BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Coping 1. Pengertian Strategi Coping - STRATEGI COPING DALAM MENGHADAPI KONFLIK PERKAWINAN PADA SUAMI YANG ISTRINYA BEKERJA SEBAGAI TKW (PENELITIAN DI KECAMATAN KAWUNGANTEN, KABUPATEN CILACAP) - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Coping 1. Pengertian Strategi Coping Coping berasal dari kata “COPE” yang berarti lawan, mengatasi menurut Sarafino (dalam Yenjeli, 2014). Coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola stres yang ada dengan cara tertentu. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Yenjeli, 2010) coping adalah suatu

  proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan- tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressfull.

  Menurut Folkman (dalam Saptoto, 2010) mengartikan coping sebagai perubahan pemikiran dan perilaku yang digunakan oleh seseorang yang dalam menghadapi tekanan dari luar maupun dalam yang disebabkan oleh transaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang dinilai sebagai stressor, coping ini nantinya akan terdiri dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan sressor.

  Menurut Coyne (dalam Saptoto, 2010) menyatakan bahwa coping merupakan usaha-usaha baik kognitif maupun perilaku yang bertujuan untuk mengelola tuntutan lingkungan dan internal, serta mengelola konflik-konflik yang mempengaruhi individu melampaui kapasitas individu.

2. Jenis-jenis Strategi Coping

  Menurut Lazarus & Folkman (dalam Yenjeli, 2010) membagi jenis-jenis strategi coping sebagai berikut : a.

  Problem Focused Coping (PFC) Merupakan strategi coping untuk menghilangkan atau mengubah sumber-sumber stres. Problem Focused Coping memungkinkan individu membuat rencana dan tindakan lebih lanjut, berusaha menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi untuk memperoleh apa yang telah direncanakan dan diinginkan sebelumnya. Individu berfikir logis dan berusaha memecahkan permasalahan dengan positif.

  b.

  Emotion Focused Coping (EFC) Merupakan strategi untuk meredakan emosi individu yang ditimbulkan oleh stressor (sumber stres) tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung. Individu melihat sisi kebaikan (hikmah) dari suatu kejadian, mengharap simpati dan pengertian orang lain, atau mencoba melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang telah menekan emosinya, namun hanya bersifat sementara.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Coping

  Menurut Mutadin (dalam Saptoto, 2010) menyatakan bahwa cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi : a. Kesehatan Fisik

  Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar. b.

  Keterampilan memecahkan masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari iformasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tesebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

  c.

  Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe : problem solving focused coping.

  d.

  Keterampilan sosial Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.

  e.

  Dukungan sosial Keterampilan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

  f.

  Materi Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

4. Aspek-aspek Strategi Coping

  Menurut Carver (dalam Saptoto, 2010) menyebutkan bahwa aspek-aspek strategi coping antara lain : a.

  Keaktifan diri Yaitu suatu tindakan untuk mencoba menghilangkan atau mengelabuhi penyebab stres atau memperbaiki akibatnya dengan cara langsung.

  b.

  Perencanaan Yaitu memikirkan tentang bagaimana mengatasi penyebab stres antara lain dengan membuat strategi untuk bertindak, memikirkan tentang langkah upaya yang perlu diambil dalam menangani suatu masalah.

  c.

  Kontrol diri Individu membatasi keterlibatannya dalam aktifitas kompetisi atau persaingan dan tidak bertindak terburu-buru.

  d.

  Mencaari dukungan sosial yang bersifat instrumental Yaitu sebagai nasihat, bantuan dan informasi.

  e.

  Mencari dukungan sosial yang bersifat emosional Yaitu melalui dukungan moral, simpati atau pengertian.

  f.

  Penerimaan Yaitu sesuatu yang penuh dengan stres dan keadaan yang memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut.

  g.

  Religiusitas Yaitu sikap individu menenangkan dan menyelesaikan masalah secara keagamaan.

