BAB III Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33PUU- IX2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkama

BAB III Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU- IX/2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of The Association of Southeast Asian Nations

3.1 Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of The

  Association of Southeast Asian Nations

  Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/ 2011 terkait dengan pengujian perjanjian internasional menyatakan menolak permohonan seluruhnya. Hal tersebut tidak berakibat terhadapa kekuatan mengikat perjanjian internasional dikarenakan tidak ada pengujian norma terhadap perjanjian internasional tersebut.

  Kekuatan mengikat perjanjian internasional tentu tidak lepas dari asas-asas pelaksanaan dari hukum perjanjian internasional. Asas tersebut diantara lain adalah asas free consent, asas itikad baik (good faith), asas pacta sunt servanda selain itu juga terdapat asas lain yang tidak kalah pentingnya yaitu asas pacta

  59 tertiis nec nocent nec prosunt , asas non-retroactive, dan jus cogens.

  Asas free consent muncul ketika negara pihak atau peserta sedang

  60

  merundingkan dan menyepakati serta meratifikasi naskah perjanjian. Asas ini merupakan asas kebebasan dari pihak dalam mengajukan aspirasinya maupun 59 I Wayan P., Hukum Perjanjian Internasional : Bagian 2, Mandar Maju, Bandung, 2005, h. 261. melakukan tindakan dalam pembuatan perjanjian internasional. Jika salah satu pihak mendapat tekanan dalam proses pembuatan perjanjian internasional, maka dapat menimbulkan akibat hukum seperti batalnya (void) ataupun tidak sahnya

  61 perjanjian internasional.

  Asas good faith memiliki pengertian bahwa para pihak harus memiliki itikad baik dari proses awal pembuatan perjanjian internasional hingga proses

  entry into force serta pelaksanaan perjanjian internasional. Asas yang selanjutnya

  adalah asas pacta sunt servanda, asas ini menekankan pada kewajiban para pihak

  62

  untuk menaati isi perjanjian. Hal ini ditekankan kembali pada Pasal 26 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa “Every treaty in force is binding upon the

  parties to it, and must be performed by them in a good faith.

  ” Asas yang tidak kalah penting lainnya adalah asas pacta tertiis nec nocent

  nec prosunt, yang mengandung makna bahwa suatu perjanjian internasional hanya

  memberikan hak dan membebani kewajiban terhadap para pihak yang terikat pada perjanjian itu. Dengan kata lain pihak ketiga yang tidak terikat dalam perjanjian ini tidak dibebani kewajiban maupun hak yang disepakati dalam perjanjian tersebut. Asas yang terakhir adalah asas non-retroactive yang memiliki arti suatu kaidah hukum tidak berlaku surut. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan sebagai berikut:

  “Unless a different

  intention appears from the treaty or is otherwise established, its provision do not bint a party in relation to any act or fact which took place or any situation which 61 Ibid.

  ceased to exist before the date of the entry ito force of the treaty with respect to the party.

  Pasal 28 tersebut dapat diartikan sebagai bahwa perjanjian

  internasional tidak dapat berlaku retroaktif, tapi dapat berlaku retroaktif jika diperuntukkan untuk itu atau tujuan perjanjian internasional tersebut menyatakan demikian.

  Beberapa asas yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia dengan negara lain hanya mengikat para pihak saja. Pembuatan ASEAN Charter yang menjadi para pihak adalah Indonesia sebagai negara, maka untuk megikat warga negaranya secara langsung dibutuhkan instrumen lebih lanjut yang memuat norma perjanjian internasional tersebut untuk mudah diterapkan di masyarakat.

  Lalu bagaimana jika amar Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menerima permohonan untuk menguji undang-undang hasil ratifikasi piagam ASEAN tersebut? Lalu bagaimana dengan keberlakuan perjanjian internasional itu sendiri, apakah akan gugur dengan sendirinya atau hanya gugur kewajibannya bagi Indonesia. Maka dari itu perlu dilihat bagaimana hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. Dalam hubungan hukum nasioal dan hukum internasional terdapat 2 teori yaitu paham dualisme dan paham monisme.

