Orang biasa di tempat luar biasa : studi atas pengalaman belanja keluarga kelas menengah bawah di Ambarrukmo Plaza - USD Repository

  

ORANG BIASA DI TEMPAT LUAR BIASA

Studi Atas Pengalaman Belanja

Keluarga Kelas Menengah Bawah di Ambarrukmo Plaza

TESIS

  

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Studi Pascasarjana

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

OLEH:

SAMSUL BAHRI

  

PEMBIMBING:

ST SUNARDI

KATRIN BANDEL

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2009

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 21 Mei 2009 Penulis Samsul Bahri

  

KATA PENGANTAR

Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dua pembimbing saya, Pak St Sunardi

dan Katrin Bandel, atas koreksi serta masukan yang diberikan demi perbaikan karya

tulis ini, baik itu dari sisi teoretis, maupun dari sisi teknis, terutama koreksi atas

pengulangan kalimat dan pengulangan penjelasan yang kerap saya buat. Terimakasih

juga kepada pembantu pembimbing, Devi Ardhiani, atas kesediaan membaca

beberapa bagian dari karya ini dan memberikan masukan berarti. Meski telah melalui

proses perbaikan, tidak menutup kemungkinan masih ada kekurangan yang

dikandung karya ini. Segala kekurangan itu adalah kesalahan saya dan menjadi

tanggungjawab saya.

  Selama menjalani studi di Program Ilmu Religi Budaya (IRB), saya banyak

mendapat pengalaman berharga dan tambahan wawasan dari para tenaga pengajar.

Mereka telah menjadi guru sekaligus rekan diskusi yang baik. Atas semua itu, saya

menyampaikan terimakasih kepada mereka; Romo Baskara, Budiawan, Romo Banar,

Tri Subagya, George Aditjondro, Novita Dewi dan Robert Imam. Untuk urusan

administrasi, terimakasih kepada mbak Hengki Samudrawati.

  Terimakasih kepada rekan-rekan saya; Linda, Bu Aleida, Yudi, Yustina, Yeni,

Sujud, Mas Hagung, Bung Anzieb. Sebagian dari mereka telah banyak membantu

saya dalam mengumpulkan data tambahan bagi karya tulis ini. Terimakasih kepada

rekan saya di Universitas Muhammadiyah Mataram, Bung Zakaria, atas motivasi

yang diberikan agar saya menyelesaikan sisa-sisa masa studi saya. Terimakasih

kepada Mas Suwarno sekeluarga selaku informan dalam penelitian saya. Dari

merekalah sebagian sumber data penelitian ini digali. Tidak lupa terimakasih kepada

kedua orang tua saya yang telah memberi dukungan ketika saya mengambil

keputusan melanjutkan studi.

  Penelitian ini mulai saya lakukan pada akhir tahun 2006, dan selesai pada

awal tahun 2008, namun mengalami proses perbaikan dan penyempurnaan hingga

tahun 2009. Tesis ini diinspirasi dari kegiatan kunjungan yang saya lakukan beberapa

kali ke sebuah tempat belanja mewah di kota ini, Ambarrukmo Plaza. Ketertarikan

dengan apa yang saya saksikan berkali-kali di tempat belanja itu, menjadi titik

berangkat gagasan penelitian saya.

  Sebagai seorang pemula dalam ranah keilmuan kajian budaya, banyak hal

yang harus saya pelajari dari awal, lantaran adanya kesenjangan latar belakang

keilmuan yang saya miliki sebelumnya dengan kajian yang saya anggap ”baru” ini.

Karenanya, capaian saya melalui karya penelitian ini belum lagi dapat dikatakan

sempurna. Saya merasa masih harus banyak membaca karya-karya penelitian lain

untuk mengetahui bagaimana cara praksis sebuah penelitian dijalankan.

  Yogyakarta, Mei 2009

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................................... I HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................... II HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................. IV KATA PENGANTAR ................................................................................................. V DAFTAR ISI ............................................................................................................... VI ABSTRAK .................................................................................................................. IX

  BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................................ 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 7 D. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 8 E. Tinjauan Penelitian ...……………………………………………………….. 8 F. Sistematika Penulisan ………………………………………………………. 13 BAB II METODOLOGI …………………………………………………………………….. 14 A. Pengantar ........................................................................................................ 14 B. Pendekatan Penelitian ..................................................................................... 14 C. Kerangka Konseptual ...................................................................................... 16

  1. Politik ekonomi tanda ................................................................................. 16

  2. Hegemoni mal dan resistensi melalui persepsi .......................................... 19

  BAB III AMBARRUKMO PLAZA SEBAGAI TEMPAT BELANJA ISTIMEWA .............. 23 A. Pengantar ......................................................................................................... 23 B. Para Pembangun dan Pertimbangan atas Pembangunan Ambarrukmo Plaza .. 28

  1. Triad Aristokrat .......................................................................................... 28

  2. Dari Malioboro ke Jalan Solo ................................................................... 32

  3. Menimbang Ruang Strategis dan Ruas Jalan Ekonomis ........................... 43

  C. Ambarrukmo Plaza dan Usaha Spesifikasi Konsumen .................................... 46

  1. “Jarak Plaza Hanya Lima Menit dari Bandara” ...................................... 48

  2. Akses Jalan Baru ke Plaza ......................................................................... 50

  3. Iklan Belanja Meriah Carrefour ................................................................ 53

  4. Arteri dan Plakat Carrefour di Atasnya ..................................................... 56

  5. Imajinasi Amplaz Lewat Majalah “Plaza” ................................................ 58

  D. Kesimpulan ....................................................................................................... 61

  BAB IV ORANG BIASA BERBELANJA KE TEMPAT ISTIMEWA ..................................... 63 A. Pengantar……………………………………………………………………… 63 B. Latar Kawasan dan Profil Keluarga Orang Biasa ............................................. 64

