Analisis perilaku remaja pada penggunaan mobile phone dengan pendekatan trading up : studi tentang remaja pengguna mobile phone Nokia N series dan E series di Kota Yogyakarta - USD Repository

  

ANALISIS PERILAKU REMAJA PADA PENGGUNAAN MOBILE

PHONE DENGAN PENDEKATAN TRADING UP

  (Studi Tentang Remaja Pengguna Mobile Phone Nokia N Series dan E Series di Kota Yogyakarta)

  

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Program Studi Manajemen

  Disusun Oleh: Nama : Chaterina Intan Mulyono NIM : 042214013

  

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan mobile phone beberapa tahun belakangan ini, di kalangan

  kaum muda / remaja belakangan ini makin marak. Banyak kaum muda menggunakan mobile phone tipe dan merek tertentu untuk dijadikan self

  image atau personal lifestyle. Bisnis-bisnis baru yang bermunculan seperti

  maraknya penjualan mobile content yang sebelumnya tidak dilirik sama sekali, sekarang cukup gencar dipromosikan. Kali ini remaja menjadi target segmenya. Tidak dipungkiri pesatnya kemajuan teknologi, media, musik yang dinamis mendorong keinginan kaum muda / remaja untuk mencari tahu dan mencoba hal-hal tersebut lewat apa saja termasuk lewat fitur, desain, dan aplikasi dari mobile phone. Tentu, bagi kaum muda yang selalu ingin mencoba

  mobile phone yang menawarkan berbagai keunggulan yang ada dari fitur, konektivitas, aplikasi,dll. Kaum muda selalu ingin mencoba hal baru.

  Beberapa vendor yang mempunyai kepekaan terhadap konsumen untuk menangkap peluang tersebut.

  Ada proses perubahan perilaku mereka dan akan emotional benefit yang cukup besar, dimana dengan emotional benefit mereka dapat mendapatkan pemuasan atas keinginan mereka, value added, dan self image dalam perilaku penggunaan. Saat terjadi perubahan perilaku atau consumer

  transform atas sebuah kebutuhan baru karena motif emosional guna memenuhi keinginan mereka untuk produk yang dianggap lebih premium, maka konsumen sedang melakukan trading up.

  Dalam pasar mobilephone dilihat ada beberapa vendor yang bermain di pasar lokal seperti Nokia, Samsung, Motorola, Sony Ericsson, Apple, dan LG.

  Menurut http://www.studiohp.com/news_search.php , pada 15 Maret 2009. Nokia masih menjadi penguasa pasar smartphone (ponsel pintar) dunia sepanjang 2008 dengan penetrasi pasar 43,7% dari total pasar ponsel dunia tahun lalu sebesar 139,28 juta unit. Posisi penjualan terbesar kedua diraih oleh Research In Motion (RIM), produsen ponsel BlackBerry dengan total penjualan sebanyak 23,15 juta unit atau meraih penetrasi pasar sebesar 16,6%.

  Lembaga riset Gartner mencatat lima besar penjualan ponsel pintar di dunia tahun lalu, yaitu Nokia, BlackBerry, iPhone, HTC, dan Sharp. Merek yang cukup dikenal di Indonesia seperti Sony Ericsson, Samsung, dan LG tidak masuk posisi lima besar. Dalam penelitian ini akan ditelti khusus vendor Nokia, karena besarnya pangsa pasar yang ia miliki maka diasumsikan akan mudah dalam mendapat responden. Selain itu akan dikaitkan langsung dengan strategi marketing new luxury yang mereka jalankan apakah konsumen mampu menangkap strategi tersebut.

  Mengenali sebuah segmen pasar dengan karakteristik segmentasinya memang perlu dilakukan perusahaan untuk menentukan arahan strategi yang akan dilakuakan untuk merumuskan strategi, style, desain produk, promosi, metode pendistribusian, serta servis kepada konsumen. Strategi marketing new

  

luxury yang digunakan perusahaan mengubah cara konsumen memandang produk yang mereka tawarkan di pasaran, sehingga membuat produk mendapatkan tempat khusus dalam benak konsumen.

  Produk yang dibeli konsumen pada kenyataannya tidak membeli produk atau jasa melainkan mereka membeli motif atau membeli solusi untuk pemecahan masalah mereka. Konsumen yang menikmati value dan brand yang didapatkan dalam membeli sebuah produk, dimana kombinasi manfaat secara emotional dan fungsional ini sama – sama dinikmati konsumen. Dengan mengenali konsumen dalam segmentasi tertentu, maka perusahaan harus mampu mengenali dan memberikan perhatian khusus kepada konsumenya untuk menjaga agar konsumen setia kepada perusahaan. Bagi pemasar, perilaku trading up yang dikarenakan motif emosional dalam sebuah pembelian maupun penggunaan dengan mencari emotional benefit dapat menjadi peluang sekaligus bumerang dalam meraih dan mempertahankan konsumen. Menjadi kesempatan ketika pemasar berhasil menemukan pola dasar dari perilaku emosional tersebut dan menjadi bumerang ketika pemasar gagal menterjemahkan perilaku tersebut ke dalam pola yang mudah dipahami dalam menentukan strategi pemasarannya (Erna Ferrinadewi, Merek & Psikologi Konsumen, 2008: 3).

  Penelitian tentang karakteristik segmen sebuah produk, perilaku berdasarkan motif, dan pola penggunaan saat diperlukan untuk melihat seperti apa konsumen memaknai produk yang mereka beli. Maka, penelitian ini akan dilihat keterkaitan hubungan antara strategi marketing new luxury menurut persepsi konsumen dengan perilaku trading up yang dijalanakan remaja pada penggunaan Nokia E series dan N series. Penelitian ini juga akan melihat karakteristik psikografis dan demografis remaja. Remaja memang pasar yang sangat menarik karena remaja adalah future market. Selain itu akan dilihat juga pola keterkaitan antar perilaku trading up dengan tingkat benefit / manfaat yang digunakan konsumen Maka dari itu penulis akan melakukan penelitian dengan judul, “Analisis Perilaku Remaja Pada Penggunaan

  Mobile Phone dengan Pendekatan Trading Up, Studi Tentang Remaja Pengguna Nokia N series dan Nokia E series”.

