja akan dikonversi sacara anaerobik menjadi biogas (campuran gas Carbindioksida dan gas Metan). Diharapkan dengan penyedian jamban yang sehat dan pengelolaan tinja secara tepat, angka kejadian penyakit bawaan air dapat diminimalkan (Ricki, 2005).

2.5.3 Pengelolaan air limbah

  Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainnya dan pada umumnya mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia serta mengganggu lingkungan hidup. Batasan lain mengatakan bahwa air limbah adalah kombinasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah pemukiman, perdagangan, perkantoran dan industri, bersama-sama dengan air tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada (Kusnoputranto, 2003).

  Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa air buangan adalah air yang sisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan lain seperti industri, perhotelan dan sebagainya. Meskipun merupakan air sisa, namun volumenya besar, karena lebih kurang 80% dari air yang digunakan bagi kegiatan- kegiatan manusia sehari-hari tersebut dibuang lagi dalam bentuk yang sudah kotor (tercemar). Selanjutnya air limbah ini akhirnya akan mengalir ke sungai dan akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh sebab itu, air buangan ini harus dikelola atau diolah secara baik (Soekidjo, 2007).

  Air limbah ini berasal dari berbagai sumber, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi :

  1. Air buangan yang bersumber dari rumah tangga, yaitu air limbah yang berasal dari pemukiman penduduk. Pada umumnya air limbah ini terdiri dari ekskreta (tinja dan air seni), air bekas cucian dapur dan kamar mandi, dan umumnya terdiri dari bahan-bahan organik.

  2. Air buangan industri, yang berasal dari berbagai jenis industri akibat proses dengan bahan baku yang dipakai oleh masing-masing industri. Oleh sebab itu pengolahan jenis air limbah ini agar tidak menimbulkan polusi lingkungan menjadi lebih rumit.

  3. Air buangan kotapraja, yaitu air buangan yang berasal dari daerah : perkantoran, perdagangan, hotel, restoran, tempat-tempat umum, tempat ibadah dan sebagainya. Pada umumnya zat yang terkandung dalam jenis air limbah ini sama dengan air limbah rumah tangga.

  Air limbah yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak buruk bagi makhluk hidup dan lingkungannya. Beberapa dampak buruk tersebut antara lain : gangguan kesehatan, penurunan kualitas lingkungan, gangguan terhadap keindahan dan gangguan terhadap kerusakan benda (Ricki, 2005).

  Pada awalnya tujuan dari pengolahan air limbah adalah untuk menghilangkan bahan-bahan tersuspensi dan terapung, pengolahan bahan organik biodegradable serta mengurangi organisme patogen. Namun sejalan dengan perkembangannya, tujuan pengelolaan air limbah sekarang ini juga terkait dengan aspek estetika dan lingkungan (Ricki, 2005).

  Pengolahan air limbah dapat dilakukan secara alamiah maupun dengan bantuan peralatan. Pengolahan air limbah secara alamiah biasanya dilakukan dengan bantuan kolam stabilisasi. Kolam stabilisasi sangat direkomendasikan untuk pengolahan air limbah di daerah tropis dan negara berkembang sebab biaya yang diperlukan untuk membuatnya relatif murah tetapi membutuhkan area yang luas.

  Kolam stabilisasi yang umumnya digunakan adalah kolam anaerobik

  (aerobic/maturation pond). Kolam anaerobik biasanya digunakan untuk mengolah air limbah dengan kandungan bahan organik yang sangat pekat, sedangkan kolam maturasi biasanya digunakan untuk memusnahkan mikroorganisme patogen di dalam air limbah (Ricki, 2005).

  Pengolahan air limbah dengan bantuan peralatan biasanya dilakukan pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Di dalam IPAL, biasanya proses pengolahan dikelompokkan sebagai pengolahan pertama (primary treatment), pengolahan kedua (secondary treatment) dan pengolahan lanjutan (tertiary treatment) (Ricki, 2005).

  Sarana pembuangan air limbah yang sehat harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut:

  1. Tidak mencemari sumber air bersih

  2. Tidak menimbulkan genangan air yang menjadi sarang serangga/nyamuk

  3. Tidak menimbulkan bau

  4. Tidak menimbulkan becek, kelembaban dan pandangan yang tidak menyenangkan (DepKes RI, 1993).

2.5.4 Pengelolaan Sampah

  Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat membuat batasan sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Soekidjo, 2007).

  Agar dapat mempermudah pengelolaannya, sampah dapat dibedakan atas dasar sifat-sifat biologis dan kimianya, sebagai berikut (Soemirat, 2006):

  1. Sampah yang dapat membusuk, seperti sisa makanan, daun, sampah kebun, pertanian dan lainnya.

  2. Sampah yang tidak membusuk seperti kertas, plastik, karet, gelas, logam dan lainnya.

  3. Sampah yang berupa debu atau abu.

  4. Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan, seperti sampah-sampah berasalkan industri yang mengandung zat-zat kimia maupun zat fisis berbahaya. Sampah ini dalam bahasa inggris disebut garbage, yaitu yang mudah membusuk karena aktivitas mikroorganisme. Dengan demikian pengelolaannya menghendaki kecepatan, baik dalam pengumpulan maupun dalam pembuangannya. Bagi lingkungan sampah jenis ini relatif kurang berbahaya karena dapat terurai dengan sempurna menjadi zat-zat organik yang berguna bagi fotosintesa tumbuh-tumbuhan.

  Sampah yang tidak membusuk, dalam bahasa inggris disebut refuse. Sampah ini apabila memungkinkan sebaiknya didaur ulang sehingga dapat bermanfaat kembali baik melalui suatu proses ataupun secara langsung. Apabila tidak dapat didaur ulang, maka diperlukan proses untuk memusnahkannya, seperti pembakaran.

  Sampah berupa debu atau abu hasil pembakaran, baik pembakaran bahan bakar ataupun sampah tentunya tidak membusuk, tetapi dapat dimanfaatkan untuk mendatarkan tanah atau penimbunan. Selama tidak mengandung zat yang beracun, maka abu ini pun tidak terlalu berbahaya terhadap lingkungan dan masyarakat.