Perbedaan tingkat kebermaknaan hidup guru yang mengajar di sekolah umum dan yang mengajar di sekolah luar biasa - USD Repository

  

PERBEDAAN TINGKAT KEBERMAKNAAN HIDUP GURU

YANG MENGAJAR DI SEKOLAH UMUM DAN

YANG MENGAJAR DI SEKOLAH LUAR BIASA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)

  

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Theresia Febriana

  

059114074

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

MOTTO

Impossible To Be I’m Possible

Perjalanan seribu mil dimulai dari selangkah

demi selangkah (Lau Tze)

  Karya Kecilku ini kupersembahkan untuk Allah Bapaku Di Surga (Ini atas seIjinMu) Ibundaku di Surga (aku selalu merindukanmu)

Keluargaku...Bapak, Bulek Nuk Mbak Enggar, Mas Rene,

Mas Dani, Indra, Keluarga besarku di Solo...

Sahabatku...Ellen, Christ, Mumun, Maya, Bethy, Gambul, Iie

Ayungku...Mikael Fredi Indra Kusuma

  

ABSTRAK

Febriana, Theresia (2009). Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup Guru Yang

Mengajar di Sekolah Umum dan Yang Mengajar di Sekolah Luar Biasa.

Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

  Penelitian komparatif ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat

kebermaknaan hidup guru yang mengajar di sekolah umum dan guru yang

mengajar di sekolah luar biasa. Hipotesis penelitian menyatakan terdapat

perbedaan tingkat kebermaknaan hidup yang signifikan antara guru yang

mengajar di sekolah umum dan guru yang mengajar di sekolah luar biasa. Subjek

penelitian ini adalah 45 guru di sekolah umum dan 45 guru di sekolah luar biasa

di daerah Yogyakarta, Solo (Karanganyar), dan Semarang (Bandungan).

Pengumpulan data menggunakan kuesioner Crumbaugh dan Maholick (1968)

yaitu The Purpose in Life Test. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan

tingkat kebermaknaan hidup yang signifikan antara guru yang mengajar di

sekolah umum atau guru yang mengajar di sekolah luar biasa dengan t hitung =

0,578 yang lebih kecil daripada nilai t tabel = 1,99 (0,578 < 1,99 ; p = 0,05 df =

88). Hipotesis penelitian ditolak.

  Kata Kunci : kebermaknaan hidup, guru

  

ABSTRACT

Febriana, Theresia. (2009). The Difference of Life Meaningfulness between

Common School Teachers and Difable School Teachers. Yogyakarta : Faculty of

Psychology, Sanata Dharma University.

  This comparative research aims at knowing the difference of life

meaningfulness between common teachers and difable school teachers.

Hypothesis says that there is a significant difference in life meaningfullnes

between common school teachers and difable school teachers. Subjects of the

study were 45 teachers who thought in common school and 45 difable school

teachers in areas of Yogyakarta, Solo (Karanganyar), and Semarang

(Bandungan). Data collecting was conducted using questionnaire created by

Crumbaugh and Maholick (1968), which was The Purpose in Life Test. Result of

the study shows that there is no significant difference of life meaningfulness

between common school teachers and difable school teachers with t-count = 0.578

is less than t-tabel =1.990 (0.578 < 1.990 ; p = 0.05, df = 88). Hypothesis is

rejected.

  Key Words : life meaningfulness, teacher

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

tanpa kasih dan cintaNya, penulis tidak akan mampu menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar

Sarjana Psikologi (S.Psi) di Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta.

  Dalam penyusunan skripsi ini penulis tidak lepas dari bantuan, bimbingan,

dukungan, motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Bapak Paulus Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan izin dalam penelitian ini.

2. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M selaku kepala Program Studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Daharma.

  3. Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, perhatian, dan juga kesempatan

satu bulan, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

  4. Ibu ML. Anantasari S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang banyak memberikan semangat dan masukan-masukan selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta.

  

5. Dr. A. Priyono Marwan, S.J dan Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku

dosen penguji yang akan meluangkan waktu, perhatian selama ujian skripsi dan proses revisi.

  

6. Segenap dosen-dosen yang ada di Fakulats Psikologi Sanata Dharma

untuk setiap ilmu dan pengalaman yang diberikan.

  

7. Karyawan dan Staf di sekretariat Fakultas Psikologi, Mas Gandung,

Pak Gie, Mbak Nanik, dan mas Doni yang banyak membantu kelancaran belajar. Mas Muji, buat cerita-cerita yang bisa nge-charge semangat buat kuliah di psikologi.

  

8. Bruder Gatot, untuk banyak dukungan, ilmu, dan saran yang sangat

banyak membantu dalam penelitian ini.