  B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana karakteristik psikografis dan demografis remaja pengguna

  mobile phone N Series dan N Series di Kota Yogyakarta?

  2. Apakah ada hubungan antara Strategi Marketing New Luxury Product menurut konsumen dengan perilaku trading up ?

  3. Bagaimana pola keterkaitan antara orientasi pertimbangan emosi dan fungsi selama pembelian dengan manfaat emosional dan fungsional saat menggunakan?

  C. Pembatasan Masalah

  Untuk lebih memfokuskan penelitian ini dibatasi sebagai berikut:

  1. Responden yang diteliti dibatasi pada kelompok demografis yang akan diteliti adalah remaja fase akhir yang berusia 15-18 tahun yang berada di SMA Negeri 3 Kota Yogyakarta. Penentuan SMA didapat dari cluster

  SMA – SMA di Kota Yogyakarta. Setelah itu akan dicari siswa/siswi yang cocok dengan ketentuan responden penelitian lewat penelitian rintisan.

  2. Responden yang akan dijadikan subjek penelitian memiliki syarat sebagai berikut: a. Pelajar sebuah SMU cluster, usia 15 – 18 tahun.

  b. Memiliki mobile phone Nokia N series atau Nokia E series.

  3. Kategori produk yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada produk

  mobilephone Nokia pada kategori middle end, dan untuk lebih spesifik yang dijadikan objek penelitian adalah Nokia N series dan NokiaE series.

  Tabel I.1 Produk / Objek Penelitian

  Pada penelitian ini produk yang dijadikan objek penelitian adalah Nokia E Series dan Nokia N Series. Tipe-tipe yang akan diteliti adalah:

  Nokia E Series Nokia N Series Nokia E 50 Nokia E 51 Nokia E61

  Nokia E62 Nokia E65 Nokia E 65 Nokia E 66 Nokia E 70 Nokia E 71 Nokia E 90 Nokia N 70

  Nokia N 71 Nokia N 73 Nokia N 80 Nokia N 82 Nokia N 92 Nokia N 93 Nokia N 95 Nokia N 93

  Nokia N Gage Nokia N Gage QD

  D. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi profil remaja pengguna Nokia N series dan E series, mengeidentifikasi hubungan antara Strategi

  Marketing New Luxury menurut konsumen dengan perilaku trading up,

  mengidentifikasi pola keterkaitan antara pertimbangan emosi dan fungsi saat pembelian dengan orientasi manfaat emosional dan manfaat fungsional saat menggunakan.

  E. Manfaat Penelitian 1.

  bagi Universitas Penambah wacana dan gambaran / deskripsi tentang perilaku konsumsi remaja DI Yogyakarta.

  2. bagi masyarakat

  Diharapkan dengan penelitian ini lebih mengenali perilaku pembelian dan penggunaan yang dilakukan remaja dalam menyikapi sebuah personal

  product yaitu mobile phone tertentu.

  3. bagi penulis Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma.

  4. bagi dunia usaha Hasil penelitian ini dapat dilihat sebagai salah satu cara pandang bisnis, yang dapat digunakan dalam melihat pasar yang dapat dikembangkan dan dimodifikasi berdasarkan segmentasi yang akan dibidik, yaitu remaja.

  Mengingat remaja adalah future market, maka akan sangat menguntungkan bagi dunia bisnis apabila dapat mengetahui black box dalam benak mereka. Lewat tahapan kehidupan remaja, maka dapat menjadi referensi bisnis yang akan dipilih yang cukup prospek dengan keahlian masing-masing.

F. Sistematika Penulisan

  BAB I : Pendahulan Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

  BAB II : Landasan Teori Bab ini menguraikan tentang teori teori yang akan digunakan sebagai dasar pembahasan permasalahan yang ada. BAB III : Metode Penelitian Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang akan digunakan sebagai dasar pembahasan permasalahan yang ada. BAB IV : Gambaran Umum Dalam bab ini berisi gambaran umum tentang SMA Negeri 3 Yogyakarta BAB V : Analisis Data Pada bab analisis data akan dijelaskan mengenai analisis data dan pembahasan. BAB VI : Kesimpulan dan Saran Pada bab kesimpulan dan saran akan diuraikan mengenai kesimpulan analisis data yang ada serta saran yang dapat diberikan oleh penulis.

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pemasaran Dalam dunia bisnis, pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok

  yang dilakukan oleh para pengusaha dalam mempertahankan usahanya dan mencapai tujuannya untuk memenangkan persaingan. Perusahaan harus mampu memahami dan memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Setelah itu, perusahaan dapat mengambil celah atau peluang dan menyusun strategi agar dapat mengungguli pesaingnya.

  Ada beberapa definisi pemasaran yang dikemukakan oleh:

  1. Philip Kotler (1997: 8) menyatakan sebagai berikut: Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.

  Definisi pemasaran ini bersandar pada konsep inti berikut: kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan permintaan (demands); produk (barang, jasa, dan gagasan); nilai; biaya; dan kepuasan; pertukaran; dan transaksi; hubungan dan jaringan; pasar; serta pemasar dan prospek.

  2. The American Marketing Association (Kotler, 2000: 8) menyatakan sebagai berikut:

  Marketing (management) is the process of planning and executing the

conception, pricing, promotion, and distribution of ideas, goods, services

to create exchanges that satisfy individual and organizational goals.

  3. William J. Stanton (Swastha dan Irawan, 2005: 5) menyatakan sebagai berikut: Pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial.

  Jadi, kita meninjau pemasaran sebagai suatu sistem dari kegiatan- kegiatan yang saling berhubungan, ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa kepada kelompok pembeli.

