PENGARUH PEMBERIAN DEKOK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI LAMBUNG TIKUS PUTIH Rattus norvegicus JANTAN GALUR Sparague dawley YANG DIINDUKSI ASPIRIN

(1)

PENGARUH PEMBERIAN DEKOK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI LAMBUNG TIKUS PUTIH Rattus norvegicus JANTAN GALUR Sparague

dawley YANG DIINDUKSI ASPIRIN

Oleh

GINA SONIA BINTARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRACT

THE EFFECT OF TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb) IN GASTRIC HISTOPATHOLOGY VIEW OF MALE WHITE RAT (Rattus

norvegicus) Sprague dawley STRAIN INDUCED BY ASPIRIN

By

GINA SONIA BINTARI

Aspirin induces gastric mucosal cell damage from acute gastritis to gastric ulcers. Curcuma xanthorhiza Roxb has an antioxidant effect which can prevent gastric mucosal cell damage caused by the longterm using of aspirin. The aim of this study is to determine the effects of Curcuma xanthorhiza Roxb in preventing gastric mucosal cell damage of male white rats (Rattus norvegicus) strain Sprague dawley induced by aspirin.

In this study, 25 male Sprague dawley rats were divided randomly into 5 groups and were given treatment for 14 days. Group 1 (normal control, only received standard feed and aquadest), group 2 (positive control, received 90 mg aspirin), group 3 (dosage 1, received 90 mg aspirin and 1,3 g/kg bodyweight Curcuma xanthorhiza Roxb decoction), group 4 (dosage 2, received 90 mg aspirin and 2,6 g/kg bodyweight Curcuma xanthorhiza Roxb decoction), group 5 (dosage 3, received 90 mg aspirin and 5,2 g/kg bodyweight Curcuma xanthorhiza Roxb decoction). After 14 days, we made Hematoxylin and Eosin preparation to observe the microscopic changes of gastric tissue.

The results showed the average of gastric mucosal cell damage in group 1: 0,20±0,45, group 2: 2,40±0,55, group 3: 2,20±0,45, group 4: 1,20±0,45 and group 5: 0,80±0,45. The dose of Curcuma xanthorhiza Roxb decoction which has the highest protective effect of gastric mucosal cell damage in this study is 5,2 g/kg bodyweight.

Key words: Aspirin , Curcuma xanthorhiza Roxb, gastric mucosal cell damage.


(3)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN DEKOK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI LAMBUNG TIKUS PUTIH Rattus norvegicus JANTAN GALUR Sparague

dawley YANG DIINDUKSI ASPIRIN

Oleh

GINA SONIA BINTARI

Aspirin dapat menginduksi terjadinya kerusakan mukosa lambung mulai dari gastritis akut hingga ulkus gaster. Salah satu tanaman yang mengandung senyawa antioksidan adalah temulawak yang dapat mencegah terjadinya kerusakan sel pada mukosa lambung akibat senyawa radikal seperti yang terjadi pada pemakaian aspirin yang berkepanjangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian dekok rimpang temulawak dalam mencegah kerusakan mukosa lambung tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.

Pada penelitian ini, 25 tikus Sparague dawley jantan dibagi dalam 5 kelompok secara acak dan diberi perlakuan selama 14 hari. K1 (kontrol normal yang hanya diberi pakan standar dan aquades), K2 (kontrol positif yang diberi aspirin dengan dosis 90 mg), K3 (diberi aspirin dengan dosis 90 mg dan dekok temulawak dosis 1,3g/kgBB), K4 (diberi aspirin dengan dosis 90 mg dan dekok temulawak dosis 2,6g/kgBB), K5 (diberi aspirin dengan dosis 90 mg dan dekok temulawak dosis 5,2g/kgBB). Setelah 14 hari, tikus diterminasi dan dilakukan pengambilan organ lambung dengan laparotomi. Setelah itu dibuat sediaan Hematoxylin Eosin dan dilakukan pengamatan terhadap kerusakan mukosa lambung.

Hasil penelitian menunjukan bahwa didapatkan hasil rerata kerusakan mukosa lambung pada kelompok 1 yaitu sebesar 0,20±0,45, kelompok 2 sebesar 2,40±0,55, kelompok 3 sebesar 2,20±0,45, kelompok 4 sebesar 1,20±0,45 dan kelompok 5 sebesar 0,80±0,45. Dosis dekok rimpang temulawak yang memiliki efek proteksi paling tinggi dalam mencegah kerusakan mukosa lambung tikus adalah 5,2 g/kgBB.


(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I . PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kerangka Teori ... 5

F. Kerangka Konsep ... 8

G. Hipotesis ... 9

II . TINJAUAN PUSTAKA A. Lambung ... 10

1. Anatomi ... 10

2. Histologi Lambung ... 13

a. Mukosa ... 14

b. Kardia ... 14


(6)

d. Pilorus ... 15

e. Lapisan Lambung Lain ... 16

3. Ketahanan Mukosa Lambung... 16

a. Mukosa dan Bikarbonat ... 16

b. Resistensi Mukosa ... 17

c. Aliran Darah Mukosa ... 17

d. Prostaglandin dan Beberapa Faktor Pertumbuhan ... 18

4. Kerusakan Pada Mukosa Lambung ... 18

a. Gastritis Akut ... 20

b. Gastritis Kronis ... 21

c. Ulkus Gaster ... 21

B. Aspirin ... 22

1. Farmakodinamik Aspirin... 23

2. Farmakokinetik Aspirin... 23

3. Mekanisme Aspirin Merusak Mukosa Lambung ... 24

C. Temulawak ... 27

1. Taksonomi ... 27

2. Fisiologi Temulawak ... 28

3. Khasiat Temulawak Terhadap Lambung ... 30

D. Tikus Putih Galur Sprague dawley ... 31

1. Klasifikasi ... 31

2. Tikus Sprague dawley ... 32

3. Histologi Lambung Tikus... 33


(7)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian ... 35

B. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 36

C. Populasi dan Sampel ... 36

D. Bahan dan Alat Penelitian ... 37

E. Prosedur Penelitian ... 39

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 47

G. Analisis Data ... 49

H. Ethical Clearance... 49

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil……… 51

1. Gambaran Histopatologi Kerusakan Lambung Tikus... 51

2. Analisis Mikroskopik Kerusakan Lambung Tikus... 55

B. Pembahasan ... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 65

B. Saran... 65

DAFTAR PUSTAKA... 66


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori... 7

2. Kerangka Konsep ... 8

3. Anatomi Lambung Manusia ... 10

4. Arteri Gaster ... 11

5. Penyaluran vena Gaster ... 12

6. Potongan Lambung ... 13

7. Penyebab dan Pertahanan Mukosa Lambung ... 20

8. Mekanisme Aspirin Merusak Mukosa Lambung ... 26

9. Rimpang Temulawak ... 27

10.Bagan Alur Penelitian ... 46

11.Gambaran Histopatologi Mukosa Lambung Tikus Kelompok 1 ... 52

12.Gambaran Histopatologi Mukosa Lambung Tikus Kelompok 2 ... 53

13.Gambaran Histopatologi Mukosa Lambung Tikus Kelompok 3 ... 53

14.Gambaran Histopatologi Mukosa Lambung Tikus Kelompok 4 ... 54


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi Operasional ... 48 2. Hasil pengamatan kerusakan lambung pada lima kelompok... 56 3. Analisis Shapiro-Wilk kerusakan mukosa lambung...57 4. Analisis Post Hoc perbandingan kerusakan lambung antar


(10)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

NSAID (non-steroidal antiinflamatory drugs) merupakan obat yang memiliki aktifitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase. Salah satu contoh golongan obat antiradang bukan steroid adalah aspirin (Katzung, 2011).

Penggunaan aspirin selain sebagai antiradang untuk penyakit arthritis rheumatoid dengan dosis dewasa 4 sampai 6 gram sehari, juga dapat digunakan sebagai antipiretik dan analgesik dengan dosis dewasa sebesar 325 sampai 650 mg setiap 4 jam, namun hanya efektif terhadap nyeri intensitas rendah sampai sedang. Aspirin juga memiliki efek antikoagulan dengan dosis 40 sampai 80 mg per hari sehingga sering digunakan untuk penanganan atau profilaksis penyakit yang disebabkan oleh hiperagregabilitas platelet, seperti penyakit arteri koroner dan trombosis vena-dalam pascaoperasi (Brunton et al., 2006).

Selain memiliki banyak aktivitas terapeutik, aspirin mempunyai beberapa efek samping, yang paling umum adalah kecenderungan mengakibatkan gangguan pada saluran cerna dimulai dari dispepsia ringan dan nyeri ulu hati sampai ulkus lambung dan duodenum. Efek samping ini dapat timbul


(11)

pada minggu-minggu pertama pemberian aspirin dengan dosis 4-5 gram sehari. Namun, untuk tahap ulkus lambung dibutuhkan waktu lebih lama lagi (Brunton, 2006). Diperkirakan, sekitar empat puluh lima persen hingga enam puluh persen pemakaian aspirin mengalami ulkus gaster, perdarahan dan perforasi. Dua belas persen terjadi pada pasien yang menggunakan aspirin selama 3 bulan, dan sekitar dua puluh lima persen terjadi pada mereka yang menggunakan selama 1 tahun (Waranugraha dkk., 2010).

Efek samping yang ditimbulkan oleh aspirin diakibatkan karena penghambatan sintesis prostaglandin. Prostaglandin ini berfungsi sebagai sitoprotektif, karena kadarnya yang menurun dapat menimbulkan ketidakseimbangan faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (Mukus dan bikarbonat, aliran darah, regenerasi epitel) serta menimbulkan adhesi neutrofil pada endotel pembuluh darah yang memacu lebih jauh proses imunologik yang dapat mengakibatkan pelepasan radikal bebas sehingga menambah kerusakan mukosa lambung (Das & Roy, 2012).

Antioksidan dapat mencegah terjadinya kerusakan sel pada mukosa lambung akibat radikal bebas sebagai bahan sampingan fagositosis seperti yang terjadi pada pemakaian aspirin yang berkepanjangan (Wahyudi, 2006). Salah satu tanaman yang mengandung senyawa antioksidan adalah temulawak. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) termasuk famili Zingiberaceae dengan bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang dan


(12)

merupakan tanaman asli Indonesia, banyak ditemukan terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Yogyakarta, Bali, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan (Prana, 2008).

