IDENTITAS WARGA KETURUNAN CINA DI JAWA TENGAH
IDENTITAS WARGA KETURUNAN CINA DI JAWA TENGAH KRIPSI
S
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Oleh: Anne Shakka Ariyani Hermanto NIM: 059114093 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2012
What doesn’t kill you makes you stronger
- Friedrich Nietzsche-
Persembahan
Untuk seluruh keluarga dan sahabat, atas semua tawa dan dukungan yang tanpa batas dan Untuk Devianto Fajar SJ yang telah menunjukkan kesabaran dan perhatian Tuhan.
IDENTITAS WARGA KETURUNAN CINA
DI JAWA TENGAH
Anne Shakka Ariyani Hermanto
ABSTRAK
Warga keturunan Cina di Indonesia merupakan suatu kelompok minoritas yang banyakmendapatkan perlakuan diskriminatif baik dari masyarakat maupun dari pemerintah. Keadaan ini
membuat warga keturunan Cina mengalami kesulitan dalam mempertahankan identitas mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan identitas pada warga keturunan Cina yang tinggal
di Jawa Tengah. Identitas adalah suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi yang
menetap dalam diri manusia walaupun pribadi tersebut mengalami banyak perubahan. Penelitian
ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode analisis fenomenologis interpretative untuk
mencari tema-tema yang muncul dari data yang diperoleh. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara semi terstruktur kepada partisipan. Pemilihan pertisipan adalah
dengan teknik purposive sampling dengan syarat partisipan adalah warga keturunan Cina yang
tinggal di daerah Jawa Tengah dan sudah menikah. Penelitian ini mengungkapkan pengalaman-
pengalaman para warga keturunan Cina dalam interaksinya di dalam keluarga, interaksi dengan
sesama warga keturunan Cina, dengan masyarakat dan sebagai warga negara Indonesia. Dari hasil
penelitian ini ditemukan bahwa identitas warga keturunan Cina di Jawa Tengah adalah diri yang
menyadari bahwa dirinya adalah warga keturunan Cina, diri yang merupakan bagian dari
masyarakat, diri yang merasa terancam oleh diskriminasi, dan diri yang berusaha mengatasi
diskriminasi. Kata kunci: identitas, keturunan Cina
THE IDENTITY OF THE CHINESE DESCENTS
THAT LIVE IN CENTRAL JAVA
Anne Shakka Ariyani Hermanto
ABSTRACT
Chinese descents in Indonesia belong to the minority group who get discriminativetreatments from the society and also the government. This condition makes the Chinese descents in
Indonesia undergo an obstacle in defending their identity. This research aims to describe the
identity of the Chinese descents that live in Central Java. Identity is an awareness of individual
unity and sustainability which settle in humans being, even though that individual goes through
many changes. This is a qualitative research which uses phenomenology interpretative method
analysis in order to find the themes which come up from the data obtained. Data collection
methods used semi-structured interviews conducted directly to the respondents. The selection of
the participants uses purposive sampling technique with a specification that the Chinese descents
live in Central Java and married. This research reveals the experiences of Chinese descents in
their interaction with their family, their Chinese descent fellows, their society, and they themselves
as Indonesian. According to the research result, it is found out that the identity of the Chinese
descents in Central Java is an individual who recognizes that him or herself is a Chinese descent,
an individual who is a part of the society, an individual who feels fear of the discrimination, and
an individual who strives to overcome the discrimination.Keywords: identity, Chinese descents.
KATA PENGANTAR
Suatu kebodohan jika tulisan ini tidak saya tuntaskan di tengah
melimpahnya dukungan yang diberikan kepada saya. Terima kasih kepada Tuhan
yang telah memanjakan saya dengan semua kemudahan yang telah saya terima
dan semua dukungan serta bantuan melalui orang-orang penting berikut ini:Bapak Victorianus Didik Surya Hartoko, M.Si. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi. Terima kasih atas kesabaran dan bimbingannya selama dua tahun
perjalanan ini, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik dan tuntas. Terima
kasih juga untuk kesempatan yang diberikan sebagai asisten Rorschach,
pengalaman yang sangat berarti dalam proses belajar saya.Keluargaku yang selalu ada dalam setiap prosesnya. Terima kasih untuk
semua dukungan secara mental, spiritual dan finansial. Terima kasih juga untuk
usahanya mencarikan partisipan yang bersedia direpotkan.Ch. Siwi Handayani, M.Si., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Ibu Arie dan Ibu Tanti sebagai dosen pembimbing akademis, terima kasih atas pendampingannya dari awal hingga semuanya dapat diselesaikan.