  Kegiatan-kegiatan tersebut beroperasi di dalam suatu lingkungan yang dibatasi oleh sumber-sumber dari perusahaan itu sendiri, peraturan- peraturan, maupun konsekuensi sosial dari perusahaan. Pada umumnya, dalam pemasaran perusahaan berusaha menghasilkan laba dari penjulan barang dan jasa yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pembeli. Namun demikian, pemasaran juga dilakukan untuk mengembangkan, mempromosikan, dan mendistribusikan program-program dan jasa yang disponsori oleh organisasi non-laba. Jadi, tugas manajer pemasaran adalah memilih dan melaksanakan kegiatan pemasaran yang dapat membantu dalam pencapaian tujuan organisasi.

  Menurut Philip Kotler (Swastha dan Irawan 2005: 7), manajemen pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang, dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan-tujuan individu dan organisasi. Hal ini sangat tergantung pada penawaran organisasi dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pasar tersebut serta menentukan harga, mengadakan komunikasi, dan distribusi yang efektif untuk memberitahu, mendorong, serta melayani pasar.

  Dengan demikian gambaran umum manajer pemasaran adalah seseorang dengan tugas utama merangsang permintaan atau produk perusahaan. Manajer pemasaran mengelola permintaan dengan melaksanakan riset pemasaran, perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Dalam perencanaan pemasaran, pemasar harus memutuskan pasar sasaran, posisi produk dalam pasar, pengembangan produk, penetapan harga, saluran distribusi, promosi, dan lain-lain.

B. Konsep Strategi Marketing Mix

  Menurut William J. Stanton, dalam Dharmmesta dan Irawan (2005:78) dikatakan bahwa: Marketing mix adalah kombinasi dari empat variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari sistem pemasaran perusahaan, yakni: produk, struktur harga, kegiatan promosi, dan sistem distribusi.

  Berikut dibahas empat elemen pokok dalam marketing mix tersebut, yakni sebagai berikut :

  1. Produk Keputusan-keputusan tentang produk ini mencakup penentuan bentuk penawaran secara fisik, mereknya, pembungkus, garansi, dan servis sesudah penjualan. Pengembangan produk dapat dilakukan setelah menganalisa kebutuhan dan keinginan pasarnya.

  2. Harga Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan harga tersebut antara lain biaya, keuntungan, praktek saingan, dan perubahan keinginan pasar.

  3. Distribusi Ada tiga aspek pokok yang berkaitan dengan keputusan-keputusan tentang distribusi (tempat). Aspek tersebut adalah : a. Sistem transportasi perusahaan : pemilihan alat transport seperti pesawat, kapal, kereta api, dan lain-lain.

  b. Sistem penyimpangan : penentuan jadwal pengiriman, penentuan rute yang harus ditempuh, dan sebagainya.

  c. Pemilihan saluran distribusi : penggunaan penyalur seperti pedagang besar, pengecer, agen, makelar, dan bagaimana menjalin kerja sama yang baik dengan para penyalur tersebut.

  4. Promosi Termasuk dalam kegiatan promosi adalah periklanan, personal

  selling , promosi penjualan, dan publisitas. Beberapa keputusan yang

  berkaitan dengan periklanan ini adalah pemilihan media (majalah, televisi, surat kabar, dan sebagainya), penentuan bentuk iklan dan beritanya.

  Variabel-variabel marketing mix tersebut dapat dipakai sebagai dasar untuk mengambil suatu strategi dalam usaha mendapatkan posisi yang kuat di pasar.

C. Pengertian Perilaku Konsumen

  1. Menurut James F. Engel, dalam Dharmmesta dan Handoko (2000: 10) menyatakan sebagai berikut: Perilaku konsumen (consumer behavior) dapat didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang-barang dan jasa-jasa, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan pada persiapan dan penentuan- penentuan kegiatan tersebut. Ada dua elemen penting dari arti perilaku konsumen itu:

  a. proses pengambilan keputusan, dan

  b. kegiatan fisik, yang semua ini melibatkan individu dalam menilai, mendapatkan, dan mempergunakan barang-barng dan jasa-jasa ekonomis.

  2. Menurut American Marketing Association, menyatakan sebagai berikut: Perilaku konsumen (consumer behavior) sebagai interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku, dan kejadian di sekitar kita dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka. Ada tiga ide penting dalam definisi di atas:

  a. perilaku konsumen adalah dinamis, ini berarti bahwa seorang konsumen, grup konsumen, serta masyarakat selalu berubah dan bergerak sepanjang waktu.

  b. hal tersebut melibatkan interaksi antara pengaruh dan kognisi, perilaku, dan kejadian di sekitar.

  c. hal tersebut melibatkan pertukaran. Dalam Fandy Tjiptono (2002: 63), Philip Kotler menyatakan bahwa dalam pasar konsumen juga ada berbagai macam peranan yang bisa dimainkan setiap anggota organisasi dalam proses keputusan pembelian. Peranan-peranan tersebut meliputi:

  1. Pemakai (users), yaitu mereka yang akan menggunakan barang atau jasa.

  Dalam banyak kasus, pemakai memprakarsai proposal pembelian dan membantu menentukan spesifikasi produk.

  2. Pemberi pengaruh (influencers), yaitu orang-orang yang mempengaruhi keputusan pembelian. Mereka sering membantu dalam menentukan spesifikasi produk dan juga menyediakan informasi untuk mengevaluasi alternatif-alternatif yang ada. Karyawan teknikal merupakan pemberi pengaruh yang penting.

  3. Pembuat keputusan (deciders), yakni orang-orang yang memutuskan persyaratan produk dan/ atau pemasok.

  4. Pemberi persetujuan (approvers), yaitu orang-orang yang mengesahkan tindakan yang diusulkan oleh pemberi keputusan atau pembeli.

  5. Pembeli (buyers), yakni mereka yang mempunyai wewenang resmi untuk memilih pemasok dan menyusun syarat-syarat pembelian. Pembeli dapat membantu membentuk spesifikasi produk, tetapi mereka memainkan peranan yang utama dalam memilih pemasok dan bernegosiasi. Dalam pembelian yang lebih kompleks, pembeli dapat terdiri atas manajer puncak yang ikut serta dalam proses negosiasi.