  

9. Mbak Sakienatur Rosyidah untuk mau berbagi tentang makna hidup.

  Terima Kasih juga buat Lieza yang sudah mengantarkanku ke perpustakaan UMS sampai bantuin melototin skripsi satu-satu (kirain di rak psikologi ternyata ada di rak jurusan agama)

  

10. Ibundaku di surga untuk doa yang aku tahu masih terus

mendampingiku.

  

11. Keluargaku, bapak, bulek nuk, mbak enggar, rene, mas dani, dan indra

untuk setiap doa, dukungan, dan motivasinya untuk menyelesaikan skripsi ini.

  

12. Sahabatku Ellen, untuk menularkan semangat untuk cepat-cepat

menyelesaikan skripsi ini. Untuk Christ yang menjadi tempat cerita dan atas bantuan-bantuanya selama ini.

  

13. Barbaria: Maya, Mumun, Bethy, Gambul, Iie yang terus memberi

semangat belajar, berbagi kemehongan, dan untuk keceriaannya. Sekali lagi untuk Mumun dan Bethy untuk banyak bantuannya ketika membagi skala, terima kasih atas kesediannya menemani kesana kemari, berpanas-panasan, saran, semangat, dan banyak hal sampai akhirnya aku bisa menyelesaikan skripsi ini. Mbak maya yang udah kasih pinjeman buku dan jurnal yang sangaaaaaat banyak membantu.

I’ie dan gambul semangat dan dukungan yang banyak membantu.

  

14. Teman-teman di Gloria, maya, mbak sari, mbak asti, yanes, mbak lusi,

laura, mbak apri, mbak esthi, mbak datik, mas sigma, mbak dina, kak dian untuk pengalaman-pengalaman berharga yang diberikan.

  

15. Team Road Show PTPN XII Jatim, kezia, mbak sari, rina, tiwi, mbak

dina, oliph, kak rosi buat yang sudah mengajarkan aku untuk lebih percaya diri atas kemampuan yang aku miliki, dan untuk menjadi lebih Ekstrover dan Thingking.

16. Teman-teman seperjuangan (anak bimbingan Pak Heri) untuk saran- saran ketika nunggu antrian bimbingan.

  

17. Semua yang ada di Wisma Providentia, Iyu, mbak poke, adi, bapak,

ibu, maya, mbak dian, erin, putri, reni, ivin, lina, hanny, afni, lia, devi, dudun makasi untuk tempat, ketenangan, keramaian, kegaduhan dan semuanya yang buat aku merasa dirumah sendiri.

  18. Bagi siapapun yang tidak bisa kusebut satu persatu, yang telah membantuku untuk menyelesaikan karya ini, terima kasih untuk kerelaannya!!!

  19. Dan yang terakhir, untuk Mikael Fredi Indra yang telah membuat hidupku penuh warna dan untuk rasa sayang dan cintanya yang membuat aku merasa berbeda, yang sudah banyak membantu juga dalam selesainya skripsi ini terima kasih untuk semangatnya. (Tuhan Kirim Kau Untukku...) Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

skripsi ini. Oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan

penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian. Akhirnya

penulis berharap semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

  Yogyakarta, Agustus 2009 Penulis, Theresia Febriana

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii

HALAMAN MOTTO ........................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................................. vi

ABSTRAK ........................................................................................................... vii

ABSTRACT ....................................................................................................... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

  

ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...............................................ix

KATA PENGANTAR ........................................................................................... x

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiv

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii

  BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 6

  BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup ............................................................................. 8 B. Guru ........................................................................................................ 15 C. Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup Guru yang Mengajar di Sekolah Umum dan yang Mengajar di Sekolah Luar Biasa .................. 18 D. Hipotesis ................................................................................................ 20 BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ................................................................................... . . 22 B. Identifikasi Variabel Penelitian ............................................................ 22 C. Definisi Operasional Variabel Penelitian .............................................. 22 D. Subjek Penelitian ................................................................................... 24 E. Metode dan Alat Pengumpulan Data...................................................... 25 F. Prosedur Pengambilan Data ................................................................... 29 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ............................................................................ 32 B. Hasil Penelitian ....................................................................................... 33 C. Pembahasan ............................................................................................. 40 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................................. 42 B. Saran ....................................................................................................... 42

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................44

LAMPIRAN ....................................................................................................... 48

  

DAFTAR TABEL

Tabel I Blue Print The Purpose in Life Test ............................................ 28

Tabel II Subjek Penelitian Berdasarkan Karakteristik Mengajar ............. 34

Tabel III Data Rentang Usia Guru dan Rentang Lama Mengajar .............. 35

Tabel IV Hasil Perhitungan One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test........... 36

Tabel V Hasil Perhitungan Homogenitas Levene’s Test........................... 36