Komponen senyawa yang bertindak sebagai antioksidan dari rimpang temulawak adalah flavonoid, fenol dan kurkumin (Jayaprakhasha, 2006). Selain itu rimpang temulawak juga mengandung pati, kurkuminoid, serat kasar, abu, protein, mineral, minyak atsiri yang terdiri dari d-kamfer, siklo isoren, mirsen, tumerol, xanthorrhizol, zingiberen, zingeberol (Wijayakusuma, 2007). Dari uji praklinik temulawak dapat dipergunakan sebagai obat antioksidan, hepatoproteksi, anti-inflamasi, antikanker, antidiabetes, antimikroba, antihiperlipidemia, anti kolera, anti bakteri, (Fatmawati, 2008).

Melihat hal tersebut, peneliti ingin mengetahui pengaruh temulawak dalam mencegah kerusakan mukosa lambung tikus yang diinduksi oleh aspirin.

B. Rumusan Masalah

Aspirin mempunyai efek samping merusak mukosa lambung dengan cara menekan produksi prostaglandin dari jalur siklooksigenase yang berfungsi sebagai sitoprotektif. Keadaan tersebut membuat faktor agresif dan defensif tidak seimbang sehingga asam lambung yang bersifat iritatif dapat merusak mukosa lambung dan proses imunologik dari proses inflamasi tersebut dapat membentuk radikal bebas. Untuk itu dibutuhkan


(13)

senyawa antioksidan yang dapat mengatasi keadaan tersebut. Senyawa antioksidan dari temulawak seperti flavonoid, kurkumin, dan fenol diperkirakan merupakan senyawa yang dapat menangkap radikal bebas tersebut sehingga mencegah kerusakan sel. Maka rumusan masalah yang timbul adalah:

1. Apakah pemberian dekok rimpang temulawak dapat mencegah kerusakan mukosa lambung pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.

2. Apakah peningkatan dosis dekok rimpang temulawak dapat meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan mukosa lambung tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Mengetahui pengaruh pemberian dekok rimpang temulawak dalam mencegah kerusakan mukosa lambung tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.

2. Tujuan khusus

Mengetahui apakah peningkatan dosis dekok rimpang temulawak dapat meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan mukosa lambung tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.


(14)

D. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (FK Unila).

Meningkatkan penelitian dibidang agromedicine sehingga dapat menunjang pencapaian visi FK Unila sebagai fakultas kedokteran sepuluh terbaik di Indonesia pada tahun 2025 dengan kekhususan agromedicine .

2. Bagi masyarakat.

Memperluas wawasan di bidang kesehatan dan memberikan informasi tambahan bahwa rimpang temulawak bermanfaat untuk mencegah kerusakan lambung.

3. Bagi peneliti.

Menambah ilmu pengetahuan dan dapat membuktikan bahwa rimpang temulawak memiliki efek proteksi terhadap kerusakan mukosa lambung.

E. Kerangka Teori

Efek samping aspirin terhadap kerusakan lambung dapat terjadi melalui dua cara yaitu secara topikal dan sistemik. Efek topikal OAINS/Aspirin terjadi karena aspirin yang bersifat asam dan lipofilik, sehingga memudahkan obat masuk bersama H+ dan terperangkap di dalam sel. Selanjutnya terjadi pembengkakan disertai proses inflamasi dan akan terjadi kerusakan sel epitel (Philipson et al., 2008). Peran faktor agresif


(15)

seperti asam lambung dan pepsin akan memperberat lesi mukosa karena bertambahnya proses radang yang terjadi. Efek topikal ini akan diikuti oleh efek sistemik dalam menghambat produksi prostaglandin melalui jalur COX-1 dan COX-2 (Lichtenberger et al., 2007). Hambatan pembentukan prostaglandin sebagai sitoprotektor dari COX-1 akan menurunkan ketahanan mukosa lambung yang menyebabkan mukosa lambung rentan terjadi kerusakan. Penghambatan COX-2 dapat menginduksi adhesi neutrofil yang menimbulkan obstruksi kapiler serta produksi radikal bebas berlebih dari fagositosis akibat aktifasi neutrofil (Wallace & Vong, 2008).

Rimpang temulawak diduga memiliki senyawa antioksidan yaitu flavonoid, fenol dan kurkumin. Antioksidan tersebut dapat menangkap radikal bebas dari hasil fagositosis agar peroksidasi lipid tidak terjadi. Penangkapan radikal bebas dari sampingan aktifitas fagositosis akan mencegah kerusakan lambung yang lebih parah (Jayaprakarsa, 2006).


(16)

Keterangan :

Memicu Menghambat

Gambar 1. Proses Temulawak Menghambat Kerusakan Lambung. aspirin

Sistemik

Obat dan H+ masuk ke dalam sel Penghambatan produksi prostaglandin Pembengkakan serta inflamasi

Kerusakan atau erosi mukosa lambung sampai terjadi ulkus

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Kandungan : Pati, minyak atsiri. kurkumin, flavonoid, fenol.

Efek antioksidan Topikal

COX 1 COX 2

Menurunka n ketahanan mukosa lambung Adhesi neutrofil dan pembentuka n radikal Flavonoid Fenol Kurkumin


(17)

F. Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

keterangan :

: Mempengaruhi ++++ : Ulkus gaster

+++ : Erosi mukosa gaster

++ : Inflamasi

+ : Sembuh

Gambar 2. Diagram Kerangka Konsep. G. Hipotesis

1. Pemberian dekok rimpang temulawak dapat mencegah kerusakan mukosa lambung tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.

2. Peningkatan dosis dekok rimpang temulawak dapat meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan mukosa lambung tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.

Induksi aspirin 90 mg

Kerusakan mukosa lambung: _

++++ +++ ++ + Aspirin 90 mg +

dekok Temulawak 1,3 Aspirin 90 mg + dekok Temulawak 2,6 Aspirin 90 mg + dekok Temulawak 5,2 Kontrol normal


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lambung

1. Anatomi.

Lambung adalah perluasan organ berongga besar menyerupai kantung dalam rongga peritoneum yang terletak diantara esofagus dan usus halus. Dalam keadaan kosong, lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Lambung terdiri dari antrum kardia (yang menerima esofagus), fundus besar seperti kubah, badan utama atau korpus dan pylorus (Price & Wilson, 2006)

Gambar 3. Anatomi Lambung manusia (Moore et al, 2010) Perdarahan lambung berasal dari arteri gastrica sinistra yang berasal dari truncus coeliacus, arteri gastric dekstra yang dilepaskan dari arteri hepatica, arteri gastroepiploica cabang dari arteri gastricaduodenalis,


(19)

arteri gastroepiploica cabang dari arteri gastricaduodenalis, arteri gastro-omentalis yang berasal dari arteri splenica, dan arteri gastrica breves berasal dari distal arteri splenica (Moore et al., 2010).

Gambar 4. Arteri-arteri gaster (Moore et al., 2010).

Vena-vena lambung mengikuti arteri-arteri yang sesuai dalam hal letak dan lintasan. Vena gastrica dekstra dan vena-vena gastrica sinistra mencurahkan isinya ke dalam vena porta hepatis, dan vena gastrica breves dan vena gastro-omentalis membawa isinya ke vena splenica yang bersatu dengan vena mesentrika superior untuk membentuk vena porta hepatis. Vena gastro-omentalis dekstra bermuara dalam vena mesentrica superior (Moore et al., 2010).


(20)

Gambar 5. Penyaluran vena-vena gaster (Moore et al., 2010) Pembuluh limfe lambung mengikuti arteri sepanjang curvatura mayor dan curvatura gastric minor. Pembuluh-pembuluh ini menyalurkan limfe dari permukaan ventral dan permukaan dorsal lambung kedua curvatura tersebut utuk dicurahkan ke dalam nodi lymphoidei gastroepiploici yang tersebar ditempat tersebut. Pembuluh eferen dari kelenjar limfe ini mengikuti arteri besar ke nodi lymphoidei coeliaci (Moore et al., 2010). Persarafan lambung parasimpatis berasal dari truncus vagalis anterior dan truncus vagalis posterior serta cabangnya. Persarapan simpatis berasal dari segmen medula spinalis T6-T9 melalui plexus coeliacus dan disebarkan melalui plexus sekeliling arteria gastrica dan arteria gastro-omentalis (Moore et al., 2010).


(21)

2. Histologi Lambung

Lambung adalah organ endokrin-eksokrin campuran yang mencerna makanan dan mensekresi hormon. Lambung adalah bagian saluran cerna yang melebar dengan fungsi utama menambahkan cairan asam pada makanan yang masuk, mengubahnya melalui aktifitas otot menjadi massa kental (khimus) dan melanjutkan proses pencernaan yang telah dimulai dalam rongga mulut dengan menghasilkan enzim proteolitik pepsin. Lambung juga membentuk lipase lambung yang menguraikan trigliserida dengan bantuan lipase lingual (Junqueira et al., 2007).

Gambar 6. Potongan lambung (Junqueira et al., 2007).