  6. Gatekeeper, yaitu mereka yang mempunyai kekuasaan untuk mencegah penjual atau informasi dalam menjangkau anggota pusat pembelian dalam organisasi.

D. Teori-teori Perilaku Konsumen

  Dalam Dharmmesta dan Handoko (2000: 25-38), disebutkan beberapa teori perilaku konsumen, antara lain:

  1. Teori Ekonomi Mikro Menurut teori ini, setiap konsumen akan berusaha mendapatkan kepuasan maksimal, dan konsumen akan meneruskan pembeliannya terhadap suatu produk untuk jangka waktu yang lama, bila ia telah mendapatkan kepuasan dari produk yang sama yang telah dikonsumsikannya.

  Teori ini didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu: a. Bahwa konsumen selalu mencoba untuk memaksimumkan keputusannya dalam batas-batas kemampuan finansialnya.

  b. Bahwa ia mempunyai pengetahuan tentang beberapa alternatif sumber untuk memuaskan kebutuhannya.

  c. Bahwa ia selalu bertindak dengan rasional.

  2. Teori Psikologis Teori psikologis ini mendasarkan diri pada faktor-faktor psikologis individu yang selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lingkungan.

  Pada pokoknya teori ini merupakan penerapan dari teori-teori bidang psikologi (psylogical field) dalam menganalisa perilaku konsumen.

  Tujuan mempelajari bidang psikologi ini ialah:

  a. Mengumpulkan fakta-fakta perilaku manusia dan mempelajari hukum- hukum perilaku tersebut.

  b. Psikologi berusaha untuk meramalkan perilaku manusia.

  c. Psikologi bertujuan untuk mengontrol perilaku manusia.

  Bidang psikologi ini adalah sangat kompleks dalam menganalisa perilaku manusia, karena proses mental tidak dapat diamati secara langsung. Rangsangan-rangsangan (stimuli) merupakan input untuk suatu kegiatan manusia, dan perilaku adalah output atau hasilnya.

  3. Teori Belajar Teori ini didasarkan atas empat komponen pokok, yaitu: drive (dorongan), cue (petunjuk), response (tanggapan), dan reinforcement (penguatan).

  a. Stimulus Responsive Theory (Teori Rangsangan-Tanggapan) Menurut teori ini, proses belajar merupakan suatu tanggapan dari seseorang (atau binatang) terhadap suatu rangsangan yang dihadapinya. Rangsangan tersebut diulang-ulang sampai mendapatkan tanggapan yang sama dan benar secara terus-menerus. Akhirnya, akan muncul suatu kebiasaan dan perilaku tertentu.

  b. Cognitive Theory (Teori Kesadaran) Pada teori kesadaran, proses belajar itu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: sikap, keyakinan, pengalaman masa lalu, dan kesadaran untuk mencapai tujuan atau kesadaran untuk mengorganisir nilai. Para ahli teori kesadaran lebih menekankan pada proses pemikiran seseorang karena sangat menentukan dalam pembentukan pola perilakunya.

  c. Gestalt dan Field Theory (Teori Bentuk dan Bidang) Gestalt theory ini memandang proses belajar dan perilaku secara keseluruhan. Proses pengamatan, pengalaman masa lalu, dan pengarahan tujuan merupakan variabel yang menentukan terhadap perilaku. Juga diasumsikan bahwa orang-orang berperilaku karena mempunyai suatu tujuan.

  Field theory (teori bidang) mengemukakan bahwa perilaku secara umum adalah hasil interaksi yang nampak antara individu dan lingkungan psikologis. Lingkungan psikologis adalah bagian dari ruang hidup, karena sifat-sifatnya tidak ditentukan oleh sifat-sifat lingkungan obyektif saja, tetapi juga oleh sifat-sifat pribadi.

  4. Teori Psikoanalitis Teori psikoanalisis didasarkan pada teori psikoanalisa dari

  Sismend Freud. Menurut Freud, perilaku manusia dipengaruhi oleh adanya keinginan yang terpaksa dan adanya motif yang tersembunyi.

  Perilaku manusia ini selalu merupakan hasil kerja sama dari ketiga aspek dalam struktur kepribadian manusia, yaitu: Id adalah wadah dari dorongan-dorongan yang ada dalam diri manusia. Ego adalah aspek psikologis dari kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan. Super ego merupakan aspek sosiologis dari kepribadian. Aspek ini dapat dianggap sebagai aspek moral dari kepribadian, yang menyalurkan dorongan-dorongan naluriahnya ke dalam tindakan-tindakan yang tidak bertentangan dengan norma-norma sosial dan adat kebiasaan masyarakat.

  Petunjuk yang diberikan teori ini bagi kegiatan pemasaran perusahaan adalah bahwa konsumen terdorong untuk membeli baik oleh arti simbolis maupun arti fungsional ekonomis dari suatu produk.

  5. Teori Sosiologis Dalam teori ini yang disebut juga teori psikologi sosial, lebih menitikberatkan pada hubungan dan pengaruh antara individu-individu yang dikaitkan dengan perilaku mereka. Jadi, lebih mengutamakan perilaku kelompok, bukannya perilaku individu. Keinginan dan perilaku seseorang sebagian dibentuk oleh kelompok masyarakat dalam mana ia ingin menjadi anggota.

  Teori sosiologis mengarahkan analisa perilaku pada kegiatan- kegiatan kelompok, seperti keluarga, teman sekerja, perkumpulan olah raga, dan sebagainya. Banyak orang ingin meniru pola sosial kelompok masyarakat yang langsung berada di atas kelompok dalam mana mereka menjadi anggota. Perusahaan harus bisa menentukan mana di antara lapisan-lapisan sosial yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap permintaan akan produk yang dihasilkannya.

