BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Kubis - Andina Pawitra Sari Bab II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kubis

  Tanaman Brassicaceae (kubis-kubisan) memiliki ciri daun dan bunga yang berbentuk vas kembang. Umumnya bunga berwarna kuning, tetapi ada pula yang berwarna putih. Bunganya terdapat dalam tandan yang muncul dari ujung batang atau tunas. Tanaman ini mempunyai bunga sempurna dengan enam benang sari yang terdapat dalam dua lingkaran. Empat benang sari dalam lingkaran dalam, sisanya dalam lingkaran luar. Sayuran Brassicaceae meliputi beberapa genus, diantaranya ialah kubis (kol), petsai, sawi, dan lobak (Sunarjono, 2013).

  Kubis dikonsumsi dalam bentuk daun, umbi, bunga, dan krop (daun yang menggulung terpusat ke dalam). Kubis berdaun hijau banyak mengandung vitamin C. Sementara itu, kubis putih merupakan sumber vitamin A dan kubis bunga adalah sumber vitamin B. Rasa daunnya segar, dan renyah (Sunarjono, 2013).

  Tanaman kubis banyak memerlukan perawatan yang khusus. Pemeliharaan tanaman yang penting di samping membersihkan rumput pengganggu dan memberi air bila kekeringan, ialah memberantas hama serta penyakit. Hama-hama yang sangat berbahaya terhadap tanaman kubis ialah ulat kubis. Ada dua jenis ulat kubis, yaitu Plutella xylostella dan

  Crocodolomia binotalis (Sunarjono, 2013).

  5

2.2. Ulat Tritip

2.2.1. Klasifikasi Ulat Tritip

  Adapun klasifikasi dari Plutella xylostella L. menurut Storer (1975) sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Classis : Insecta Ordo : Lepidoptera Familia : Plutellidae Genus : Plutella Species : Plutella xylostella L.

  Kata Plutellidae berasal dari bahasa Yunani, yaitu ploutos yang artinya banyak sekali, atau melimpah. Ngengat dan larvanya memiliki ukuran yang kecil. Larvanya berbentuk silindris dan berwarna hijau. Serangga yang termasuk famili Plutellidae, diantaranya ulat tritip atau ngengat punggung berlian (Plutella maculipennis Curtis; sinonim

  Plutella xylostella (L), P. cruciferarum Zeller). Hama ini tersebar di

  seluruh dunia, yaitu di daerah tropis, subtropis, dan daerah sedang (temperate). Ulat tritip berukuran kecil, tetapi sangat merugikan tanaman kubis (Pracaya, 2008).

2.2.2. Daur Hidup Ulat Tritip

2.2.2.1. Telur

Gambar 2.1. Telur Plutella xylostella Sumber: Buss (2012)

  Tritip mengalami 4 kali perubahan bentuk dalam hidupnya, yaitu stadium telur, ulat, kepompong (pupa), dan imago. Umur tritip di daerah dingin lebih panjang daripada di daerah panas. Di daerah panas dengan ketinggian hingga 250 m dpl, stadium telurnya 2 hari, ulat 9 hari, pupa 4 hari, dan imago 7 hari. Sementara itu, di dataran tinggi dengan ketinggian 1.100- 1.200 m dpl, stadium telurnya 3-4 hari, ulat 12 hari, pupa 6-7 hari, dan imago 20 hari (Pracaya, 2008).

  Ngengat betina dapat bertelur 180-320 butir. Umumnya telur diletakkan di balik daun satu per satu, kadang dua, dua atau tiga dan tiga. Telurnya mengelompok dalam satu daun atau daun yang berlainan tanaman sehingga satu ngengat dapat bertelur pada banyak tanaman kubis (Pracaya, 2008).

2.2.2.2. Larva

  Plutella xylostella

Gambar 2.2. Larva Sumber: Dokumentasi pribadi

  Larva berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak berbulu dan terdiri atas empat instar (Vos 1953; Harcourt , 1957 dalam Sastrosiswojo et al., 2005). Larva ini sangat lincah dan jika tersentuh akan menjatuhkan diri serta menggantungkan diri dengan benang halus. Larva jantan dapat dibedakan dari larva betina karena memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning (Sastrosiswojo et al., 2005).

  Larva instar satu berukuran panjang 1 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuning-kuningan yang berlangsung selama 4 hari. Instar II berupa larva berukuran 2 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuningan, dan berlangsung selama 2 hari.

  Instar III larva berukuran 4-6 mm, lebar 0,75 mm, berwarna hijau, dan berlangsung selama 3 hari. Instar IV larva berukuran panjang 6-8 mm, lebar 1-1,5 mm, berwarna hijau, dan berlangsung selama 3 hari (Rukmana, 1994 dalam Purba, 2007).