Terima kasih untuk Mas Mudji yang selalu menanyakan kabar skripsi ini.
Terima kasih untuk semua bantuannya selama ini. Bu Naniek, Mas Gandung, Mas
Doni dan Pak Gie untuk semua bantuannya, hingga semua proses dan birokrasi ini
tidak membingungkan.Semua teman-teman seperjuangan, Gerombolan Si Berat (Cik Momo,
Widayanti Arioka, Mbak Jean, Henny, Angga, Jessi, Mbak Tinoel), Ayah dan
Palma. Terima kasih atas semangat dan inspirasinya. Saya tahu kalian sudah
bosan mendoakan saya. Untuk Vera, Via, dan Silvi yang menemani di detik-detik
terakhir semua proses ini.Mas Adit ‘Mbek’ yang sudah selama empat tahun menemani pembadaian
otak dan meluruskan pikiran saya yang tidak logis. Selamat berjuang dalam
prosoes pencarian Tuhan selanjutnya. AMDG.Teman-teman Pingiters, terima kasih untuk semua tawa, semangat dan
keceriaan yang selalu ada tiap bersama kalian. Kakak Glo untuk semua bantuan
yang berkaitan dengan bahasa Inggris. Terima kasih buat Koh Yhonas yang sudah
banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Teman berdiskusi yang sangat
menyenangkan seperti biasa dan penyedia dukungan yang tepat di saat yang tepat.
Walau kamu selalu macak penjahat, aku tahu kok kalau kamu orang baek. Icha
yang sudah menjadi teman yang kepo dan mengajakku kepo juga di mana-mana.Semua penghuni Kolose Santo Ignatius (Romo dan Frater semuanya) yang
tidak bosan-bosannya menanyakan kapan saya selesai menulis skripsi ini.
Semangat belajar kalian benar-benar menginspirasi untuk terus maju. Terima
kasih terutama untuk Fr. Fajar yang sudah menyediakan waktunya menjadi
pendengar yang sabar setiap aku galau. Tanpa Anda, skripsi ini tidak akan pernah
ada. Frater Koko yang sudah menjadi partner diskusi yang hebat sampai terbawa
mimpi. Tanpa Anda, saya tidak akan bisa mulai melakukan analisis. Saya masih
Untuk semua kuli buku dari Indie Book Corner, Ika, Mambo, Yayas dan
Mas Irwan Bajang. Tanpa kalian, saya tidak akan pernah tahu bahwa Microsoft
Word itu sangat canggih dan layout skripsi ini akan sangat berantakan. Terima
kasih yang sebanyak-banyaknya untuk toleransinya dalam penyelesaian naskah
dan mengijinkan saya tidak bekerja agar ini bisa selesai.Dan untuk semuanya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima
kasih yang sebanyak-banyaknya karena sudah bersedia saya repotkan. Semoga
skripsi ini tidak hanya bermanfaat bagi saya, tapi juga bagi semua yang
membacanya.Yogyakarta, 23 Juli 2012 Penulis, Anne Shakka A.H
DAFTAR ISI
HALAMAN HALAMAN JUDUL…………………………………………………….HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……………… HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………..
HALAMAN MOTTO…………………………………………………… HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………… PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………….. ABSTRAK……………………………………………………………… ABSTRACT ……………………………………………………………… LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS…………………….
KATA PENGANTAR………………………………………………….. DAFTAR ISI……………………………………………………………. DAFTAR TABEL………………………………………………………. DAFTAR SKEMA………………………………………………………. DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..
BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………… A. L ATAR B ELAKANG M ASALAH …………………………………….. B. R UMUSAN M ASALAH ……………………………………………….. C. T UJUAN P ENELITIAN ………………………………………………… D. M ANFAAT P ENELITIAN ……………………………………………… i ii iii iv v vi vii viii ix x xiii xvi xvii xviii
1
1
8
8
9
BAB II : LANDASAN TEORI……………………………………………
10 ARGA ETURUNAN
INA
A. W K C ………..…………………………………
10
1. Sejarah Etnis Cina di Indonesia………………………………….
10
2. Penggolongan Etnis Cina di Indonesia………………………….
12
3. Kehidupan warga keturunan Cina ……………………….…….
15 B. I DENTITAS ……………………………………………………………
17 ENGALAMAN EMBENTUKAN DENTITAS PADA ARGA
C. P P
I W K ETURUNAN C INA ..............................................................................