  1. Latar Kawasan Domisili ………………………………………………..... 64

  2. Latar Keluarga ............................................................................................ 67

  C. Pergi Belanja ke Tempat Istimewa ................................................................... 68

  1. Ke ”Kerfur” Beli Sabun ............................................................................... 69

  2. Belanja Baju Obral di ”Kerfur” ................................................................... 97 3 . Belanja Buah Pir Murah di ”Kerfur” ......................................................... 102

  BAB V PRAKTEK KONSUMSI ORANG BIASA DI TEMPAT LUAR BIASA MEMBACA PENGALAMAN DAN MENANDAI MOMEN ........................................................ 111 A. Pengantar …………………………………………………………………..... 111 B. Godaan Barang, Daya Beli, Ekstase dan Rasa Frustrasi ................................. 113

  1. Godaan Barang dan Topangan Daya Beli ................................................ 114

  2. Ekstase Berbelanja dan Rasa Frustrasi .................................................... 126

  C. Kehadiran di Plaza dan Kemungkinannya ...................................................... 133

  1. Carrefour dan Agitasi Belanja “Paling Murah” ...................................... 134

  2. Pola Konsumsi Orang Biasa dan Sirkulasi Kehadiran di Plaza .............. 138

  D. Juxtapose, Orang Biasa ”Memandang” Tempat Luar Biasa .......................... 140

  1. Beli Sabun Mandi di Kerfur ........................................................................ 141

  2. Tidak Ada Beda Mal dan Pasar Malam? .................................................... 143

  3. Mencemooh Teror Harga di Atas Rata-rata ................................................ 145

  4. Yang Sedikit di Tempat yang Besar ............................................................. 147

  E. Kesimpulan....................................................................................................... 150

  BAB VI PENUTUP ................................................................................................................... 152 A. Pasar Modern dan Gagasannya ....................................................................... 152 B. Sihir Tempat Belanja dan Penerimaan Konsumen ......................................... 155 C. Juxtaposisi, ”Ketidaksampaian Selera” yang Diterima ................................... 160 D. Peristiwa Budaya di Sisi Peristiwa Ekonomi .................................................. 161 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 164

  

ABSTRAK

Tesis ini mengkaji pengalaman belanja yang dilakukan oleh orang-orang dari kelas

menengah bawah di tempat belanja mewah, Ambarrukmo Plaza. Sampel yang

diambil sebagai sumber data dalam penelitian ini yakni satu keluarga orang biasa

(orang kampung) yang memiliki kebiasaan berbelanja di plaza itu.

  Plaza itu sendiri dibangun dan seolah-olah dipersiapkan untuk konsumen dari

segmen terbatas, kelas menengah atas. Itu bisa dilihat secara kentara misalnya dari

struktur bangunan fisik tempat belanja, jenis-jenis komoditi yang dijual, dan bentuk-

bentuk promosionalnya. Tetapi di antara sekian banyak outlet tempat belanja di plaza

itu, satu di antara rumah belanja yang ada di sana, yakni rumah belanja Carrefour,

menyediakan beragam jenis barang yang sebagiannya dijual dengan harga terjangkau

oleh daya beli masyarakat umum.

  Rumah belanja ini terbilang sangat memanjakan selera belanja konsumen,

disamping karena ketersediaan barang yang melimpah, juga karena tawaran harga

yang menggoda. Orang-orang kampung yang bermaksud memenuhi keinginan

berbelanja di plaza itu, tujuan utama mereka adalah rumah belanja Carrefour.

  Kepergian mereka ke rumah belanja di plaza itu dimotivasi oleh agitasi

belanja murah. Tetapi seringkali ’kepercayaan’ mereka akan belanja murah itu tidak

bersesuaian dengan kenyataan bahwa mereka seringkali mengeluarkan ongkos

belanja yang terbilang tidak sedikit, lantaran banyaknya barang yang dibeli. Hal ini

mungkin karena godaan barang di tempat belanja itu seringkali membuat konsumen

tidak dapat mengekang keinginan belanja mereka. Dengan kata lain, kenikmatan

belanja di tempat itu kerap membuat lupa akan barang-barang apa saja yang

sebetulnya dibutuhkan untuk dibeli, dan apa yang tidak seharusnya dibeli.

  Pemahaman mereka tentang belanja di tempat mewah itu bermula dari proses

pembiasaan. Kemampuan mereka untuk memahami nama barang, kemampuan

mereka untuk menggunakan fasilitas belanja dan tiadanya beban kultural berhadapan

dengan tempat belanja itu, karena adanya proses pembiasaan. Tempat belanja

istimewa itu pada akhirnya menjadi bagian dari mereka, atau mereka menjadi bagian

dari tempat belanja itu. Kehadiran rutin mereka ke sana dimungkinkan oleh pola

mereka dalam membeli barang, dan cara barang-barang itu dimanfaatkan.

  Berangkat dari kasus kecil yang menjadi objek bahasan tesis ini, hal

mendasar yang mau ditunjukkan secara tidak langsung oleh kajian ini ialah gambaran

tentang kekuatan lembaga-lembaga konsumsi seperti plaza, mal, rumah belanja, di

dalam mempenetrasi rasa dan selera masyarakat.

  Kata kunci: belanja, godaan barang, pola membeli.

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak dari rencana awal, pembangunan Ambarrukmo Plaza seolah-olah diproyeksikan untuk konsumen dari kalangan elit. Plaza ini mengusung slogan “Dunia Barunya Yogya”. Dengan slogan itu, seperti hendak melebihi semua tempat belanja istimewa lainnya, plaza ini berupaya dihadirkan sebagai tempat belanja yang benar-benar berkelas. Dalam salah satu komentarnya, manajer marketing plaza ini misalnya menyatakan bahwa Ambarrukmo Plaza sengaja dipersiapkan sebagai tempat belanja bagi orang-orang berduit di Kota Yogyakarta dan Jawa Tengah. Khususnya bagi mereka yang gemar berbelanja ke luar daerah,

  1 hingga ke luar negeri.