Tabel VI Hasil Perhitungan Independent Samples Test ............................. 38

Tabel VII Perbandingan Mean ............................................................. ....... 39

  

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Skala The Purpose in Life Test (versi bahasa Inggris) .....................................................................49 Lampiran II Skala The Purpose in Life Test (versi bahasa Indonesia) .................................................................52 Lampiran III Rincian Nilai yang Diperoleh Guru Yang Mengajar di Sekolah Umum............................................................................................59 Lampiran IV Rincian Nilai yang Diperoleh Guru Yang Mengajar di Sekolah Luar Biasa ......................................................................................62 Lampiran V Koefisien Reliabilitas Kuesioner The Purpose in Life

  Test ................................................................................................ 65

Lampiran VI Hasil Uji Normalitas dan Data Hasil Penelitian ...........................67

Lampiran VII Hasil Uji Homogenitas ................................................................. 67

Lampiran VIII Hasil Uji Hipotesis Data Hasil Penelitian ....................................68

Lampiran XI Perbandingan Mean ..................................................................... 69

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia di dunia ini pasti menginginkan hidupnya sehat,

  baik secara fisik ataupun secara mental. Banyak cara mendapatkan kesehatan dalam hidup, kesehatan secara fisik dapat diperoleh dengan menjalani hidup dengan teratur, seperti halnya olah raga teratur, makan dan minum cukup dan istirahat yang cukup. Untuk mendapatkan kesehatan mental yang baik, banyak para ahli berpendapat mengenai apa yang harus dilakukan, salah satunya adalah Frankl (1977) yang menyatakan kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang memiliki pemaknaan dalam hidupnya. Hanya dengan makna yang baik orang akan menjadi insan yang berguna tidak hanya untuk diri sendiri juga untuk orang lain.

  Menurut Frankl (1984), jika seseorang tidak berjuang untuk kebermaknaan hidup maka akan mengalami kehampaan dalam hidup.

  Kondisi kehampaan tersebut apabila berkepanjangan dapat menyebabkan suatu kondisi yang ditandai dengan gejala kebosanan atau apatisme.

  Sebaliknya apabila kebermaknaan hidup terus diperjuangkan maka yang bersangkutan akan mengalami transendensi-diri dan memperoleh pengalaman emosi positif oleh adanya kecocokan dalam pemenuhan.

  Setiap orang dalam menjalankan aktifitas pekerjaannya juga dituntut untuk memperoleh makna dari setiap aktivitasnya dalam bekerja,

  

sehingga untuk itulah pendalaman nilai-nilai berkarya akan sangat

menentukan kualitas mereka dalam bekerja. Makna dari kegiatan berkerja

atau kegiatan berkarya terletak pada sikap, cara dan hasil bekerjanya, serta

kecintaan dan dedikasi terhadap pekerjaan serta kesungguhan dalam

mengerjakannya (Bastaman, 2007). Guru sebagai salah satu pelaksana

aktifitas aktifitas bekerja dituntut pula untuk mencari pemaknaan dari setiap

aktivitasnya dalam mengajar.

  Sebagaian besar masyarakat menganggap bahwa guru adalah orang

yang membantu orang lain belajar. Menurut Winkel (1987) pendidikan di

sekolah mengarahkan belajar anak supaya dia memperoleh pengetahuan,

pemahaman, keterampilan, sikap dan nilai yang semuanya menunjang

perkembangannya, dimana yang memfasilitasi hal tersebut adalah seorang

guru.

  Berperan sebagai guru mengandung tantangan, karena di satu sisi

guru harus ramah, sabar, menunjukkan pengertian, memberikan

kepercayaan, dan menciptakan suasana aman. Pekerjaan seorang guru tidak

hanya menerangkan, melatih, memberi ceramah, tetapi juga mendesain

materi pelajaran, membuat pekerjaan rumah, mengevaluasi prestasi siswa

dan mengatur kedisiplinan. Dan tidak hanya itu, guru juga harus mengatur

kelas, menciptakan pengalaman belajar, dan membimbing siswa (Winkel,

1987).