19 ERTANYAAN ENELITIAN D. P P ………………………………………….
20 BAB III : METODOLOGI PENELITIAN………………………………..
22 A. J ENIS P ENELITIAN …………………………………………………..
22 ETODE EMILIHAN ARTISIPAN ENELITIAN B. M P P P …………………….
23 C. F OKUS P ENELITIAN …………………………………………………
24 ETODE ENGAMBILAN ATA D. M P D ……………………………………..
24
1. Persiapan Penelitian……………………………………………
25 2. Pelaksanaan Penelitian…………………………………………..
25 ROSEDUR NALISIS ATA
E. P A D …………………………………………
26 F. R EFLEKSIVITAS P ENELITI …………………………………………..
28 REDIBILITAS ENELITIAN
G. K P …………………………………………
29 BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………….
30 A. K EHIDUPAN O RANG C
INA DI T EMANGGUNG …………………………
30 ROFIL ARTISIPAN
B. P P …………………………………………………
33
1. Profil Lee, Partisipan 1…………………………………………...
33
2. Profil Han, Partisipan 2…………………………………………..
37
3. Profil Sing, Partisipan 3………………………………………….
42 ESKRIPSI ASIL ENELITIAN
C. D H P ………………………..……………
46
1. Konteks terbentuknya identitas pada masyarakat keturunan Cina.
49
2. Deskripsi identitas warga keturunan Cina………………………..
59 EMBAHASAN
D. P ………………………………………………………
70 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………
77 ESIMPULAN
A. K …………………………………………………………
77 B. K ETERBATASAN P ENELITIAN ………………………………………...
78 C. S ARAN ……………………………………………………………….
78 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
80 LAMPIRAN…………………………………………………………………
83
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Pelaksanaan Wawancara…………………………………...
26 Tabel 4.1 Master Tabel……………………………………………….. 47
DAFTAR SKEMA
Skema 4.1 Identitas pada Warga Keturunan Cina …………………….. 76
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 V ERBATIM W AWANCARA P ARTISIPAN 1, L EE ………………... 84
Lampiran 2 T T P 1, L ……………………… 111
Lampiran 3 V ERBATIM W AWANCARA P ARTISIPAN 2, H AN ………………. 113
Lampiran 4 T - ABEL T EMA TEMA P ARTISIPAN 2, H AN …………………….. 131
- ABEL EMA TEMA ARTISIPAN EE
ERBATIM AWANCARA ARTISIPAN
ING
Lampiran 5 V W P 3, S ………………. 133
- Lampiran 6 T ABEL T EMA TEMA P ARTISIPAN 3, S
ING …………………….. 151
BAB I PENDAHULUAN A. L ATAR B ELAKANG “Di mana-mana, ia adalah orang “asing”. Ia selalu menjadi minoritas yang berbeda dari
orang kebanyakan.”
- -Agustinus Wibowo, Garis Batas-
Minoritas yang berbeda dari orang kebanyakan, seperti itulah gambaran
orang-orang Cina yang tinggal di Indonesia. Mereka belumlah menjadi orang
Indonesia, tetapi mereka juga sudah bukan orang Cina. Mereka sudah lebih dari
dua generasi tinggal di Indonesia, tetapi masih juga belum mendapatkan hak yang
setara dengan orang pribumi, dan sejarah Indonesia tidak dapat memungkiri
keadaan ini.Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak suku dan
bahasa. Baik itu yang merupakan suku asli Indonesia maupun yang merupakan
pendatang dari luar nusantara. Banyak kita temui kelompok-kelompok keturunan
bangsa asing yang tinggal di Indonesia seperti keturunan Arab, keturunan India
atau keturunan bangsa asing lain.James Dananjaya (2003) dalam tulisannya “Diskriminasi Terhadap
Minoritas Masih Merupakan Masalah Aktual di Indonesia Sehingga Perlu
Ditanggulangi Segera”, mengungkapkan bahwa warga keturunan Arab, India dan
Cina pada masa kolonial sama-sama dianggap sebagai golongan Timur Asing.
penduduk Indonesia, maka mereka dianggap "Pri" (Pribumi) atau bahkan “Asli”,
sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri
Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain, dianggap sebagai orang asing
atau “Non Pri”. Dengan stigma "Non Pri" tersebut kedudukan mereka yang bukan
“pribumi”, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya.