  3.1.1 Paham Dualisme Menurut paham atau teori dualisme, hukum interasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara

  63

  intrinsik. Hukum internasional bersumber kepada kehendak bersama atau kesepakatan negara-negara sementara hubungan nasional bersumber pada kehendak negara dan kekuasaan negara. Hukum Internasional dilandasi prinsip dasar pacta sunt servanda, sedangkan hukum nasional dilandasi prinsip dasar bahwa peraturan perundnag-undangan harus

  64

  ditaati. Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum internasional menjadi hukum nasional berdasarkan peraturan perundang- undangan agar kaidah dalam hukum internasional tersebut dapat berlaku dan tunduk pada peraturan perundang-undangan nasional suatu negara.

  Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan pernyataan di atas:

  1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional. Jika sumber hukumnya berbeda maka dapat berakibat pada proses penerapan nantinya;

63 Isplancius Ismail, September 2013, Penerapan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol

  Tambahan 1977 dalam Hukum Nasional Indonesia (Studi tentang Urgensi dan Prosedur Ratifikasi Protokol Tambahan) , Jurnal Dinamika Hukum Vol.

  13 No. 3,

24 Desember 2014

  2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional subjeknya adalah negara. Dalam Perjanjian internasional, individu bukanlah subjek hukum internasional, melainkan negara. Seperti yang dibahas pada subbab sebelumnya mengenai asas pacta sunt servanda, dalam perjanjian internasional yang ikut membuat perjanjian adalah negara, bukan individu maka dari itu yang terikat secara langsung oleh perjanjian tersebut adalah negara.

  3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional. Jika hukum nasional dapat melakukan yurisdiksinya tanpa perlu kesepakatan antara para pihak sedangkan untuk mahkamah internasional harus membutuhkan kesepakatan para pihak untuk setuju dan mengakui yurisdiksi mahkamah internasional tersebut, baru Mahkamah Internasional dapat melaksanakan yurisdiksinya kepada sengketa tersebut;

  4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional. Pengawasan dari masyarakat internasional tidaklah intense seperti pengawasan hukum nasional pada suatu negara, maka dari itu jika hukum nasional suatu negara tidak selaras dengan hukum nasional, masyarakat internasional

  65 kecil kemungkinannya untuk mengetahui hal tersebut.

3.1.2 Paham Monisme

  Paham monisme menganggap bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu sistem hukum pada umumnya. Semua ketentuan hukum merupakan kesatuan sistem yang terdiri dari ketentuan

  66 hukum yang mengikat negara, individu maupun kesatuan bukan negara.

  Hukum nasional dan hukum internasional secara keseluruhan merupakan dari sistem hukum universal yang mengikat manusia baik secara individual maupun secara kolektif. Hukum Internasional mengikat individu secara kolektif sedangkan hukum nasional mengikat individu secara

  67

  perorangan. Jadi untuk pemberlakuan hukum internasional dalam suatu negara tidak diperlukan adanya proses transformasi seperti ratifikasi.

  Menurut Mochtar Kusumaatmadja, paham monisme melahirkan

  68

  perangkat hukum yang mempunyai hubungan hierarkhis. Dari situ lahir dua pendapat yaitu paham monisme dengan primat hukum nasional dan paham monisme dengan primat hukum internasional. Paham monisme 65 dengan primat hukum internasional beranggapan bahwa hukum Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni : Jakarta, 2003, h.

  56-57 66 67 Isplancius Ismail, Loc. Cit, h. 368 Ibid.

  Internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham monisme dengan primat hukum nasional beranggapan bahwa hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum

  69 nasional untuk urusan luar negeri.

  Setelah melihat paham mengenai hubungan hukum nasional dan hukum internasional pada suatu negara, dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia menganut paham dualisme. Hal tersebut didukung dengan adanya Pasal 11 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa :

  (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dnegan negara lain. (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

  Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dalam membuat perjanjian internasional membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk pengesahan perjanjian internasional, sesuai dengan ciri-ciri paham dualisme yang menyatakan perlu adanya transformasi kaidah hukum internasional melalui persetujuan organ nasional negara tersebut. Hal ini juga didukung dengan adanya Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa

  “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat

  (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden

  .” Pasal tersebut menjelaskan bahwa perjanjian internasional baru dapat disahkan jika ditransformasikan kepada peraturan perundang-undangan nasional berupa undang-undang atau keputusan presiden. Setelah diubah dalam bentuk perundang-undangan nasional, baru kaidah internasional tersebut mengikat secara nasional.