  Di tangan seorang arsitek kenamaan dari Ark Design bernama Paul Tan, bangunan fisik plaza yang berdiri atas restu Sri Sultan itu dibentuk dengan gaya eksklusif. Warna minimalis dengan nuansa yang tidak terlampau mencolok pada setiap bagiannya, memberi kesan nuansa elitis, meski dengan sedikit kerancuan yang dipaksakan, sebab bangunan plaza itu mengambil konsep bangunan di negara dengan empat musim. Hal itu terlihat dari keadaan ruang yang tertutup, seperti tidak memerlukan fungsi penyinaran matahari, yang seharusnya dimaksimalkan demi menghemat penggunaan energi listrik. Konon, menurut sang arsitek, bangunan ini merupakan paduan antara gaya modern yang disangga

  2

  konsep filosofi Jawa. Suatu paduan yang juga mewakili kepentingan bisnis para pihak pemegang kewenangan atas pembangunan plaza tersebut, yakni antara kepentingan bisnis keluarga kerajaan dengan kepentingan pemodal pemilik rumah belanja Carrefour usaha ritel raksasa asal Prancis.

  Di Ambarrukmo Plaza, terdapat ratusan outlet mewah berupa gerai

  

fashion , gerai merchandise, tempat spa, café, food court, arena permainan,

  bioskop dan dua rumah belanja. Atrium dan hall room disediakan sebagai tempat diselenggarakan pameran produk dan acara-acara publik lainnya. Tersedianya tempat parkir yang luas, tempat penitipan bayi, ruangan khusus untuk merokok (smoking area), hingga toilet yang katanya berkelas internasional, menjadi

  3 fasilitas penunjang plaza ini.

  Di outlet-outlet di plaza itu, barang-barang mewah dan berharga jual tinggi dipamerkan. Food Court dan Café dilengkapi fasilitas hotspot. Dengan fasilitas itu, setiap orang dapat duduk di hadapan laptop sambil menyantap hidangan. Sesuai slogannya, plaza ini memang ingin mengkonstruksi suatu “dunia (pengalaman) baru” di mana setiap orang dapat merasakan suatu cara mengalami atau mengimajinasikan hidup baru.

  Semenjak mulai dioperasikan tanggal 5 Maret 2006, ribuan pengunjung datang setiap hari ke plaza itu, dengan atau tanpa bermaksud berbelanja. Tidak sedikit pengunjung yang datang sekedar bermaksud jalan-jalan menghirup 2 suasana segar, ataupun dengan tujuan menghabiskan akhir pekan. Sebagian besar

  “Ambarrukmo Plaza Sparkle in the Nite,” majalah Plaza edisi Premium, tahun 2006, hlm. 5 pengunjung datang secara bersama-sama, berdua atau rombongan keluarga. Di dalam plaza ini kemewahan ditawarkan. Orang dapat membeli apa saja sesuka hati, sejauh tabungan sejumlah uang yang tersisa masih memungkinkan untuk dibelanjakan.

  Di sini orang dapat memanjakan diri dengan beragam produk fashion. Di sini orang dapat mampir rehat dan melemaskan otot di tempat jasa pemijatan elektrik. Di sini orang dapat meremajakan rambut dan memperindah tubuh di galeri spa. Di sini orang dapat memanjakan selera makan dengan mencoba kuliner dari yang tradisional hingga bercita rasa internasional. Orang dapat membuat janji bertemu di café, atau merayakan ulang tahun di salah satu sudut sebuah gerai rumah makan. Boleh dikatakan, tempat ini benar-benar telah menjadi bagian dari ‘rumah’ (home). Oleh keberadaan fasilitas dan kebutuhan yang serba ada di plaza itu, para pengunjung dikondisikan agar sedapat mungkin merasa senyaman berada di rumah sendiri (feel at home).

  Jika kita ingin menyaksikan bagaimana kebiasaan berbelanja kalangan kelas menengah atas, maka pemandangan di dalam plaza ini dapat memberikan pengetahuan tentang itu. Satu keluarga datang bersama, masuk ke rumah belanja dan pulang dengan satu hingga dua, tiga troli barang belanjaan yang melimpah.

  Kita juga dapat menyaksikan beberapa orang yang mendatangi sebuah outlet mewah, memilih barang-barang bermerk, membayar di kasir dengan uang cash atau kartu kredit, lalu keluar melenggang dengan barang dalam bungkus sebuah tas eksklusif bergambar outlet di mana barang itu diperoleh.

  Saya telah beberapa kali berkunjung ke Ambarrukmo Plaza, sejak jauh sebelum rencana riset ini saya lakukan. Dalam sebuah kunjungan untuk ke sekian kali, terdapat pemandangan yang kerap kali menarik perhatian saya. Saya melihat sebagian dari pengunjung di plaza itu datang dari kalangan orang-orang biasa.

  Orang yang sebetulnya tidak didefinisikan sebagai pengunjung plaza tersebut. Saya mengamati beberapa hal dari diri pengunjung kalangan ini. Mulai dari yang paling mudah terlihat, yakni penampilan mereka. Lebih jauh saya juga memperhatikan jenis-jenis barang belanjaan mereka. Berapa banyak jumlah barang yang mereka beli. Dari pengamatan awal ini, saya mengetahui bahwa pengunjung plaza itu bukan hanya orang-orang dari kalangan kelas menengah atas, melainkan juga dari kalangan orang-orang biasa yang karena rasa ingin tahu yang besar pada mulanya, mencoba berkunjung ke tempat belanja istimewa itu.