Bahkan oleh pemerintah Orde Baru, telah dikeluarkan beberapa Peraturan
Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan politik pembauran yang
bersifat asimilasi.Banyak kejadian dalam catatan sejarah bangsa Indonesia yang menyudutkan
warga keturunan Cina. Seperti munculnya Peraturan Presiden No. 10 tahun 1959
yang melarang orang asing untuk membuka usaha di daerah pedalaman yang
statusnya lebih rendah dari kabupaten. Selain itu juga ditemukan adanya masalah
kewarganegaraan dan dilanjutkan dengan adanya pemberontakan G30-S yang
menyebabkan munculnya sentimen pada warga keturunan Cina yang ada di
Indonesia. Pemberontakan tersebut menimbulkan anggapan bahwa mereka
menjadi agen dari pemerintahan Cina yang komunis dan mendukung
pemberontakan PKI tahun 1965. Hal tersebut juga berbuntut munculnya Inpres
No. 14 tahun 1967 yang secara garis besar menyatakan bahwa adat dan budaya
Cina akan memberikan pengaruh yang kurang wajar bagi masyarakat Indonesia
sehingga pelaksanaan adat dan ritual agama hanya boleh dilaksanakan dalam
lingkungan keluarga.Peraturan tersebut juga diikuti adanya peraturan untuk mengganti nama
ini di mana banyak warga keturunan Cina yang sudah tidak memiliki nama Cina
lagi dan lebih banyak menggunakan nama yang berorientasi barat. Padahal dalam
budaya Cina, nama Cina menunjukkan keturunan dan ikatan kekeluargaan,
sehingga perubahan nama ini menghilangkan identitas sebagai warga keturunan
Cina.Selain karena kejadian G30-S, dalam sejarah bangsa Indonesia juga terjadi
beberapa kejadian atau kerusuhan yang secara langsung maupun tidak langsung
menyerang etnis Cina yang berada di Indonesia. Seperti kejadian 1998 di Jakarta
dan beberapa tempat lain di Indonesia, di mana terjadi pengerusakan dan
kekerasan seksual yang sebagian besar korbannya merupakan warga keturunan
Cina. Menurut Bachrun dan Hartanto (dalam Susetyo 2000), kejadian tahun 1998
tersebut mengakibatkan munculnya krisis identitas pada masyarakat keturunan
Cina di Indonesia, segala daya dan upaya yang mereka lakukan untuk diterima
menjadi warga Indonesia tidak berhasil. Mereka tetap menjadi sasaran
diskriminasi dari lingkungannya.Diskriminasi terhadap warga keturunan Cina juga terjadi dalam
pemerintahan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa warga keturunan Cina
tidak dapat bekerja di sektor pemerintahan, hal ini terutama terjadi pada masa
Orde Baru. Selain itu dalam pengisian berbagai formulir masih ada pembedaan
status antara WNI dan Pribumi. Susi Susanti, seorang atlet Indonesia keturunan
Cina, juga mengalami kesulitan dalam mengurus SKBRI ketika ia akan menikah
(Anggraeni, 2010).Di sisi lain, masyarakat Cina juga memiliki dinamika tersendiri dengan
kelompoknya sebagai warga keturunan Cina. Contoh nyata yang dapat kita lihat di
masyarakat sendiri adalah masih ada kawasan pecinan atau cina town, di mana
kawasan tersebut mayoritas ditinggali oleh orang Cina. Hal tersebut menandakan
bahwa dari dalam masyarakat Cina sendiri belum merasa nyaman atau merasa
tinggal di negara sendiri dan merasa lebih aman untuk berada dalam
kelompoknya. Hal ini juga didukung oleh faktor psikologis orang Cina yang
memiliki rasa solidaritas yang kuat (Helmi, 1990), sehingga dalam kelompoknya
terjalin hubungan yang baik dan saling membantu satu sama lain.Helmi (1990) dalam penelitiannya yang berjudul “Sikap Etnosentris Pada
Generasi Tua dan Muda Etnik Cina” juga mendapati bahwa pada generasi tua
Etnik Cina masih terdapat sikap etnosentris yang tinggi. Sikap etnosentris sendiri
adalah perasaan bahwa kelompok etnis mereka lebih baik daripada kelompok
etnis lain. Hal ini tercermin dari masih banyaknya orang keturunan Cina yang
memiliki keinginan untuk mendapatkan pasangan dari sesama orang keturunan
Cina (Wijaya, 2007).Orang keturunan Cina sendiri juga masih melaksanakan beberapa tradisi dan
adat istiadat Cina. Walaupun sudah tidak banyak dilakukan namun masih dapat
kita lihat seperti pada saat Imlek mereka masih menghaturkan persembahan dan