B. Konflik Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

  Menurut Olson & DeFrain (2003), Perkawinan adalah komitmen yang bersifat emosional dan legal antara dua orang untuk berbagi kedekatan secara fisik dan emosi, berbagi tugas-tugas serta sumber-sumber ekonomi. Dalam tugas kehidupan perkawinan, banyak tantangan-tantangan yang harus dihadapi termasuk didalamnya kemampuan suami dan istri dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri masing-masing pasangan setelah memutuskan untuk membina rumah tangga.

  Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah : Melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengkaitkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah (Ahmad Azhar, dalam Soemiyati, 2007).

  Menurut Undang-Undang Perkawinan, dalam pasal 1 tahun 1974 merumuskan perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”(Soemiyati, 2007).

  Perkawinan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan, dan budaya yang berbeda. Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terus menerus. Setiap Perkawinan selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya. Orang menikah bukan hanya mempersatukan diri, tetapi seluruh keluarga besarnya juga ikut. Perkawinan adalah ungkapan iman,dimana terjadi persatuan dua tubuh dan pribadi yang berbeda, di dalamnya seseorang menaru makna dan kebahagian hidupnya di dalam diri seseorang lainnya (Norwan, dalam Ningrum, 2010).

  2. Tujuan Perkawinan

  Menurut Imam Ghazali (dalam Soemiyati, 2007) membagi tujuan perkawinan kepada lima hal seperti berikut : a.

  Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

  b.

  Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

  c.

  Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

  d.

  Membentuk dan mengatur rumahtangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan kasih sayang.

  e.

  Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.

  3. Pengertian Konflik

  Menurut Wirawan (2013), konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang beragam.

  Menusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran politik, serta budaya dan tujuan hidupnya.

  Dalam sejarah umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi.

  Coser (dalam Dewi, 2008) menyatakan bahwa konflik selalu ada di tempat kehidupan bersama, bahkan dalam hubungan yang sempurna sekalipun konflik tidak dapat dielakkan dan konflik semakin meningkat dalam hubungan yang serius. Setiap saat dimana terdapat dua orang atau dua kelompok yang akan me-ngambil keputusan mempunyai potensi untuk menimbulkan suatu konflik. Sumber konflik dapat berasal dari kontak interaksi ketika dua pihak bersaing atau salah satu pihak mencoba untuk me-ngeksploitasi pihak lain (Brigham, dalam Dewi 2008).

  Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan ketidakcocokan atau pertentangan antara kedua belah pihak atau lebih mengenai ide, nilai dan tujuan yang henddak dicapai bersama sehingga salah satu pihak merasa terhalangi oleh pihak lain.

4. Konflik Perkawinan

  Menurut Sadarjoen (2005), konflik perkawinan merupakan perbedaan- perbedaan yang tidak terhindarkan yang terdapat pada kedua pasangan perkawinan dengan sendirinya akan memberikan pengaruh bagi berkembangnya perspektif yang berbeda pula. Latar belakang pengalaman yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan akan mempengaruhi pembentukan konflik perkawinan yang spesifik. Pada umumnya, tujuan-tujuan yang tidak serasi antara kedua pasangan merupakan dasar dari konflik.

  Finchman (dalam Dewi, 2008) mendefinisikan konflik perkawinan sebagai keadaan suami istri yang sedang menghadapi masalah dalam perkawinannya dan hal tersebut nampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis ketika sedang menghadapi konflik. Sprey (Lasswell dalam Dewi, 2008) menyatakan bahwa konflik dalam perkawinan terjadi dikarenakan masing-masing individu membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang unik dan berbeda.

  Dapat disimpulkan bahwa konflik perkawinan adalah perbedaan-perbedaan yang terjadi antara suami dan istri tentang masalah perkawinan yang mempengaruhi kehidupan rumah tangganya. Konflik perkawinan merupakan pergumulan mental antara suami istri yang disebabkan oleh keberadaan dua pribadi yang memiliki pandangan, temperamen, kepribadian dan tata nilai yang berbeda dalam memandang sesuatu dan menyebabkan pertentangan sebagai akibat dari adanya kebutuhan, usaha, keinginan atau tuntunan dari luar dalam yang tidak sesuai atau bertentangan.