Pada pemeriksaan mikroskopis dapat dibedakan menjadi empat daerah : kardia, fundus, korpus dan pilorus. Bagian fundus dan korpus memiliki struktur mikroskopis yang identik, sehingga secara histologi hanya ada tiga daerah. Mukosa dan submukosa lambung yang tidak


(22)

direnggangkan tampak makanan, maka lipatan ini akan merata (Junqueira et al., 2007).

a. Mukosa

Mukosa lambung terdiri atas epitel permukaan, lamina propia, dan mukosa muskularis. Permukaan lumen mukosa ditutupi epitel selapis silindris. Epitel ini juga meluas kedalam dan melapisi foveola gastrica yang merupakan invaginasi epitel permukaan. Di daerah fundus lambung, foveola ini tidak dalam dan masuk kedalam mukosa sampai kedalaman seperempat tebalnya. Di bawah epitel permukaan terdapat lapisan jaringan ikat longgar, yaitu lamina propia, yang mengisi celah diantara kelenjar gastrika. Lapisan luar mukosa dibatasi selapis tipis otot polos yaitu mukosa muskularis yang terdiri atas lapisan sirkuler didalam dan longitudinal diluar. Berkas serat otot polos dan mukosa muskularis meluas dan terjulur ke dalam lamina propria diantara kelenjar lambung ke arah epitel permukaan (Junqueira et al., 2007).

b. Kardia

Kardia adalah sabuk melingkar sempit selebar 1,5-3cm pada peralihan antara esofagus dan lambung. Lamina propria nya mengandung kelenjar kardia tubular simpleks atau bercabang. Bagian terminal kelenjar ini banyak sekali bergelung dan sering dengan lumen lebar. Hampir semua sel sekresi menghasilkan


(23)

mucus dan lisozim, tetapi terlihat beberapa sel parietal (yang menghasilkan HCL). Struktur kelenjar ini serupa dengan kelenjar kardia bagian akhir esofagus (Junqueira et al., 2007).

c. Fundus dan Korpus

Lamina propria di daerah ini terisi kelenjar lambung. Penyebaran sel-sel epitel pada kelenjar lambung tidak merata. Bagian leher terdiri atas sel-sel pra kembang dan sel mukosa leher, sedangkan bagian dasar kelenjar mengandung sel parietal (oksitik), sel zimogen (chief cell) dan sel enteroendokrin. Sel parietal berupa sel bulat atau berbentuk piramid, dengan satu inti bulat ditengah, dengan sitoplasma yang sangat eosinofilik dan membentuk kanalikulus intraseluler (Junqueira et al., 2007).

d. Pilorus

Kelenjar pilorus lambung adalah kelenjar mukosa tubular bercabang atau bergelung. Kelenjar ini mengeluarkan mukus dan cukup banyak lisozim. Sel gastrin (G) yang melepaskan gastrin, tersebar diantara sel-sel mukosa dari kelenjar pilorus. Gastrin yang merangsang pengeluaran asam oleh sel parietal dari kelenjar lambung. Sel enteroendokrin lain (sel D) mengeluarkan somatostatin yang menghambat pelepasan hormon lain termasuk gastrin (Eroschenko, 2003).


(24)

Submukosa adalah lapisan tepat dibawah mukosa muskularis. Pada lambung kosong, lapisan ini meluas sampai ke dalam lipatan atau rugae. Submukosa mengandung jaringan ikat tidak teratur yang lebih padat dengan lebih banyak serat kolagen dibandingkan dengan lamina propria. Muskularis mukosa tampak jelas pada sediaan lambung, terdiri atas dua lapis otot polos yaitu lapisan sirkular dalam dan longitudinal luar (Junqueira et al., 2007).

3. Ketahanan Mukosa Lambung

Menurut Enaganti (2006) ketahanan mukosa lambung (sering disebut sitoproteksi) memegang peranan untuk mempertahankan integritas mukosa lambung dari bahan berbahaya (faktor agresif) secara endogen yaitu asam klorida, pepsin dan garam empedu, maupun secara eksogen seperti obat, alkohol dan bakteri. Sistem pertahanan tersebut terdiri atas :

a. Mukus dan Bikarbonat (mucous barrier)

Pada mukosa lambung dan duodenum diproduksi mukus (glikoprotein) dan bikarbonat. Lapisan mukus ini melapisi permukaan mukosa dengan tebal 2-3 kali tinggi sel epitel permukaan. Mukus dan bikarbonat berfungsi melindungi mukosa terhadap pengaruh asam dan pepsin, empedu dan zat perusak luar. Salisilat dan analgetik non steroid lain dapat merusak lapisan mukus ini (Robbins et al., 2007).


(25)

b. Resistensi Mukosa (mucosal resistance, barrier)

Faktor yang berperan disini adalah daya regenerasi sel (cell turn over), potensial listrik membran mukosa dan kemampuan penyembuhan luka. Cairan empedu dan salisilat dapat menurunkan potensial listrik membran mukosa. Kerusakan atau kehilangan sel akan segera dikompensasi dengan mitosis sel, sehingga keutuhan permukaan mukosa dipertahankan (Enaganti, 2006).

Kemampuan proliferasi sel mukosa sangat penting untuk mempertahankan keutuhan mukosa dan penyembuhan lesi mukosa. Pada penderita dengan lesi mukosa akut dalam waktu singkat akan terjadi proliferasi sel untuk menutupi lesi (Johnson et al., 2007). c. Aliran Darah Mukosa (mikrosirkulasi)

Aliran darah mukosa yang menjamin suplai oksigen dan nutrisi yang adekuat adalah penting untuk ketahanan mukosa. Setiap penurunan aliran darah baik lokal maupun sistemik akan menyebabkan anoksia sel, penurunan ketahanan mukosa dan memudahkan terjadinya ulserasi (Ramakrishnan & Salnas, 2007). Penurunan perfusi darah pada mukosa lambung memegang peranan penting dalam patofisiologi ulkus akibat stress (stress ulser) pada syok, sepsis, trauma berat dan sebagainya. Pada orang tua dengan ulkus lambung ternyata disertai arteriosklerosis dan atrofi mukosa, keadaan ini yang mempermudah kerusakan mukosa lambung (Toruner, 2007).


(26)

d. Prostaglandin dan Beberapa Faktor Pertumbuhan

Disamping ketiga faktor tersebut diatas, ternyata Prostaglandin (PG) yang dihasilkan mukosa lambung dan duodenum mempunyai peranan penting dalam ketahanan mukosa (efek sitoprotektif). Peranan PG tersebut antara lain meningkatkan sekresi mukus dan bikarbonat, mempertahankan pompa sodium, stabilisasi membran sel dan meningkatkan aliran darah mukosa. Komponen lain yang akan memelihara ketahanan mukosa adalah epidermal growth factor (EGF) dan transforming growth factor alpha (TGF-α). Kedua peptida ini pada lambung akan meningkatkan produksi mukus dan menghambat produksi asam (Philipson et al., 2008).

4. Kerusakan Pada Mukosa Lambung

Pada keadaan normal, asam lambung dan pepsin tidak akan menyebabkan kerusakan mukosa lambung dan duodenum. Bila oleh karena sesuatu sebab ketahanan mukosa rusak (misalnya karena salisilat, empedu, iskemia mukosa) maka akan terjadi difusi balik H+ dari lumen masuk ke dalam mukosa. Difusi balik H+ akan menyebabkan reaksi berantai yang dapat merusak mukosa lambung dan menyebabkan pepsin dilepas dalam jumlah besar (Enaganti, 2006).

Na+ dan protein plasma banyak yang masuk kedalam lumen dan terjadi pelepasan histamin. Selanjutnya terjadi peningkatan sekresi


(27)

asam lambung oleh sel parietal, peningkatan permeabilitas kapiler, oedema dan perdarahan. Di samping itu akan merangsang parasimpatik lokal akibat sekresi asam lambung makin meningkat dan tonus muskularis mukosa meninggi, sehingga kongesti vena makin hebat dan menyebabkan perdarahan. Keadaan ini merupakan lingkaran setan yang menyebabkan kerusakan mukosa makin berlanjut, dapat terjadi erosi superfisial atau ulserasi (Tarnawski, 2005).

Iritasi pada mukosa yang berlangsung lama menyebabkan kerusakan mukosa yang berulang-ulang sehingga dapat terjadi radang lambung kronis dan tukak lambung. Hal ini terjadi misalnya pada pecandu alkohol, perokok, pengguna analgetik non steroid jangka panjang dan refluks empedu. Keadaan serupa terjadi juga pada fungsi pengosongan lambung yang lambat, sehingga mukosa lambung kontak lama dengan isi lambung (Sibuea dkk., 2005).


(28)

Gambar 7. Penyebab dan pertahanan kerusakan mukosa lambung (Robbins et al., 2007).

a. Gastritis Akut

Gastritis akut merupakan peradangan mukosa lambung yang disebabkan oleh iritan lokal seperti NSAID, kafein, alkohol, endotoksin bakteri. Bahan-bahan tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung, meninggalkan daerah epitel yang gundul (Price & Wilson, 2006). Peradangan mungkin disertai perdarahan ke dalam mukosa, terdapat edema mukosa, infiltrat peradangan neutrofil dan terlepasnya epitel mukosa superfisialis (erosi) (Robbins et al., 2007).

b. Gastritis Kronis

Gastritis kronis didefinisikan sebagai peradangan mukosa kronis yang akhirnya menyebabkan atrofi mukosa dan metaplasia epitel (Robbins, 2007). Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa mempunyai permukaan yang rata (Price & Wilson, 2006).

Gastritis kronis dibagi menjadi dua kategori yaitu gastritis tipe A dan tipe B. Tipe A sering disebut sebagai Gastritis auto imun diakibatkan dari perubahan dari sel parietal, yang menimbulkan atropi dan infiltrasi seluler. Hal ini dihubungkan dengan penyakit


(29)

auto imun seperti anemia pernisiosa dan terjadi pada fundus atau korpus dari lambung. Tipe B kadang disebut sebagai Helicobacter Pylory mempengaruhi antrium dan pilorus (ujung bawah dekat dedenum). Ini dihubungkan dengan bakteri Helicobacter Pylory (H. Pylory) (Price & Wilson, 2006).

Apapun penyebabnya peradangan terdiri atas infiltrat limfosit dan sel plasma di lamina propria, kadang disertai peradangan neutrofilik di region lubang leher mukosa (Robbins et al., 2007).

c.Ulkus Gaster

Ulkus gaster adalah defek pada mukosa lambung yang meluas melalui mukosa muskularis hingga submukosa atau lebih dalam. Keadaan tersebut dapat terjadi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pertahanan mukosa lambung dan faktor agresif (Price & Wilson, 2006).

Salah satu penyebabnya adalah pemakaian NSAID melalui inhibisi sintesis prostaglandin yang mengurangi pembentukan musin dan bikarbonat. Berkurangnya musin menyebabkan sawar mukosa, yang secara normal mencegah asam mencapai epitel melemah. Sebagian NSAID akhirnya dapat masuk ke dalam mukosa yang menyebabkan iritasi mukosa lambung. NSAID pun dapat mengganggu angiogenesis sehingga penyembuhan luka terganggu (Wallace & Vong, 2008). Secara mikroskopik terlihat gambaran defek di mukosa yang menembus paling sedikit hingga submukosa


(30)

dan sering hingga muskularis propria atau lebih dalam (Robbins et al., 2007).