  Prinsip yang dianut Indonesia mengenai hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional menjadi agak kabur karena adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam konklusinya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang dalam melakukan pengujian undang-undang hasil ratifkasi perjanjian internasional. Hal ini menandakan bahwa di sisi lain Indonesia juga menganut primat hukum monisme karena materi perjanjian internasional dalam undang-undang pengesahan tersebut dapat langsung diuji karena dianggap langsung berlaku dengan undang-undang pengesahan tanpa adanya undang-undang yang mentrasformasiikan materi perjanjian internasional kedalam hukum

  70 nasional.

  Jika amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 mengabulkan maka perjanjian internasional tersebut langsung gugur. 70 Dengan adanya amar yang menyatakan MK berwenang dan mengabulkan

  Dian Utami Mas Bakar, Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan permohonan pemohon semakin memperjelas bahwa Indonesia juga menganut paham monisme primat hukum nasional yang berakibat bahwa hukum nasional memiliki kedudukan lebih tinggi dari hukum internasional. Sehingga hukum internasional dapat dipatahkan atau digugurkan oleh lembaga nasional suatu negara.

  DPR memiliki kewenangan untuk memberi persetujuan atas rancangan perjanjian internasional dengan kriteria tertentu, hal ini sesuai dengan Pasal 11 UUD NRI 1945 NRI 1945. Selain memberi persetujuan, DPR mempunyai kewenangan untuk menolak pengesahan suatu perjanjian internasional. Sedangkan peran Presiden adalah organ yang dapat mengajukan pengesahan suatu perjanjian internasional, bahkan Presiden tidak perlu meminta persetujuan DPR dalam beberapa kriteria perjanjian internasional. Presiden hanya perlu mengesahkannya dalam bentuk Keputusan Presiden yang sekarang diganti dengan Peraturan Presiden.

  Namun dalam hal ini belum jelas bagaimana kedudukan hasil pengesahan perjanjian internasional tersebut, untuk Piagam ASEAN tersendiri setelah diratifikasi belum dapat diterapkan secara langsung karena memiliki norma yang umum. Maka dari itu diperlukan instrumen lebih lanjut agar dapat diterapkan dalam masyarakat.

  71 Selanjutnya Harjono yang menegaskan bahwa:

71 Harjono, Aspek-Aspek Yuridis Pembuatan Perjanjian Internasional dalam Sistem UUD

  Perjanjian Internasional tidak hanya melahirkan hak dan kewajiban terhadap warga negara tersendiri tetapi juga mungkin menimbulkan hak dan kewajiban bagi warga negara asing. Agar supaya asas resiprocity dapat terjamin, dengan demikian warga Indonesia maupun pemerintah negara Indonesia juga dijamin hak-hakya oleh negara lain yang ditimbulkan oleh perjanjian internasional, maka dari kajian teoritis dipandang perlu memberikan imunitas terbatas kepada Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden yang berisi perjanjian internasional sebagai objek perngujian materiil Mahkamah Agung.

  Seperti yang diungkapkan oleh Harjono, setelah Indonesia meratifikasi harusnya Indonesia melaksanakan perjanjian internasional tersebut, karena perjanjian internasional tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Agar pelaksanaan asas resiprocity dapat dijalankan dan hak-hak warga negara Indonesia juga dijamin oleh negara lain.

  Contohnya asas Resiprositas adalah asas resiprositas dalam pelaksanaan putusan arbitrase. Asas resiprositas (reciprocity) adalah asas timbal balik antar negara. Asas resiprositas mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Konvensi New York Tahun 1958 yang menyatakan “… any state

  may on the basis of reciprocity declare that it will apply the conventio to the recognition and enforcement of awards made only

in the territory of another contratcting state..

  ”. Sesuai asas ini, maka penerapan pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Asing dalam suatu negara adalah atas permintaan dari negara lain, hanya dapat diterapkan apabila diantara negara-negara yang bersangkutan telah ada hubungan ikatan bilateral maupun multilateral. Negara peserta dapat menolak jika kedua negara tidak

  72 memiliki hubungan bilateral maupun multilateral.

  Jika dikaitkan dengan asas resiprositas dalam pelaksanaan 72 perjanjian internasional adalah bahwa perjanjian internasional ini menjadi

  Arsensius, Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing Menurut Keppres No. 3 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Convention on The Records and Enforcement of Foreign landasan dari adanya asas resiprositas. Maka dari itu negara-negara harus melaksanakan kewajibannya seperti yang dicantumkan dalam perjanjian internasional, jika tidak maka negara lain akan melakukan hal yang sama atau dapat meminta pertanggung jawaban negara tersebut.