  Jika para pengunjung dari kalangan orang-orang biasa bermaksud berbelanja barang kebutuhan tertentu ke plaza itu, tujuan belanja favorit mereka adalah rumah belanja Carrefour. Rumah belanja ini terletak di salah satu bagian di plaza itu, di Lower Ground dan Ground Floor. Jenis komoditi yang diperjualbelikan di rumah belanja ini sangat beragam; dari barang-barang yang bernilai jual tinggi, hingga barang-barang yang cukup terjangkau nilai tukarnya.

  Rendahnya nilai tukar ekonomi sebagian komoditi di rumah belanja inilah yang menjadi alasan bagi para konsumen dari kalangan orang-orang biasa, memilih berbelanja di plaza untuk kalangan elit tersebut.

  Bagi saya, pemandangan di atas menarik untuk dicermati. Bagaimana tempat istimewa tersebut. Sekedar memenuhi rasa ingin tahu? Rasa penasaran? Tertarik dengan harga murah? Memburu gengsi?

  Mengenai pola kehadiran pengunjung dari kalangan orang biasa ini, saya membuat klasifikasi sementara, dan klasifikasi ini berdasarkan motivasi kunjungan mereka ke plaza itu. Klasifikasi tersebut adalah; pertama, mereka yang datang untuk sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Mereka datang, melihat- lihat, dan jika perlu, membelanjakan uang beberapa rupiah saja. Setelah itu mereka jarang kembali ke tempat itu. Kedua, mereka yang datang membeli barang-barang untuk keperluan perdagangan. Mereka membeli barang untuk dijual kembali (bahasa Jawa: kulakan). Ketiga, mereka yang berkunjung dan memiliki intensitas kehadiran yang rutin. Mereka datang berbelanja untuk memenuhi kebutuhan bulanan. Keempat, mereka yang datang pada saat-saat tertentu karena tertarik mendengar informasi barang-barang obral.

  Sebagian dari mereka, khususnya mereka yang tinggal di kampung di sekitar tempat belanja istimewa itu, menjadi konsumen tetap rumah belanja tersebut. Merujuk pada klasifikasi yang saya buat, mereka termasuk dalam jenis konsumen ketiga dan keempat; konsumen yang datang karena suatu kebutuhan rutin, dan karena keperluan membeli barang-barang berstatus obral. Setiap bulan, tempat istimewa itu menjadi tujuan kunjungan berbelanja mereka. Alasan mereka sederhana: sebagian barang di sana harganya murah dan terjangkau oleh sejumlah uang yang ada di ’saku’ mereka.

  Kehadiran orang-orang biasa ini sepertinya berbalik dengan angan-angan plaza istimewa tersebut hanya disiapkan bagi kalangan terbatas menengah atas. Kejanggalan semacam ini memang patut dipertanyakan. Namun bagaimanapun, kajian ini tidak akan difokuskan untuk membahas kejanggalan tersebut. Titik berangkat dari kajian ini diarahkan untuk lebih jauh melihat bagaimana sesungguhnya pengalaman belanja orang-orang biasa itu di tempat yang begitu mewah untuk ukuran mereka tersebut. Bagaimana tempat belanja mewah itu dihadirkan dan bagaimana tempat belanja itu “mungkin” menjadi bagian dari sesuatu tempat di antara beberapa tempat transaksional di mana orang-orang biasa itu memenuhi kebutuhan mereka.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

  Mencermati pengalaman orang-orang biasa ini berhadapan dengan tempat belanja istimewa seperti plaza, dapat menjadi jalan melihat proses transisi pengalaman konsumsi masyarakat, dan menjadi sarana mengukur kekuatan lembaga konsumsi di dalam mempenetrasi rasa yang dialami masyarakat. Kehadiran mereka di tempat belanja mewah tentu tidak dapat begitu saja dilihat sebagai sebuah kehadiran yang biasa: datang, berbelanja, jalan-jalan dan pulang. Ulasan mendalam atas pengalaman orang-orang biasa berhadapan dengan tempat belanja istimewa diperlukan untuk mengetahui detil-detil dari pengalaman tersebut dalam kaitannya dengan cara lembaga konsumsi mempenetrasi rasa masyarakat. Untuk keperluan itu, bahasan tesis ini akan saya batasi di seputar pengalaman orang- orang biasa berhadapan dengan tempat belanja istimewa. Saya menitikberatkan sendirinya menjadi tolak ukur dalam melihat kekuatan lembaga konsumsi mempengaruhi rasa masyarakat.

  Dengan demikian, dari penjelasan di atas, persoalan dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana bentuk pengalaman orang-orang biasa berbelanja di tempat belanja istimewa Ambarrukmo Plaza? Bentuk pengalaman di sini meliputi: pengalaman psikologis ketika tengah berbelanja, pengalaman mengkonsumsi dan persepsi mereka atas tempat belanja mewah tersebut. Kondisi kemungkinan apa yang membuat mereka dapat ‘menikmati’ kegiatan berbelanja di plaza mewah itu? Bagaimana mereka memposisikan tempat belanja istimewa itu dalam hidup sehari-hari mereka, di mana kegiatan berbelanja di tempat itu menjadi bagian dari pengalaman keseharian tersebut?

C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan mengumpulkan data lapangan yang diangkat dari fenomena empirik bernama kegiatan berbelanja. Setelah data terkumpul, peristiwa empirik itu belum lagi berwujud (belum dapat dipahami). Karena itu, tujuan lebih dalam dari penelitian ini yaitu untuk mengolah, menstrukturkan, dan memberi nama (to order of things) serpihan-serpihan data dari realitas empirik yang pada mulanya kita hadapi sebagai suatu bentuk chaos yang belum terpahami itu. Hasil olahan terhadap data tersebut kemudian akan dieksposisikan atau disajikan ke dalam suatu bentuk baru yang dapat dipahami.