B. Aspirin

Aspirin adalah prototipe dari grup OAINS yang paling banyak digunakan. (Katzung, 2011). Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin mempunyai efek terapeutik seperti antipiretik dan analgesik dengan dosis 325 sampai 650 mg untuk dewasa dan efek anti-inflamasi yang sering digunakan untuk penanganan artrirtis rheumatoid dengan dosis 4 sampai 6 gram sehari, serta mempunyai efek antikoagulan dengan dosis 40 sampai 80 mg per hari (Brunton et al., 2006).

1. Farmakodinamik Aspirin

Sediaan aspirin memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin dari asam arakhidonat melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase (Katzung, 2011). Asam arakhidonat mulanya merupakan komponen normal yang disimpan pada sel dalam bentuk fosfolipid dan dibebaskan dari sel penyimpan lipid oleh asil hidrosilas (Wallace & Vong, 2008). Terdapat dua jalur utama reaksi-reaksi yang dialami oleh asam arakidonat pada metabolismenya yaitu jalur siklooksigenase serta jalur lipooksigenase. Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin,


(31)

prostasiklin dan tromboksan, sementara jalur lipoksigenase menghasilkan leukotrin (Robbins et al., 2007).

Prostaglandin yang dihasilkan melalui jalur siklooksigenase berperan dalam proses timbulnya nyeri, demam dan reaksi-reaksi peradangan. Serta merupakan sitoprotektor yang melindungi lambung dari faktor agresif (asam lambung dan pepsin) (Sibuea dkk., 2005).

2. Farmakokinetik aspirin

Aspirin diabsorpsi dengan cepat dan praktis lengkap terutama di bagian pertama duodenum. Namun, karena bersifat asam sebagian zat diserap pula di lambung. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam salisilat terutama dalam hati (Tjay & Rahardja, 2007). 1. Mekanisme Aspirin Merusak Mukosa Lambung

Patofisiologi utama kerusakan gaster akibat OAINS adalah disrupsi fisiokimia pertahanan mukosa gaster dan inhibisi sistemik terhadap pelindung mukosa gaster melalui inhibisi aktivitas Cyclooxygenase (COX) mukosa gaster (Wallace & Vong, 2007).

Gangguan pencernaan yang dapat timbul dimulai dari dispepsia ringan dan nyeri ulu hati sampai ulser lambung dan duodenum (Price & Wilson, 2006). Efek samping tersebut mucul pada minggu-minggu pertama pemakaian dengan dosis besar yaitu 4 sampai 5 gram sehari (Brunton et al., 2006) yang sering digunakan pada terapi raumatoid


(32)

arthritis. Mekanisme aspirin dalam merusak mukosa lambung terdiri dari dua cara yaitu topikal dan sistemik (Katzung, 2011).

Efek topikal terjadi karena aspirin yang bersifat asam dan lipofilik, sehingga memudahkan obat masuk bersama H+ dan terperangkap di dalam sel. Selanjutnya terjadi pembengkakan disertai proses inflamasi dan akan terjadi kerusakan sel epitel tersebut (Philipson et al., 2008). Peran faktor agresif seperti asam lambung dan pepsin akan memperberat lesi mukosa karena bertambahnya proses radang yang terjadi. Efek topikal ini akan diikuti oleh efek sistemik dalam bentuk hambatan produksi prostaglandin melalui jalur COX-1 dan COX-2 (Lichtenberger et al., 2007).

Prostaglandin dalam lambung merupakan sitoprotektor, akibat sintesisnya yang berkurang karena hambatan aspirin maka ketahanan mukosa (faktor defensif) lambung terganggu oleh faktor agresif (HCL, pepsin, OAINS dll) (Sibuea dkk., 2005).

Hambatan sintesis prostaglandin dari COX-1 oleh aspirin dapat mempengaruhi faktor defensif mukosa lambung (Robbins et al., 2007). Penurunan kadar prostaglandin dari jalur COX-1 akan menurunkan produksi mukus yang menjaga mukosa dari faktor iritan. Saat produksi mukus melemah, difusi asam lambung serta terperangkapnya obat aspirin ke dalam mukosa mudah terjadi. Sehingga terjadilah efek topikal aspirin yang berakibat reaksi inflamasi (Price & Wilson, 2006).


(33)

Produksi prostaglandin dari jalur COX-1 juga menghambat aliran darah sehingga proses penyembuhan terganggu (Wallace & Vong, 2008). Hambatan sintesis prostaglandin dari jalur COX-2 juga dapat merusak mukosa lambung. Pemakaian aspirin dapat menginduksi adhesi neutrofil di sel endotel pembuluh darah. Proses ini terjadi karena naiknya kadar tumor necrosis factor alpha (TNF-α) akibat sintesis PGE2 yang menurun dari jalur COX-2. Kenaikan kadar TNF-α akan menginduksi pengeluaran molekul adhesi endotel yaitu intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1) yang akan menambah melekat kuatnya neutrofil pada sel endotel sebelum masuk ke ruang ekstravaskuler (Wallace & Vong, 2008).

Apabila terjadi ekstravasasi neutrofil maka akan mengaktifasi neutrofil untuk melakukan fagositosis dan menimbulkan kerusakan mukosa melalui pembentukan oksigen radikal, nitrogen reaktif dan protease. Radikal bebas ini akan menginduksi lipid peroksidase yang akan mempengaruhi lemak tak jenuh pada dinding sel epitel melalui proses stres oksidatif dan akan berakibat gangguan permeabilitas dinding sel sehingga timbul kerusakan sel (Kaneko et al., 2007).


(34)

Cox-1 topikal Cox-2

Prostaglandin yang : prostaglandin memicu:

sekresi mukus edema aliran darah mukosa demam agregasi platelet nyeri

penyembuhan penurunan difusi adhesi

faktor defensif H+ neutrofil

hambatan aliran darah pembentukan radikal bebas

Gambar 8. Mekanisme Aspirin Merusak Mukosa Lambung (Wallace & Vong, 2008).

C. Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.)

Temulawak yang mempunyai nama ilmiah Curcuma xanthorrhiza Roxb adalah tanaman obat-obatan yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberacea). Temulawak banyak ditemukan di hutan-hutan daerah tropis. Temulawak juga berkembang biak di tanah tegalan sekitar pemukiman, teutama pada tanah yang gembur, sehingga buah rimpangnya mudah berkembang menjadi besar. Daerah tumbuhnya selain di dataran rendah juga dapat tumbuh baik sampai pada ketinggian tanah 1.500 meter di atas permukaan laut (Afifah, 2005).

Aspirin

Proteksi Gi inflamasi


(35)

Gambar 9. Rimpang Temulawak (Itanursari, 2009)

1. Taksonomi

Menurut Wijayakusuma (2007) klasifikasi temulawak adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae. Kelas : Monocotyledonae. Ordo : Zingiberales. Keluarga : Zingiberaceae.

Genus : Curcuma.

Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb. 2. Fisiologis Temulawak

Kandungan kimia rimpang temulawak sebagai sumber bahan pangan, bahan baku obat industri atau bahan baku obat dapat dibedakan atas beberapa fraksi yaitu fraksi pati, fraksi kurkuminoid dan fraksi minyak


(36)

atsiri (Ravindran, 2005). Selain ketiga fraksi di atas, masih terdapat kandungan lain dalam rimpang temulawak, yaitu lemak, serat kasar, protein, flavonoid dan senyawa fenol (Ravindran & Babu, 2005). Pati rimpang temulawak merupakan salah satu kandungan dalam jumlah yang cukup besar, berbentuk serbuk warna putih kekuningan karena mengandung kurkuminoid. Kadar pati dalam rimpang temulawak bervariasi antara 48% hingga 54% tergantung pada ketinggian tempat tumbuh. Makin tinggi tempat tumbuh, makin rendah kadar patinya (Sugiharto, 2004).

Kurkuminoid pada rimpang temulawak terdiri dari dua komponen yaitu kurkumin dan desmetoksikurkumin, mempunyai warna kuning atau kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit. Kurkumioid mempunyai aroma yang khas, tidak bersifat toksik (Sidik, 2006). Menurut Fatmawati (2008), kurkumin rimpang temulawak berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol darah dan mencegah pembentukan lemak dalam sel hati. Kurkumin sendiri merupakan molekul dengan kadar polifenol yang rendah namun memiliki aktivitas biologi yang tinggi sebagai antioksidan serta bersifat antiinflamasi karna dapat menekan pembentukan Nuclear Factor Kappa-B (NF-kB) yaitu suatu molekul transkripsi sitokin peradangan (Jian et al., 2005).

Minyak atsiri merupakan senyawa yang dapat meningkatkan produksi getah bening. Kandungan kimia minyak atsiri antara lain feladren,


(37)

kamfer, tumerol, tolil-metilkarbinol, arkurkumen, zingiberen, kuzerenon, germekon, serta xanthorrhizol. Minyak atsiri juga dapat digunakan sebagai antibakteri spektrum luas (Hwang, 2004).

Selain senyawa diatas, flavonoid dan fenol yang dimiliki temulawak juga merupakan senyawa antioksidan. Fenol dan flavonoid merupakan antioksidan dari golongan antioksidasi pemutus rantai yang akan memotong perbanyakan reaksi berantai sehingga akan mengendalikan dan mengurangi peroksidasi lipid manusia dimana peroksidasi lipid merupakan reaksi rantai dengan berbagai efek yang berpotensial merusak jaringan (Priyanto, 2007).

3. Khasiat Temulawak Terhadap Lambung.

Rimpang temulawak dapat digunakan sebagai obat antioksidan, aktifitas tersebut disebabkan karena adanya senyawa flavonoid, fenol serta kurkumin (Jayaprakasha et al., 2006). Antioksidan intraselular, seperti glutation melindungi mukosa lambung dari stres oksidatif dari fagositosis, ketika sistem pertahanan antioksidan tidak mencukupi, radikal bebas menyebabkan kerusakan membran sel, kerusakan oksidatif dan kematian sel juga terjadi terus-menerus (Repetto & Llesuy., 2002).