mengunjungi sanak saudara. Selain itu dalam kebiasaan menghormati anggota
keluarga yang sudah meninggal mereka tetap menjalankannya sesuai dengan adat
dan budaya Cina, walaupun sudah tidak mendetail dan dipadukan dengan upacara
Adanya diskriminasi yang terjadi bagi warga keturunan Cina dan adanya
keterikatan dengan kelompoknya sebagai orang keturunan Cina, menempatkan
mereka dalam posisi yang unik. Warga keturunan Cina ini ingin diterima tanpa
pembedaan dan berada dalam posisi yang sama dengan etnis atau suku lain yang
ada di Indonesia, dan tetap diakui sebagai orang Cina dengan berbagi adat dan
budayanya. Tetapi mempertahankan identitas sebagai orang Cina sendiri juga
bukan persoalan yang mudah karena adanya berbagai stereotipe dan prasangka
buruk dalam masyarakat.Berbicara mengenai orang Cina yang berada di Indonesia, mereka sendiri
juga bukanlah suatu kelompok yang homogen. Dalam Onghokham (2008),
menjelaskan bahwa salah satu penyebab berbagai perbedaan tersebut adalah
adanya perbedaan pola imrigasi. Di pulau Jawa para orang Cina yang datang
biasanya perorangan atau dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam masyarakat
Jawa yang padat sedikit banyak mereka akan terintegrasi dangan adat dan budaya
setempat, mereka tidak merasa Cina dan akan kehilangan bahasanya setelah satu
atau dua generasi.Di Sumatera Utara migrasi yang terjadi pada umumnya adalah dalam
kelompok besar, dan karena penduduk asli yang tidak terlalu padat maka mereka
dapat hidup berdampingan dengan baik. Dalam komunitas Cina sendiri tetap
mempertahankan adat dan budayanya. Mereka juga biasanya tetap menggunakan
bahasa Cina untuk berkomunikasi dalam komunitasnya. Di Kalimantan dapat
dikatakan penduduk aslinya adalah orang Cina. Sedangkan di Indonesia Timur,
penduduk asli dan warga keturunan. Istilah Cina Peranakan dan Cina Totok
sebenarnya hanya berlaku di Jawa.Di Jawa sendiri, terutama di daerah Jawa bagian tengah orang Cina mulai
menyebar dan membentuk komunitas-komunitas baru di daerah Jawa Tengah
adalah pada pertengahan abad ke-18 (Purwanto dalan Rustopo, 2007). Pada masa-
masa itu mulai terbentuk sebuah citra khusus mengenai komunitas orang Cina
yang melekat dengan kegiatan ekonomi dan aliansinya baik dengan penguasa
politik lokal maupun kolonial yang merugikan rakyat. Sebuah proses pengasingan
masyarakat Cina dari masyarakat Jawa Tengah secara menyeluruh mulai
berlangsung.Pandangan bahwa orang keturunan Cina merupakan komunitas yang asing
dalam masyarakat Jawa Tengah masih terus berlangsung selama masa
kemerdekaan dan pada tahun 1998 terjadi kerusuhan yang menyerang warga
keturunan Cina. Di Jawa Tengah sendiri kerusuhan besar terjadi di Surakarta yang
merupakan salah satu wilayah inti dari kebudayaan Jawa Tengah. Peristiwa ini
menjadi salah satu bukti yang memperkuat bahwa warga keturunan Cina di
Indonesia, terutama di wilayah Jawa Tengah, masih menjadi elemen yang asing
dalam masyarakatnya.Identitas sendiri merupakan suatu yang unsur yang penting dalam
pembentukan seseorang sebagai individu. Identitas adalah bagaimana individu
mengenali dan menyadari keberadaan dirinya dan terbentuk dari interaksi
seseorang dengan lingkungan di mana ia tumbuh dan dibesarkan. Identitas juga
suatu kelompok atau suatu individu dengan lingkungan masyarakat yang lebih
luas. Hal ini sejalan dengan penelitian Basyar dan Susetyo yang mengakaji
tentang identitas minoritas di Indonesia di mana kelompok minoritas tersebut
belum menemukan tempatnya dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
Basyar (2010), menyatakan bahwa proses diskriminasi yang terjadi pada
masyarakat minoritas mengakibatkan adanya proses alienasi yang terjadi pada
masyarakat minoritas yang mengalaminya dan berakibat terbentuknya suatu
kelompok yang terpisah dari kelompok mayoritas.Masyarakat Cina di Indonesia saat ini menjadi suatu kelompok minoritas
yang terasing dari masyarakat tempat mereka hidup selama beberapa generasi.
