PERBANDINGAN EFEKTIFITAS PEMBERIAN PERASAN RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza, Roxb) DENGAN MEBENDAZOL TERHADAP VIABILITAS TELUR CACING Ascaridia galli SECARA IN VITRO Repository - UNAIR REPOSITORY

  SKRIPSI PERBANDINGAN EFEKTIFITAS PEMBERIAN PERASAN RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza, Roxb) DENGAN MEBENDAZOL TERHADAP VIABILITAS TELUR CACING Ascaridia galli SECARA IN VITRO

  Oleh:

  INDAH TRI SUSANTI SURABAYA − JAWA TIMUR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2006

  PERBANDINGAN EFEKTIFITAS PEMBERIAN PERASAN RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza, Roxb) DENGAN MEBENDAZOL TERHADAP VIABILITAS TELUR CACING Ascaridia galli SECARA IN VITRO

  Skripsi sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

  Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Oleh:

  INDAH TRI SUSANTI NIM. 060112940 Menyetujui

  Komisi Pembimbing, Dr. M. Zainal Arifin, MS., Drh Prof. Dr. Setiawan Koesdarto, MSc., Drh Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua Setelah mempelajari dan menguji dengan sunguh-sungguh, Kami berpendapat bahwa tulisan ini ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN HEWAN.

  Menyetujui, Tim Penguji, Sri Agus Sudjarwo, Ph.D., Drh.

  Ketua Tutik Juniastuti, M.Kes., Drh. Ririen Ngesti Wahyuti, M.Kes., Drh.

  Sekretaris Anggota Dr. M. Zainal Arifin, M.S., Drh. Prof. Dr. Setiawan Koesdarto, M.Sc., Drh.

  Anggota Anggota Surabaya, 8 Februari 2006

  Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

  Dekan, Prof. Dr. Ismudiono, M.S., Drh.

  NIP.130 687 297

  PERBANDINGAN EFEKTIFITAS PEMBERIAN PERASAN RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza, Roxb) DENGAN MEBENDAZOL TERHADAP VIABILITAS TELUR CACING Ascaridia galli SECARA IN VITRO

INDAH TRI SUSANTI ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian perasan rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza, R) sebagai antelmintik terhadap viabilitas telur cacing Ascaridia galli secara in vitro. Sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah telur cacing A.galli yang diperoleh dengan mengumpulkan cacing A.galli dewasa dari usus halus ayam buras. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan yaitu perendaman telur A.galli dalam larutan NaCL fisiologis (P ), perendaman telur cacing A.galli dalam perasan rimpang temulawak 2% (P 1 ), perendaman telur cacing A.galli dalam perasan rimpang temulawak 3% (P 2 ), perendaman telur cacing A.galli dalam perasan rimpang temulawak 4% (P 4 3 ), perendaman telur cacing A.galli dalam perasan rimpang temulawak 5% (P ), perendaman telur cacing A.galli dalam larutan mebendazol

  (P 5 ). Masing masing perlakuan terdiri dari empat ulangan, dengan pengamatan hasil dilakukan setiap hari mulai hari pertama sampai hari ke-10 perendaman. Peubah yang diamati adalah kerusakan sel telur cacing A.galli atau tidak adanya perkembangan sel telur cacing A.galli. Data disajikan dalam bentuk persentase dan ditransformasikan ke dalam Arcsin √persentase (%). Data dianalisis dengan uji F dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan untuk mengetahui perlakuan yang terbaik. Hasil penelitian menunjukkan hasil terbaik pada perlakuan perendaman telur cacing A.galli dalam larutan mebendazol (P 4 5 ) yang tidak berbeda nyata dengan perasan rimpang temulawak 5% (P ) yang merupakan hasil terbaik kedua. Perlakuan perendaman telur A.galli dalam perasan rimpang temulawak 4% (P 3 ) dapat merusak telur A.galli dan merupakan hasil terbaik ketiga. Perlakuan yang lain dapat pula merusak telur cacing A.galli dengan hasil terendah pada perendaman dalam larutan NaCl fisiologis (P ).

KATA PENGANTAR

  Puji syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-NYA serta shalawat serta salam bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW sehingga penelitian dan penulisan skripsi dengan judul "Perbandingan Efektifitas Pemberian Perasan Rimpang Temulawak (Curcuma

  xanthorriza, R) dengan Mebendazol terhadap Viabilitas Telur Cacing Ascaridia galli secara in vitro" dapat terselesaikan dengan baik.

  Penulis menyadari bahwa keberhasilan penelitian hingga penulisan skripsi tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari semua pihak. Dengan rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

  Prof. Dr. Ismudiono, MS., Drh selaku Dekan Fakultas Kedokteran

   Hewan Universitas Airlangga. Dr. M. Zainal Arifin, MS., Drh selaku Dosen Pembimbing pertama dan

   Prof. Dr. Setiawan Koesdarto, MSc., Drh selaku Dosen Pembimbing kedua yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini. Sri Agus Sudjarwo, Ph.D., Drh, Tutiek Juniastuti, M.Kes., Drh dan

   Ririen Ngesti Wahyuti, M.Kes., Drh selaku Tim penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat berguna bagi penyelesian skripsi ini.