Aktivitas antioksidan flavonoid, kurkumin dan fenol adalah efisien dalam menjebak anion superoksida (O2.), radikal hidroksil (OH.), peroksil (ROO.), alkoksil (RO.) yang terbentuk dari hasil sampingan


(38)

aktivitas fagositosis (Lacasa et al., 2000). Selain itu, flavonoid juga menstabilisasi membran dan mempengaruhi beberapa proses metabolisme intermediet dan menginhibisi peroksidasi lipid. Flavonoid dapat meningkatkan kandungan prostaglandin mukosa dan mukus di mukosa lambung dengan menstimulasi COX-1, menunjukkan efek sitoprotekti, mengurangi sekresi asam mukosa, serta inhibisi produksi pepsinogen (Lacasa et al., 2000).

Menurut Kast (2000) konsumsi aspirin dapat menaikkan kadar TNF-α karena hambatan dari COX-2. TNF-α berfungsi dalam induksi intercellular adhesion molecule 1 (ICAM1), molekul ini berfungsi untuk menambah perlekatan neutrofil pada sel endotel pembuluh darah, apabila terjadi ekstravasasi neutrofil maka aktivasi neutrofil akan menginduksi pembentukan radikal bebas dari hasil fagositosis (Robbins et al., 2007).

Kurkumin yang dikandung temulawak selain mengandung senyawa fenolik, juga memiliki aktifitas menekan pembentukan NF-kB yang merupakan faktor transkripsi sejumlah gen penting dalam proses imunitas dan inflamasi, salah satunya untuk membentuk TNF-α. Dengan menekan kerja NF-kB maka radikal bebas dari hasil sampingan inflamasi berkurang (Chattopadhyay et al., 2006).


(39)

D. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley

1. Klasifikasi

Klasifikasi tikus putih (Setiorini, 2012). Kingdom : Animalia.

Filum : Chordata.

Kelas : Mamalia.

Ordo : Rodentia.

Subordo : Odontoceti. Familia : Muridae.

Genus : Rattus.

Spesies : Rattus norvegicus.

2. Tikus Sprague dawley

Tikus Sprague dawley adalah jenis outbred dari tikus albino yang digunakan secara ekstensif dalam penelitian medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan dalam penanganan. Galur tikus Sprague dawley pertama kali dikembangkan dan diproduksi oleh peternakan Sprague dawley (yang kemudian menjadi perusahaan hewan Sprague dawley) di Madison, Wisconsin. Tikus ini pertama kali digunakan secara luas untuk keperluan penelitian. Fasilitas penangkaran dikelola pertama kali oleh Gibco dan kemudian dibeli oleh Harlan (sekarang Harlan Sprague Dawley) pada bulan Januari 1980 (Kurrahman, 2012).


(40)

Ukuran panjang rata-rata tikus Sprague dawley adalah 10,5cm. berat rata-rata tikus dewasa adalah 250-300 gr untuk betina, dan 450-520 gr untuk jantan. Rentang hidup ada pada kisaran 2,5-3,5 tahun. Tikus dari galur Sprague dawley ini biasanya memiliki ekor yang lebih panjang sehingga meningkatkan rasio panjang tubuh dibandingkan dengan tikus galur wistar (Kurrahman, 2012).

3. Histologi Lambung Tikus

Mukosa lambung merupakan lapisan paling dalam dari lambung dan merupakan bagian terbesar dan terluas dari dinding lambung. Bagian dalam mukosa lambung dilapisi oleh sel epitel kolumner selapis dengan inti sel yang jelas. Sebagian besar mukosa lambung dipenuhi oleh kelenjar lambung yang terletak dipermukaan luminal epitel. Bagian basal kelenjar ini terdiri dari sel chief atau sel zimogen dan kadang-kadang terdapat sel parietal, sedangkan bagian leher kelenjar terdiri dari sel leher mukosa dan sel parietal (Khattab, 2007).

a. Sel epitel permukaan/mukosa

Sel-sel ini menyusun epitel yang melapisi permukaan dalam lambung yang kontak langsung dengan lumen. Sel-sel ini berbentuk irregular sampai piramid dengan nukleus ovoid dibagian basal yang dikelilingi massa sitoplasmik jernih, bagian apikal sel-sel ini terdiri dari granul-granul padat parietal (Khattab, 2007). b. Sel chief / zimogen


(41)

Sel-sel ini sebagian besar terletak didasar kelenjar gaster dan bertanggung jawab dalam sekresi propepsinogen. Sel-sel ini memiliki bentuk piramid atau kerucut dengan sitoplasma basofilik dan nucleus sferis yang terletak di basal parietal (Khattab, 2007). c. Sel parietal/oksitik

Sel-sel ini dikenal dengan sel penghasil asam dan merupakan secretor utama asam HCL dig aster. Sel-sel ini tersebar diantara tipe sel yang lain. Sel parietal berukuran besar dengan bentuk piramid atau sferis, sitoplasma asidofilik, dan berinti sferis di tengah parietal (Khattab, 2007).

d. Sel argentaffin/enteroendokrin

Sel-sel ini sitemukan didasar kelenjar gaster, berukuran kecil dan berbentuk piramid atau kerucut. Sitoplasma nya mengandung granul-granul sekretori dibagian basal dengan nukleus sferis di basal parietal (Khattab, 2007).


(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test only control group. Dilakukan dengan cara membandingkan hasil observasi pada kelompok eksperimental dan kontrol. Subjek penelitian yang akan digunakan adalah 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley, sehat, umur 3 sampai 4 bulan dengan berat badan 150 sampai 200 gram yang dibeli dari Institut Pertanian Bogor dan dikelompokkan secara randomisasi ke dalam 5 kelompok. Pada penelitian ini digunakan tikus karena secara anatomi dan histologi struktur lambung tikus mirip dengan manusia sehingga perubahan yang terjadi akibat pengaruh aspirin akan dapat dipakai sebagai model pada manusia (Travillian et al., 2003). Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa tikus digunakan sebagai hewan percobaan

B. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Unila dan pembuatan preparat histologi di laboratorium bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Waktu Penelitian selama 14 hari karena


(43)

aspirin dapat menginduksi kerusakan lambung pada minggu-minggu pertama pemakaian obat ( Brunton et al., 2006).

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah tikusjantan galur Sprague dawley, umur 3-4 bulan, berat badan 150-200 gram yag diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sampel penelitian sebanyak 25 ekor dipilih secara acak dan dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan sesuai dengan rumus Frederer (Kurrahman, 2012).

Menurut rumus Frederer, rumus penentuan besar sampel untuk uji eksperimental yakni t(n-1) >15. Dimana t merupakan kelompok perlakuan dan n adalah besar sampel setiap kelompok.

5(n-1) >15 5n-5 >15

5n >20 n>4

jadi, sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 5 ekor (n>4) dan jumlah kelompok yang akan digunakan adalah 5 kelompok sehingga penelitian ini akan menggunakan 25 ekor tikus putih dari populasi yang ada.

Kriteria inklusi:

a. Sehat (rambut tidak kusam, rontok, botak, dan aktif). b. Memiliki berat badan 150-200 gram.


(44)

c. Berjenis kelamin jantan. d. Berusia sekitar 3-4 bulan. Kriteria eksklusi :

a. Sakit (penampakan rambut kusam, rontok atau botak dan aktivitas kurang atau tidak aktif).

b. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboraturium.

c. Mati selama masa pemberian perlakuan.

D. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan yaitu asprin dengan aspirin 90 mg, dekok temulawak dengan dosis 1,3g/kgBB, 2,6g/kgBB dan 5,2g/kgBB, aquadest, alkohol 96%, tikus putih jantan dewasa galur Sprague dawley, pakan dan minum tikus.

2. Bahan Kimia

Bahan yang digunakan untuk membuat preparat histologis dengan metode paraffin meliputi: larutan formalin 10% untuk fiksasi, alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut, etanol, xylol, pewarna Hematoksisilin dan Eosin, dan entelan (Unila, 2011).

3. Alat Penelitian a. Alat Penelitian


(45)

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah neraca analitik metler toledo,dengan tingkat ketelitian 0,01gram untuk menimbang berat tikus, spuit oral 1cc dan 5cc, minor set untuk membedah perut tikus (laparatomi), kandang tikus, botol minum tikus, mikroskop cahaya, gelas ukur dan pengaduk, dan kamera digital.

b. Alat pembuat preparat histopatologi

Alat pembuat preparat histopatologi yang digunakan adalah object glass, deck glass, tissue cassette, rotary microtome, oven, waterbath, platening table, autotechnicome processor, staining jar, staining rack, kertas saring, histoplast, dan paraffin dispenser.

E. Prosedur Penelitian

1. Prosedur Pemberian Dosis Aspirin

Penentuan dosis yang diberikan berdasarkan hasil konversi dari manusia berat badan 70 kg ke tikus dengan berat badan 200 gram (Ngatidjan, 2006). Angka konversi dari manusia ke tikus adalah 0,018. Dosis aspirin pada manusia dewasa dengan berat badan 70 kg adalah 5 g/hari. Berdasarkan Brunton et al., (2006) pemakaian dosis harian aspirin sebesar 4-5 gram dapat menimbulkan kerusakan lambung dari dispepsia ringan, nyeri ulu hati sampai ulser lambung dan duodenum dalam minggu-minggu pertama pemakaian. Sehingga, dosis aspirin yang diberikan pada tikus dengan berat 200 gram adalah 0,018 x 5.000


(46)

mg = 90 mg. Sediaan aspirin yang digunakan adalah aspirin tablet 500 mg. Aspirin tersebut digerus dan dilarutkan dalam 5,5 ml aquadest. Jadi dalam 1 ml larutan terdapat 90 mg aspirin. Diberikan peroral satu kali sehari pada pagi hari sebelum pemberian pakan standart.

2. Prosedur Pemberian Dosis Temulawak a. Cara perhitungan dosis dekok temulawak

Menurut hasil penelitian terdahulu (Indraswari, 2004), dosis temulawak yang efektif digunakan adalah 2,6 g/kgBB. Hasil penelitian inilah yang mendasari penggunaan 3 dosis temulawak yaitu 1,3 g/kgBB, 2,6 g/kgBB dan 5,2 g/kgBB.