5. Sumber-sumber Konflik Perkawinan

  Sadarjoen (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa sumber konflik perkawinan yang saling berpengaruh satu sama lain secara dinamis, yaitu perbedaan yang tidak terelakkan, perbedaan harapan, kepekaan, keintiman dalam perkawinan, aspek kumulatif dalam perkawinan, persaingan dalam perkawinan, dan perubahan dalam perkawinan. Pasangan suami istri terdiri atas individu yang secara esensial memiliki berbagai macam perbedaan, baik dalam hal pengalaman maupun kebutuhannya. Perbedaan tersebut terkait erat dengan nilaiyang mereka anut yang kelihatan peranannya ketika mereka menghadapi dan menyelesaikan masalah. Secara logika, perbedaan masing-masing dalam memaknai sesuatu memiliki kecenderungan untuk memicu terjadinya konflik sekiranya kedua pasangan tidak mampu menemukan persetujuan yang to-tal dan tidak mampu menerima perbedaan-perbedaan tersebut.

  Menurut Bastermarck (dalam Sadarjoen, 2005), sumber konflik pernikahan adalah kedua pasangan sebenarnya merasa tidak bahagia. Biasanya, sumber konflik tersebut tidak dapat didefinisikan oleh kedua pasangan. Namun sebagai pasangan, mereka merasakan adanya sesuatu yang menghalangi keintiman relasi diantara mereka. Kondisi tersebut disebut kehilangan oasis dari keintiman.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi konflik perkawinan

  Menurut Robbin (dalam Dewi, 2008) faktor-faktor yang mempengaruhi konflik yaitu : a.

  Karakteristik Individual 1)

  Nilai sikap dan kepercayaan (Values Attitude, and Beliefs) atau perasaan kita tentang apa yang benar dan apa yang salah, untuk bertindak positif maupun negatif terhadap suatu kejadian, dapat dengan mudah menjadi sumber terjadinya konflik.

  2) Kebutuhan dan kepribadian (Needs and Personality). Konflik muncul karena adanya perbedaan yang sangat besar antara kebutuhan dan kepribadian setiap orang, yang bahkan dapat berlanjut kepada perseteruan antar pribadi. Sering muncul kasus dimana orang-orang yang memiliki kebutuhan kekuasaan dan prestasi tinggi cenderung untuk tidak begitu suka bekerjasama dengan orang lain.

  3) Perbedaan Persepsi (Perseptual Deifference). Persepsi dan penilaian dapat menjadi penyebab terjadinya konflik. Misalnya saja, jika kita menganggap seseorang sebagai ancaman, kita dapat berubah menjadi defensif terhadap orang tersebut.

  b.

  Faktor situasi 1)

  Kesempatan dan Kebutuhan Berinteraksi (Opportunity and Need to

  Interact) kemungkinan terjadinya konflik akan sangat kecil jika orang-

  orang terpisah secara fisik dan jarang berinteraksi. Sejalan dengan meningkatnya asosiasi diantar pihak-pihak yang terlibat, semakin mengikat pula terjadinya konflik. Dalam bentuk interaksi yang aktif dan kompleks seperti pengambilan keputusan bersama (joint decision- making), potensi terjadinya konflik bahkan semakin meningkat.

  2) Ketergantungan satu pihak kepada pihak lain (Dependency of One Party

  to Another) Dalam kasus seperti ini, jika satu pihak gagal melaksanakan

  tugasnya, pihak yang lain juga terkena akibatnya, sehingga konflik lebih sering muncul.

  3) Perbedaan status (Status Difference) Apabila seseorang bertindak dalam cara-cara yang “arogan” dengan statusnya, konflik dapat muncul.

  Sadarjoen (2005) mengungkapkan faktor-faktor konflik dalam perkawinan antara lain menyangkut persoalan-persoalan : a.Keuangan (perolehan dan penggunaannya), b.