  Indonesia diharapkan memiliki asas resiprositas tersebut dan tidak dengan seenaknya menguji undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional dan menyatakan undang-undang tersebut tidak berlaku. Padahal semenjak dilakukannya entry into force maka saat itulah Indonesia telah dibebani hak dan kewajiban.

  Perlunya imunitas terhadap produk pengesahan perjanjian internasional dirasa perlu karena seperti yang dibahas dalam bab sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji undang- undang hal demikian juga sama dengan Mahkamah Agung tidak dapat menguji keputusan presiden/peraturan presiden yang merupakan hasil pengesahan perjanjian internasional. Maka dari itu bentuk pengesahan ini perlu dilindungi dari proses pengujian dari Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

  Namun dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang tersebut, maka memberikan keambiguan dalam sistem pengujian perundang-undangan. Kriteria undang-undang yang diuji menjadi semakin luas dan akhirnya makin membuka peluang masyarakat untuk menguji undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional yang lain dan akhirnya hal ini akan berefek pada tingkat kepercayaan masyarakat internasional bahwa Indonesia tidak memiliki ketegasan dalam partisipasinya di perjanjian internasional karena setiap perjanjian internasional yang disahkan dapat diuji dan diubah oleh Indonesia sendiri. Padahal untuk merubah norma dalam perjanjian internasional, bukanlah kewenangan lembaga internal suatu negara. Namun butuh persetujuan negara anggota perjanjian internasional yang lain,

  Salah satu cara untuk mengubah norma adalah melalui amandemen perjanjian internasional. Amandemen perjanjian internasional diatur dalam Part IV Article 39-41 Konvensi Wina 1969. Peraturan amandemen suatu perjanjian internasional hampir sama dengan ketentuan reservasi, hal ini dijelaskan pada article 39 Konvensi Wina 1969. Contohnya dalam PIAGAM ASEAN untuk melakukan amandemen menurut Pasal 48 ayat (3) Piagam ASEAN,

  “Amandemen Piagam yang telah disepakati secara

  konsensus oleh Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN wajib diratifikasi oleh seluruh Negara-Negara Anggota sesuai dengan Pasal 47

  .” Disini dijelaskan bahwa untuk merubah suatu norma dalam perjanjian internasional membutuhkan kesepakatan secara konsensus di Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN.

3.2 Pengujian Keputusan Presiden Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional

  Bentuk hukum Keputusan Presiden yang memuat hasil ratifikasi pengesahan perjanjian internasional merupakan hasil dari adanya Surat Presiden

  73

  2816/HK/1960 terkait pembuatan perjanjian internasional. Dalam pembuatan Keputusan Presiden hasil ratifikasi perjanjian internasional memiliki prosedur tertentu. Proses ratifikasi dengan keputusan presiden adalah sebagai berikut:

  1. Departemen luar negeri mengajukan permohonan ratifikasi perjanjian internasional dengan keppres kepada secretariat Negara, disertai copy

  • – naskah perjanjian sebanyak 30(tiga puluh) copy plus 1 (satu) yang tekah di Certified True Copy.

  2. Setelah dipelajari Sekertaris Negara, selanjutnya diteruskan kepada Presiden melalui tingkatan hierarkinya, yaitu mulai Bagian Ratifikasi kepada Kepala Biro Hukum, kemudian ke Deputi Eselon 1, diteruskan kepada s/sesneg (Dulu ada Mensesneg). Setelah itu diberikan kepada presiden ketika diproses untuk diteruskan kepada presiden disertai dengan RKP (Rancangan Keppres). Memo-memo beserta ampresnya(amanat presiden) untuk ditandatangani oleh presiden. Isi dari ampres tersebut ditujukan kepada ketua DPR, yang memberitahukan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan keppres, agar diketahui oleh DPR .

  3. Terhadap RKP yang telah ditandatangani oleh presiden dan telah menjadi keppres , diserahkan kembali ke Bagian Ratifikasi Sekneg melalui hierarki yang sama seperti sebelumnya dan dituangkan ke dalam Lembaga Negara oleh Sekneg, untuk kemudian didistribusikan kepada Daftar A dan Daftar B.

  Daftar A terdiri dari lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, dan Daftar B adalah departemen

  • – departemen / instansi terkait. Pendistribusian

  74 ini disertai dengan autentifikasi yang dikeluarkan oleh kepala Biro Hukum.