Jadi perhitungan dosis untuk tikus dengan berat 200 gram adalah 200gr berat tikus = 0,2 kg

Dosis pertama : 1,3gram/kgBB X 0,2 kg = 0,26 gram. Dosis kedua : 2,6 gram/kgBB X 0,2 kg = 0,52 gram. Dosisi ketiga : 5,2 gram/kgBB X 0,2 kg = 1.04 gram. b. Cara pembuatan dekok temulawak

Irisan rimpang dibuat setipis dan sekecil mungkin agar proses pembuatan dekok lebih mudah. 130 gram temulawak berat basah yang sudah dipotong tipis dan kecil dipanaskan dalam 250 cc air dengan suhu 1000C selama 15 menit. Setelah dipanaskan selama 15 menit kemudian didinginkan sampai suhu 400C kemudian disaring dan ditambahkan air sampai volume 250 cc.


(47)

Didalam 1cc dekok terkandung 0,52 gram temulawak (dosis kedua), untuk dosis pertama diberikan 0,5cc (mengandung 0,26 gram temulawak), sedangkan untuk dosis ketiga diberikan 2cc (mengandung 1,04 gram temulawak) (Indaswari, 2004).

3. Prosedur Penelitian

a. Tikus sebanyak 25 ekor dikelompokkan dalam 5 kelompok. Kelompok I sebagai kelompok kontrol normal, dimana hanya akan diberi akuades. Kelompok II sebagai kontrol positif, dimana diberikan aspirin dengan dosis 90 mg. Kelompok III adalah kelompok perlakuan coba dengan pemberian dekok temulawak dosis 1,3g/kgBB, kelompok IV diberikan dekok temulawak dengan dosis 2.6g/kgBB, dan kelompok V diberikan dekok temulawak dengan dosis 5,2g/kgBB. Dekok temulawak diberikan setelah 2 jam induksi aspirin dosis 90 mg. Masing-masing diberikan secara per oral selama 14 hari. Selama 1 minggu tiap-tiap kelompok tikus diadaptasikan sebelum diberi perlakuan.

b. Mengukur berat badan tikus sebelum perlakuan.

c. Mencekoki tikus dengan aspirin dan dekok temulawak selama 14 hari. Tikus tetap diberikan makan ad libitum.


(48)

d. Setelah dihentikan, 5 tikus jantan dari tiap kelompok dianastesi dengan Ketamine-xylazine 75-100 mg/kg + 5-10 mg/kg secara IP kemudian tikus di euthanasia berdasarkan Institusional animal Care and Use Committee (IACUC) menggunakan metode cervical dislocation dengan cara ibu jari dan jari telunjuk ditempatkan dikedua sisi leher di dasar tengkorak atau batang ditekan ke dasar tengkorak. Dengan tangan lainnya, pada pangkal ekor atau kaki belakang dengan cepat ditarik sehingga menyebabkan pemisahan antara tulang leher dan tengkorak (AVMA, 2013).

e. Setelah tikus dipastikan mati, dilakukan laparotomi, lambung tikus diambil untuk sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan metode paraffin dan pewarnaan HE.

f. Sampel lambung difiksasi dengan formalin 10% g. Metode teknik pembuatan preparat histopatologi

1. Fixation

a. Menfiksasi spesimen berupa potongan organ lambung yang telah dipilih segera dengan larutan pengawet formalin 10%. b. Mencuci dengan air mengalir.

2. Trimming

a. Mengecilkan organ ± 3 mm.

b. Memasukkan potongan organ lambung tersebut ke dalam embedding cassette.

3. Dehidrasi


(49)

a. Menuntaskan air dengan meletakkan embedding cassette pada kertas tisu.

b. Berturut-turut melakukan perendaman organ lambung dalam alkohol bertingkat 70%, 96%, alkohol absolute I, II, III masing-masing selama 1 jam.

4. Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xilol I, II, III masing-masing 30 menit.

5. Impregnasi

Impregnasi dengan menggunakan paraffin I dan II masing-masing selama 1 jam di dalam inkubator dengan suhu 65,10C . 6. Embedding

a. Menuangkan paraffin cair dalam pan.

b. Memindahkan satu persatu dari embedding cassette ke dasar pan.

c. Melepaskan paraffin yang berisi potongan lambung dari pan dengan memasukkan ke dalam suhu 4-60C beberapa saat. d. Memotong paraffin sesuai dengan letak jaringan yang ada

dengan menggunakan scalpel/pisau hangat.

e. Meletakkan pada balok kayu, ratakan pinggirnya dan buat ujungnya sedikit meruncing.

f. Memblok paraffin siap dipotong dengan mikrotom. 7. Cutting


(50)

a. Sebelum memotong, mendinginkan blok terlebih dahulu. b. Melakukan pemotongan kasar, dilanjutkan dengan

pemotongan halus dengan ketebalan 4-5 mikron.

c. Memilih lembaran potongan yang paling baik, mengapungkan pada air dan menghilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang lain ditarik menggunakan kuas runcing.

d. Memindahkan lembaran jaringan ke dalam water bath selama beberapa detik sampai mengembang sempurna.

e. Dengan gerakan menyendok mengambil lembaran jaringan tersebut dengan slide bersih dan menempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah, mencegah jangan sampai ada gelembung udara di bawah jaringan.

f. Mengeringkan slide. Jika sudah kering, slide dipanaskan untuk meretakkan jaringan dan sisa paraffin mencair sebelum pewarnaan.

g. Pewarnaan dengan Harris Hematoxylin Eosin

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, memilih slide yang terbaik selanjutnya secara brurutan mmasukkan kedalam zat kimia dibawah ini dengan waktu sebagai berikut :

Untuk pewarnaan, zat kimia yang pertama digunakan xylol I,II,III masing-masing selama 5 menit. Kedua, zat kimia yang


(51)

digunakan alkohol absolut I,II,III masing-masing selama 5 menit. Zat kimia yang ketiga aquadest selama 1 menit. Keempat, potongan organ dimasukkan kedalam zat warna harris hematoxylin selama 20 menit. Kemudian memasukkan potongan organ hati dalam aquadest selama 1 menit dengan sedikit menggoyang-goyangkan organ. Keenam, mencelupkan organ dalam asam alkohol 2-3 celupan. Ketujuh, dibersihkan dalam aqudest bertingkat masing-masing 1 dan 15 menit. Kedelapan, memasukkan potongan organ dalam eosin selama 2 menit. Kesembilan, secara berurutan memasukkan potongan organ dalam alkohol 96% selama 2 menit, alkohol 96%, alkohol absolut III dan IV masing-masing semala 3 menit. Terakhir, memasukkan kedalam Xylol IV dan V masing-masing selama 5 menit. 8. Mounting.

Setelah pewarnaan selesai menempatkan slide diatas kertas tissue pada tempat datar, menetesi dengan bahan mounting yaitu kanada balsam dan ditutup dengan cover glass, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.

9. Membaca slide dengan mikroskop

Slide diperiksa dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 400X. Metode yang digunakan dalam melihat preparat adalah prosedur double blinded.


(52)

Gambar 10. Bagan alur penelitian. Beri aquadest

p.o

Beri aspirin 90mg p.o 1Xhari

Beri dekok temulawak 1,3g/KgBB p.o 1Xhari Beri dekok temulawak 2,6 g/KgBB p.o 1Xhari Beri dekok temulawak 5,2 g/KgBB p.o 1Xhari Beri aspirin

90mg p.o 1Xhari

Beri aspirin 90mg p.o 1Xhari

Beri aspirin 90mg p.o 1Xhari

Setelah 14 hari, tikus di anasthesia dan euthanasia

Dilakukan laparotomi lalu lambung tikus diambil

Sampel lambung difiksasi dengan formalin 10%

Sampel lambung dikirim ke Lab Histologi dan Patologi Anatomi untuk pembuatan sediaan Hematoxylin-Eosin

Pengamatan sediaan histopatologi dengan mikroskop Interpretasi hasil pengamatan

Tikus diadaptasikan selama 7 hari Timbang berat badan tikus

Tikus diberikan perlakuan selama 14 hari K2

K1

Setelah 2 jam


(53)

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

a. Variabel Independen.

1) Perlakuan coba : pemberian dekok temulawak dan aspirin. 2) Perlakuan kontrol negatif : pemberian aspirin tanpa

pemberian dekok temulawak. b. Variabel Dependen.

Variabel dependen adalah kerusakan mukosa lambung. 2. Definisi Operasional Variabel

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional pada tabel 1.

Tabel 1. Definisi Operasional.

Variabel Definisi Skala Dosis dekok rimpang

temualawak

Temulawak direbus dengan air 1000C selama 15 menit lalu disaring. Diberikan secara oral menggunakan sonde. Dosis efektif temulawak pada penelitian sebelumnya adalah 1,3 g/KgBB, 2,6 g/kgBB, dan 5,2 g/KgBB.

Kategorik

Kerusakan lambung tikus Sediaan histopatologi dilihat menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x dan 400x dalam 1 lapang pandang.

a. Skor 0. Tidak ada tanda gastritis ataupun ulkus. b. Skor 1.


(54)

Ditemukan tanda-tanda peradangan mukosa lambung : Edema, sebukan sel radang neutrofil pada lamina propia. c. Skor 2. Sudah

terdapat pelepasan atau erosi 1/3 lapisan mukosa lambung. d. Skor 3. Ditandai

dengan erosi 2/3 lapisan mukosa lambung.

e. Skor 4. Erosi sudah mencapai > 2/3 lapisan mukosa lambung.

G. Analisis Data

Analisis data penelitian diproses dengan aplikasi pengolahan data. Dengan tingkat signifikansi p= 0,05. Hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan uji normalitas data (Saphiro-Wilk). Setelah itu dilakukan uji homogenitas dengan uji Levene. Jika varian data distribusi normal serta homogen maka dilanjutkan dengan metode One Way ANNOVA. Jika varian data tidak berdistribusi normal maka alternatifnya dipilih uji Kruskal-Wallis. Hipotesis akan dianggap bermakna bila p<0.05. Jika pada uji ANNOVA menghasilkan nilai p<0,05 maka dilanjutkan dengan analisis post hoc test.


(55)

H. Ethical Clearance

Penelitian ini telah diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dengan menerapkan prinsip 3R dalam protokol penelitian, yaitu:

1. Replacement, adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan penelian dan tidak dapat digantikan oleh makhluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan. 2. Reduction, adalah pemanfaatan hewan dalam penelitian sedikit

mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Dalam penelitian ini sampel dihitung berdasarkan rumus Frederer yaitu (n-1) (t-1) ≥ 15, dengan n adalah jumlah kelompok perlakuan.