  Keluarga besar Yayasan Tunas Paratama Bhakti yang telah

   memberikan bimbingan, bantuan moril dan materiil sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Ibunda Sri Asih dan Ayahanda Miselan Alm. serta Kakak-kakakku

   Mas Koko dan Mas Aris tercinta, atas segala bantuan, dorongan semangat dan doa restu yang diberikan selama pendidikan sampai berakhir. Andi Kristian Maranatha Purba yang telah meluangkan waktu, doa,

   dukungan dan kesabarannya mulai penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini. Acie’, Dido, Irma, Novia, Diana, Alitha, Uwi’, Mb.Dahlia, Pi 5,

   teman-teman angkatan 2001 dan Asrama AABU, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya skripsi ini.

  Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semua kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia Kedokteran Hewan pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.

  Surabaya, Januari 2006 Penulis

  DAFTAR ISI

  Halaman

  

DAFTAR TABEL ……………………………………………… ix

DAFTAR GAMBAR ………………………………………… xi

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………….. xii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………...

  1

  1.1 Latar Belakang ………………………………………

  1

  1.2 Perumusan Masalah …………………………………

  3 1.3 Landasan Teori ……………………………………...

  4 1.4 Tujuan Penelitian …………………………………...

  4 1.5 Manfaat Penelitian ………………………………….

  4

  1.6 Hipotesis Penelitian …………………………………

  5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………

   6 2.1 Temulawak (Curcuma xanthorriza, R) ……………..

  6 2.1.1 Sistematika Temulawak ……………………...

  6 2.1.2 Nama Daerah dan Ekologi Penyebaran ……..

  6 2.1.3 Morfologi Tanaman Temulawak …………….

  7 2.1.4 Ciri-ciri Rimpang Temulawak ………………..

  8

  2.1.5 Kandungan Rimpang Temulawak ……………

  8 2.1.5.1 Tinjauan tentang Minyak Atsiri ……...

  8

  2.1.6 Kegunaan dan Pemanfaatan Temulawak …….. 9

  2.2 Ascaridiasis ………………………………………...… 9

  2.2.1 Klasifikasi Ascaridia galli …………………… 10

  2.2.2 Habitat dan Morfologi ………………………... 10

  2.2.3 Telur Ascaridia galli …………………………. 11

  2.2.4 Siklus Hidup ………………………………….. 11

  2.2.5 Patogenesis dan Gejala Klinis Infeksi

  Ascaridia galli ………………………………… 13

  2.2.6 Daya Tahan Ayam terhadap Infeksi

  Ascaridia galli…………………………………. 14

  2.2.7 Pengendalian Infeksi Ascaridia galli ………… 15

  2.3Mebendazol ………………………………………….. 15

  BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN ............ 17

  3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……………………….. 17

  3.2 Materi Penelitian …………………………………….. 17

  3.2.1 Sampel Penelitian …………………………….. 17

  3.2.2 Bahan Penelitian ……………………………… 17

  3.2.3 Alat-alat Penelitian …………………………… 17

  3.3 Metode Penelitian ……………………………………. 18

  3.3.1 Penentuan Rentang Konsentrasi Perasan Rimpang Temulawak …………………………. 18

  3.3.2 Pembuatan Perasan Rimpang Temulawak …… 19

  3.3.3 Penyiapan Telur Cacing Ascaridia galli ……… 19

  3.3.4 Penentuan Karakteristik Telur Cacing yang Rusak ……………………………….... 20

  3.3.5 Prosedur Penelitian ……………………………. 20

  3.3.6 Peubah yang Diamati ……………….............. 21

  3.3.7 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ……… 22

  BAB IV HASIL PENELITIAN ………………………………… 24 BAB V PEMBAHASAN ……………………………………….. 29 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ………………………... 33

  6.1 Kesimpulan …………………………………….. 33

  6.2 Saran ……………………………………………. 33

  RINGKASAN ……………………………………………………. 34 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 36 LAMPIRAN ……………………………………………………… 39

  DAFTAR TABEL Tabel Halaman

  1. Persentase Rata-rata dan Standar Deviasi Kerusakan

  Telur Cacing A.galli pada berbagai Perlakuan Sebelum Transformasi ..............................................................................

  24

  2. Persentase Rata-rata dan Standar Deviasi Kerusakan

  Telur Cacing A.galli pada berbagai Perlakuan Sesudah Transformasi ………………………………………………….

  25

  3. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kerusakan Telur A.galli pada Perendaman Hari ke-1 …………………..

  39

  4. Perbedaan Rata-rata Jumlah Telur Cacing A.galli yang

Rusak Hasil Perlakuan Berdasarkan Uji Jarak Berganda

Duncan ………………………………………………………….

  39

  5. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kerusakan Telur A.galli pada Perendaman Hari ke-2 …………………...

  40

  6. Perbedaan Rata-rata Jumlah Telur Cacing A.galli yang

Rusak Hasil Perlakuan Berdasarkan Uji Jarak Berganda

Duncan ………………………………………………………….