  Tugas dan peranan guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan

sangat tinggi, sehingga tuntutan pada tugas dan peran guru dari hari ke hari

semakin naik dan dirasa berat. Sayangnya, tuntutan yang tinggi tidak

disertai dengan pemaknaan hidup sehingga terjadinya beberapa fenomena-

fenomena yang memprihatinkan yang dilakukan oleh guru. Salah satu

fenomena tersebut adalah kekerasan yang dilakukan guru pada anak

didiknya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan

pada paruh pertama tahun 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami

peningkatan tajam yakni 39,6 persen dari 95 kasus kekerasan terhadap anak

(Sunarwati, 2008). Fakta adanya kekerasan yang dilakukan oleh seorang

guru pada murid-muridnya yang telah melampaui batas bahkan sudah

beberapa kali menjadi tontonan masyarakat yang tersebar lewat tayangan

video di handphone. Banyak reaksi yang timbul atas kejadian tersebut,

reaksi yang mengecam, dan menyayangkan sang guru yang kelewat batas

untuk memukul murid-muridnya. Banyaknya kasus kekerasan guru terhadap

murid tadi membuat kondisi pendidikan di Indonesia menjadi ironi. Hal

tersebut menjadi keprihatianan kita bersama sebagai masyarakat, karena

seorang guru yang seharusnya bisa membimbing muridnya dengan

kesabaran dan dengan dedikasi yang tinggi akan tugasnya sebagai seorang

pembimbing.

  Dari fenomena tersebut, ada kemungkinan bahwa pekerjaan guru

terutama dalam menghadapi anak-anak banyak menimbulkan ketegangan

  

makna yang dialami oleh para guru. Banyak guru mengumandangkan nada

kecewa dan frustasi terhadap pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Memang

semula kebanyakan guru yang memulai tugas profesinya dipenuhi oleh

angan-angan bahwa mereka akan memperoleh pengalaman yang

menyenangkan dan hasil yang akan mereka peroleh adalah hasil yang

menggembirakan. Namun angan-angan tersebut seringkali bertolak

belakang dengan kenyataan yang mereka hadapi, angan-angan untuk

mendapatkan murid-murid yang penurut namun yang didapat adalah murid-

murid yang menentang dan sulit diatur sehingga kehidupan di sekolah

seakan-akan menjadi siksaan (Gordon, 1984).

  Menjadi seorang guru dibutuhkan kemauan, kerja keras, dan

kesabaran dalam menghadapi karakteristik murid yang beraneka ragam

(Winkel, 1987). Seorang guru yang mendidik anak-anak yang normal sudah

membutuhkan kesabaran yang luar biasa, begitu pula dengan guru yang

mendampingi anak-anak yang memiliki keadaan luar biasa seperti

kecacatan, mereka lebih membutuhkan ekstra kesabaran yang luar biasa.

  Setiap murid yang dihadapi seorang guru tidaklah selalu memiliki

karakteristik yang sama, setiap murid pasti memiliki kelebihan dan

kekurangan yang berbeda-beda, karakteristik sifat dan karakter yang

berbeda pula. Itulah yang disebut dengan keragaman murid. Adanya

keragaman murid itulah sekolah dibedakan menjadi dua kriteria. Ada

sekolah umum yang diperuntukkan untuk anak-anak yang memiliki

  

biasa yakni sekolah yang diperuntukkan untuk anak-anak yang memiliki

keadaan spesial seperti halnya memiliki kecacatan fisik ataupun kecacatan

mental. Adanya perbedaan tersebut, tentunya, kesulitan yang dihadapi

seorang guru akan menjadi berbeda ketika menghadapi anak dalam keadaan

normal atau anak yang memiliki kebutuhan khusus.

  Mengajar anak-anak di sekolah umum memiliki suatu tantangan

tersendiri, salah satu diantaranya adalah mengajar murid yang secara umum

memiliki kesehatan baik tetapi tetap memiliki berbagai karakteristik yang

berbeda satu sama lain, seperti halnya tingkat kecerdasan, sifat dan tujuan

mereka dalam belajar. Perbedaan karakteristik ini tentunya akan membawa

guru dalam situasi yang tidak mudah untuk dihadapi.

  Mengajar anak-anak luar biasa akan menyenangkan bagi sebagian

orang yang berminat untuk mendalami permasalahan anak-anak luar biasa.

  

Bagi yang tidak berminat dan hanya terpaksa melibatkan diri dalam bidang

ini pastinya pengalaman mengajar yang dilakukannya adalah hal yang

memusingkan dan bahkan sangat menekan. Mengajar murid dengan

kebutuhan khusus memerlukan metode penilaian yang berbeda dari yang

diadakan di sekolah umum untuk menentukan keefektifan pengajaran

(Barber & Goldbart, 1998).

  Guru bukanlah manusia super yang bisa bijaksana setiap saat

seperti harapan tiap murid pada umumnya. Guru adalah manusia biasa yang

mempunyai emosi bila menghadapi kesulitan. Sebab guru adalah manusia, maka guru akan bereaksi, berinteraksi, berperilaku yang dapat berbeda-beda dari suatu waktu ke waktu yang lainnya.