  6. Teori Antropologis Teori antropologis juga menekankan perilaku pembelian dari suatu kelompok masyarakat. Namun, kelompok-kelompok masyarakat yang lebih diutamakan dalam teori antropologis ini bukannya kelompok kecil seperti keluarga, tetapi kelompok besar atau kelompok yang ruang lingkupnya sangat luas, termasuk di dalamnya antara lain: kebudayaan (kultur), subkultur, dan kelas-kelas sosial.

  Dengan menggunakan teori antropologis, manajemen dapat mempelajari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh faktor-faktor tersebut terhadap perilaku konsumen. Karena faktor-faktor tersebut memainkan peranan yang amat penting dalam pembentukan sikap, dan merupakan petunjuk penting mengenai nilai-nilai yang akan dianut oleh seorang konsumen.

  7. Teori Kebudayaan Massa / Kebudayaan Pop Budaya massa / budaya pop adalah sebuah norma, cara pikir, dan sudut pandang baru (diluar budaya elite/budaya konservatif) dalam masyarakat yang mengacu pada gaya hidup konsumtif yang berkembang pada suatu waktu, dan dapat berkembang serta ditinggalkan bersilih ganti.

  Sebuah kajian sosial masyarakat memandang bahwa ada perkembangan budaya massa dalam masyarakat yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan informasi yang sangat cepat masyarakat yang terbuka, dan sejak dulu memang sudah bersinggungan dengan kebudayaan lain, baik yang datang kepada kita maupun yang kita datangi.

  Budaya massa tidak dapat dilepaskan dari pola hiburan masyarakat. Selain itu istilah budaya massa (mass culture) sering disalingpertukarkan dengan budaya populer (popular culture), begitu pula dengan hiburan massa (mass entertainment). Walaupun budaya massa tidak hanya bersifat hiburan, tetapi mencakup pula seluruh produk terpakai atau barang konsumsi (consumer goods) sebagai produk massal dan fashionable yang formatnya terstandarisasi dan penyebaran dan penggunaannya bersifat luas.

  Lewat budaya massa / budaya pop, konsumen menggunakan produk kebudayaan untuk tujuan psikologis atau sosial. Secara sederhana produk budaya massa berfungsi untuk menghibur dan didukung oleh sistem massal dalam pendistribusiannya.

  Masuk pada level konsumsi, yang dikonsumsi masyarakat pada level ini bukan lagi sesuatu berdasarkan nilai guna, nilai pakai, tetapi sesuatu yang kalau disebut dalam istilah teoritis adalah simbol. Di sini kemudian citra atau image menjadi sangat penting, ia berjalan seiring melesatnya kemajuan dunia informasi di mana informasi bukan lagi sekadar sebagai alat atau modal untuk berdagang, melainkan menjadi produk itu sendiri. Orang rela membayar, mengongkosi begitu mahal untuk kepentingan citra itu, dengan misalnya para orang kaya baca puisi, selain tentu saja membeli barang tertentu, makanan tertentu, baju tertentu, bargaya tertentu. Ini merupakan gejala dari budaya tersebut, dimana orang ” dilatih ” untuk berobsesi dengan persoalan gaya hidup.

  Pentingnya citra atau image cukup mencolok manifestasinya dimana kita semua percaya bisa melihat langsung di sekitar kita. Terjadi iklan secara besar – besaran, desain, aksesoris toko, plaza yang bukan main. Kalau orang membikin toko baru, bukan mencari barang yang lebih murah untuk dijual untuk bisa bersaing dengan toko lain, tetapi pertama – tama desainnya harus bagus, aksesorisnya menarik, lampunya gemerlap, dan seterusnya.

E. Wacana Trading Up

  Berangkat dari sebuah pernyataan Adam Smith, yaitu kebebasan dan kemewahan adalah dua anugerah terbesar yang dapat dimiliki seseorang, yang dirasa cocok dengan sikap konsumen trading up. Pada kenyataanya sangat sulit bagi seseorang untuk mendapatkan keduanya, apalagi di tengah krisis seperti yang dialami bangsa kita saat ini. Akan tetapi, bagi produsen, mereka tidak boleh kehabisan akal dalam meningkatkan revenue penjualannya. Di tengah badai sekalipun selalu ada segmen konsumen potensial yang siap menggunakan produk yang ditawarkan.

  Salah satu strategi yang mereka jalankan adalah dengan menjual produk- produk premium. Di Indonesia ini mungkin kelihatan paradoks sebab mana mungkin menjual produk dengan harga mahal di tengah daya beli masyarakat yang kian menurun. Akan tetapi, tentu saja produk premium ini tidak ditawarkan secara massal alias komoditi, melainkan dalam jumlah terbatas pada segmen atas. Dijual tidak lagi sekadar fungsi, tetapi juga citra dan imaji penggunanya (self image). Melakukan peningkatan teknis yang menghasilkan keuntungan fungsional yang berakibat pada daya tarik emosional bagi konsumen.

  Banyak ahli berpendapat dan menyebut produk premium sebagai pasar jati diri di mana seorang menyatakan dirinya(self) kepada orang lain melalui produk yang digunakan. Beberapa produsen mulai menciptakan produknya untuk menjadikan konsumen mereka memiliki image yang diharapkan, seperti: Adidas.

  Secara fitrah manusia memang senang beraktualisasi dengan apa yang dimilikinya, maslow bahkan menempatkanya pada level tertinggi dalam hierarkinya. Untuk itu, berbagai produk yang ditawarkan produsen pun kian berkembang tidak lagi sekadar fungsinya, tetapi berusaha menjalin relasi secara emosional antara produk dan konsumenya. Sikap konsumen yang diaktualisasikan lewat perilaku konsumen, merupakan wujud self image yang ingin diciptakan. Konsumen akan melakukan trading up untuk menunjukan siapa dirinya lewat apa yang ia miliki.

F. Menganalisis Pasar Konsumen dan Perilaku Pembeli

  Tujuan pemasaran adalah memenuhi dan memuaskan kebutuhan serta keinginan pelanggan sasaran. Bidang ilmu perilaku konsumen mempelajari cara individu, kelompok dan organisasi memilih, membeli, memakai, serta memanfaatkan barang jasa, gagasan, atau pengalaman dalam rangka memuaskan kebutuhan dan hasrat mereka.