  40

   7. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kerusakan Telur A.galli pada Perendaman Hari ke-3 …………………...

  41

  8. Perbedaan Rata-rata Jumlah Telur Cacing A.galli yang

Rusak Hasil Perlakuan Berdasarkan Uji Jarak Berganda

Duncan ………………………………………………………….

  41

  9. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kerusakan Telur A.galli pada Perendaman Hari ke-4 …………………...

  42

10. Perbedaan Rata-rata Jumlah Telur Cacing A.galli yang

  

Rusak Hasil Perlakuan Berdasarkan Uji Jarak Berganda

Duncan ………………………………………………………….

  42

  11. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kerusakan Telur A.galli pada Perendaman Hari ke-5 …………………...

  43

  12. Perbedaan Rata-rata Jumlah Telur Cacing A.galli yang

Rusak Hasil Perlakuan Berdasarkan Uji Jarak Berganda

Duncan ………………………………………………………….

  43

  13. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kerusakan Telur A.galli pada Perendaman Hari ke-6 …………………...

  44

   14. Perbedaan Rata-rata Jumlah Telur Cacing A.galli yang

Rusak Hasil Perlakuan Berdasarkan Uji Jarak Berganda

Duncan ………………………………………………………….

  44

   15. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kerusakan Telur A.galli pada Perendaman Hari ke-7 …………………...

  45

   16. Perbedaan Rata-rata Jumlah Telur Cacing A.galli yang

Rusak Hasil Perlakuan Berdasarkan Uji Jarak Berganda

Duncan ………………………………………………………….

  45

   17. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kerusakan Telur A.galli pada Perendaman Hari ke-8 …………………...

  46

   18. Perbedaan Rata-rata Jumlah Telur Cacing A.galli yang

Rusak Hasil Perlakuan Berdasarkan Uji Jarak Berganda

Duncan ………………………………………………………….

  46

  19. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kerusakan Telur A.galli pada Perendaman Hari ke-9 …………………...

  47

   20. Perbedaan Rata-rata Jumlah Telur Cacing A.galli yang

Rusak Hasil Perlakuan Berdasarkan Uji Jarak Berganda

Duncan ………………………………………………………….

  47

   21. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kerusakan Telur A.galli pada Perendaman Hari ke-10 ………………….

  48

   22. Perbedaan Rata-rata Jumlah Telur Cacing A.galli yang

Rusak Hasil Perlakuan Berdasarkan Uji Jarak Berganda

Duncan ………………………………………………………….

  48

  DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman

   2 Tanaman Temulawak (Curcuma xanthorriza, R) dan Rimpang Temulawak ………………………………………...

  7

3 Bagan Alir Penelitian ………………………………………..

  23

  

4.1 Grafik Persentase Kerusakan Telur Cacing Ascaridia galli

dalam Berbagai Perlakuan Pada Perendaman Hari ke-1 sampai Hari ke-10 …………………………………………... 27

  4.2 Telur Cacing Ascaridia galli dalam Larutan NaCl Fisiologis

  yang Mengalami Perkembangan ……………………………

  28

4.3 Telur Cacing Ascaridia galli dalam Berbagai Perlakuan yang Tidak Mengalami Perkembangan atau Rusak Setelah

  Perendaman .............................................................................. 28

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman

  6. Analisis Statistik Kerusakan Telur Cacing A.galli dari berbagai Perlakuan pada Perendaman Hari ke-6 ……………

  10. Analisis Statistik Kerusakan Telur Cacing A.galli dari berbagai Perlakuan pada Perendaman Hari ke-10 …………… 48

  47

  9. Analisis Statistik Kerusakan Telur Cacing A.galli dari berbagai Perlakuan pada Perendaman Hari ke-9 ……………

  46

  8. Analisis Statistik Kerusakan Telur Cacing A.galli dari berbagai Perlakuan pada Perendaman Hari ke-8 ……………

  45

  7. Analisis Statistik Kerusakan Telur Cacing A.galli dari berbagai Perlakuan pada Perendaman Hari ke-7 ……………

  44

  43

  1. Analisis Statistik Kerusakan Telur Cacing A.galli dari berbagai Perlakuan pada Perendaman Hari ke-1 ……………

  5. Analisis Statistik Kerusakan Telur Cacing A.galli dari berbagai Perlakuan pada Perendaman Hari ke-5 ……………

  42

  4. Analisis Statistik Kerusakan Telur Cacing A.galli dari berbagai Perlakuan pada Perendaman Hari ke-4 ……………

  41

  3. Analisis Statistik Kerusakan Telur Cacing A.galli dari berbagai Perlakuan pada Perendaman Hari ke-3 ……………

  40

  2. Analisis Statistik Kerusakan Telur Cacing A.galli dari berbagai Perlakuan pada Perendaman Hari ke-2 ……………

  39

  11. Bahan, Sampel dan Alat-alat Penelitian ………………………. 49

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

  Peningkatan pendapatan penduduk dan bertambahnya pengertian masyarakat terhadap peranan gizi bagi kesehatan saat ini meningkatkan kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Bagi peternak, untuk mengimbangi pemenuhan kebutuhan tersebut adalah dengan meningkatkan produksi dan kesehatan ternak. Salah satu faktor yang penting adalah usaha penanggulangan penyakit. Beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh cacing dinilai cukup merugikan, meskipun jarang menimbulkan kematian namun bersifat kronik, antara lain dapat mengakibatkan penurunan bobot badan dan terhambatnya pertumbuhan.