  Keadaan dan fenomena di atas membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai hidup guru, khususnya guru yang mengajar di sekolah umum dan sekolah luar biasa, bila dibandingkan tingkat kesulitan yang dihadapi guru yang mengajar di sekolah umum pasti berbeda dengan guru yang mengajar di sekolah luar biasa karena perbedaan subjek yang mereka hadapi. Berkenaan dengan adanya perbedaan tersebut apakah guru yang bekerja di sekolah luar biasa atau apakah guru-guru yang mengajar di sekolah luar biasa pada umumnya juga memiliki pemaknaan hidup yang serupa atau berbeda.

  B. Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan tingkat kebermaknaan hidup yang signifikan antara guru yang bekerja di sekolah luar biasa dan guru yang bekerja di sekolah umum?

  C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat kebermaknaan hidup yang signifikan antara guru yang mengajar di sekolah luar biasa (SLB) dan yang mengajar di sekolah umum dalam memaknai hidup mereka .

D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis Memberikan tambahan informasi dan pengetahuan bagi ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan mengenai kebermaknaan hidup guru.

  2. Manfaat Praktis Memberi kilas balik mengenai kebermaknaan hidup guru sebagai bahan evaluasi masing-masing pribadi untuk meningkatkan kebermaknaan hidupnya.

BAB II LANDASAN TEORI A. Kebermaknaan Hidup.

  a. Pengertian Kebermaknaan hidup Kebermaknaan hidup adalah salah satu prinsip dari tiga prinsip logoterapi yaitu kebebasan berkeinginan, kebebasan akan kebermaknaan dan kebermaknaan hidup (Koesworo, 1992).

  Menurut Frankl (1977) makna hidup adalah hal-hal yang penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan.

  Kebermaknaan hidup adalah kualitas penghayatan individu terhadap seberapa besar ia dapat mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi-potensi serta kapasitas yang dimilikinya, dan terhadap seberapa jauh ia telah berhasil mencapai tujuan-tujuan hidupnya, dalam rangka memberi makna dan arti dalam hidupnya (Sumanto, 2006).

  b. Sejarah Pengertian Kebermaknaan Hidup Victor Frankl (1977) adalah tokoh yang mula-mula mendalami kebermaknaan hidup. Secara khusus dalam karir profesinya, Frankl (1977) memfokuskan minatnya pada peran kebermaknaan hidup dalam psikopatologi dan terapi. Frankl (1977), psikiater asal Wina, pertama kali menggunakan istilah logoterapi pada tahun 1920an. Kemudian

  

menyebut pendekatannya, baik dalam konteks teoritis maupun terapiutis,

dengan logoterapi (logos dalam bahasa Yunani artinya makna). Logoterapi

berbicara tentang arti eksistensi manusia dan kebutuhan manusia akan

makna dan juga teknik-teknik terapiutis khusus untuk menemukan makna

dalam kehidupan.

  Kebermaknaan hidup merupakan tema sentral teori kepribadian-

eksistensial dari Frankl (1984). Pendapatnya adalah setiap orang

memiliki idealisme untuk menemukan inti dari kebermaknaan hidup

meskipun dalam berbagai penderitaan dan bahkan kematian. Dari sumber

tersebut dikatakan bahwa Frankl (2003) melaporkan pengalaman

pribadinya sebagai tawanan, yang mengalami penyiksaan luar biasa oleh

tentara Nazi pada perang dunia II. Dalam penyiksaan dan penderitaaan

tersebut Frankl (2003) merasakan betapa pentingnya kebermaknaan hidup.

  

Kebermaknaan hidup diduga memiliki keterkakitan yang erat dengan

kesejahteraan, namun menurut Frankl (2003) kebermaknaan hidup juga

dapat muncul tanpa kesejahteraan. Seperti yang digambar Frankl (2003)

bahwa menderita; hidup dalam penyiksaan sebagai tawanan bukan

halangan untuk memiliki kebermaknaan hidup.

  Menurut Frankl (1984), kebermaknaan hidup bukan kreasi manusia

yang berubah-ubah, tetapi merupakan suatu realitas obyektif dari dirinya.

  

Hanya ada satu kebermaknaan hidup untuk setiap situasi dan itulah

kebermaknaan hidup sejati.

  Menurut Frankl (1954) manusia tak bebas dari kondisi-kondisi biologis, psikologis, dan sosiologis, ketiga kondisi tersebut dapat mengubah manusia, namun manusia memiliki reaksi sehingga dapat memilih sikap dalam menangani ketiga kondisi tersebut.