3. Refinement, adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi, dengan prinsip dasar membebaskan hewan coba dalam beberapa kondisi.

a. Bebas dari rasa lapar dan haus, pada penelitian ini hewan coba diberikan pakan standar dan minum secara ad libitum.

b. Bebas dari ketidak-nyamanan, pada penelitian hewan coba ditempatkan di animal house dengan suhu terjaga 20-250 C, kemudian hewan coba terbagi menjadi 3-4 ekor tiap kandang. Animal house berada jauh dari gangguan bising dan aktifitas manusia serta kandang dijaga kebersihannya sehingga, mengurangi stress pada hewan coba.


(56)

c. Bebas dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan, pencegahan, dan pemantauan, serta pengobatan terhadap hewan coba diberikan perlakuan dengan menggunakan nasogastric tube dilakukan dengan mengurangi rasa nyeri sesedikit mungkin, dosis perlakuan diberikan berdasarkan pengalaman terdahulu maupun literatur yang telah ada.

Prosedur pengambilan sampel pada akhir penelitian telah dijelaskan dengan mempertimbangkan tindakan manusiawi dan anasthesia serta euthanasia dengan metode yang manusiawi oleh orang yang terlatih untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan hewan coba dengan IACUC (Ridwan, 2013).


(57)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pemberian dekok rimpang temulawak dapat mencegah kerusakan mukosa lambung tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.

2. Peningkatan dosis dekok rimpang temulawak sebesar 5,2 g/kgBB dapat meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan lambung yang diinduksi aspirin dibandingkan dengan dosis 1,3 g/kgBB dan 2,6 g/kgBB.

B. Saran

1. Peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan meningkatkan rentan dosis temulawak yang digunakan sehingga didapatkan dosis optimal dari temulawak sampai tidak terdapat tanda peradangan dan erosi sel epitel superfisial pada lambung tikus .

2. Peneliti lain disarankan untuk menguji lebih lanjut dosis toksik pada rimpang temulawak.

3. Peneliti lain disarankan untuk membandingkan efek protektif yang paling baik antara dekok rimpang temulawak dengan ekstrak rimpang temulawak.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Afifah E. 2005. Khasiat dan manfaat temulawak. Jakarta: Agro Media Pustaka. 5: 43-59.

American Veterinary Medical Association. 2013. Guidelines for Euthanasia of Animals. pp. 30,38,48.

https://www.avma.org/KB/Policies/Documents/euthanasia.pdf. (15 Desember 2013).

Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. 2006. Goodman & gilman the pharmacological basis of therapeutics. New York: McGraw Hill. 27: 666-82.

Chattopadhyay I, Bandyopadhyay U, Biswas K, Maity P, Banerje RK. 2006. Indomethacin inactivates gastric perixidase to induce reactive-oxygen-mediated gastric mucosal injury and curcumin protects it by preventing peroxidase inactivation and scavenging reactive oxygen. Free Radical Biol Med. 40: 1397-408.

Das K and Roy C. 2012. The protective role of eagle marmelos on aspirin-induced gastro-duodenal ulceration in albino rat model: a possible involvement of antioxidants. Saudi J Gastroenterol. 18: 184-94.

Destariana SP. 2011. Efek protektif ekstrak etanol jahe putih (Zingiber officinale Roscoe) terhadap kerusakan lambung mencit jantan galur DDY yang diinduksi oleh etanol. Skripsi. Lampung: FK Unila. hlm. 1-36.

Djam’an Q. 2007. Pengaruh air perasan daun cincau hijau (Cyclea barbata

Myer’s) terhadap konsentrasi HCl lambung dan gambaran

histopatologi lambung tikus galur wistar yang diinduksi acetylsalicyic acid. Tesis. Semarang: UNDIP. hlm. 1-28.

Enaganti S. 2006. The disease and non-drug treatment. Hospital Pharmacist. 13: 239-42.


(59)

Fatmawati DA. 2008. Pola protein dan kandungan kurkuminoid rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Skripsi. Bogor: FMIPA, IPB. hlm. 1-43.

Guyton AC dan Hall E. 2006. Fisiologi Kedokteran edisi ke-11. Jakarta: EGC. hlm. 204-11.

Hwang JK. 2004. Antibacterial composition having xanthorizzol. Planta Medica. 547: 237-43.

Indraswari I, Kalsum U, Sudjari. 2004. Pengaruh pemberian temulawak pada lambung tikus yang mengalami ulkus peptikum akibat induksi endometasin. J Kedokteran Brawijaya. 20: 96-9.

Itanursari. 2009. Ramuan herbal untuk mengobati gangguan nafsu makan. http://www.itanursari.wordpress.com. Diakses tanggal 20 September 2013.

Jayaprakasha GK, Jaganmohan RL, Sakariah KK. 2006. Antioxidant activities of curcumin, demethoxycurcumin and bisdemethoxycurcumin. Food Chemistry. 98: 720-24.

Jian YT, Mai GF, Wang JD, Zhang YL, Luo RC, Fang YX. 2005. Preventive and therapeutic effects of NF-kappaB inhibitor curcumin in rats colitis induced by trinitrobenzene sulfonic acid. World J Gastroenterol. 11: 1747-52.

Johnson A, Kratz B, Scanion L, Spivak A. 2007. Guts and glory H. pylori: cause of peptic ulcer. Eukarion. 3: 67-72.

Junqueira L, Carneiro J, Kelly O. 2007. Basic histology: teks and atlas, 13th edition. Philadelphia: McDraw Hill. pp. 501.

Kaneko T, Matsui H, Shimokawa O. 2007. Cellular membrane fluidity measurement by fluorescence polarization in indomethacin-induced gastric cellular injury in vitro. J Gastroenteral. 42(12): 939-46.


(60)

Kast RE. 2000. Tumor necrosis factor has positive and negative self regulatory feed back cycles centered around cAMP. Int J immunopharmacol. 22: 1001-6.

Katzung BG. 2011. Farmakologi dasar dan klinik edisi ke-10. Jakarta: EGC. hlm. 592-94.

Khattab F. 2007. Histological and ultrastructural studies on the gastric mucosa of rat after treatment with ethilen glycol. Australian Jurnal of Basic and Applied Sciences. 1(3): 157-68.

Kurrahman GN. 2012. Efek madu terhadap perbaikan kerusakan akut mukosa lambung tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague dawley yang diinduksi etanol. Skripsi. Lampung: FK Unila. hlm. 1-37.

Lacasa CI, Villegas CA, Lastra T, Motilva MJM, Calero. 2000. Evidence for protective and antioksidant properties of rutin, a natural flavone, against ethanol induced gastric lesions. J Ethnopharmacol. 71: 45-53. Lichtenberger LM, Romero JJ, Dial EJ. 2007. Surface phospholipids in gastric

injury and protection when a selective cyclooxygenase-2 inhibitor (Coxib) is used in combination with aspirin. Br J Pharmacol. 150: 913-919.

Moore KL, Dalley AF, Agur ARM. 2010. Clinical oriented anathomy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 6: 236-40.

Ngatidjan PS. 2006. Metode laboratorium dalam toksikologi. Yogyakarta: FK UGM. hlm. 22.

Philipson M, Johanson MEV, Henriknas J, Petersson J, Gendler SJ. 2008. The gastric mucus layers: constituents and regulation of accumulation. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 295: 806-12.

Prana MS. 2008. Beberapa aspek biologi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Bogor: Biofarmaka IPB. hlm. 45.


(61)

Price SA and Wilson LM. 2006. Pathophysiology: clinical concepts of disease processes, 6th. New York: Mcgraw Hill. pp. 417-26.

Priyanto. 2007. Toksisitas obat zat kimia dan terapi antidotum. Depok: Leskonfi. 48: 43-4.

Ramakrishnan K and Salnas RC. 2007. Peptic ulcer disease. American Family Physician. 76: 1005-12.

Ravindran PN and Babu KN. 2005. Ginger: The genus zingiber. CRC Press. Washington DC. pp. 87-97.

Repetto MG and Llesuy SF. 2002. Antioxidant properties of natural compounds used in popular medicine for gastric ulcer. Braz J Med Biol Res. 35(5): 523-34.

Ridwan E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med Assoc. 63(3): 112-6.

Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. 2007. Buku ajar patologi edisi ke-7. Jakarta: EGC. 1(15): 609-63.

Setiorini Y. 2012. Deteksi secara imunohistokimia immunoglobulin A (IgA) pada usus halus tikus yang diberi bakteri asam laktat (BAL) dan enteropatogenik Escherichia coli. Journal of Scientific Resporitory. 3(1): 44-5.

Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. 2005. Ilmu penyakit dalam edisi ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1: 169-80.

Sidik HR. 2008. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb), indigenous medicine, botany, chemistry and pharmacology. Abstrak. In: The First International Symposum on Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Bogor: Biofarmaka IPB. pp. 5.

Sugiharto. 2004. Pengaruh infus rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) terhadap kada hemoglobin dan jumlah eritrosit tikus putih yang diberi larutan timbal nitrat [Pb(NO3)2]. Jurnal Hayati Berkala. 10: 53-7.


(62)

Tarnawski A. 2005. Cellular and molecular mechanism of gastrointestinal ulcer healing. Digestive diseases and sciences. 50(1): 34-3.

Toruner M. 2007. Aspirin and gastrointestinal toxicity. Anatol J Cardiol. 7: 27-30. Tjay TH dan Rahardja K. 2007. Obat-obat penting edisi ke-5. Jakarta: PT. Elax

Media Komputindo. hlm. 298.

Travillian RS, Rosse C, Shapiro LG. 2003. An approach to the anatomical correlation of species through the foundational model of anatomy. AMIA Annu Symp Proc. 669-73.

Wahyudi A. 2006. Pengaruh penambahan kurkumin dari rimpang temugiring pada aktifitas antioksidan asam askorbat dengan metode FTC. Surabaya: Akta Kimindo. 2(1): 37-40.

Wallace JL and Vong L. 2008. NSAID-Induced gastrointestinal damage and the design of GI-sparing NSAIDs. Br J Pharmacol. 153: 100-9.