  Di Indonesia, tingkat kejadian penyakit oleh parasit cacing cukup tinggi. Kondisi lingkungan Indonesia yang beriklim tropis dengan temperatur dan kelembaban tinggi merupakan lingkungan yang sangat baik dan menguntungkan untuk perkembangan cacing terutama yang memerlukan tanah untuk penularannya (Tjitra, 1991). Infeksi cacing yang sering menyerang ternak ayam dan cukup banyak menimbulkan kerugian adalah Ascaridiasis yang disebabkan oleh

  Ascaridia galli (Soulsby, 1986).

  Upaya pengendalian infeksi cacing dengan obat cacing yang ada di pasaran sampai saat ini hasilnya belum optimal, karena obat cacing umumnya terbukti mampu membunuh cacing dewasa, namun belum tentu secara optimal mampu membunuh telur yang merupakan sumber penularan berikutnya. Selain itu cacing yang mati akibat obat cacing belum tentu membuat telur yang berada bebas dalam usus halus induk semang mati dan kemungkinan besar masih efektif sebagai sumber penular pada unggas lainnya (Oka, 2003). Saat ini telah banyak obat sintetik yang berkhasiat untuk pengobatan penyakit cacing dan telah beredar di pasaran diantaranya adalah mebendazol, yang merupakan benzimidazol sintetik yang mempunyai aktifitas antelmintik berspektrum luas dan insiden efek samping yang rendah (Katzung, 1994). Namun keadaan sosial masyarakat yang umumnya masih relatif rendah, maka pemakaian obat sintetik masih mengalami banyak hambatan, diantaranya harga yang relatif mahal dan kesulitan dalam mendapatkannya.

  Pengobatan tradisional merupakan budaya yang tetap digunakan oleh masyarakat dari berbagai tingkatan ekonomi di seluruh dunia, dalam upaya menyembuhkan penyakit dan menjaga kesehatan diri dan hewan peliharaannya. Dewasa ini pemanfaatan tanaman obat semakin digalakkan, karena selain memberikan alternatif atas kebutuhan obat yang mudah diperoleh, murah harganya dan berkhasiat juga dapat sekaligus memanfaatkan bahan yang tersedia di alam terutama di lingkungan peternak. Hal ini menguntungkan bagi masyarakat peternak di Indonesia, yang mayoritas tinggal di desa. Di Indonesia terdapat kurang lebih 40.000 jenis tumbuhan, dan baru sekitar 1000 jenis tumbuhan (2,5 %) yang sudah dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Sumarni, 1994). Beberapa tanaman obat yang dipergunakan sebagai obat cacing antara lain rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza, R). Mulyaningsih (1989) yang dikutip oleh Wibawa (1992) pernah meneliti bahwa pemberian temulawak dapat mematikan cacing tambang pada anjing secara in vitro. Subekti (1990) menyatakan bahwa perasan temulawak dapat menurunkan jumlah Egg Per Gram (EPG) pada ayam yang terinfeksi cacing A.galli. Wibawa (1992) juga menyatakan dalam penelitiannya bahwa jika ditinjau dari segi efektifitasnya perasan rimpang temulawak dengan konsentrasi 100% dan 50% cukup efektif mematikan cacing

  Haemonchus spp. Di dalam rimpang temulawak terdapat suatu zat yang

  berkhasiat sebagai antelmintik yaitu minyak atsiri dan kurkumin. Berdasarkan manfaatnya sebagai obat cacing, perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian perasan rimpang temulawak terhadap viabilitas telur cacing

A.galli secara in vitro dibandingkan dengan mebendazol sebagai kontrol obat.

  1.2 Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  1. Berapa besar konsentrasi efektif dari berbagai tingkatan konsentrasi perasan rimpang temulawak yang dapat mempengaruhi viabilitas telur cacing

  A.galli dibandingkan dengan mebendazol secara in vitro?

  2. Hari ke berapa berbagai tingkatan konsentrasi perasan rimpang temulawak sudah dapat mempengaruhi viabilitas telur cacing A.galli dibandingkan dengan mebendazol secara in vitro?

  1.3 Landasan Teori

  Alternatif pengobatan Ascaridiasis dengan obat tradisional diperlukan untuk mendapatkan pengobatan yang murah dan mudah cara mendapatkannya. Salah satu bahan antelmintik yang berasal dari dari tumbuh-tumbuhan yang dapat dipakai untuk memberantas infeksi cacing adalah rimpang temulawak (Subekti, 1990). Rimpang temulawak selain kaya akan zat pati juga mengandung kurkumin dan minyak atsiri yang mempunyai kegunaan antara lain sebagai bahan antiseptik, analgesik, sedatif maupun obat cacing {Guenter (1988) yang dikutip Setiawan (1994).