2.2.2.3. Pupa

Gambar 2.3. Pupa Plutella xylostella Sumber: Buss (2012)

  Setelah cukup umur, ulat mulai membuat kepompong dari bahan seperti benang sutera abu-abu putih di balik permukaan daun untuk menghindari panasnya sinar matahari. Pembentukan kepompong mulai dari dasarnya, sisi, kemudian tutupnya. Kepompong masih terbuka pada bagian ujung untuk keperluan pernapasan. Pembentukan kepompong diselesaikan dalam waktu 24 jam. Setelah selesai, ulat berubah menjadi pupa.

  Kulit ulat biasanya diletakkan dalam kepompong, tetapi kadang juga diletakkan di luar kepompong (Pracaya, 2008).

  Pupa pada mulanya berwarna hijau, selanjutnya berwarna kuning pucat, dengan warna kecoklatan pada bagian punggungnya. Panjang pupa 5-6 mm, dengan diameter 1,2-1,5 mm, pupa tertutup oleh kokon, dengan masa pupa 3-6 hari. Total perkembangannya 13-22 hari (Sudarmo, 1994 dalam Purba, 2007).

2.2.1.4. Ngengat

Gambar 2.4. Ngengat Plutella xylostella Sumber: Buss (2012)

  Ngengat berwarna coklat, dengan panjang tubuh 5-9 mm. waktu ngengat sedang istirahat, antenna lurus ke depan. Ngengat jantan kelihatan lebih kecil dibanding dengan betina, demikian pula warnanya lebih cerah (Sudarmo, 1994 dalam Purba, 2007).

  Serangga P. xylostella dewasa merupakan ngengat kecil berwarna coklat kelabu dengan tiga buah titik seperti intan terdapat pada sayap depan sehingga dikenal sebagai “diamond

  

back moth ” (Permadi dan Sastrosiswojo, 1993 dalam Purba,

2007).

  Ngengat (kupu-kupu) Plutella xylostella aktif pada malam hari, dapat berpindah-pindah dari suatu tanaman ke tanaman lain atau daerah ke daerah lain (Rukmana, 2010).

2.2.3. Kerusakan yang disebabkan oleh Plutella xylostella

  Ulat kubis (Plutella maculipennis) ini merusak tanaman dengan memakan bagian daging daun (epidermis). Daun yang sering terserang ialah daun muda sebelah bawah. Bagian yang tidak dimakan ialah tulang daun dan bagian epidermis atas (Sunarjono, 2013).

  Hama ini bersifat kosmopolit (tersebar luas hampir di seluruh dunia) dan di Indonesia umumnya dapat ditemukan di pertanaman kubis di dataran tinggi, pegunungan, atau perbukitan. Namun, karena akhir-akhir ini kubis juga ditanam di dataran rendah, P. xylostella juga dapat ditemukan pada pertanaman kubis di dataran rendah. Faktor iklim ( curah hujan ) dapat mempengaruhi populasi larva P. xylostella.

  Kematian larva akibat curah hujan lebih banyak terjadi pada larva muda, yakni larva instar ke- 1 dan larva instar ke- 2 daripada larva instar ke- 3 dan larva instar ke- 4. Oleh karena itu, umumnya populasi larva P. xylostella tinggi dimusim kemarau (bulan April sampai dengan Oktober) atau apabila keadaan cuaca kering selama beberapa minggu. Populasi larva yang tinggi terjadi setelah kubis berumur enam sampai delapan minggu (Sastrosiswojo et al., 2005).

  Menurut Sastrosiswojo et al. (2005), hama P. xylostella juga dapat menyerang tanaman kubis yang sedang membentuk krop sampai panen. Keadaan ini dapat terjadi jika ; 1) populasi musuh alaminya, yaitu parasitoid D. semiclaiusum rendah;

  2) tidak ada hama pesaing yang penting, yaitu ulat krop kubis (C. binotalis);

  3) hama P. xylostella telah resisten terhadap insektisida yang digunakan; dan

  4) populasi larva P. xylostella sangat tinggi.

  Keadaan demikian menyebabkan P. xylostella dapat merusak krop kubis sehingga menggagalkan panen, karena kerusakan yang ditimbulkan bersama-sama hama C. binotalis, dapat mencapai 100 %.

  

P. xylostella merupakan hama utama tanaman kubis putih dan jenis

  kubis lainnya seperti kubis merah, petsai, kubis bunga, kaelan, selada air, sawi jabung, radis, tumip, dan lain-lain (Sastrosiswojo et al., 2005).

  Biasanya hama P. xylostella merusak tanaman kubis muda. Meskipun demikian hama P. xylostella seringkali juga merusak tanaman kubis yang sedang membentuk krop jika tidak terdapat hama pesaingnya, yaitu C. binotalis. Larva P. xylostella instar ketiga dan keempat makan permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun membesar, lapisan epidermis pecah, sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Jika tingkat populasi larva tinggi, akan terjadi kerusakan berat pada tanaman kubis, sehingga yang tinggal hanya tulang-tulang daun kubis. Serangan P.