Waranugraha Y, Suryana BP, Pratomo B. 2010. Hubungan pola penggunaan OAINS dengan gejala gastropati pada pasien reumatik. J Kedokteran Brawijaya. 26: 108-10.

Wijayakusuma M. 2007. Penyembuhan dengan temulawak. Jakarta: Sarana Pustaka Prima. hlm. 23-7.


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pemberian dekok rimpang temulawak dapat mencegah kerusakan mukosa lambung tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley yang diinduksi aspirin.

2. Peningkatan dosis dekok rimpang temulawak sebesar 5,2 g/kgBB dapat meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan lambung yang diinduksi aspirin dibandingkan dengan dosis 1,3 g/kgBB dan 2,6 g/kgBB.

B. Saran

1. Peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan meningkatkan rentan dosis temulawak yang digunakan sehingga didapatkan dosis optimal dari temulawak sampai tidak terdapat tanda peradangan dan erosi sel epitel superfisial pada lambung tikus .

2. Peneliti lain disarankan untuk menguji lebih lanjut dosis toksik pada rimpang temulawak.

3. Peneliti lain disarankan untuk membandingkan efek protektif yang paling baik antara dekok rimpang temulawak dengan ekstrak rimpang temulawak.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Afifah E. 2005. Khasiat dan manfaat temulawak. Jakarta: Agro Media Pustaka. 5: 43-59.

American Veterinary Medical Association. 2013. Guidelines for Euthanasia of Animals. pp. 30,38,48.

https://www.avma.org/KB/Policies/Documents/euthanasia.pdf. (15 Desember 2013).

Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. 2006. Goodman & gilman the pharmacological basis of therapeutics. New York: McGraw Hill. 27: 666-82.

Chattopadhyay I, Bandyopadhyay U, Biswas K, Maity P, Banerje RK. 2006. Indomethacin inactivates gastric perixidase to induce reactive-oxygen-mediated gastric mucosal injury and curcumin protects it by preventing peroxidase inactivation and scavenging reactive oxygen. Free Radical Biol Med. 40: 1397-408.

Das K and Roy C. 2012. The protective role of eagle marmelos on aspirin-induced gastro-duodenal ulceration in albino rat model: a possible involvement of antioxidants. Saudi J Gastroenterol. 18: 184-94.

Destariana SP. 2011. Efek protektif ekstrak etanol jahe putih (Zingiber officinale Roscoe) terhadap kerusakan lambung mencit jantan galur DDY yang diinduksi oleh etanol. Skripsi. Lampung: FK Unila. hlm. 1-36.

Djam’an Q. 2007. Pengaruh air perasan daun cincau hijau (Cyclea barbata

Myer’s) terhadap konsentrasi HCl lambung dan gambaran

histopatologi lambung tikus galur wistar yang diinduksi acetylsalicyic acid. Tesis. Semarang: UNDIP. hlm. 1-28.

Enaganti S. 2006. The disease and non-drug treatment. Hospital Pharmacist. 13: 239-42.


(3)

Fatmawati DA. 2008. Pola protein dan kandungan kurkuminoid rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Skripsi. Bogor: FMIPA, IPB. hlm. 1-43.

Guyton AC dan Hall E. 2006. Fisiologi Kedokteran edisi ke-11. Jakarta: EGC. hlm. 204-11.

Hwang JK. 2004. Antibacterial composition having xanthorizzol. Planta Medica. 547: 237-43.

Indraswari I, Kalsum U, Sudjari. 2004. Pengaruh pemberian temulawak pada lambung tikus yang mengalami ulkus peptikum akibat induksi endometasin. J Kedokteran Brawijaya. 20: 96-9.

Itanursari. 2009. Ramuan herbal untuk mengobati gangguan nafsu makan. http://www.itanursari.wordpress.com. Diakses tanggal 20 September 2013.

Jayaprakasha GK, Jaganmohan RL, Sakariah KK. 2006. Antioxidant activities of curcumin, demethoxycurcumin and bisdemethoxycurcumin. Food Chemistry. 98: 720-24.

Jian YT, Mai GF, Wang JD, Zhang YL, Luo RC, Fang YX. 2005. Preventive and therapeutic effects of NF-kappaB inhibitor curcumin in rats colitis induced by trinitrobenzene sulfonic acid. World J Gastroenterol. 11: 1747-52.

Johnson A, Kratz B, Scanion L, Spivak A. 2007. Guts and glory H. pylori: cause of peptic ulcer. Eukarion. 3: 67-72.

Junqueira L, Carneiro J, Kelly O. 2007. Basic histology: teks and atlas, 13th edition. Philadelphia: McDraw Hill. pp. 501.

Kaneko T, Matsui H, Shimokawa O. 2007. Cellular membrane fluidity measurement by fluorescence polarization in indomethacin-induced gastric cellular injury in vitro. J Gastroenteral. 42(12): 939-46.


(4)

Kast RE. 2000. Tumor necrosis factor has positive and negative self regulatory feed back cycles centered around cAMP. Int J immunopharmacol. 22: 1001-6.

Katzung BG. 2011. Farmakologi dasar dan klinik edisi ke-10. Jakarta: EGC. hlm. 592-94.

Khattab F. 2007. Histological and ultrastructural studies on the gastric mucosa of rat after treatment with ethilen glycol. Australian Jurnal of Basic and Applied Sciences. 1(3): 157-68.

Kurrahman GN. 2012. Efek madu terhadap perbaikan kerusakan akut mukosa lambung tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague dawley yang diinduksi etanol. Skripsi. Lampung: FK Unila. hlm. 1-37.

Lacasa CI, Villegas CA, Lastra T, Motilva MJM, Calero. 2000. Evidence for protective and antioksidant properties of rutin, a natural flavone, against ethanol induced gastric lesions. J Ethnopharmacol. 71: 45-53.

Lichtenberger LM, Romero JJ, Dial EJ. 2007. Surface phospholipids in gastric injury and protection when a selective cyclooxygenase-2 inhibitor (Coxib) is used in combination with aspirin. Br J Pharmacol. 150: 913-919.

Moore KL, Dalley AF, Agur ARM. 2010. Clinical oriented anathomy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 6: 236-40.

Ngatidjan PS. 2006. Metode laboratorium dalam toksikologi. Yogyakarta: FK UGM. hlm. 22.

Philipson M, Johanson MEV, Henriknas J, Petersson J, Gendler SJ. 2008. The gastric mucus layers: constituents and regulation of accumulation. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 295: 806-12.

Prana MS. 2008. Beberapa aspek biologi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Bogor: Biofarmaka IPB. hlm. 45.


(5)

Price SA and Wilson LM. 2006. Pathophysiology: clinical concepts of disease processes, 6th. New York: Mcgraw Hill. pp. 417-26.

Priyanto. 2007. Toksisitas obat zat kimia dan terapi antidotum. Depok: Leskonfi. 48: 43-4.

Ramakrishnan K and Salnas RC. 2007. Peptic ulcer disease. American Family Physician. 76: 1005-12.

Ravindran PN and Babu KN. 2005. Ginger: The genus zingiber. CRC Press. Washington DC. pp. 87-97.

Repetto MG and Llesuy SF. 2002. Antioxidant properties of natural compounds used in popular medicine for gastric ulcer. Braz J Med Biol Res. 35(5): 523-34.

Ridwan E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med Assoc. 63(3): 112-6.

Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. 2007. Buku ajar patologi edisi ke-7. Jakarta: EGC. 1(15): 609-63.

Setiorini Y. 2012. Deteksi secara imunohistokimia immunoglobulin A (IgA) pada usus halus tikus yang diberi bakteri asam laktat (BAL) dan enteropatogenik Escherichia coli. Journal of Scientific Resporitory. 3(1): 44-5.

Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. 2005. Ilmu penyakit dalam edisi ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1: 169-80.

Sidik HR. 2008. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb), indigenous medicine, botany, chemistry and pharmacology. Abstrak. In: The First International Symposum on Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Bogor: Biofarmaka IPB. pp. 5.

Sugiharto. 2004. Pengaruh infus rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) terhadap kada hemoglobin dan jumlah eritrosit tikus putih yang diberi larutan timbal nitrat [Pb(NO3)2]. Jurnal Hayati Berkala. 10: 53-7.


(6)

Tarnawski A. 2005. Cellular and molecular mechanism of gastrointestinal ulcer healing. Digestive diseases and sciences. 50(1): 34-3.

Toruner M. 2007. Aspirin and gastrointestinal toxicity. Anatol J Cardiol. 7: 27-30.

Tjay TH dan Rahardja K. 2007. Obat-obat penting edisi ke-5. Jakarta: PT. Elax Media Komputindo. hlm. 298.

Travillian RS, Rosse C, Shapiro LG. 2003. An approach to the anatomical correlation of species through the foundational model of anatomy. AMIA Annu Symp Proc. 669-73.

Wahyudi A. 2006. Pengaruh penambahan kurkumin dari rimpang temugiring pada aktifitas antioksidan asam askorbat dengan metode FTC. Surabaya: Akta Kimindo. 2(1): 37-40.

Wallace JL and Vong L. 2008. NSAID-Induced gastrointestinal damage and the design of GI-sparing NSAIDs. Br J Pharmacol. 153: 100-9.

Waranugraha Y, Suryana BP, Pratomo B. 2010. Hubungan pola penggunaan OAINS dengan gejala gastropati pada pasien reumatik. J Kedokteran Brawijaya. 26: 108-10.

Wijayakusuma M. 2007. Penyembuhan dengan temulawak. Jakarta: Sarana Pustaka Prima. hlm. 23-7.


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

6 25 78

EFEK EKSTRAK KULIT PISANG KEPOK (Musa acuminata) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ULKUS GASTER TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI ASPIRIN

4 31 82

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI MIOKARDIUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 4 65

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ARTERI KORONARIA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 13 66

EFEK PROTEKTIF THYMOQUINONE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

1 12 70

EFEK PROTEKTIF THYMOQUINONE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

2 35 76

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 26 71

UJI EFEK PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma Uji Efek Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Parasetamol.

0 8 15

UJI EFEK PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma Uji Efek Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Parasetamol.

0 3 14

DAFTAR PUSTAKA Uji Efek Pemberian Ekstrak Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Parasetamol.

0 2 4