  Pendidikan anak-anak (misalnya jumlah anak dan penanaman disiplin), c. Hubungan pertemanan, d. Hubungan dengan keluarga besar, e. Pertemanan, rekreasi (jenis, kualitas, dan kuantitasnya), f. Aktvitas-aktivitas yang tidak disetujui oleh pasangan (persoalan minum-minuman keras, perjudian, extramarital affair, dll) g.

  Pembagian kerja dalam rumah tangga, h. Berbagai macam masalah (agama, politik, seks, komunikasi dalam perkawinan dan aneka macam masalah sepele), i.

  Masalah-masalah yang tidak spesifik.

  7. Tipe-tipe Konflik Perkawinan

  Sadarjoen (2005) mengkategorisasikan konflik perkawinan sebagai berikut : a.

  Zero Sum dan Motive Conflict Dalam sebuah konflik, kedua belah pihak tidak biasa kalah, hal ini disebut Zero Sum. Sedangkan Motif konflik terjadi karena salah satu pasangan mengharapkan mendapat keuntungan lebih dari apa yang diberikan pasangannya, tetapi mereka tidak berharap untuk menghabisi secara total, pasangannya sebagai lawan.

  b.

  Personality Based dan Situational Conflict Konflik pernikahan sering disebabkan oleh konflik situasional dan konflik atas dasar perbedaan kepribadian. Sebaiknya suami dan istri saling memahami kebutuhan masing-masing dan saling memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas lain.

  c.

  Basic dan Non-Basic Conflict Konflik yang terjadi akibat perubahan situasional disebut non basic conflict.

  Namun apabila konflik tersebut berangkat dari harapan-harapan pasangan suami-istri dalam masalah seksual dan ekonomi disebur sebagai basic conflict.

  d.

  Konflik yang Tak Terelakkan Keinginan manusia yang cenderung untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dan dengan biaya yang seminimal mungkin akan menimbulkan konflik yang tak terelakkan dalam sebuah relasi sosial seperti pernikahan.

  8. Aspek-aspek Konflik Perkawinan

  Aspek-aspek konflik pernikahan yang dikemukakan oleh Gottman dan Declaire (dalam Dewi, 2008) yaitu terjadinya kekerasan fisik pada pasangan, pelontaran kekerasan secara verbal, sikap bertahan, dan menarik diri dari interaksi pasangannya. Terjadinya kekerasan fisik ditandai dengan adanya perilaku yang menunjukkan kekerasan fisik dari salah satu pasangan kepada pasangannya atau kedua pasangan tersebut menunjukkan kekerasan fisik. Contohnya menampar pasangannya atau saling memukul.

  Berikut ini adalah aspek mengelola konflik perkawinan menurut Galvin (dalam Handayani, dkk., 2008) a.

  Competitive (kompetitif) Adanya unsur persaingan antar individu. Individu cenderung agresif dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk menyesuaikan tujuan dan keinginannya dengan orang lain. Individu saling melawan dengan memperlihatkan keunggulan masing-masing.

  b.

  Collaboration (kolaborasi) Bekerjasama dengan tujuan untuk mencari alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi individu, sehingga memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.Menurut Thomas dan Kilmann (dalam Wirawan, 2010)

  collaboration memiliki tingkat keasertifan dan kerjasama yang tinggi. Tujuannya

  adalah untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya ini sebagai upaya bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. Upaya tersebut sering meliputi saling memahami permasalahan konflik atau saling mempelajari ketidaksepakatan. Selain itu, kreativitas dan inovasi juga digunakan untuk mencari alternatif yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

  c.

  Compromising (kompromi) Mengupayakan persetujuan melalui jalan damai antara individu yang sedang berkonflik. Kompromi dilakukan dengan cara saling mengurangi tuntutan dari masing-masing pihak. Thomas dan Kilmann (dalam Wirawan, 2010) menambahkan bahwa compromising merupakan gaya mengelola konflik tingkat menengah, dimana tingkat keasertifan dan kerjasama sedang. Dengan menggunakan strategi take and give, kedua belah pihak yang terlibat konflik mencari alternatif titik tengah yang memuaskan sebagian keinginan mereka. Gaya ini berada di antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi. Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi perbedaan diantara dua posisi dan memberikan konsekuensi untuk mencari titik tengah. Berkoordinasi dengan pihak lain yang terlibat konflik untuk menyelesaikan konflik dengan penuh kesadaran diantara keduanya dengan cara membuka pikiran untuk berbicara, berunding, memberikan informasi tentang situasi kepada pihak yang bersangkutan dan mencari model penyelesaian konflik yang baik antara kedua belah pihak.

  d.