  D. Manfaat Penelitian

  Sudah barang tentu kegiatan penelitian ini dimaksudkan agar memberi manfaat baik dari sisi akademis maupun dari segi nonakademis. Saya perlu mempertegas beberapa manfaat penelitian ini antara lain: pertama, memberi pengetahuan baru mengenai wilayah-wilayah kebudayaan masyarakat kota, dan pola-pola konsumsi kelompok kelas sosial menengah bawah ketika berhadapan dengan tempat belanja super modern seperti mal atau plaza. Kedua, penelitian ini menjadi salah satu pintu masuk terhadap pemahaman agar setiap orang dapat memberi penguatan atas alasan-alasan mereka menolak atau menerima kehadiran pasar modern di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, penelitian ini diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan pihak-pihak pengembang modal di dalam mempertimbangkan bukan hanya kepentingan ekonomis, tetapi juga wilayah- wilayah kultural masyarakat.

  E. Tinjauan Penelitian

  Kajian tentang situs-situs konsumsi seperti mal atau tempat belanja modern pada umumnya, dalam kaitannya dengan peristiwa kultural masyarakat, sebetulnya sudah sangat sering dilakukan. Di negara-negara post-industri (lates capitalism) seperti di Eropa dan Amerika, kajian mal (mall studies), bukan lagi merupakan sebuah studi yang baru di tengah fenomena globalisasi dan demokratisasi

  4 4 konsumsi. Mal atau tempat-tempat belanja modern lainnya, diasumsikan bukan

Mal lazim dipakai untuk menunjuk tempat belanja besar dengan konsep “one-stop shopping”

atau tempat di mana orang dapat memenuhi segala keperluannya sekaligus. Plaza sebetulnya sama hanya sekedar tempat peristiwa ekonomi bernama jual beli, atau pertukaran barang, berlangsung. Tetapi mal telah pula menjadi suatu lembaga penting yang turut menggerakkan dan membentuk kebudayaan masyarakat.

  Kajian tentang kegiatan belanja dalam hubungannya dengan pembentukan identitas pernah dilakukan oleh Daniel Miller dan kawan-kawan di Inggris. Lewat hasil penelitian berjudul Shopping Place and Identity (1998), Miller berupaya mengkonstruksi pengetahuan tentang hubungan antara barang yang dikonsumsi, tempat barang itu diperoleh dengan cara orang-orang membentuk identitas mereka. Fokus kajian ini dititikberatkan kepada proses pembentukan identitas lewat jenis-jenis barang yang dikonsumsi dan hubungan-hubungan dan eskpresi antara kelompok-kelompok konsumen dari etnis berbeda.

  Chua Beng-Huat, seorang intelektual yang juga mendalami kajian budaya konsumsi di Singapura, banyak memberi perhatian terhadap pengalaman orang- orang berbelanja di tempat-tempat seperti mal. Dalam salah satu karyanya dari hasil penelitian empirik di Takasimaya Square, Singapura yang berjudul ”Bodies in Shopping Centres: Displays, Shapes and Intimacies” (1996), dia menempatkan pengalaman belanja orang-orang dalam hubungan antara konstruksi ruang di mal yang mempengaruhi tubuh dalam melakukan persentuhan maupun penghindaran antara tubuh dengan tubuh dua pasangan yang tengah asyik berbelanja, dan antara tubuh dengan barang. Penelitian etnografis yang dia lakukan

  

hypermarket adalah bagian dari tempat belanja modern, namun tidak mengandung konsep ”one-

stop shopping”. Sebuah bangunan mal atau plaza biasanya dilengkapi keberadaan supermarket. Di

Mal Malioboro ada Hero Supermarket. Plaza Ambarrukmo terdapat Carrefour. Penggunaan kata

”Plaza” untuk sebuah tempat belanja, dimaksudkan oleh si pengembangnya untuk menunjuk memperlihatkan contoh mengenai bagaimana pada suatu ketika tubuh kita dibuat merenggang dari tubuh pasangan belanja kita, dan pada suatu kesempatan lain dibuat menyatu kembali. Konstruksi ruang dalam mal juga mengkondisikan kemungkinan persentuhan dan penghindaran persentuhan antara tubuh dengan barang. Di lantai paling bawah dalam tata ruang sebuah mal (Takasimaya), di mana terdapat lebih banyak barang-barang murah, tubuh dapat dengan leluasa melakukan persentuhan dengan barang. Antara tubuh kita dengan barang tidak berjarak. Namun, pada lantai di tingkat berikutnya, teror harga sebuah barang membuat tubuh pengunjung menjadi berjarak dari barang.

  Jon Goss dalam artikel panjang tentang mal berjudul, “The Magic of The Mall: Analysis of Form, Function, and Meaning in the Contemporary Retail Built Environtment” (1993), menjelaskan lebih detail tentang kepentingan-kepentingan komodifikasi di balik konstruksi ruang mal. Mal dikatakannya sebagai: ruang publik, ruang liminal, ruang transaksi, ruang instrumental, ruang dengan sistem spasial, sebagai a p(a)lace of desire. Kajian yang dilakukan Goss ini paling tidak dapat dijadikan sebagai referensi tentang mal dengan ciri-ciri spesifiknya sebagai tempat konsumsi super modern.

  Sebuah penelitian singkat tentang mal juga dilakukan oleh Mary Storkrocki lewat karya berjudul Go to the Mall and Get it All, Adolescent,

  

Aesthetic Values in the Shopping Mall (2001). Penelitian kualitatif ini hanya

  berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada kelas diskusi group untuk kepentingan mencari hubungan antara seni dan tempat konsumsi. Penelitian ini tidak disertai uraian mendalam tentang pengalaman kelas diskusi group ketika berada di mal.