  1.4 Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk :

  1. Mengetahui konsentrasi efektif dari berbagai tingkatan konsentrasi perasan rimpang temulawak yang dapat mempengaruhi viabilitas telur cacing A.galli dibandingkan dengan mebendazol secara in vitro.

  2. Mengetahui hari ke berapa berbagai tingkatan konsentrasi perasan rimpang temulawak sudah dapat mempengaruhi viabilitas telur cacing

  A.galli dibandingkan dengan mebendazol secara in vitro.

  1.5 Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat rimpang temulawak sebagai salah satu obat alternatif untuk mencegah dan membasmi cacing A.galli beserta telurnya dalam upaya peningkatan kesehatan ternak ayam untuk menghasilkan produksi yang optimal.

1.6 Hipotesis Penelitian

  Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

  1. Terdapat perbedaan efektifitas dari berbagai tingkatan konsentrasi perasan rimpang temulawak terhadap viabilitas telur cacing A.galli dibandingkan dengan mebendazol secara in vitro.

  2. Terdapat perbedaan waktu dari berbagai tingkatan konsentrasi perasan rimpang temulawak terhadap viabilitas telur cacing A.galli dibandingkan dengan mebendazol secara in vitro.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Temulawak (Curcuma xanthorriza, Roxb)

  Temulawak diperkenalkan pertama kali oleh Roxburg pada tahun 1810 dengan nama Curcuma xanthorriza. Tanaman ini mudah dibedakan dari temu-temu lain, karena mempunyai induk rimpang terbesar diantara familinya (IPTEKnet, 2002).

  2.1.1 Sistematika Temulawak

  Sistematika tanaman temulawak menurut Backer dan Bakhuizen (1968) yang dikutip oleh Wibawa (1992) adalah sebagai berikut: Filum : Spermatophyta Sub Filum : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma xanthorriza, Roxb

  2.1.2 Nama Daerah dan Ekologi Penyebaran Temulawak merupakan tanaman asli Indonesia, kemudian menyebar ke

  Malaysia, Thailand, Birma, India, Philipina. Di Indonesia, tanaman ini dapat tumbuh di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara termasuk Bali. Di pulau Jawa, temulawak dapat tumbuh liar di hutan jati maupun dibudidayakan di padang alang-alang dan tegalan. Nama daerah dari temulawak antara lain: temu lawak (Melayu), koneng gede (Sunda), temulawak (Jawa), temu labak (Madura) (IPTEKnet, 2002).

2.1.3 Morfologi Tanaman Temulawak

  Temulawak termasuk tanaman tahunan merumpun, tanaman ini berbatang semu dan habitusnya dapat mencapai ketinggian 2-2,5 meter. Tiap rumpun tanaman terdiri atas beberapa tanaman (anakan) dan tiap tanaman memiliki 2-9 helai daun. Daun tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar. Lamina daun dan seluruh ibu tulang daun bergaris hitam, tiap helai daun melekat pada tangkai daun yang posisinya saling menutupi secara teratur (IPTEKnet, 2002).

  A B Gambar 2. A. Tanaman Temulawak (Curcuma xanthorriza, R)

B. Rimpang Temulawak (IPTEKnet 2002)

  2.1.4 Ciri-ciri Rimpang Temulawak

  Rimpang temulawak berukuran paling besar diantara rimpang-rimpang dari semua jenis Curcuma. Bentuk rimpang membulat dan dari luar berwarna kuning tua atau coklat kemerahan. Induk rimpang bercabang-cabang banyak dan kuat. Anak rimpang beraneka ragam dan umumnya berwarna lebih muda dibandingkan dengan rimpang induk. Bidang irisan berwarna jingga kecoklatan, melengkung tidak beraturan dan sering ada tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks. Zat warna kuning kecoklatan rasanya pahit tajam (IPTEKnet, 2002).

  2.1.5 Kandungan Rimpang Temulawak

  Rimpang temulawak segar mengandung 75 persen air, minyak atsiri, lemak, zat warna (pigmen), resin, selulose, pentosa, pati, mineral, zat penyebab rasa pahit dan beberapa kandungan senyawa kimia antara lain berupa fellandrean dan tumerol (minyak menguap), kemudian kamfer, glukosida, foluymetik karbinol dan kurkumin (IPTEKnet, 2002). Efek farmako yang ditimbulkan antara lain: anti sembelit, tonikum, diuretik, fungstatik dan bakteriostatik (Anonimus, 2005).

2.1.5.1 Tinjauan tentang Minyak Atsiri

  Minyak Atsiri mengandung flavonoida yang berkhasiat menyembuhkan radang, minyak atsiri juga membunuh mikroba (Anonimus, 2005). Malingre (1975) yang dikutip Wibawa (1992) meneliti tentang komponen minyak atsiri temulawak (Curcuma xanthorriza, R) yang terdiri dari: p-tolimetilkarbinol, alfa zingiberen, sikloisoprenmirsen, kurlon, turmeron, ar-tumeron, tetrahidro-p-asetil- toluol, santonizol dan isofuranogermaliren. Berdasarkan gejala yang ditimbulkan oleh cacing diduga cara kerja minyak atsiri adalah dengan menghambat hantaran neuromuskuler, yaitu dengan mendepolarisasikan motor and plate, disertai eksitasi pada cacing, kemudian mencegah repolarisasi sehingga menyebabkan depolarisasi terus menerus, yang akhirnya terjadi paralisa otot cacing lalu mati (Setiawan, 1994).