  Di dalam disertasinya A. Hamid. S, Attamini menyatakan Keputusan

  75 Presiden dapat berisi penetapan dan dapat berisi pengaturan. Dalam

  hubungannya dengan perjanjian internasional yang dituangkan dalam bentuk hukum Keputusan Presiden dapat juga berisi sebuah penetapan dan pengaturan.

  Untuk dapat membedakannya, materi muatan Keputusan Presiden dapat dibedakan antara: (1) yang berisi pengaturan yang berasal dari pendelegasian

  76 Peraturan Pemerintah, dan (2) berfungsi pengaturan yang mandiri.

  Untuk dapat membedakan antara keduanya diajukan suatu perhitungan matematis rumus = a-b = x. Dalam formula rumus tersebut a = seluruh materi muatan peraturan perundang-undangan negara yang wewenang pembentukkannya berada dalam kekuasaan Presiden Republik Indonesia, b = materi UU/Perpu, materi muatan Peraturan Pemerintah, serta materi muatan Keputusan Presiden berfungsi pengaturan dari Peraturan Pemerintah, sedangkan x = sisa dari kedua materi muatan peraturan perundang negara yang merupakan lingkup Keputusan Presiden berfungsi

  77 pengaturan yang mandiri. 74 Implementasi Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia Setelah Berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000 , Jurnal Universitas Semarang, Nomor 60 Tahun XV, Januari-Maret 2003,

h. 6-7

  75 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggara Negara, Fakultas Pasca Sarjana UI, h. 227 76 Ibid., h.23

  Ternyata selain materi muatan sisa yang disebutkan dalam rumus diatas, terdapat materi muatan lain yang diperintahkan oleh Surat Presiden maupun dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yaitu Keputusan Presiden yang memuat hasil ratifikasi perjanjian internasional.

  Keputusan Presiden dalam fungsinya sebagai pengaturan mandiri berdasarkan UUD NRI 1945 secara langsung, maka diperlukan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Terdapat 2 cara sinkronisasi yaitu dengan dasar tidak bertentangan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan yang kedua masih tetap berada dalam lingkungan yang

  78

  dibenarkan oleh asas-asas dan norma-norma hukum lain yang berlaku. Harjono menjelaskan lebih lanjut bahwa usaha sinkrinisasi dapat dilakukan dengan dua cara: (1) preventif, yaitu usaha awal sebelum Keputusan Presiden diterbitkan, (2)

  79

  represif, yaitu dilakukan pada pasca penerbitan suatu Keputusan Presiden. Usaha preventif yang dimaksudkan dalam upaya sinkronisasi ini adalah upaya

  80 . reservation

  Usaha represif menimbulkan adanya mekanisme pengujian terhadap Keputusan Presiden. Pengujian hasil ratifikasi perjanjian internasional tidak hanya terjadi pada undang-undang saja namun juga dapat terjadi pada bentuk hukum yang lain yaitu Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden. Jika hal ini terjadi tentunya haruslah ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengujinya. Jika mengacu pada Undang-Undang Dasar Pasal 24A ayat (1) yang 78 79 A. Hamid S., Loc. Cit, h. 292 Harjono, Loc. Cit, h. 115 menyatakan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,

  menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang

  ”, maka yang berwenang adalah Mahkamah Agung karena kedudukan hierarkhi Keputusan Presiden (yang sekarang diubah menjadi Peraturan Presiden) berada dibawah Undang-Undang.

  Namun untuk menguji Keputusan Presiden yang bermuatan hasil ratifikasi perjanjian internasional bukanlah hal yang mudah, karena Mahkamah Agung memiliki kemampuan pengujian dalam tingkat kasasi dan uji materiil terhadap undang-undang. Maka dari itu sama halnya dengan undang-undang maka kedudukan Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden seharusnya diatur tersendiri. Karena efek perjanjian internasional ini tidak hanya berlaku bagi warga negara Indonesia saja namun juga berefek pada warga negara asing. Selain itu juga perlunya perlindungan maupun imunitas terhadap Keputusan Presiden terhadap uji materiil di Mahkamah Agung.