Keterasingan ini menjadikan diri mereka sebagai suatu kelompok masyarakat
yang tidak memiliki akar atau tempat di mana mereka bisa diterima seutuhnya dan
kehilangan sejarah mereka sebagai suatu kelompok. Di sini identitas sebagai suatu
aspek yang terbentuk dari sejarah dan kesinambungan tradisi menjadi suatu hal
yang penting untuk diteliti pada masyarakat keturunan Cina.Selain itu, peneliti juga tertarik untuk melihat bagaimana identitas yang
dimiliki warga keturunan Cina yang tinggal di Jawa Tengah didasari pada proses
pembentukan identitas itu sendiri yang merupakan hasil dari pengolahan batin
individu dan relasi individu dengan lingkungan di sekitarnya. Peneliti ingin
mengetahui bagaimana pengalaman-pengalaman yang dialami warga keturunan
Cina membentuk identitas mereka saat ini.Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kulitatif dengan metode
dapat memberikan penjabaran mengenai bagaimana orang Cina memandang diri
dan kehidupan mereka.Penelitian ini menggambil sample kota Temanggung sebagai wilayah
tempat tinggal partisipan. Pemilihan ini dilatarbelakangi karena kota Temanggung
sendiri dipilih karena kota ini memiliki komunitas warga keturunan Cina, baik itu
yang tinggal di kawasan Pecinan maupun yang tinggal di perkampungan.
Sebagian besar warga Temanggung juga bekerja di bidang tembakau yang
memungkinkan terjadi pertemuan dan pembauran antara warga keturunan Cina,
maupun masyarakat kebanyakan. Selain itu, di Temanggung juga pernah terjadi
kerusuhan yang menyerang warga keturunan Cina.UMUSAN ASALAH
B. M R
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin melihat bagaimana pengalaman hidup masyarakat keturunan Cina yang tinggal di Jawa Tengah, dan bagaimana pengalaman tersebut membentuk identitas mereka.
UJUAN ENELITIAN
C. P T
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pengalaman- pengalaman warga keturunan Cina yang tinggal di Jawa Tengah dalam interaksi mereka dengan keluarga, dengan sesama warga keturunan Cina, dalam masyarakat dan sebagai warga negara, dan bagaimanakah pengalaman- pengalaman tersebut membentuk identitas mereka saat ini.
D. ANFAAT P ENELITIAN M
1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu psikologi sosial dan psikologi kepribadian, khususnya mengenai identitas pada warga keturunan Cina.
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat membangun kesadaran dan pengertian pada warga keturunan mengenai dirinya dan masyarakat di mana mereka tinggal, dan memberikan pengertian kepada masyarakat pada umumnya mengenai warga keturunan Cina, sehingga diharapkan akan terbangun hubungan yang bebas prasangka dalam masyarakat.
BAB II LANDASAN TEORI A. W ARGA K ETURUNAN C INA
1. Sejarah Etnis Cina di Indonesia
Masyarakat Cina sebenarnya sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia. Peter Carey dalam Rustopo (2007), menjelaskan bahwa hubungan orang Jawa dengan orang Cina sudah dimulai sejak abad keempat belas melalui perdagangan. Pada masa itu orang-orang Cina juga mulai bermukim di Indonesia terutama di kota- kota pelabuhan dan di daerah tepi sungai besar yang merupakan jalur perdagangan dan membentuk suatu pemukiman orang Cina atau Pecinan. Pada masa itu, hubungan antara orang Cina dan Jawa berlangsung dengan harmonis.