  Di Indonesia sendiri, sejauh ini kajian kebudayaan tentang mal belum banyak mendapat perhatian. Salah satu kajian pernah dilakukan oleh Ali Humaidi di Kudus lewat tesis berjudul Dari Tradisionalisme Santri ke Kapitalisme Tanda,

  

Kajian atas Struktur Ruang Kota Kudus (2004). Fokus penelitian ini adalah

  struktur ruang kota Kudus dalam hubungannya dengan kehadiran mal sebagai situs budaya konsumsi global dan simbol Kota Kudus yang menjadi situs budaya konsumsi lokal. Karena penelitian ini menggunakan kerangka teori strukturasi Giddens, maka ia juga menitikberatkan pada fungsi-fungsi yang dimainkan oleh agen-agen pembawa kebudayaan, dalam hal ini mahasiswa dari Yogyakarta.

  Peran mereka dikaitkan dengan proses produksi budaya konsumsi di Kota Kudus. Pada bagian ini, kurang begitu jelas benar apa peran agen kebudayaan yang dimaksud, dalam hubungannya dengan garis besar kajian yang mengangkat tema struktur ruang kota dan proses produksi kebudayaan.

  Selain tulisan dari Humaidi di atas, saya belum menjumpai satu penelitian pun yang secara khusus membahas mal di Indonesia. Kalaupun ada beberapa karya skripsi yang membahas mal, namun lebih banyak yang berhubungan dengan sudut pandang ilmu ekonomi, semisal mengenai sistem pembayaran di Mal Malioboro, dan sejenisnya. Beberapa artikel pendek yang berbicara tentang mal di Indonesia, hanya sebatas opini dengan perspektif politik ekonomi. Mal belum banyak diletakkan sebagai objek kajian dengan sudut pandang kebudayaan. Besar kemungkinan karena orang masih belum mau mengakui pengalaman-pengelaman baru ini sebagai bagian dari peristiwa kebudayaan.

  Pengertian kebudayaan sejauh ini hanya dibatasi pada sesuatu yang punya nilai tradisi, semisal seni tarian, lagu-lagu rakyat, perilaku-perilaku tertentu yang dinisbatkan kepada nilai tradisi dan punya nilai jual pariwisata. Kebudayaan belum dipahami sebagai apa yang didefinisikan Raymond Williams tentang

  5

  kebudayaan: a whole way of life, material, intelectual and spiritual. Cara hidup sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari dalam hubungannya dengan apa saja.

  Kajian yang saya lakukan ini, akan berupaya melihat pengaruh lembaga konsumsi terhadap pembentukan selera masyarakat, dengan fokus pada peristiwa pengalaman belanja itu sendiri. Dalam kajian ini saya menggunakan kategori kelas sosial (kelas menengah bawah) untuk mendefinisikan kelompok sosial yang menjadi fokus bahasan saya.

  Saya berasumsi bahwa keberadaan orang-orang biasa berhadapan dengan tempat belanja istimewa, tidak dapat dipandang sebagai sebuah pengalaman biasa, pengalaman yang tanpa arti. Wilayah pengalaman ini penting dimanfaatkan sebagai pintu masuk untuk memahami sejauhmana kehadiran tempat-tempat belanja moderen seperti mal, plaza, telah turut membentuk pengalaman baru bagi masyarakat dari suatu kelompok kelas sosial tertentu, berikut konsekuensi- konsekuensi yang lahir dari pengalaman baru tersebut.

F. Sistematika Penulisan

  Guna memberi suatu pemahaman utuh dan terstruktur terhadap tema bahasan kajian ini, struktur batang tubuh dari tesis ini saya susun sebagai berikut: Bab pendahuluan mengetengahkan latar belakang kajian ini. Bab ini membahas mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan penelitian dan sistematika penulisan dari hasil penelitian. Pada bab berikutnya, saya akan secara khusus berbicara mengenai kerangka dasar atau kerangka pemikiran teoritis yang akan saya pakai untuk membantu di dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang saya angkat sebagai tema bahasan. Pada bab ini pula saya mengetengahkan cara atau metode perolehan data dari penelitian ini. Pada bab tiga, saya secara khusus membahas tempat belanja istimewa Ambarrukmo Plaza. Bahasan ini bertujuan untuk memberi gambaran profile dari tempat belanja istimewa yang dimaksud dalam penelitian ini. Pada bab keempat, melalui sebuah catatan etnografis, saya mendeskripsikan, menggambarkan pengalaman belanja orang-orang biasa ini di rumah belanja Carrefour, Ambarrukmo Plaza. Pada bab lima, saya mencoba menganalisa ulang pengalaman belanja tersebut. Analisis atas pengalaman ini bertujuan untuk mengetahui beberapa masalah penting, disamping untuk menjawab persoalan penelitian, berkaitan dengan pengalaman orang-orang biasa di tempat luar biasa. Bab enam, atau bab penutup berisi kesimpulan yang lebih ditekankan pada usaha merefleksikan secara keseluruhan hasil penelitian ini.

  BAB II METODOLOGI A. Pengantar Sebagaimana telah dipaparkan dalam Bab I, penelitian ini bertujuan mengumpulkan data seputar pengalaman (belanja) orang-orang biasa berhadapan dengan tempat belanja istimewa. Pengalaman belanja merupakan bagian dari aktivitas yang dihidupi oleh masyarakat sehari-hari (lived experience ), sebagaimana pengalaman orang berada di kampus, pengalaman menggunakan alat teknologi terbaru, pengalaman menonton film, pengalaman berada pada sebuah acara pameran bunga, pengalaman berada di depan sebuah acara televisi kegemaran dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman yang dihidupi oleh masyarakat. Pengalaman dalam kaitannya dengan keseharian masyarakat, bukanlah wilayah statis, melainkan dinamis. Pengalaman merupakan wilayah empirik yang dapat kita jadikan jalan mengetahui proses sirkulasi perkembangan kebudayaan baru masyarakat.