2.1.6 Kegunaan dan Pemanfaatan Temulawak

   Sebagai obat tradisional, rimpang temulawak banyak digunakan untuk

  pengobatan kejang-kejang, malaria, diare, asma, meningkatkan nafsu makan, produksi ASI, radang ginjal, peluruh batu empedu dan cacing tambang. Selain itu temulawak juga dapat digunakan sebagai obat flu burung (IPTEKnet, 2002).

2.2 Ascaridiasis

  Ascaridiasis adalah salah satu penyakit cacing yang menyerang bangsa unggas dan menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh cacing Ascaridia galli yang berinduk semang pada ayam, kalkun, burung dara, itik dan angsa. Selain A.galli ditemukan beberapa spesies lain yang berinduk semang pada berbagai jenis unggas diantaranya A.dissimilis yang berinduk semang pada kalkun, A.columbae yang berinduk semang pada burung dara, A.compar yang ditemukan pada burung puyuh, A.bonasae yang berinduk semang pada sejenis ayam hutan dan A.numidae yang ditemukan pada burung merak. Infeksi A.galli dapat menyerang ternak ayam pada semua umur terutama ayam umur 1-3 bulan (Soulsby, 1986).

2.2.1 Klasifikasi Ascaridia galli

  Nama lain dari A.galli adalah A.perspicillum atau A.lineata. Cacing ini disebut juga Heterakis lineata atau Heterakis inplexa (Schrank, 1780; yang dikutip oleh Hofstad et al. 1984). Soulsby (1986) mengklasifikasikan cacing A.galli secara taksonomi dengan sistematika sebagai berikut :

  Filum : Nemathelmintes Kelas : Nematoda Sub kelas : Phasinidia, Chitwood dan Chitwood (1933) Ordo : Ascaridida, Skrjabin dan Schula (1940) Sub ordo : Ascaridata, Skrjabin (1915) Super famili : Ascaridoedea, Railliet dan Henry (1915) Famili : Ascaridea, Daird (1953) Genus : Ascaridia Spesies : Ascaridia galli

  2.2.2 Habitat dan Morfologi Ascaridia galli merupakan cacing Nematoda unggas yang cukup besar. Bentuk

  tubuhnya gilig dengan warna putih kekuningan yang rata. Mempunyai tiga bibir besar dan esofagusnya tidak mempunyai bulbus posterior (Soulsby, 1986). A.galli menyerang usus halus unggas dan kadang-kadang bisa ditemukan pada esofagus, tembolok, ventrikulus dan saluran telur (Hofstad et al, 1984). Populasi cacing

  

A.galli di dalam usus halus ayam lebih banyak betina daripada jantan (Suweta

dkk, 1980).

  Cacing jantan berukuran panjang 30-80 mm dan diameter 0,5-1,2 mm. Cacing ini mempunyai ciri precloacal sucker berbentuk sirkuler dengan kutikula yang tebal. Mempunyai papila-papila pada tepi tubuh posterior. Bagian ekor mempunyai lapisan yang halus dan memiliki 10 pasang papila yang pendek dan tebal. Spikula sama panjang berukuran 1-2,4 mm. Sedangkan cacing betina berukuran panjang 60-120 mm dengan diameter 0,9-1,8 mm. Vulva terdapat pada bagian anterior tubuh (Levine, 1990).

  2.2.3 Telur Ascaridia galli

  Telur berbentuk oval berukuran 75-80 x 45-50 µm berselubung halus dan tidak bersegmen ketika dikeluarkan. Pada tempat lembab, bersuhu 32,2-38,8 °C dan terhindar dari sinar matahari, telur cacing akan mengalami embryonisasi sehingga menjadi telur infektif (Retno dkk, 1998). Pada kondisi optimal, telur cacing dapat bertahan hidup selama 249 hari dan telur yang infektif dapat bertahan sampai 3 bulan (Urquhart et al, 1987).

2.2.4 Sikus Hidup

  Siklus hidup Ascaridia pada ayam berlangsung 35 hari (Akoso, 1998). Siklus hidup cacing ini tidak membutuhkan induk semang perantara. Penularan cacing tersebut biasanya melalui pakan, air minum, litter atau bahan lain yang tercemar oleh feses yang mengandung telur infektif. Telur A.galli dikeluarkan bersama- sama feses induk semang dan berkembang menjadi stadium infektif di tempat terbuka dalam waktu 10 hari atau lebih. Temperatur yang cukup tinggi serta kelembaban dan kadar oksigen yang tinggi mempercepat perkembangan larva stadium kedua yang sangat resisten terhadap kondisi yang tidak menguntungkan akan mampu bertahan hidup lebih dari 3 bulan di lingkungan yang teduh (Urquhart et al, 1987).