  

xylostella yang berat pada tanaman kubis dapat menggagalkan panen

(Sastrosiswojo et al., 2005).

2.3. Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava) 2.3.1. Klasifikasi Tanaman Jambu Biji

  Sistematika tanaman jambu biji (Psidium guajava) menurut Cronquist (1981) adalah sebagai berikut ; Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Familia : Myrtaceae Genus : Psidium Species : Psidium guajava L.

2.3.2. Morfologi Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava)

Gambar 2.5. Tanaman Jambu Biji Sumber: Ridha (2011)

  Tanaman jambu biji (Psidium guajava) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis, banyak ditanam sebagai tanaman buah- buahan yang tumbuh pada ketinggian 1-1.200 m diatas permukaan laut dan merupakan tanaman perdu atau pohon kecil, tinggi tanaman umumnya 3-10 m. Kulit batangnya licin, terkelupas dalam potongan. Ruas tangkai teratas segi empat tajam. Daun muda berbulu abu-abu, daun bertangkai pendek dan bulat memanjang. Bunga terletak di ketiak daun. Tabung kelopak bunga berbentuk lonceng atau bentuk corong, panjang 0,5 cm, pinggiran tidak rontok, panjang ± 1cm. Daun mahkota bulat telur terbalik, panjang 1,5-2 cm, putih segera rontok. Benang sari pada tonjolan dasar bunga yang berbulu, putih, pipih & lebar seperti halnya tangkai putik berwarna seperti mentega. Bakal buah tenggelam beruang 4-5. Buah buni bundar dan berbentuk pir (van Steenis, 2008).

2.3.3. Kandungan Kimia Daun Jambu Biji

  Menurut Taiz dan Zeiger (2002) metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman merupakan bagian dari sistem pertahanan diri.

  Metabolit sekunder dibedakan menjadi tiga kelompok besar yaitu terpen, fenolik, dan senyawa yang mengandung nitrogen terutama alkaloid.

  Senyawa yang termasuk golongan terpen yaitu saponin. Senyawa yang termasuk golongan fenolik yaitu flavonoid dan tanin, sedangkan senyawa yang mengandung nitrogen yaitu alkaloid (Harborne, 1987). Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar dan merupakan senyawa organik (Ariani, 2008). Tanin pada tanaman jambu biji dapat ditemukan pada bagian buah, daun dan kulit batang, sedangkan pada bunganya tidak banyak mengandung tanin. Daun tanaman jambu biji selain mengandung tanin, juga mengandung zat lain seperti asam guajaverin, minyak atsiri dan vitamin (Thomas, 1989

  dalam Septiana, 2012).

  Kandungan senyawa aktif dalam daun jambu biji dapat diambil melalui proses ekstraksi. Ekstrak daun jambu biji yang menggunakan air mengandung tanin, sedangkan ekstrak etanol daun jambu biji mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, dan saponin (Belemtougri, 2006).

2.4. Penelitian Terdahulu

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mostafa et al. (2012), tentang aktivitas insektisida dari ekstrak tanaman terhadap Tribolium castaneum Herbst. (kumbang tepung merah atau biasa disebut kutu beras), dengan menggunakan berbagai ekstrak yaitu Tamarindus indica, Azadirachta indica,

  Cucumis sativus , spesies Eucalyptus, Switenia mahagoni, dan daun Psidium guajava terhadap Tribolium castaneum Herbst., namun dengan menggunakan

  pelarut yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa ekstrak tersebut menunjukkan toksisitas yang kuat sampai sedang pada konsentrasi yang berbeda terhadap kumbang tepung merah. Ekstrak daun Cucumus sativus menunjukkan kematian mencapai 80% sedangkan Psidium guajava ekstrak menunjukkan angka kematian hanya 50%. Di antara pelarut, ekstrak heksana menunjukkan efek yang lebih beracun dibandingkan ekstrak lainnya. Hasil LC50 mengungkapkan bahwa ekstrak heksana dari Cucumus sativus adalah yang paling toksik terhadap hama diikuti oleh ekstrak heksana dari

  Azadirachta indica dan Tamarindus indica.

  Hasil penelitian ekstrak etanol daun jambu biji (Psidium guajava L.) sebagai insektisida terhadap lalat rumah yang dilakukan oleh Baskoro et al.

  (2013), menunjukkan bahwa ekstrak daun jambu biji memiliki potensi sebagai insektisida terhadap lalat rumah (Musca domestica) dan ekstrak yang memiliki potensi terbesar sebagai insektisida terhadap lalat rumah (Musca domestica) adalah konsentrasi 25 % dengan mortalitas sebesar 100 %.