Memasuki masa kolonialisme terjadi sistem apartheid atau pembedaan berdasarkan ras yang diberlakukan oleh pihak Belanda.
Dalam Onghokham (2008) dijelaskan bahwa pembagian kelas terbagi menjadi 3 golongan yaitu: golongan Eropa atau Belanda, golongan Timur Asing (Cina, India, Arab), golongan pribumi (kecuali bangsawan yang diberikan status seperti Eropa).
Dari ketiga golongan tersebut pribumi berada dalam status yang paling rendah. Penggolongan tersebut mengakibatkan adanya mobilitas Eropa. Mereka mengadopsi cara berpakaian, pendidikan dan agama yang dianut oleh orang eropa yaitu agama Kristen dan Katolik, walaupun mereka masih tetap menjalankan adat dan budayanya sendiri. Sangat jarang ada orang Cina yang mengidentifikasikan dirinya dengan pribumi karena pada waktu itu kaum pribumi dianggap lebih rendah statusnya, sehingga jika terjadi pernikahan antara wanita pribumi dengan orang Cina maka wanita tersebut dianggap diangkat derajatnya. (Susetyo, 2010). Pembedaan ini juga merupakan benih munculnya anti-Cina di Indonesia.
Kondisi tersebut berbalik arah ketika Indonesia memasuki masa kemerdekaan. Beberapa kejadian yang menyudutkan warga keturunan Cina tercatat terjadi dalam sejarah Indonesia. Salah satunya adalah munculnya Peraturan Presiden No. 10 tahun 1959, yaitu adanya larangan bagi orang Tionghoa berdagang eceran di daerah-daerah di luar kota yang lebih kecil dari kota distrik (Koentjaraningrat, 1979).
Adanya pemberontakan G30-S menyebabkan munculnya sentimen pada warga keturunan Cina yang ada di Indonesia, karena munculnya anggapan bahwa mereka menjadi agen dari pemerintahan Cina yang komunis dan mendukung pemberontakan PKI tahun 1965. Hal tersebut juga berbuntut munculnya Inpres No. 14 tahun 1967 yang secara garis besar menyatakan bahwa adat dan budaya Cina akan memberikan pengaruh yang kurang wajar bagi masyarakat Indonesia sehingga pelaksanaan adat dan ritual agama hanya boleh dilaksanakan dalam Keputusan Presiden seperti: Pelarangan Sekolah dan Penerbitan berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama, dan Keputusan Presiden No.240/1967 mengenai Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung dalam Dananjaya, 2003).
2. Penggolongan Enis Cina di Indonesia
Orang Cina yang berada di Indonesia sebagian besar berasal dari dua propinsi di negara Cina yaitu Fukien dan Kwangtung. Setiap pendatang yang datang ke Indonesia membawa kebudayaan dan perbedaan bahasanya sendiri-sendiri. Ada empat bahasa Cina yang banyak di pakai di Indonesia yaitu Hokkien, Tio-Chiu, Hakka, dan Kanton. Perbadaan bahasa ini demikian besar, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti pembicara dari bahasa yang lain. (Koentjaraningrat, 1979).
Walaupun orang Cina yang datang ke Indonesia berasal dari berbagai suku bangsa, pada umumnya pandangan orang Indonesia terhadap masyarakat etnis Cina yang ada di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Tionghoa Totok dan Peranakan.
a. Tionghoa Totok
Orang Tionghoa totok atau singkek adalah penggolongan yang pada awalnya diberikan kepada orang Cina yang baru datang ke
2009). Seiring pergeseran waktu, istilah tionghoa totok diberikan kepada orang Cina yang orangtuanya adakah orang etnis tionghoa (Suryadinata, 1984).
Istilah totok juga diberikan bagi orang keturunan Cina yang masih menjalankan adat budayanya, walaupun sudah memeluk agama lain. Mereka juga pada umumnya berbicara bahasa Cina sebagai bahasa pengantar dalam keluarga.
b. Tionghoa Peranakan
Masyarakat di Indonesia menggolongkan orang Cina sebagai orang Cina peranakan adalah untuk orang-orang Cina yang terlahir dari perkawinan antara orang Cina dengan orang Indonesia (Koentjaraningrat, 1979). Pada awal migrasi penduduk Cina di Indonesia, mereka biasanya datang dalam kelompok kecil dan hanya para lelakinya saja yang melakukan migrasi. Setibanya mereka di Indonesia kemudian mereka bekerja dan tinggal di Indonesia. Beberapa kemudian menikah dengan penduduk Indonesia dan berakulturasi dengan kebudayaan setempat.