  Avoiding (menghindar) Ciri utamanya adalah perilaku yang tidak asertif dan pasif yang terwujud dalam perilaku menjauhkan diri dan mengalah dari permasalahan. Biasanya mereka mengalihkan perhatian dari konflik atau justru menghindari konflik. Kelebihan dari gaya ini adalah memberikan waktu untuk berfikir pada masing-masing pihak, apakah ada kemauan dari diri atau pihak lain untuk menangani situasi dengan cara yang lebih baik. Kelemahan dari pihak ini adalah individu menjadi lebih tidak peduli dengan permasalahan dan cenderung untuk melihat konflik sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari dengan cara apapun.Menurut Thomas dan Killman (dalam Wirawan, 2010) gaya ini memiliki tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah. Kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Bentuk penghindaran tersebut berupa: menjauhkan diri dari pokok permasalahan, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dam merugikan.

  e.

  Accommodation (akomodasi) Ditandai dengan perilaku non asertif namun kooperatif yaitu penyesuaian individu dengan lingkungan sosial. Individu cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Akomodasi dalam sosiologi memiliki dua makna yaitu merujuk pada keadaan dan proses. Akomodasi yang merujuk pada keadaan menunjukkan keseimbangan dalam interaksi antar individu atau antara kelompok yang berkaitan dengan nilai dan norma sosial yang berlaku. Adapun bentuk-bentuk akomodasi antara lain: koersi, arbitrasi, mediasi, konsiliasi, kompromi, toleransi, ajudikasi.

9. Dinamika Interaktif Area Konflik Perkawinan

  Goldberg (dalam Sadarjoen, 2005), mengungkapkan bahwa konflik dalam kehidupan perkawinan menyertakan dinamika yaitu : a.

  Kekuasaan dan kendali (Power and Control) Isu tentang kekuasaan pada fase awal dari perkawinan lebih banyak diekspresikan dalam konteks power struggle yaitu suatu upaya dari kedua pasangan perkawinan untuk melihat siapa diantara mereka yang akan berfungsinya area-area perkawinan tertentu. Bahkan dalam fase awal dari perkawinan, kedua pasangan sering dihadapkan pada dilema akan power vacuum. Dalam kondisi ini, kehidupan berkeluarga ditandai oleh ketidakhadiran kekuasaan yang efektif dan kendali yang konsekuen.

  b.

  Pelayanan (Nurture) Dinamika dari aspek nurture terasa lebih kompleks, bahkan sering menjadi sumber stres berlanjut. Dalam arti, kapan suami menyediakan makanan untuk pasangannya atau kapan istri yang menyediakan makanan untuk suaminya. Hal yang lebih penting adalah bahwa setiap orang sangat membutuhkan nurturing baik secara fisik maupun emosional. Dan yang sering terjadi dan merupakan sumber konflik adalah apabila kebutuhan nurturing pada aspek fisik dan emosionalnya tidak bertemu pada satu titik.

  c.

  Keintiman Privasi (Intimacy Privacy)

  Intimacy didefinisikan sebgai kebutuhan akan kedekatan dan kontak baik dalam

  aspek fisik maupun emosional. Masalah intimacy akhirnya terkait dengan masalah kebutuhan untuk kebersamaan. Sedangkan privacy disisi lain dapat didefinisikan sebagai kebutuhan untuk keterpisahan. Area intimacy dan privacy yang dirasakan merupakan kebutuhan sama pada pasangan perkawinan akan menciptakan harmoni. Sementara ketidaksamaan taraf kebutuhan tersebut merupakan salah satu bahan pertimbangan yang harus dicermati untuk terciptanya ketidakbahagiaan perkawinan.

  d.