  3.3 Mekanisme Perlindungan Hukum Bagi Rakyat atas Pengesahan Perjanjian Internasional

  Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi perlindungan hukum terhadap rakyatnya. Perlindungan hukum rakyat yang sedang strategis diperbicarakan adalah adanya mekanisme pengaduan konstitusional

  81

  (constitutional complaint). CC dikenal sebagai salah satu elemen penting guna 81 Simon Butt, Rachmita Harahap, dkk, Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI: Naskah

  Konferensi Mahkamah Konstitusi dan Pemajuan Hak Konstitusional Warga , Pustaka Masyarakat mewujudkan gagasan negara hukum yang demokratis dalam praktik karena ia dikonsepsikan sebagai bagian dari upaya memberikan perlidungan maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara. CC dapat diberikan pengertian sebagai pegaduan atau gugatan yang diajuka oleh perorangan ke MK terhadap perbuatan (atau kelalaian) suatu lembaga publik yang mengakibatkan hak-hak

  82

  dasar atau hak-hak konstitusional orang yang bersangkutan dirugikan. CC dapat diterima oleh MK, jika semua jalan penyelesaian melalui proses peradilan yang tersedia bagi persoalan tersebut telah tidak ada lagi (exhausted).

  CC dapat berupa permohonan individual maupun sekelompok warga masyarakat yang mendalilkan dugaan pelanggaran hak konstitusional yang

  83 dialaminya kepada MK.

  Kasus pengujian UU hasil ratifikasi perjanjian internasional ini berujung pada bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang dalam melakukan pengujian undang-undang tersebut karena UU tersebut bukanlah UU bentuk legislasi DPR dengan persetujuan bersama Presiden seperti yang tertuang pada Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 melainkan UU hasil pembentukan dengan negara lain yang disahkan dengan wewenang yang yang lebih berat dibebankan pada kekuasaan eksekutif.

  Upaya untuk perlindungan masyarakat dalam hal ini hanya ada untuk upaya preventif yaitu berupa adanya pedoman delegasi yang dibuat oleh DPR dan departemen terkait sebelum delegasi ikut berunding dalam pembuatan perjanjian 82 Simon Butt, Rachmita Harahap, dkk, Op. Cit, h. 289. internasional. Upaya represif belum ada jika suatu saat UU hasil ratifikasi perjanjian internasional melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia.

  Upaya represif tersebut tidak ada karena MK dalam hal ini tidak berwenang dalam menangani kasus pengujian undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional. Seharusnya ada upaya untuk perlindunga hukum bagi masyarakat, maka dari itu perlunya ada kewenangan constitutional complaint (CC) pada MK karena dengan itu hak-hak dasar warga negara tetap terlindungi. Adanya kewenangan CC ini hubungannya dengan pengujian undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional adalah jika ada CC maka jika DPR maupun Presiden lalai dalam pengesahan perjanjian internasional tanpa terlebih dahulu mengecheck apakah dapat merugikan hak konstitusional masyarakat maka dapat diajukan ke MK.

  Upaya selanjutnya setelah perkara tersebut dapat diajukan ke MK maka MK dalam amar putusannya dapat membuat lembaga negara tersebut entah DPR atau Presiden untuk mengajukan amandemen maupun mengundurkan diri atau penarikan diri dari perjanjian internasional. Jika Mahkamak Konstitusi tetap berpendirian teguh untuk hanya menjalankan kewenangannya di judicial review maka hak-hak konstitusional warga negara tidak dapat dilindungi.

Dokumen yang terkait

KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.

0 4 15

KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.

0 2 15

THE AUTHORITY OF THE CONSTITUTIONAL COURT IN EXAMINING ON RATIFIED LAW OF INTERNATIONAL TREATY KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

0 12 71

Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan dalam Menetapkan Diskresi (Studi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25PUU-XIV2016)

1 1 19

BAB I PENDAHULUAN - Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 - Ubharajaya Repository

0 0 16

BAB 1 PENDAHULUAN - Konsekuensi Hukum Perjanjian Perkawinan Dalam Perkawinan Campuran Sebelum Dan Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi (Studi Kasus Putusan Nomor: 69/PUU-XII/2015) - Ubharajaya Repository

0 0 21

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENGANDUNG KARAKTER PERUMUSAN NORMA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEKUASAAN PEMBENTUK UNDANG-UNDANG 3.1. Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Bentuk Rumusan Norma Dalam Undang-Undang - PERUMUSAN NORMA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH

0 0 28

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52PUU-IX2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan - PENGHAPUSAN PAJAK HIBURAN GOLF DALAM UU NO. 28 TAHU

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 12

BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33PUU-IX2011 BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Put

0 0 39