  Manusia menurut Frankl (1954) adalah makhluk yang terbuka terhadap dunia luar, serta senantiasa berinteraksi dengan sesama manusia dalam lingkungan sosial budaya, serta mampu mengolah lingkungan fisik sekitarnya. Keterbukaan manusia ini secara khusus terungkap dalam beragam bentuk interaksi dengan sesama manusia dan pemanfaatan benda- benda dan lingkungan fisik. Keterbukaan ini pula yang menyebabkan manusia senantiasa melibatkan dirinya dengan berbagai nilai sosial budaya dan menentukan hal-hal yang bermakna dalam hidupnya.

c. Nilai-nilai Sumber Kebermaknaan Hidup

  Makna hidup dapat daitemukan dalam kehidupan itu sendiri, betapa pun buruknya kehidupan tersebut. Dalam kehidupan ini terdapat tiga nilai yang secara potensial memungkinkan seseorang menemukan makna hidup didalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi.

  Ketiga nilai (values) ini adalah creative values, experimental values, dan attitudinal values (Bastaman, 2007).

  1) Creative Values (Nilai-nilai kreatif) : Kegiatan berkarya, bekerja, menciptakan serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Menekuni suatu pekerjaan dan meningkatkan keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk mengerjakannya dengan sebaik-baiknya merupakan salah satu contoh dari kegiatan berkarya. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna.

  Sehubungan dengan itu perlu dijelaskan pula bahwa pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup; makna hidup tidak terletak pada pekerjaan, tetapi lebih bergantung pada pribadi yang bersangkutan, dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu serta cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya 2) Experiental Values (Nilai-nilai penghayatan)

  Keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan keagamaan serta cinta kasih.

  Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Tidak sedikit orang-orang yang merasa menemukan kebermaknaan hidup dalam agama yang diyakininya, dan ada orang-orang yang menghabiskan sebagian besar usianya untuk menekuni suatu cabang seni tertentu juga dapat merasakan menemukan kebermaknaan hidupnya. Cinta kasih dapat dijadikan pula oleh seseorang untuk menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan. 3) Attitudinal Values (Nilai-nilai bersikap) Menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti rasa sakit yang tak dapat disembuhkan, kematian, dan menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal. Perlu ditekankan disini dalam hal ini yang diubah bukan keadaannya, melainkan sikap yang diambil dalam menghadapi keadaan itu.

d. Ciri-ciri Orang yang Mengalami Kebermaknaan Hidup

  Frankl (1977) tidak menyajikan suatu daftar ciri-ciri dari orang yang mengalami kebermaknaan hidup, namun memberikan gambaran secara umum sebagai berikut : 1. Mereka bebas memilih langkah tindakan mereka sendiri.

2. Mereka secara pribadi bertanggung jawab terhadap tingkah laku hidup mereka dan sikap yang mereka anut.

  4. Mereka telah menemukan arti dalam kehidupan yang cocok dengan mereka

  5. Mereka secara sedar mengontrol kehidupan mereka

  6. Mereka mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman, atau nilai- nilai sikap.

  7. Mereka telah mengatasi perhatian terhadap diri.

e. Ketidakbermaknaan Hidup dan Dampaknya

  Ketidakbermaknaan hidup adalah suatu perasaan yang disebabkan karena kegagalan menangkap makna dari suatu pengalaman, dengan kata lain perasaan ketiadaan makna (Koeswara, 1992). Frankl (1984) menemukan adanya dua tahapan dalam sindroma ketidakbermaknaan (syndrome of meaninglessness) yaitu frustasi eksistensial (existential frustration ) dan neurosis noogenik (noogenic neuroses).

  Lebih lanjut, menurut Frankl (1984), yang dimaksud dengan frustrasi eksistensial adalah suatu fenomena umum yang berkaitan dengan kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna, yang ditandai dengan hilangnya minat dan kurangnya inisiatif, juga ditandai perasaan- perasaan absurd dan hampa. Menurut Frankl (1984), frustasi eksistensial bukanlah suatu penyakit dalam arti klinis namun lebih merupakan suatu penderitaan batin. Bagaimanapun pencarian akan makna menjadi suatu tanda yang paling nyata adanya hasrat untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Penderitaan batin bisa disebabkan karena ada ketegangan

  

maupun konflik eksternal; namun bisa juga penderitaan batin muncul

karena pribadi tidak mengalami suatu ketegangan dalam dirinya, merasa

bahwa dirinya sudah beres (Koeswara, 1992).

  Pengertian neurosis noogenik adalah suatu manifestasi khusus dari

frustrasi eksistensial yang ditandai dengan simtom-simtom neurotik klinis

tertentu yang terbuka atau tampak (Koeswara, 1992). Dengan kata lain,

neurosis noogenesis merupakan frustrasi eksistensial yang sudah akut dan

tidak mendapat penanganan yang serius, sehingga tidak lagi merupakan

penderitaan batin tetapi merupakan suatu “penyakit”.