  Kepercayaan (Trust) Dasar isu utama dari keberlangsungan perkawinan secara menyeluruh adalah

  trust. Apakah setiap pasangan mengetahui dan merasakan bahwa pasangannya

  benar-benar secara utuh memusatkan segala aktivitasnya demi dirinya dan membuat dirinya merasa tidak terancam, baik dalam hal kasih dan fokus perhatian pasangannya ? e. Kesetiaan (Fidelity)

  Isu fidelity tentu saja sangat terkait dengan isu trust. Namun, Goldberg memisahkan kedua isu tersebut karena ia yakin bahwa kesetiaan memiliki implikasi yang menunjukan kasih yang umum, kehormatan, keceriaan dan tidak menempatkan orang lain diatas pasangannya. f.

  Gaya hidup dan keteraturan (Life Style and Sense of Order) Pada dasarnya, perbedaan-perbedaan dalam gaya tidak perlu menjadi perbedaan dalam perkawinan secara teoritis. Namun paling tidak untuk memandang segala perbedaan-perbedaan yang ada sebenarnya memiliki efek komplementer atau bahkan memberikan efek penguat. Sering terjadi bahwa aktual efek menjadi kebalikannya.

10. Strategi Penyelesaian Konflik

  Untuk dapat menangani konflik secara konstruktif, Olson dan DeFrain (dalam Handayani, dkk., 2008) mengembangkan strategi mendasar dalam resolusi konflik yang dijabarkan ke dalam 6 langkah, sebagai berikut: a.

  Penjelasan permasalahan Munculnya konflik biasanya diawali dengan adanya kesalahpahaman. Seringkali orang bertengkar mengenai suatu hal yang tidak ia setujui, tetapi masih terbatas pada pemikirannya. Oleh sebab itu, seringkali permasalahan yang dipikirkan satu orang berbeda dengan yang difikirkan orang lain. Tanpa ada pemahaman yang sama mengenai duduk perkara yang sesungguhnya, tentu akan sulit untuk menemukan resolusi konflik yang sesuai. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam memperjelas permasalahan adalah : 1)

  Masing-masing pihak meluangkan waktu untuk introspeksi: apa yang sebenarnya mengganggu hubungan mereka, situasi apa yang memicu perasaan mereka, apa yang membuat perasaan mereka tidak nyaman, dan apa yang dapat dilakukan oleh masing-masing pihak untuk diri mereka sendiri.

  2) Masing-masing pihak mencoba memahami apa yang disampaikan oleh pasangannya: mencoba melakukan cross check, apakah yang dipahami sesuai dengan apa yang sebenarnya disampaikan oleh pihak lain.

3) Masing-masing pihak harus fokus pada permasalahan.

  4) Setiap pasangan harus merangkum apa yang disampaikan oleh pasangannya setelah berbicara b.

  Menemukan apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak Setelah berhasil merumuskan inti permasalahan yang dihadapi, harus diidentifikasi apa yang diinginkan dari masing-masing pihak. Tanpa tahap ini, negosiasi yang dilakukan tidak akan memuaskan semua pihak dan mendorong timbulnya pertengkaran yang berulang-ulang. Tahap ini kadangkala sulit dilakukan, karenanya masing-masing harus dapat memfasilitasi pasangannya untuk mengekspresikan perasaan dan keinginannya.

  c.

  Mengidentifikasi alternatif solusi yang beragam Pada tahap ini masing-masing haris mencari alternatif penyelesaian konflik.

  Langkah ini bisa mengarahkan pada insight baru. Brainstorming dapat menjadi proses yang menyenangkandan kreatif karena masing-masing bekerjasama untuk mencari jalan keluar.

  d.

  Menentukan bagaimana bernegosiasi Setelah beragam alternatif solusi dikumpulkan, maka dicoba membuat kesepakatan atau rencana untuk dilakukan perubahan ke arah yang lebih baik melalui negosiasi.

  e.