  Memahami perilaku konsumen dan “ mengenal pelanggan” bukan masalah yang sederhana. Para konsumen mungkin menyatakan kebutuhan dan keinginan mereka namun bertindak sebaliknya. Para pelanggan tersebut mungkin tidak memahami motivasi mereka ynag lebih dalam. Mereka mungkin menanggapi pengaruh yang mengubah pikiran mereka pada menit- menit terakhir.

  G.

   Pengertian Trading up

  Dari yang telah diamati selama ini bahwa perilaku konsumen trading up adalah perilaku pembelian yang berorientasi pada pertimbangan emosi.

  Konsumen membayar lebih mahal untuk produk yang dianggap penting, dominan suatu hubungan emosional dengan suatu produk, tetapi biasanya ada juga hubungan lain yang terikat. ( Michael J. Silverstein 2005: 10). Fenomena ini digerakkan oleh konsumen kelas menengah yang berpendidikan, cerdas, dan siap untuk terikat pada barang dan jasa yang mereka konsumsi.

  Penelitian terdahulu menunjukkan yang membeli barang barang new

  luxury tidak dipengaruhi kondisi ekonomi, dan bahwa performa perusahaan

  yang menghasilkan barang barang new luxury tetap kuat bahkan dalam sebuah kecenderungan yang menurun.

  Ketika sebuah merek new luxury secara kuat mengantarkan pada tangga keuntungan, merek tersebut bisa mendapat dukungan. Merek tersebut akan menguasai pikiran para konsumen (pemasaran masuk), dengan cepat mengubah aturan ketegorinya menguasai pasar seperti yang dilakukan

  Starbucks,Kendall-Jakson, dan Victoria’s Secret dan memaksa penggambaran

  ulang kurva permintaan. Ketika hal itu terjadi, kategorinya cenderung terbagi dua ( high end dan low end) (Michael J. Silverstein, 2005: 10).

  Menurut penelitian yang dikemukakan sebelumnya konsumen New Luxury dicirikan dengan perilaku pembelian mereka yang sangat selektif.

  Mereka dengan cermat dan sengaja melakukan trade up pada barang barang

  premium dalam ketegori khusus. Tidak lah mengherankan jika trading up menjadi fenomena yang bertahan sekian lama, karena sesungguhnya, tidak ada hal yang baru. Di seluruh dunia, orang telah melakukan trading up. Berusaha memperkaya hidup mereka dapat mengikat perasaan dan emosional mereka melalui barang-barang yang menakjubkan selama berabad abad. Yang berbeda dari trading up sekarang ini adalah ketersediaan pada presentasi populasi yang semakin banyak, dan pada barang dan jasa premium yang jauh lebih banyak untuk di trade up.

  Banyak wacana yang mengulas hal ini Adam Smith ( seorang ekonom- pendidik-filsuf Skotlandia, tahun 1723-1790), pengarang Wealth of Nation dan “ bapak kapitalisme”, berargumen bahwa kemewahan dan kebebasan adalah “dua dari anugerah terbesar uang bisa dimiliki seseorang. Dia yakin bahwa keinginan seseorang atas suatu “peningkatan” berdampak pada ekonom kolektif yang baik, yang menciptakan pekerjaan bagi banyak orang dan kekayaan bagi negara.

  Thorstein Veblen (seorang ilmuwan sosial ekonom, tahun 1857-1929), pengarang The Theory of he Leisure Class(1899), barangkali merupakan pengamat ternama konsep relativitas social terhadap konsumsi. Diamati bahwa, “dalam komunitas industri yang sangat terorganisasi” seperti masyarakat kita, reputasi seseorang didasarkan pada kekuatan keuangan” berapa uang yang dia miliki dan cara terbaik untuk menunjukkan kekuatan adalah melalui konsumsi yang mencolok atas banyak barang.

  Pada tahun 1950-an, produksi dan juga konsumsi, diteliti dengan seksama. Dalam The Affluent Society (1958), John Keneth Galbaraith (penulis- pendidik-ekonom Amerika), berargumentasi bahwa kemampuan kita untuk memproduksi barang-barang pada akhirnya akan melebihi keinginan kita untuk membeli.

  Dalam beberapa tahun belakangan ini, perdebatan telah menjadi lebih terbagi-bagi. David Brooks, dalam Bobos in Paradise(2000), menggambarkan aspek positif (dan juga konyol) dari konsumsi dan membuat kasus yang diyakini konsumen memungkinkan untuk “membuat jadi baik” (memiliki dan membelanjakan uang ) dan juga “berlaku baik” ( melakukan apa yang benar bagi masyarakat). Sebaliknya, Juliet Schoor, pengarang The Overspent

  American , berargumen bahwa “ Konsumerisme yang baru telah membawa

  pada sejenis ‘berbelanja berlebihan’ pada kelas menengah “dan bahwa terlalu banyak warga Amerika membelanjakan lebih dari yang mereka katakan akan membeli, dan lebih dari yang mereka miliki” (Trading Up, Michael J. Silverstein 2005: Pendahuluan) H.

   Faktor-Faktor Penyebab Trading Up dari sisi supply

  Fenomena trading up memengaruhi, atau dengan segera akan memengaruhi banyak pelaku bisnis pada hampir setiap kategori barang-barang konsumen, termasuk barang-barang yang bisa dikonsumsi, barang-barang yang tahan lama dan jasa. Strategi Marketing New Luxury Product diciptakan untuk menggarap pasar dan segemen khusus dimana high service menjadi tujuan utama dari strategi ini. Beberapa hal implementasi dari strategi – strategi marketing untuk produk new luxury yang dirasakan konsumen dilakukan perusahaan antara lain connecting with your consumers, show the

  

individual styles, the exlusivity sell, carring, transform your costumer,

versatility and capacity.