Sebagian besar penduduk tionghoa peranakan sudah menggunakan bahasa setempat untuk berkomunikasi sehari-hari.
Mereka juga sudah tidak menjalankan tradisi dan adat kebudayaan dari Cina.
Orang Cina di Indonesia sendiri saat ini sudah sulit dipastikan siapa Terutama di pulau Jawa, terdapat orang-orang yang umum dianggap Tionghoa tetapi jika ditelusuri ternyata mereka kurang dari seperempat Tionghoa, buta huruf mengenai bahasa dan tulisan Tionghoa, telah melepaskan pemujaan nenek moyang dan melepaskan kewarganegaraan Tionghoanya (Tan, 1981).
Sebaliknya ada orang-orang yang menurut garis nenek-moyangnya lebih dari seperempat Tionghoa, tapi menganggap dirinya dan juga dianggap oleh masyarakat luas sebagai orang etnis Indonesia. Karena itu Skinner dalam Mely G. Tan (1981), batasan yang memadai tidak menurut ras, hukum ataupun budaya melainkan melaluai identifikasi sosial: “Di Indonesia seorang keturunan Tionghoa disebut orang Tionghoa, jika ia bertindak sebagai anggota dan mengidentifikasikan dirinya sebagai masyarakat Tionghoa.” Skinner juga menyatakan bahwa satu-satunya ciri budaya yang dapat diandalkan adalah penggunaan nama keluarga Tionghoa. Coppel (1994), dalam bukunya Tionghoa Indonesia dalam Krisis, mendefinisikan orang keturunan Cina adalah orang keturunan Tionghoa yang berfungsi sebagai warga atau berpihak pada masyarakat Tionghoa atau yang dianggap sebagai orang Tionghoa oleh orang Indonesia pribumi (paling tidak dalam beberapa keadaan).
Seperti yang diungkapkan oleh Mely G. Tan, warga keturunan Cina yang banyak ditemui saat ini sudah tidak dapat berbicara bahasa Cina, buta aksara Cina dan sudah tidak terlalu ketat dalam menjalankan adat tidak lagi memeluk agama leluhur dan memeluk agama Kristen, sehingga banyak tradisi seperti upacara pernikahan dan kematian dilakukan sesuai dengan agama yang dianut saat ini.
3. Kehidupan warga keturunan Cina
Onghokham (2008) menyatakan bahwa kehidupan orang Cina secara umum berpusat pada Konfusianisme. Konfusianisme ini mewariskan suatu tradisi yang menjadi identitas kehidupan spiritual secara umum yaitu fokus pada keluarga yang baik, baik yang masih hidup maupun anggota keluarga yang sudah meninggal. Secara nyata hal ini terlihat dalam pengabdian anak kepada orang tua dan meluas pada pengabdian kepada pemimpin. Salah satu perwujudan dari pengabdian ini adalah dengan merawat meja abu atau meja sembahyang untuk mendoakan arwah para leluhur.
Seiring dengan berjalannya waktu semakin banyak orang Cina di Indonesia yang memeluk agama lain dan meninggalkan tradisi mendoakan arwah leluhur, tetapi ikatan dalam keluarga masyarakat Cina tetap kuat. Penghapusan beban adat ini juga membuat masyarakat keturunan Cina di Indonesia semakin fokus pada pekerjaan dan menggerakkan roda ekonomi bagi keluarga mereka. Banyak warga masyarakat keturunan Cina yang bekerja di sektor swasta karena mereka mengalami kesulitan untuk terlibat dalam sektor pemerintahan.
Sebagai seorang Cina dan membawa jiwa perantauan dalam diri mereka, orang Cina di Indonesia sebagian besar memiliki sifat yang ulet dan pantang didukung adanya hubungan kekeluargaan yang erat antar sesama orang Cina menjadikan banyak orang Cina di Indonesia memiliki penghasilan yang baik dan menjadi golongan menengah atau golongan kaya di Indonesia (Onghokham, 2008).