  Solidifying Agreement Ketika kesepatakan sudah mulai dicapai maka masing-masing pihak harus memahami dengan jelas apa saja yang sudah disepakati. Masing-masing harus memegang komitmen dan saling memberikan dukungan untuk melakukan kesepakatan yang telah dibuat. f.

  Reviewing and Renegotiation Kesepakatan yang sudah dibuat kadangkala tidak benar-benar dapat menyelesaiakan konflik yang dihadapi. Hal ini kadang membuat individu kecewa dan kesulitan untuk menyelesaiakan konflik yang dihadapi selanjutnya. Padahal sebenarnya hal ini tidak harus terjadi, bila masing-masing menyadari bahwa kesepakatan yang sudah dibuat bisa saja kurang berhasil.

C. Tenaga Kerja Wanita (TKW)

  Perempuan bekerja bukan hal asing lagi dijaman sekarang. Mulai dari bidang berat seperti diperindustrian dengan menjadi tenaga yang menggerakan roda-roda mesin, menjadi kuli bangunan hingga ke bidang yang memang sesuai dengan fitrahnya seperti menjadi perawat atau guru. Semua seakan berlomba-lomba untuk mendapatkan lahan pekerjaan disektor publik. Bahkan karena tidak mencukupinya lahan didalam negeri, banyak dari para perempuan yang eksodus keluar negeri dengan menjadi TKW atau Tenaga Kerja Wanita. Apabila kita mau mencermati mereka yang disebut TKW ini biasanya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga dinegara orang

  Nasib TKW baik yang didalam negeri maupun diluar negeri sesungguhnya tidak jauh berbeda. Perbedaannya mungkin bagi mereka yang jadi TKW diluar negeri mempunyai prestise tersendiri karena pernah ke Singapura, Malaysia, Hongkong atau bahkan Arab Saudi, ketika pulang membawa hasil lebih banyak.

  Namun demikian, disamping kesuksesan para TKW yang mampu membawa devisa bagi negara tersebut, sesungguhnya nasib ribuan TKW yang lainnya jauh merana.

  Banyak diberitakan media massa bahwa ada TKW asal Lampung yang terancam hukuman mati di Singapura. Belum lagi yang ramai diberitakan bari-baru ini adalah

  TKW yang bekerja di Arab Saudi yang disiksa oleh majikannya. Dan masih banyak lagi kasus TKW yang tidak terekspos (Suara Merdeka, 7 Juli 2013).

D. Kerangka Pemikiran

  Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan dan tinjauan pustaka diatas, maka kerangka pemikiran ini dilakukan karena adanya konflik perkawinan yang ditemui pada suami yang istrinya bekerja sebagai TKW. Faktor kemiskinan merupakan alasan utama bagi masyarakat untuk memutuskan menjadi TKW. Salah satu bentuk resiko yang terjadi pada saat keputusan menjadi TKW diambil adalah terjadinya perpecahan atau konflik rumah tangga. Para ibu atau istri yang menjadi TKW akan meninggalkan keluarganya (suami dan anak) sehingga menyebabkan perubahan-perubahan dan pergeseran-pergeseran peran dalam keluarga.

  Demikian juga pada diri anak, terjadinya salah asuh seringkali terjadi dalam kehidupan anak-anak para TKW karena hilangnya peran seorang ibu, sehingga tidak jarang pula anak-anak TKW yang terlibat dalam suatu kenakalan remaja. Peran ayah yang muncul sebagai pemangku tanggung jawab yang kemudian berperan ganda, juga harus melaksanakan fungsi keluarga seperti fungsi ekonomi, pendidikan dll. Sayangnya banyak ayah yang tidak sanggup mengelola sendiri berbagai kebutuhan dan perlindungan anak-anak tanpa kehadiran ibu. Sehingga mengakibatkan adanya peran pengganti orangtua bagi anak seperti nenek, bibi, atau kerabat lainnya. Tak jarang pula hal tersebut memicu terjadinya konflik keluarga seperti mertua dan menantu.