  Infeksi terjadi karena telur infektif tertelan bersama pakan atau minuman, selain itu dapat melalui cacing tanah yang menelan telur A.galli, kemudian cacing tersebut termakan ayam. Telur cacing termakan oleh induk semang akan menetas dan berkembang menjadi larva stadium ke tiga di dalam usus halus ayam pada hari ke delapan setelah infeksi, kemudian larva hidup bebas di dalam usus halus. Pada hari ke 9-10 larva stadium ke tiga menembus mukosa usus halus dan berkembang menjadi larva stadium ke empat pada hari ke 14-15 setelah infeksi (Subekti dkk, 2002). Hari ke 17-18 cacing muda akan keluar dari mukosa menuju lumen usus dan menjadi cacing dewasa pada minggu ke 6-8 (Soulsby, 1986;

  Levine, 1990). Cacing dewasa mulai bertelur pada hari ke 100 dan telur-telur cacing dikeluarkan bersama feses dari induk semang. Seekor cacing dewasa mampu bertelur lebih kurang 250.000 butir setiap hari (Dunn, 1978).

2.2.5 Patogenesis dan Gejala Klinis Infeksi Ascaridia galli

  Penetrasi larva pada mukosa usus akan mengakibatkan kerusakan dinding usus dan perdarahan usus sehingga ayam akan mengalami anemia dan diare. Cacing dewasa dalam usus halus akan memakan isi usus dan merusak mukosa usus. Pada infeksi berat akan menyebabkan penyumbatan lumen usus sehingga mengganggu peristaltik usus dan mengakibatkan perforasi usus serta dapat mengakibatkan kematian dari induk semangnya (Soulsby, 1986). Gejala klinis yang terlihat pada ayam yang menderita Ascaridiasis adalah nafsu makan menurun, lemah, bulu rontok dan kusam, sayap terkulai serta mengakibatkan penurunan produksi dan berat badan (Ramadan, 1991). Soulsby (1986) mengemukakan bahwa gejala klinis yang biasanya tampak pada ayam yang terinfeksi cacing A.galli adalah: 1) pada ayam-ayam muda mengakibatkan terjadinya anemia, diare dan menurunnya nafsu makan yang diakibatkan toksin yang dihasilkan oleh cacing serta rasa haus yang berlebihan; 2) pada ayam yang sedang berproduksi menyebabkan penurunan produksi telur sampai berhenti sama sekali, bulu rontok, kusam, kepucatan dan sayap terkulai, pertumbuhan terganggu pada ayam muda dan kekurusan pada ayam dewasa;

  3) pada infeksi yang berat dapat menyebabkan kematian. Sedangkan gejala patologis pada ayam yang menderita ascaridiasis adalah lesi yang meliputi perdarahan dan enteritis, yang terjadi akibat adanya penetrasi larva cacing pada mukosa duodenum. Ayam yang terinfeksi A.galli dalam jumlah besar akan terjadi kekurangan darah, menurunnya gula darah, peningkatan asam urat, pengecilan glandula thymus, pertumbuhan terhambat, kelemahan, kekurusan, diare dan kadang-kadang terjadi kematian (Tabbu, 2002).

2.2.6 Daya Tahan Ayam terhadap Infeksi Ascaridia galli

  Tiap individu ayam mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap infeksi cacing tergantung umur, jenis kelamin, genetika, kondisi gizi ayam dan jumlah cacing A.galli pada lumen duodenum ayam (Subekti dkk, 2002). Ayam berumur 3 bulan keatas lebih tahan terhadap infeksi cacing A.galli dibanding ayam muda (kurang dari 3 bulan), hal ini karena adanya peningkatan jumlah mukus pada saluran usus halus, peningkatan sel-sel goblet dan sel-sel leukosit pada mukosa usus ini merupakan perkembangan dari respon tubuh untuk membentuk ketahanan terhadap perkembangan cacing (Hofstad et al, 1984). Hewan betina lebih tahan terhadap infeksi cacing Nematoda daripada hewan jantan. Hal ini karena adanya hormon kelamin betina (estrogen) yang dapat menstimulir pembentukan lapisan penutup mukosa pada dinding usus, yang bertindak sebagai penghalang pada infeksi cacing. Di samping itu estrogen juga menstimulir Reticulo Endothelial System (RES) yang bertanggung jawab terhadap pembentukan antibodi {Dobson (1965) yang dikutip Yunus (1994)}.

  Soulsby (1986) menyatakan bahwa makanan yang kurang mengandung vitamin A, vitamin B kompleks, mineral dan protein merupakan faktor predisposisi infeksi A.galli. Faktor predisposisi yang lain adalah populasi ayam yang terlalu padat dan litter yang lembab (Tabbu, 2002).