B. Pendekatan Penelitian; Realitas Sebagai Teks

  Dalam sebuah penelitian yang menempatkan pengalaman sebagai wilayah yang diteliti, dibutuhkan hermeneutik atau pendekatan fenomenologi sebagai jalan

  1 memahami realitas terdalam dari pengalaman tersebut.

  Tentang hermeneutik, pada umumnya, hermeneutik hanya dipahami dalam ruang lingkup yang terbatas: sebagai metode tafsir atas kitab suci. Karena itu, pendekatan atau metode hermeneutik lebih banyak berhubungan atau dihubungkan kepada teks kitab suci. Pada awalnya hermeneutik memang lahir sebagai respon atas kejumudan dalam pemahaman atas teks kitab suci. Umum dipahami bahwa hermeneutik dimaksudkan untuk mencari makna teks, atau melahirkan makna baru dari teks lama, dengan menempatkan teks tersebut dalam hubungannya dengan realitas historis pada zamannya.

  Sebagai pendekatan atau metode, hermeneutik kini telah mengalami perluasan lingkup arti dan penggunaan. Ia tidak sekedar dipakai untuk menafsir kitab suci, hermeneutik juga dipakai untuk menafsir realitas yang dihidupi saat ini. Sebab, seluruh realitas itu sendiri tergolong ke dalam teks. Teks yang hidup dan mengalir. Tentang teks sendiri, Rosenau misalkan berpendapat:

  Postmodernism is text-centered. Everything is a text including a life experience, a war, a revolution, a political rally, an election, a personal relationship, a 2 vacation, getting a haircut, buying a car, seeking a job

  Kata Rosenau, posmodern bertumpu pada teks. Segala realitas ini adalah teks. Keseharian kita adalah teks. Perang, revolusi, kampanye politik, pemilihan umum, hubungan-hubungan personal, kegiatan berlibur, kegiatan mencukur rambut, membeli mobil dan kegiatan mencari pekerjaan, dapat disebut teks. Kita bisa tambahkan, termasuk ke dalam teks adalah kegiatan kita pergi ke mal ataupun pasar tradisional.

  Akan seperti apa teks dari pengalaman ini dibaca, bergantung kepada kerangka pikir yang digunakan untuk menjelaskannya. Berikut saya akan menjelaskan kerangka konseptual yang akan membantu saya untuk memperjelas persoalan yang mau saya teliti dari wilayah pengalaman tersebut.

C. Kerangka Konseptual

1. Politik ekonomi tanda

  Pengalaman merupakan wilayah empirik. Pengalaman meliputi segala hal. Salah satunya adalah pengalaman orang belanja. Pengalaman belanja antara lain meliputi; momen ketika orang berhadapan dengan barang. Momen saat mengambil keputusan untuk membeli dan atau tidak membeli barang, dan masih banyak momen-momen lain saat orang berhadapan dengan barang dan tempat di mana barang itu diperjualbelikan. Dengan demikian, pengalaman mengandaikan ada orang yang mengalami. Orang yang mengalami dapat kita sebut subjek. Subjek yang mengalami. Subjek dikatakan mengalami sesuatu (belanja) karena ada benda material yang dihadapi (barang-barang atau objek), dan terdapat tempat di mana pengalaman itu berlangsung (mal atau plaza).

  Keputusan yang diambil oleh subjek untuk datang dan tidak datang (ke tempat belanja), membeli dan tidak membeli (barang) berhubungan dengan apa yang mereka pikirkan tentang “kegunaan” sebuah barang. Namun juga berdasarkan pengalaman, seringkali subjek tidak dapat menentukan bobot nilai sebuah barang melulu berdasarkan nilai guna barang. Pengalaman membeli tidak lagi merupakan peristiwa terjadinya pertukaran uang dengan barang yang senilai.

  Pengalaman membeli adalah juga pengalaman ketidaktahuan orang akan nilai barang. Yang ada hanya perasaan “senang” karena sudah dapat membeli. “Pokoknya beli”.

  Untuk memperjelas persoalan ini, saya berupaya meminjam teori politik ekonomi tanda dari Baudrillard. Kenapa teori politik ekonomi tanda? Dan bukan teori politik ekonomi saja? Karena tanda sudah memainkan peran dominan dalam kebudayaan kontemporer kita. Baudrillard percaya bahwa culture is now

  

dominated by simulations . Kebudayaan kita saat ini didominasi oleh simulasi,

  3 sistem pencitraan.

  Terlebih dahulu saya akan menguraikan penjelasan Baudrillard tentang kronologi kritik atas politik ekonomi tanda. Titik berangkat teori politik ekonomi tanda yang digagas Baudrillard sendiri, didasarkan atas kritiknya terhadap teori politik ekonomi Marxian. Ia menganggap teori ini sudah tidak memadai (saya lebih suka menyebutnya kurang memadai) untuk menjelaskan persoalan- persoalan yang lahir dalam konteks kebudayaan masyarakat kontemporer.