  Seseorang yang mengalami gangguan kepribadian (antisosial) yang

ditandai dengan perasaan tidak puas, cemas, bahkan depresi seperti yang

ditunjukkan dalam faktor predisposisi merupakan gejala atau simtom

bahwa seseorang tersebut mengalami sindroma ketidakbermaknaan.

  

Dalam faktor kontribusi, konflik eksternal yang dialami oleh individu bisa

menyebabkan individu tersebut mengalami suatu penderitaan batin.

  

Penderitaan batin itu merupakan awal dari sindroma ketidakbermaknaan

yang oleh Frankl (1984) disebut frustasi eksistensial.

  Penderitaan akibat konflik, baik internal maupun eksternal seperti

yang terdapat pada faktor predisposisi, faktor kontribusi, maupun faktor

pencetus, bisa mengakibatkan seseorang tidak lagi mampu melihat makna,

namun makna hidup itu tetap ada. Mereka yang berhasil menghayati

makna hidupnya akan menjalani kehidupannya dengan penuh semangat, hampa. Namun bagi yang gagal menghayatinya akan merasakan penderitaan batin yang panjang dan gelap. Apabila tidak segera ditangani akan membawa dirinya pada kehancuran dengan melakukan penyalahgunaan obat-obat terlarang, atau lebih buruk lagi tindakan bunuh diri.

  Adanya konflik internal maupun konflik eksternal dapat menyebabkan seseorang gagal menghayati makna hidupnya atau dengan kata lain mengalami ketidakbermaknaan, merasakan hidupnya kosong, tak bermasa depan, tak berharga, dan lain sebagainya. Hal tersebut muncul disebabkan adanya konflik internal maupun konflik eksternal.

B. Guru

  a. Pengertian Guru Norman (1983) mengemukakan pengertian guru sebagai seorang manusia, baik pria maupun wanita yang memikul tanggung jawab profesi penuh atas pendidikan anak-anak dan kaum remaja yang sedang menuntut ilmu di bangku sekolah.

  b. Sekolah Luar Biasa dan Sekolah Umum Agar pendidikan tersalurkan sesuai dengan karakteristik murid yang berbeda-beda maka didirikanlah sekolah umum atau sekolah untuk siswa yang tidak memiliki permasalahan dalam hal fisik/ normal, dan didirikanlah sekolah luar biasa untuk memberikan

  

adanya kecacatan fisik atau permasalahan lainnya (Mangungsong,

1998).

a) Sekolah Luar Biasa

  Sekolah ini ditujukan untuk kategori ketunaan khusus dengan materi dan peralatan yang sesuai untuk pengasuhan dan pendidikan manusia (Mangungsong, 1998).

  Kelas Khusus dengan siswa-siswa yang memiliki karakteristik khusus atau kebutuhan khusus diajar khusus oleh guru yang terlatih di bidangnya. Area pendidikan Guru Sekolah Luar Biasa adalah TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB atau bentuk lain yang sederajat. Sesuai dengan batasan dari Pendidikan Luar Biasa (Mangungsong, 1998), yang merupakan program yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan khusus dari siswa luar biasa; diperlukan materi-materi, tehnik-tehnik pengajaran, atau peralatan, dan fasilitas khusus. Standar yang harus dimiliki oleh guru tersebut adalah (Daryanto, 2005):

1) Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-

  IV) atau sarjana (S-1) 2) Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan

3) Sertifikasi profesi guru untuk SDLB, SMPLB, dan SMALB

b) Sekolah Umum

  Sekolah Umum Terdiri atas pendidikan (Daryanto, 2005) :

  1. Pendidik pada pendidikan anak usia dini. Dimana standar pendidikan yang harus dimiliki seorang guru adalah : 1) Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-1) 2) Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi

3) Sertifikasi profesi guru untuk PAUD.

  2. Pendidik pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat memiliki: 1) Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-1) 2) Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan

  SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi 3) Sertifikasi profesi guru untuk SD/MI

  3. Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki 1) Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-1)

  2) Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan

3) Sertifikasi profesi guru untuk SMP/MTs

  4. Pendidik pada SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat memiliki : 1) Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-1) 2) Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan 3) Sertifikasi profesi guru untuk SMA/MA

  

C. Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup Guru yang Mengajar di

Sekolah Umum dan Guru yang Mengajar di Sekolah Luar Biasa

Dunia pendidikan tidak akan pernah lepas dari peran guru, karena guru adalah setiap orang yang bertugas dan berwenang dalam dunia pendidikan dan pengajaran pada pendidikan formal. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, guru memegang peranan yang paling utama. Guru merupakan media yang sangat penting dalam kerangka pembinaan dan pengembangan bangsa karena guru mengembang tugas-

tugas sosial kultural yang berfungsi mempersiapkan generasi muda.