2.2.7 Pengendalian Infeksi Ascaridia galli

  Ternak ayam diberikan pakan yang cukup mengandung vitamin A, vitamin B kompleks, mineral dan diet protein hewan tinggi. Peralatan kandang terutama tempat pakan dan minum dijaga kebersihannya. Litter kandang dijaga kebersihannya dan diganti secara periodik. Penggunaan kandang individu mengurangi infeksi cacing A.galli. Pemberian obat cacing sekali sebulan untuk mencegahnya (Subekti dkk, 2002). Namun mengingat bahwa lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dari telur A.galli, maka pengendalian yang terbaik terhadap infeksi A.galli adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen yang optimal, meliputi sanitasi atau desinfeksi ketat dan pembasmian lalat (Tabbu, 2002).

2.3 Mebendazol

  Mebendazol diperkenalkan pertama kali pada tahun 1972 sebagai antelmintik berspektrum luas untuk cacing Nematoda dan merupakan turunan dari senyawa benzimidazole sintetik (Anonimus 1995). Cara kerjanya terhadap cacing adalah: 1) menghambat sintesis mikrotubulus sehingga parasit mati perlahan-lahan dan dikeluarkan dari usus secara berangsur- angsur dalam beberapa hari; 2) menghambat glukosa uptake secara irreversibel sehingga terjadi pengosongan (deplesi) glikogen pada cacing; 3) menghambat asetilkolinesterase yang menyebabkan terjadinya pemupukan asetilkolin dalam tubuh cacing sehingga terjadi kekejangan pada tubuh cacing; 4) menurunkan penyediaan Adenosin Tri Phospat (ATP) untuk hidup cacing mengakibatkan mobilitas lemah dan cacing akan mati (Katzung, 1994).

  Mebendazol dapat menimbulkan sterilitas pada telur cacing Trichuris

  trichuria, cacing tambang dan Ascaris sehingga telur cacing gagal berkembang (Anonimus, 1995).

  Mebendazol tidak menyebabkan efek toksik sistemik sehingga aman diberikan pada penderita dengan anemia maupun malnutrisi. Efek samping terhadap pemakaian mebendazol hampir tidak ada, hanya kadang-kadang penderita ascariasis berat terjadi mual, muntah dan nyeri perut. Di pasaran mebendazol ® ® tersedia dalam bentuk tablet dan sirup dengan nama dagang Antelmox , Vermon , ® ®

  Vermoran , Vermox . Untuk terapi larva migrans, mebendazol dapat dicobakan pada dosis 200-400 mg sehari selama 5 hari (Anonimus, 1995).

BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN

  3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

  Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian dimulai pada tanggal 11 Juli 2005 sampai dengan 14 Agustus 2005.

  3.2 Materi Penelitian

  3.2.1 Sampel Penelitian

  Penelitian ini menggunakan telur cacing A.galli yang diperoleh dengan mengumpulkan cacing A.galli dewasa dari usus halus segar ayam buras yang dibeli dari pasar tradisional di Surabaya.

  3.2.2 Bahan Penelitian

  Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas rimpang temulawak, NaCl Fisiologis, Mebendazol sebagai kontrol obat atau pembanding, Aquades dan Tween 80 sebagai suspensator.

  3.2.3 Alat Penelitian

  Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas: parutan, cawan petri, pinset, pipet, gelas Beaker, alat pengaduk, gelas ukur, timbangan, inkubator, termometer, penyaring, sarung tangan dan mikroskop.

3.3 Metode Penelitian

  Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yang meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian sesungguhnya.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthoriza Roxb) TERHADAP HISTOPATOLOGI OTAK PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI DENGAN KONTROL CAPTOPRIL

2 32 26

EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK RIMPANG KUNYIT (Curcuma domestica) TERHADAP Escherichia coli SECARA IN VITRO

0 4 22

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PERASAN RIMPANG Curcuma aeroginosa, Curcuma heyneana, Curcuma xanthorrhiza dan Zingiber aromatica DALAM PENGENDALIAN CACING GELANG (Ascaridia galli) SECARA IN VITRO

0 3 12

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NANAS (Ananas comosus. L merr) VARIETAS QUEEN TERHADAP JUMLAH MORTALITAS CACING PARASIT Ascaridia galli PADAAYAM PETELUR (Gallus sp.) SECARA IN VIVO

0 6 1

EFEK ANALGETIK SARI RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR

0 20 1

UJI DAYA ANTHELMINTIK GETAH PEPAYA (Carica papaya L.) DAN FILTRAT UMBI BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) PADA CACING Ascaridia galli SECARA IN VITRO

0 25 1

PENGARUH PEMBERIAN DEKOK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI LAMBUNG TIKUS PUTIH Rattus norvegicus JANTAN GALUR Sparague dawley YANG DIINDUKSI ASPIRIN

6 35 62

View of UJI EFEKTIVITAS ANTHELMINTIK EKSTRAK RIMPANG BANGLE (Zingiber purpureum Roxb.) TERHADAP CACING Ascaridia galli SECARA IN VITRO

0 0 6

KAJIAN AKTIVITAS TANIN DENGAN PENISILIN TERHADAP BAKTERI Streptococcus pyogenes DAN Pasteurella multocida SECARA IN VITRO Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 99

SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN PERASAN BIJI PEPAYA (Carica papaya Linn) TERHADAP MOTILITAS VIABILITAS DAN INTEGRITAS MEMBRAN SPERMATOZOA SECARA IN VITRO

0 0 84