  Tidak meremehkan konsumen mereka. Mereka yakin bahwa konsumen memiliki hasrat, minat, kecerdasan, dan kemampuan untuk melakukan trading

  

up bahkan ketika wiraswastawan tidak mempunyai data untuk membuktikan

  kaidahnya ataupun model untuk diikuti. Berikut adalah langkah – langkah yang dilakukan perusahaan untuk “mengemas” produk menjadi luxury:

  1. Merubah kurva permintaan harga-volume. Mereka tidak berfokus pada peningkatan tambahan atau kenaikan harga. Mereka lebih menyukai langkah besar dan premium yang besar. Tertarik pada harga yang lebih tinggi dan volume yang lebih tinggi, yang berakibat pada hasil keuntungan yang tidak proposional.

  2. Menciptakan tangga keuntungan murni. Mereka tidak berusaha membodohi para pelanggan mereka dengan inovasi yang tidak berarti, tidak juga berusaha menyelamatkan diri hanya dengan brand image. Mereka melakukan peningkatan teknis yang menghasilkan keuntungan fungsional yang berakibat pada daya tarik emotional bagi konsumen.

  Mereka tidak berusaha berpura-pura bahwa produk yang mereka jual lebih baik merupakan inovasi sejati.

  3. Meningkatkan inovasi, menaikkan kualitas, memberi pengalaman tanpa cacat. Pasar untuk New Luxury kaya dalam kesempatan, tetpi juga sangat tidak stabil. Hal ini dikarenakan keuntungan teknis dan fungsional semakin pendek ketika para pesaing baru memasuki pasar dab karena peningkatan aliran inovasi dari produk high-end ke produk dengan harga lebih rendah. Apa yang mewah dan berbeda saat ini menjadi merek standar di hari esok.

  4. Mengembangkan rentang harga dan positioning merek. Banyak merek New Luxury mengembangkan merek up market untuk menciptakan daya tarik emotional dan down market untuk membuatnya lebih terjangkau dan lebih kompetitif dan untuk membangun permintaan. Harga tertingi pesaing tradisional barangkali tiga atau empat kali lebih rendah. Namun, mereka berhati-hati untuk menciptakan, merumuskan , dan mempertahankan karakter dan makna yang berbeda untuk masing-masing produk pada tiap level, dan juga untuk mengungkapkan intisari merek yang dimiliki oleh semua produk.

  5. Modifikasi rantai nilai mereka agar mengantarkan pada tangga keuntungan. Produsen menekankan pada pengawasan value chain daripada kepemilikannya, dan mereka menjadi ahli dalam penyusunannya. Dalam produksi produk, produsen mengendalikan kualitas mutu produk, memilih bahan-bahan, dan mengelola distribusi, tetapi tidak memilih meningkatkan lompatanya sendiri atau membangun fasilitas produk tambahan.

  6. Menggunakan pemasaran pengaruh dan menyemai kesuksesan mereka melalui utusan merek. Pada barang-barang New Luxury, presentase kecil konsumen kategori menyumbangkan bagian nilai yang dominan. Para pemimpin New Luxury berusaha untuk lebih mengenal konsumenyanya

  (segmen pasarnya) dengan beberapa hal. Mencari keunikan lewat cara mempromosikan produk.

  7. Berfikir menyerang seperti orang luar. Mereka berfikir seperti orang luar, bertindakseperti orang luar, lebih tepatnya mereka berusaha berfikir berbeda dengan apa yang telah ada selama ini, lebih kreatif dan inovatif mengemas produk mereka.

  Menurut penelitian yang dikemukakan sebelumnya konsumen New Luxury dicirikan dengan perilaku pembelian mereka yang sangat selektif.

  Mereka dengan cermat dan sengaja melakukan trade up pada barang barang

  premium dalam ketegori khusus sementara membayar lebih sedikit atau trading down dalam banyak, atau sebagian besar kategori lainnya.

I. Memahami Perilaku Pembelian Konsumen

  Dalam buku Treasure Hunt : Inside the mind of the Consumers yang ditulis oleh Michael J. Silverstein terjadi dua keadaan konsumen / bifurkasi.

  Di sisi atas, konsumen melakukan trading up, rela membayar harga premium untuk barang dan jasa yang berkualitas tinggi atau memberikan ikatan emosi yang kuat. Di sisi bawah, konsumen melakukan trading down, mengurangi sebanyak mungkin membeli barang – barang yang murah tapi masih memberikan kualitas dan keandalan. Di antara keduanya, terdapat pasar menengah yang “biasa – biasa saja”. Di sisi tengah ini juga banyak perusahaan yang menghadapi “death in the middle”, artinya tanpa positioning yang jelas akan kualitas, harga, dan spesifikasi maka membuat suatu produk tidak mendapatkan kesempatan berkembang.

  Berangkat dari keadaan perilaku tersebut, maka bifurkasi bisnis pun terbagi menjadi sisi atas dan bawah menawarkan kesempatan untuk berkembang. Resepnya adalah hindari zona tengah. Turunkan biaya atau naikkan kualitas, lihat penawaran kita sebagai orang luar.

  Selain melakukan trading up, konsumen juga melakukan trading down. Konsumen melakuakan trading down karena melihat drinya sebagai pembeli yang bijaksana, tidak ada perbedaan dengan harga yang lebih murah.

  Penghematan dianggap sebagai nilai moral dan kerelaan untuk mengabaikan.

  Dapat disimpulakan untuk sukses dalam pasar, dengan dua kecenderungan yang ada trading up dan trading down ada yang perlu diperhatikan. Dalam pasar trading down, kunci suksesnya adalah sederhana, berbiaya rendah, dan dapat diandalkan. Misi utamanya membuat produk atau servis yang murah dan baik. Sedangkan dalam pasar trading up, kuncinya adalah perbaiki kualitas, berikan keuntungan maksimal, sampaikan ikatan emosional dengan pelanggan. Perilaku trading up diharapkan dapat diolah menjadi strategi marketing yang mampu membuat dan menyampaikan tangga keuntungan baru bagi konsumenya.