  Mempertahankan teori politik ekonomi sebagai landasan mengurai persoalan konsumsi mutakhir, kerap kali menggiring para peneliti kepada usaha untuk mendikotomikan antara ideologi kaum borjuasi dan ideologi rakyat jelata. Teori ini barangkali masih dapat dipakai, namun tidak cukup memadai untuk menjelaskan kompleksitas lapisan persoalan kultural masyarakat saat ini. Karena itu, teori politik ekonomi tanda muncul sebagai kerangka untuk menjelaskan persoalan yang lahir dalam kultur masyarakat yang secara basis material terbentuk oleh kemajuan teknologi (khususnya teknologi informasi). Dalam hal konsumsi, saat ini kita tidak lagi berada dalam masa ketika masyarakat yang mengkonsumsi barang mendasarkan niat mengkonsumsi untuk kebutuhan (I buy

  

because I need ). Tetapi lebih dari itu, pengalaman konsumsi kita sebagian besar

  telah masuk ke dalam wilayah kegiatan mengkonsumsi karena orang ingin menjadi apa yang dicitrakan tentang fungsi suatu barang (I want to be alike say,

  

Luna Maya, so I buy ). Mengkonsumsi untuk keperluan mode, nilai tanda.

  Pengalaman konsumsi kita juga sebagian besar telah pula memasuki wilayah kegiatan konsumsi untuk tujuan mengkonsumsi itu sendiri (I buy because I like to

  

buy, then I don’t clearly know why I buy ). Mengkonsumsi tanpa kebutuhan.

  Kebutuhan dalam arti kehendak mengkonsumsi berdasarkan keinginan mendapatkan nilai guna suatu barang. Pada titik ini, orang sudah mulai masuk ke dalam kerangka apa yang di sebut Baudrillard sebagai “histeria massal” (general hysteria ).

  Menurut Baudrillard, terdapat empat rumusan mengenai logika nilai dalam proses konsumsi: logika fungsional nilai guna, logika ekonomi nilai tukar, logika perbedaan nilai tanda dan logika pertukaran simbolik. Prinsip dari keempatnya adalah masing-masing: prinsip utilitas, prinsip equivalensi, prinsip

  4 differensi dan prinsip ambivalensi.

  Secara sederhana, keempat prinsip dari empat logika nilai ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, utilitas atau nilai guna. Orang membeli barang karena mengharapkan nilai guna dari barang yang dibeli (utility). Kehendak membeli didasarkan pada adanya kebutuhan yang bersifat alamiah. Kedua, equivalensi atau nilai persamaan ekonomi. Sebuah barang dibeli berdasarkan kesamaan antara nilai yang dikandung alat tukar ekonomi dan nilai yang ada pada barang konsumsi. Orang membeli barang berdasarkan persamaan nilai tukar antara uang dengan nilai barang. Ketiga, differensi atau prinsip perbedaan. Di sini pertukaran antara uang dengan barang didasarkan pada adanya nilai tanda pada barang. Bukan hanya nilai guna, atau kadang-kadang nilai guna dikosongkan demi nilai tanda. Terakhir yang keempat adalah prinsip ambivalensi. Dalam proses konsumsi yang ada adalah pertukaran simbolik. Kenapa disebut ambivalen? Sebab orang ingin mempertahankan antara nilai tanda dan nilai equivalen juga nilai guna, yang sebetulnya tidak mungkin dipertahankan. Nilai uang dikosongkan. Yang ada hanya desire. Orang terkadang membeli sesuatu bukan karena dia tahu fungsi dan kebutuhan akan barang tersebut, melainkan karena semata-mata merasakan kenikmatan membeli.

  Lapisan-lapisan konseptual ini, dari utility, equivalensi, differensi dan ambivalensi, akan saya pakai untuk menjelaskan persoalan pengalaman belanja (mengkonsumsi) orang-orang biasa yang pergi belanja di tempat luar biasa. Dari sini kita akan melihat terdapat momen-momen tertentu dalam kegiatan atau pengalaman belanja itu, ketika mereka harus membeli barang berdasarkan nilai guna, nilai tukar, nilai tanda dan kenikmatan membeli semata.

2. Hegemoni mal dan resistensi melalui persepsi

  Terdapat dua pandangan tentang mal sebagai situs konsumsi: pertama, mereka menghegemoni masyarakat. Di dalam buku Window Shopping: Cinema and the

  

Postmodern , Friedberg menawarkan kritik pesimis terhadap mal yang diambil

  dari analisis kritis atas fetisisme komoditi Marx yang diteruskan mazhab Frankfurt. Dalam model pemikian ini, praktik konsumsi dinyatakan sebagai ekspresi dari etos dasar kapitalisme abad dua puluh, di mana komoditas secara

  5 ideologi dipakai sebagai cara memuaskan kebutuhan semu masyarakat.

  Pandangan yang banyak diilhami oleh pemikiran kiri baru mazhab Frankfurt ini, melihat secara pesimis terhadap perkembangan budaya massa, dalam hal ini budaya mal, yang punya kecenderungan menyeragamkan masyarakat dan membuat masyarakat pasif. Masyarakat dibuat tidak punya alternatif kecuali tunduk kepada kemauan dasar dari kapitalisme.

  Kedua, berseberangan dengan pandangan pesimis di atas, terdapat pandangan yang tidak semata-mata melihat perkembangan kapitalisme sebagai sesuatu yang dapat membuat pasif masyarakat. Michel de Certeau dalam The

  

Practice of Everyday Life , menyatakan bahwa dia menolak pandangan yang

  menganggap konsumen bersikap pasif dan didominasi oleh totalitas sistem komoditi. Sejalan dengan pandangan de Certeau ini adalah pandangan John Fiske dalam Reading Popular Culture yang menyatakan bahwa ketika berhadapan dengan totalitas sistem komoditi, konsumen tidak pasif. Kata Fiske:

  …however developers might code mall environments for maximum distraction and optimum consumption, mall users routinely override such message by

5 Sebagaimana dikutip dari Marianne Conroy, “Discount Dreams, Factory Outlet Malls,

  commandeering the space of the mall for uses other than consumption, 6 especially for social display and interration .