  Selain itu, seringkali keluarga yang ditinggalkan juga memiliki keterbatasan ekonomi karena dana dari gaji istri sebagai TKW seringkali tidak disalurkan untuk kepentingan anak melainkan digunakan untuk hal lain. Selain itu, hilangnya fungsi istri juga sangat berpengaruh timbulnya konflik dalam perkawinan karena pada saat istri menjadi TKW, istri tidak bisa mendampingi, melayani dan memenuhi kebutuhan suaminya seperti pasangan suami istri pada umumnya. Hal-hal tersebut merupakan motif terjadinya konflik dalam keluarga.

  Konflik yang tidak terselesaikan yang terjadi pada pasangan suami istri juga bisa memicu terjadinya perselingkuhan yang dilakukan oleh suami maupun istri. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perselingkuhan, yang pertama yaitu karena hubungan suami istri yang sudah hilang kemesraan dan cinta kasih. Hal ini berhubungan dengan ketidakpuasan seks, istri kurang berdandan dirumah, cemburu, baik secara pribadi maupun hasutan pihak ketiga, yang kedua yaitu karena tekanan pihak ketiga, seperti mertua, dll (anggota keluarga lain), dalam hal ekonomi, dan terakhir, adanya kesibukan masing-masing sehingga kehidupan luar lebih nyaman dari pada kehidupan keluarga (Willis, 2009).

  Oleh karena itu perlu adanya strategi coping yang baik dan tepat untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi dalam perkawinan TKW. Bagaimana kemampuan sang suami untuk mengelola, dan memecahkan konflik dengan positif sehingga dapat menghasilkan alternatif tindakan yang positif pula sesuai dengan harapan suami dan istri.

  Gambar.1 Pasangan Suami Istri Istri menjadi TKW Konflik Perkawinan

  Pendidikan Hubungan Hubungan Aktivitas yang tidak Tugas Agama, seks, Keuangan

  Keuangan anak pertemanan keluarga besar disetujui pasangan komunikasi Rumah tangga

  Strategi Coping

Dokumen yang terkait

STRATEGI COPING WASIT NASIONAL DALAM MENGHADAPI KONFLIK INTRAPERSONAL

0 4 20

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Strategi Interaktif Learning 1. Pengertian Strategi - STRATEGI INTERACTIVE LEARNING DALAM PEMBELAJARAN FIQIH DI MTs NEGERI JAMBEWANGI KABUPATEN BLITAR - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 54

BAB II LANDASAN TEORI III. A. COPING STRES III. A. 1. Defenisi Stres - Gambaran Strategi Coping Stres pada Ibu yang Tidak Memiliki Anak Laki-laki di Tanah Gayo

0 0 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Pustaka 1. Strategi a. Pengertian Strategi - ANALISIS STRATEGI MEMPERTAHANKAN KONSUMEN DI TOKO LOCKED TARGET DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM - STAIN Kudus Repository

0 1 34

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Strategi Pemasaran 1. Pengertian Strategi Pemasaran - ANALISIS IMPLEMENTASI STRATEGI PEMASARAN KUALITAS PRODUK DALAM MENINGKATKAN VOLUME PENJUALAN (STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN KRUPUK BAWANG SUS DI DESA MOJOSIMO KECAMATAN GAJAH KAB

0 0 20

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Manajemen Strategi 1. Pengertian Manajemen Strategi - ANALISI MANAJEMEN STRATEGI USAHA WARALABA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN BISNIS MINUMAN COKLAT (STUDI KASUS USAHA WARALABA CHOCOBEAN CABANG KUDUS) - STAIN Kudus Repository

0 2 31

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Strategi Pemasaran 1. Pengertian Strategi - BAB II Teori

0 0 46

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rantai Pasok - RANTAI NILAI BERAS IR64 DI KECAMATAN WANAREJA KABUPATEN CILACAP - repository perpustakaan

0 1 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rumah Sakit 1. Pengertian Rumah Sakit - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BOR PADA PASIEN UMUM RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT ISLAM PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perilaku 1. Definisi Perilaku - STUDI FENOMENOLOGI PEMANFAATAN SUNGAI SEBAGAI MEDIA MCK DI DESA SOKARAJA KULON KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 1 25