  Setelah harga dan kualitas mengalami pergesekan dengan pesaing retail lain, dan setelah prodesen merasa kualitas sudah baik dan berhenti membuat yang lebih baik. Maka, pesaing akan menggabungkan teknik pengembangan atau merebut perhatian konsumen. Konsumen trading down tidak akan berhenti mencari produk dengan harga termurah dengan kualitas optimal, karena konsumen tidak akan pernah berhenti mencari manfaat lebih sehingga konsumen tidak loyal. Dengan mengenali trading up diharapkan produsen dapat mendekati dari sisi yang lain.

  J.

  

Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian (Group of Reference)

  Dalam perspektif pemasaran, referensi kelompok dapat menjadi panutan seseorang melakukan keputusan pembelian. Dengan menggunakan konsep ini dengan melihat keadaan lewat suatu tempat pada ukuran kelompok atau keanggotaan kelompok tersebut, sehingga membutuhkan identifikasi konsumen lewat keanggotaan yang mereka ikuti.

  

Tabel II.1

Efek Group of Reference Karakteristik Efek Positif (+)

  Karakteristik keterikatan Kompleks dengan situasional Subjektif Karakteristik keterikatan Membatasi pilihan dengan brand Prioritas konfirmasi

  Sangat membutuhkan Karakteristik keterikatan Menarik dengan kelompok / peer group Keahlian

  Kepercayaan pada tujuan kelompok Intepretasi interaksi dengan kelompok Karakteristik keterkaiatan Keecenderuangan menyesuaikan pribadi Kebutuhan mengaktualisasikan diri Ingin sama dengan trend Keinginan untuk mengontrol Evaluasi dari ketakuan K.

   Klasifikasi Produk

  Begitu banyak jenis produk yang dibeli konsumen dapat diklasifikasikan berdasarkan kebiasaan belanja. Kita dapat membedakan antara barang mudah (convenience goods), barang toko ( shopping goods), barang khusus (specialty

  goods ), dan barang yang tidak dicari ( unsought goods) Barang mudah (convenience goods) adalah barang-barang yang

  biasanya sering dibeli pelanggan dengan cepat dan dengan upaya yang sangat sedikit. Contohnya meliputi produk- produk tembakau, sabun, koran.

  Barang mudah dapat dibagi lebih jauh. Kebutuhan pokok (staples) adalah barang-barang ysng dibeli konsumen secara teratur. Barang dadakan (impulse goods) dibeli tanpa perencanaan atau upaya perencanaan, misalnya: coklat dan majalah. Barang darurat (emergency goods) dibeli pada saat suatu kebutuhan mendesak, misalnya: payung, sepatu bot. Produsen barang darurat akan menepatkannya di berbagai gerai untuk memperolah penjualan.

  Barang toko(shopping goods) adalah barang-barang yang biasanya

  dibandingkan berdasarkan kesesuaian, kualitas, harga, dan gaya dalam proses pemilihan dan pembelian. Contohnya meliputi perabotan , pakaian, peralatan rumah tangga, pakaian, aksesoris. Barang toko dapat dibagi lebih jauh.Barang cukup berbeda dari segi pemasaran sehingga dapat menjadi alasan perbandingan dalam berbelanja.

  Barang toko heterogen ( heterogen shopping goods) berbeda dari segi ciri-ciri produk dan layanan yang memungkinkan dianggap lebih penting daripada harganya. Penjual barang toko heterogen menyediakan berbagai jenis produk untuk memuaskan selera masing-masing orang dan harus memiliki wiraniaga yang terlatih dengan baik untuk memberikan informasi dan saran kepada pelanggan.

  Barang khusus (specialty goods) mempunyai ciri-ciri atau identifikasi

  merek yang unik dan karena itulah cukup banyak pembeli bersedia melakukan upaya pembelian yang khusus. Contohnya meliputi mobil, komponen- komponen stereo, kamera, player musik digital, pakaian pesta. Barang khusus tidak membutuhkan orang melakukan perbandingan, pembeli mengorbankan waktu hanya untuk mendatangi penyalur yang menyediakan produk yang diinginkan tersebut. Penyalur tidak memerlukan tempat yang mudah dijangkau; namun mereka harus memberi tahukan kepada calon pembeli mengenai lokasi mereka.

  Barang yang tidak dicari (unsought goods) adalah barang - barang

  yang tidak diketahui konsumen atas biasanya mereka tidak terpikir untuk membelinya, seperti detector asap. Contoh-contoh klasik barang yang sudah dikenal tetapi yang tidak dicari adalah asuransi jiwa, persil kuburan, batu nisan, dan ensiklopedia. Barang-barang yang tidak dicari memerlukan iklan dan dukungan penjualan pribadi.

  L. Perkembangan Perilaku Konsumsi

  Tidak lah mengherankan jika trading up menjadi fenomena yang bertahan sekian lama, karena sesungguhnya, tidak ada hal yang baru. Di seluruh dunia, orang telah melakukan trading up. Berusaha memperkaya hidup mereka dapat mengikat perasaan dan emosional mereka melalui barang- barang yang menakjubkan selam berabad abad. Yang berbeda dari trading up sekarang ini adalah ketersediaan pada presentasi populasi yang semakin banyak, dan pada barang dan jasa premium yang jauh lebih banyak untuk di trade up.

  Banyak wacana yang mengulas hal ini Adam Smith ( seorang ekonom- pendidik-filsuf Skotlandia, tahun 1723-1790), pengarang Wealth of Nation dan “ bapak kapitalisme”, berargumen bahwa kemewahan dan kebebasan adalah “dua dari anugerah terbesar uang bisa dimiliki seseorang “. Dia yakin bahwa keinginan seseorang atas suatu “peningkatan” berdampak pada ekonom kolektif yang baik, yang menciptakan pekerjaan bagi banyak orang dan kekayaan bagi negara.

  M. Perkembangan Psikologis Remaja