  Pentingnya peranan guru membuat masalah guru senantiasa

mendapat perhatian karena mutu guru turut menentukan mutu

pendidikan. Dari berbagai permasalahan yang dihadapi guru masalah

keberagaman karakteristik adalah salah satu masalah yang tidak bisa

dihindari guru. Keberagaman karakteristik tersebut menyangkut adanya

permasalahan fisik, yaitu adanya siswa yang cacat dan siswa yang

normal. Dengan adanya perbedaaan karakteristik fisik tersebut maka

didirikanlah sekolah umum dan sekolah luar biasa. Sekolah luar biasa

untuk memberikan pendidikan bagi mereka yang memiliki kebutuhan

khusus karena adanya kecacatan fisik atau permasalahan lainnya.

  Untuk menjadi seorang guru ada persyaratan yang harus dipenuhi,

yaitu fleksibilitas kognitif dan karakteristik kepribadian (Surya, 2004).

  

Fleksibilitas kognitif seorang guru dipenuhi dengan proses pendidikan

keguruan yang harus dipenuhi. Sedangkan karakteristik kepribadian ini

didasari oleh kesehatan guru secara psikologis. Frankl (1977) percaya

bahwa kesehatan seseorang terutama didukung oleh semangat untuk

menemukan kebermaknaan hidup dan tujuan eksistensi pribadinya.

  Keterbukaan manusia pada dunia luar menyebabkan manusia

senantiasa melibatkan dirinya dengan berbagai nilai sosial budaya dan

menentukan hal-hal yang bermakna dalam hidupnya. Mengalami

kebermaknaan hidup adalah suatu hal yang penting bagi manusia pada

umumnya, karena manusia sebagai seorang individu, pada suatu titik

  

kehidupannya. Maka begitu pula dengan para guru, dengan pekerjaannya

sebagai pendidik.

  Untuk mencapai makna, individu harus menunjukkan tindakan

komitmen yang muncul dari kedalaman dan pusat kepribadiannya.

  

Dengan berkomitmen individu menjawab tantangan yang muncul dalam

hidupnya, yaitu memberikan sesuatu pada hidupnya. Ini tepatnya

dilakukan oleh individu ketika ia merealisasikan nilai-nilai kreatif dalam

wujud konkretnya berupa pelaksanaan aktivitas pekerjaan (Koeswara,

1992).

  Sekalipun makna hidup ini dapat ditemukan dalam kehidupan

pribadi masing-masing pribadi dan setiap orang mampu menemukannya,

tetapi dalam kenyataannya tidaklah selalu demikian. Lalu dengan adanya

perbedaan karakteristik kerja/pekerjaan yang menonjol yang dihadapi

oleh guru yang mengajar di sekolah umum ataupun di sekolah luar biasa

berkenaan dengan fisik yang normal atau fisik yang memiliki kekurangan

dari murid yang dihadapi, lingkungan sekolah, perbedaan sistem

pengajaran, apakah membantu kedua kelompok guru tersebut

menemukan kebermaknaan hidupnya sehingga terjadi adanya perbedaan

diantara keduanya karena pada kedua karakteristik kerja yang dihadapi

tentunya memiliki pengalaman dan kesulitan yang berbeda.

D. Hipotesis

  Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat kebermaknaan hidup yang signifikan antara para guru yang mengajar di sekolah luar biasa (SLB) dan yang mengajar di sekolah umum.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis

  penelitian komparatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan tingkat kebermaknaan hidup pada guru yang mengajar di sekolah umum dan guru yang mengajar di sekolah luar biasa.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

  Variabel Penelitian adalah objek yang diteliti dalam suatu penelitian (Audifax, 2008). Variabel penelitian ini, terdiri atas :

  1. Variabel 1 : kebermaknaan hidup

  2. Variabel 2 : perbedaan karakteristik kerja

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

  1. Kebermaknaan Hidup Kebermaknaan hidup adalah seberapa tinggi kualitas individu untuk memaknai kehidupannya secara berarti dan berharga melalui nilai kerja, nilai penghayatan, dan nilai sikap.

  Kebermaknaan hidup ini diungkap melalui The Purpose in Life

Test yang ditunjukkan oleh skor total dari alat tes tersebut. Semakin

tinggi skor total kebermaknaan hidup yang diperoleh subjek, maka akan

menunjukkan semakin besar atau tingginya tingkat kebermaknaan

hidup yang dimiliki oleh subjek, sebaliknya rendahnya skor total

kebermaknaan hidup yang diperoleh subjek maka menunjukkan bahwa

tingkat kebermaknaan hidup yang dimiliki subjek rendah.

  Variabel kebermaknaan hidup ini diukur dengan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Frankl (1977), yaitu :

a. Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan