BAB II KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA 2.1 Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen - DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA Repository - UNAIR REPOSITORY

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

BAB II KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA

2.1 Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

  Dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen) secara tegas dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Sehingga Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK).

  Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Selain itu, BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan yang diberi kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen secara cepat,

  7

  mudah, dan murah. BPSK memiliki fungsi sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dan lembaga ini dibentuk di kabupaten atau kota serta berfungsi untuk menegakkan hak-hak konsumen. Dalam menjalankan fungsinya berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, BPSK memiliki tugas dan wewenang meliputi: 7 Yusuf Shofie, dan Somi Awan,

  “Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Pelbagai Persoalan Mendasar BPSK ”, Jakarta:Piramedia,2004,h.17.

  8 a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

  c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klasula baku;

  d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran kententuan dalam undang-undang ini; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. Melakukan penelitian dan pemerikasaan sengketa perlindungan konsumen;

  g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang sebagaimana dimaksud para huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pmeriksaan; k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini, berupa penetapan ganti rugi yang besarnya hingga Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

  Sesuai ketentuan Pasal 52 huruf a Undang

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  • – Undang Nomor 8 Tahun 1999 diatas ditegaskan bahwa tugas dan wewenang BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dengan cara melalui mediasi atau arbitrasi atau konsiliasi. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/2001. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase dilakukan atas pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Konsumen. Oleh karena itu yang menjadi dasar Kewenangan BPSK dalam menyelesaiakan sengketa karena adanya kesepakatan dari para pihak sesuai dalam perjanjian atau polis asuransi jiwa.

  Penyelesaian sengketa konsumen ini bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrasi dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter.

2.2 Hubungan Antara Konsumen dengan Tertanggung dan Pelaku Usaha dengan Penanggung Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

  Dilihat dari tugas dan wewenang BPSK maka perlu ditinjau pula mengenai hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dengan tertanggung dan penanggung. Pengertian Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindugan Konsumen adalah:

  “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Berdasarkan pengertian konsumen tersebut

  

8

  terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

  a. Setiap orang 8 Shidarta,

  

”Hukum Perlindungan Konsumen”,Jakarta:Grasindo, 2000, h.4-9

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “Pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan menyebutkan kata- kata: “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian kosumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum. Selain itu dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen United Kingdom (UK) Tahun 1987

  9

  menyatakan: In s.20(6) of the Consumer Protection Act 1987, which states:

  „consumer‟ (a) in relation to any goods, means any person who might wish to be supplied with the goods for his own private use or consumption;

  (b) in relation to any services or facilities, means any person who might wish to be provided with the services or facilities otherwise than for the purposes of any business of his; and

  (c) in relation to any accommodation, means any person who might wish to occupy the accommodation otherwise than for the purposes of any business of his

9 Peter Cartwright, “Consumer Protection and The Criminal Law:Law, Theory, and Policy In The

  UK ”, UK:Cambrigde University Press,2004,h.2

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen UK Tahun 1987, konsumen diartikan sebagai penggunaan secara pribadi atau penggunaan untuk bisnis yang berkaitan dengan barang, fasilitas, layanan, dan akomodasi.

  b. Pemakai Sesuai dengan Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer

  ). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukan, barang dan /atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).

  c. Barang dan/atau jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah- istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Sementara itu, jasa diartikan setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

  Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang.

  d. Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia dipasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Bahkan untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

  e. Baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya. Oleh sebab itu, penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi.

  f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan ini sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu. Selain itu, dalam Pasal 1 angka 11 Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Disektor Jasa Keuangan, konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

  Dalam

  Black‟s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai

  berikut: “A person who buys goods or service for personal, family, or house-hold

  use, with no intention or resale; a natural person who use products for personal

10 Selain itu, dalam Business English Dictionary rather than business purpose”.

  menyebutkan consumer adalah person or company which buys and uses goods

  11 and service. Sedangkan menurut Inosentius Samsul menyebutkan konsumen

  adalah penguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun

  12 diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah, dan undangan.

  10 Bryan A. Garner,”Black‟s Law Dictionary”, St. Paul, Minnesota: West Publishing, 2004, Eight Edition, h.335. 11 Peter Colin, 12 “Business English Dictionary”, London: Linguaphone Institute Limited,2006,h.60.

  Inosentius Samsul, “Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta:Unversitas Indonesia, 2004, h.34.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Pengertian pelaku usaha menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam penjelasan pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

  Berdasarkan penjelasan diatas mengenai konsumen dan pelaku usaha maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Pihak tertanggung dapat dikategorikan sebagai konsumen karena memenuhi syarat sebagai pemakai barang dan/atau jasa sebab perusahaan asuransi jiwa bergerak dibidang jasa. Selain itu juga dalam peraturan otoritas jasa keuangan juga terlihat jelas bahwa konsumen merupakan pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan salah satunya pada perasurasian. Pihak penanggung (perusahaan asuransi) dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha karena pihak penanggung melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi dan merupakn badan usaha sebagaimana dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Maka dari kesimpulan tersebut, BPSK berwenang menyelesaikan sengketa asuransi jiwa dikarenakan adanya hubungan antara kosumen dengan tertanggung dan pelaku usaha dengan penanggung (perusahaan asuransi).

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

2.3 Perjanjian Asuransi Jiwa

  Dalam KUHDagang mengatur mengenai asuransi jiwa, pengaturannya hanya terdiri dari tujuh (7) pasal yaitu Pasal 302 sampai Pasal 308. Dalam Pasal 302 merupakan dasar asuransi jiwa, yang menyatakan

  “jika seseorang dapat guna keperluan seseorang yang berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian.” Selain itu, berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Pererasuransian, bahwa usaha asuransi jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan resiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

  Berdasarkan pasal 1 sub a dari “Ordonantie op het levens verzekering 13

  bedrijf

  ” memberikan pengertian asuransi jiwa sebagai berikut: “Persetujuan untuk mengadakan pembayaran sejumlah uang dengan menerima premi dan yang ada hubungannya dengan hidup atau matinya seseorang manusia”. Selain berdasarkan pengertian formiil yang terdapat di dalam undang-undang, ada juga pendapat ahli hukum megenai pengertian asuransi jiwa. Menurut Santoso

  Pudjisoebroto yang ditulis dalam disertasinya bahwa pertanggungan jiwa ialah

  “Suatu perjanjian dimana penanggung sengan menerima suatu premi mengikat 13 Sri Redjeki Hartono, Asuransi dan Hukum Asuransi di Indonesia, IKIP Semarang Press, 1985,

  hlm.170

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  dirinya terhadap tertanggung, untuk memberi suatu pembayaran kepada tertanggung atau tertunjuk, manakala terjadi suatu peristiwa yang tidak pasti yang 14 harus ada hubungannya d Dan menurut engan meninggalnya tertanggung tadi”.

  H.M.N. Purwosutjipto bahwa Asuransi jiwa dapat diartikan sebagai

  “pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan mengikat diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang 15 Sedangkan yang ditunjuk untuk penutup asuransi sebagai penikmatnya.” menurut Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), asuransi jiwa adalah program perlindungan dalam bentuk pengalihan resiko ekonomis atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan Jika dianalogikan, asuransi jiwa sering diandaikan sebagai payung di rumah anda, pelampung di kapal atau pesawat udara. Sangat dibutuhkan karena berguna pada saat tertentu tetapi 16 seringkali tidak terpikirkan ketika keadaan aman.

  Perjanjian asuransi/pertanggungan jiwa pada asasnya dapat terjadi atas 17 dasar adanya kata sepakat para pihak. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perjanjian asuransi jiwa maka perlu diketahui pula mengenai perjanjian secara 14 Santoso Poedjosoebroto, Beberapa Aspekta Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia, Jakarta:

  Bharata, 1929, hlm.14 (dalam buku Sri Redjeki Hartono, yang berjudul Asuransi dan Hukum Asuransi di Indonesia hlm 169) 15 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jilid 6 Hukum Perdagangan, Jakarta:

  Djambatan, 1992, hal 9 16 Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Pusat Informasi(apa yang dimaksud asuransi jiwa?) ang diakses pada tanggal 9 Juli 2015 17 Sri Redjeki Hartono., op.cit.,hlm. 168 umum. Mengenai syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

  a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang lain. 18 Pernyataan Kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak. 19

  b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Kecakapan merupakan kemampuan yang menurut hukum untuk membuat suatu perbuatan (perikatan atau perjanjian). Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar, berikut ini: 20

  a) Person (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjarig); dan Usia kedewasaan menurut Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 330 KUHPerdata adalah menggunakan standar usia 21 tahun atau telah menikah walaupun sebelum genap berusia 21 tahun. Khusus yang bercerai sebelum umur 21 tahun tetap dianggap cakap hukum. Walaupun standar kedewasaan berusia 21 tahun atau telah menikah, tetapi tidak semua yang mencapai usia 21 tahun dianggap cakap karena berada dibawah pengampuan. 18 J.H. Niewenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan,(terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya, 1985,

  Hlm. 56. (dalam buku .Agus Yudha Hernako yang berjudul Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial hlm. 162) 19 Agus Yudha Hernako, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial,

  Jakarta:Kencana, 2011, hlm.162 20 Ibid.hlm.184.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  b) Rechtpersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan (bevoegheid).

  Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya.

  c. Suatu hal tertentu Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Mengenai hal dan objek tertentu ini dapat dilihat dalam Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata. Substansi pasal-pasal tersebut memberikan 21 pedoman bahwa dalam berkontrak harus terpenuhi hal atau objek tertentu.

  Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak (prestasi) 22 dapat dilaksanakan oleh para pihak.

  d. Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal dapat dilihat dari substansi pasal 1335 dan pasal 1337 KUHPerdata, adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut harus disertai itikad baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang- 23 undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.

  Sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, perjanjian asuransi tunduk pada 4 (empat) asas penting bagi sahnya suatu perjanjian dalam

24 KUHPerdata yaitu sebagai berikut:

  a. Asas kebebasan berkontrak 21 22 Agus Yudha Hernako, op.cit., hlm. 192 23 Ibid. 24 Ibid, hlm.193-199 Ibid, hlm. 108-145

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Asas kebebasan berkontrak tercemin dari substansi Pasal 1338 ayat (1) KUH

  Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

  sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

  ”. Kebebesan berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun (tertulis, lisan, scriptless,

  paperless , autentik, nonautentik, sepihak/eenzijdig, adhesi, standar/baku, dan lain-lain), serta dengan isi atau substansi sesuai yang diinginkan para pihak.

  b. Asas konsensualisme Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 angka 1 jo 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa adanya kesepakatan, dimana menurut asas ini perjanjian ini telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian, maka sejak saat itu perjanjian telah sah dan mengikat serta berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

  c. Asas daya mengikat / Asas pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

  undang

  ”.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati seperti mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam

Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yaitu “suatu perjanjian tidak dapat ditarik

  kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu

  ”. d. Asas itikad baik Asas itikad baik didasarkan pada 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (contractus

  bonafidei ). Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan.

  Sebagaimana yang dibahas diatas maka perjanjian asuransi jiwa yaitu berhubungan dengan kepentingan finansial dan bersifat perjanjian kemungkinan.

  Sebagaimana pada perjanjian asuransi/pertanggungan yang untuk sahnya perjanjian lain, disyaratkan adanya kata kesepakatan dari para pihak dan syarat itu tentu saja para pihak disini haruslah yang mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum sesuai dengan yang disyaratkan oleh Undang-undang. 25 Oleh karena itu dapat disimpulkan perjanjian asuransi jiwa sama dengan perjanjian pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pengertian perjanjian asuransi jiwa terdapat ka ta “polis”. Kata polis dalam perjanjian asuransi jiwa memiliki pengertian sebagai berikut: a. Menurut Pasal 1 angka 1 dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik

  Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Rea suransi, “polis asuransi adalah polis

  atau perjanjian asuransi, atau dengan nama apapun serta dokumen lain yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi, termasuk tanda bukti kepesertaan asuransi bagi pertanggungan kumpulan, antara pihak penanggung dan pihak pemegang polis atau tertanggung.” 25 Sri Redjeki Hartono, op.cit., hlm. 174

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  b. Menurut AXA Indonesia, polis adalah Surat kontrak yang memuat perjanjian 26 asuransi jiwa antara Pemegang Polis dan Penanggung.

  c. Pengertian Polis Asuransi Jiwa (Life Insurance Policy) menurut definisi dari LOMA (Life Office Management Association

  ) adalah: “Polis Asuransi Jiwa (Life Insurance Policy) adalah polis di mana di dalam polis tersebut perusahaan asuransi berjanji untuk membayar manfaat atas kematian orang yang 27 diasuransikan/tertangg ung.”

  d. Menurut Asiosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Polis berisi kontrak antara perusahaan asuransi jiwa dan pemegang polis dimana perusahaan Asuransi Jiwa mempunyai kewajiban untuk memberikan sejumlah uang yang telah ditentukan kepada yang ditunjuk (biasanya ahli waris) jika terjadi kematian, atau tetap hidupnya tertanggung pada akhir masa kontrak. (Sesuai masa pertanggungan). Sebagai imbalan atas pengalihan resiko tersebut pemegang polis mempunyai kewajiban kepada perusahaan asuransi jiwa, yang disebut 28 dengan pembayaran premi.

  Polis asuransi jiwa juga diatur dalam dalam pasal 304 KUHDagang, yang menentukan syarat umum polis asuransi jiwa yang harus memuat: 1) Hari ditutupnya pertanggungan; 2) Nama si tertanggung; 3) Nama orang yang jiwanya dipertanggungkan; 4) Saat mulai berlaku dan berakhirnya bahaya bagi si penanggung; 26 AXA Indonesia, Istilah Asuransi,

  iakses pada tanggal 9 Juli 2015 27 Iqbal Fadjar, Pengertian Polis Asuransi Jiwa, diakses pada tanggal 19 juli 2015 28 Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Pusat Informasi(bagaimana bentuk asuransi jiwa), iakses pada tanggal 9 Juli 2015

  5) Jumlah uang untuk mana diadakan pertanggungan; 6) Premi pertanggungan tersebut.

  c. cara pembayaran premi,

  kontrak asuransi (incontestable period);

  h. periode dimana pihak perusahaan tidak dapat meninjau ulang keabsahan

  melewati tenggang waktu yang disepakati;

  g. kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan

  f. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi,

  pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah,

  e. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing apabila

  d. tenggang waktu (grace period) pembayaran premi,

  b. uraian manfaat yang diperjanjikan,

  Mengenai polis asuransi secara umum diatur juga dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan bahwa: (1) Perusahaan Perasuransian wajib memenuhi standar perilaku usaha yang mencakup ketentuan mengenai: a. polis;

  a. saat berlakunya pertanggungan,

  Berdasarkan Pasal 8 dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, mensyaratkan bahwa setiap perusahaan asuransi dalam membuat polis asuransi harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan mengenai:

  g. penarlganan keluhan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta; dan h. standar lain yang penyelenggaraan usaha. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar perilaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

  f. distribusi atau pemasaran produk;

  e. keahlian di bidang perasuransian;

  d. penyelesaian klaim;

  c. urderwriting dan pengenalan Pemegalg Polis, Tertanggung, atau Peserta;

  b. Premi atau Kontribusi;

  

i. tabel nilai tunai, bagi Polis Asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai;

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

j. perhitungan dividen polis atau yang sejenis, bagi Polis Asuransi jiwa yang

  menjanjikan dividen polis atau yang sejenis;

  k. penghentian pertanggungan, baik dari pihak penanggung maupun dari pihak

  pemegang polis, termasuk syarat dan penyebabnya;

  l. syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang

  diperlukan dalam mengajukan klaim;

  m. pemilihan tempat penyelesaian perselisihan; n. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat,

  untuk Polis Asuransi yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau lebih.

  Ada kalanya perjanjian pertanggungan jiwa dihentikan sebelum 29 jangka waktu yang perjanjikan berakhir, yaitu apabila:

  

1) Atas kemauan pihak pemegang polis/pengambil asuransi atau tertanggung.

2) Diberhentikan oleh pihak penanggung karena pemegang polis/pengambil asuransi atau tertanggung tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya.

  3) Perjanjian asuransi jiwa terhenti karena keadaan terpaksa mutlak atau force majeure .

2.4 Bentuk-Bentuk Penyelesain Sengketa Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

  Berdasarkan tugas dan wewenang BPSK, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu: a. Konsiliasi

  Menurut Pasal 1 angka 9 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK menyatakan bahwa, konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan

29 Sri Redjeki Hartono, op.cit., hlm. 177

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.

  Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi dalam Pasal

  29 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Tugas dan Wewenang BPSK adalah sebagai berikut:

  a)

  Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;

  b)

  Majelis bertindak pasif sebagai Konsiliator;

  c)

  Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan keputusan.

  b. Mediasi Menurut Pasal 1 angka 10 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK menyatakan bahwa, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.

  Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi dalam Pasal 31 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Tugas dan Wewenang BPSK adalah sebagai berikut:

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  a) Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;

  b) Majelis bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa; c) Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan ketentuan.

  c. Arbitrase Menurut Pasal 1 angka 11 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK menyatakan bahwa, arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase dalam Pasal 33 sampai 34 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK adalah sebagai berikut: a) Ketua Majelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada konsumen dan pelaku usaha, mengenai upaya upaya hukum yang digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  b) Dengan izin Ketua Majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.

  c) Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Majelis wajibmendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha.

  d) Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan. Dalam pasal 36 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK Bilamana pada persidangan ke II (kedua) konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.

2.5 Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

  Putusan BPSK diatur dalam Pasal 37-42 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

  Hasil penyelesaian sengketa konsumen melalui cara konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen dan pelaku usaha.

  Perjanjian tertulis dikuatkan dengan keputusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Sedangkan dengan hasil penyelesaian konsumen melalui cara arbitrase dibuat dalam bentuk putusan majelis yang ditanda-tangani oleh ketua dan anggota majelis. Putusan majelis adalah putusan BPSK. Putusan BPSK dapat berupa:

  a. Perdamaian;

  b. Gugatan ditolak dan c. Gugatan dikabulkan.

  Dalam hal kegiatan dikabulkan, maka amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Kewajiban tersebut berupa pemenuhan:

  a. Ganti rugi; Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh konsumen dan yang dapat dikabulkan oleh Majelis BPSK diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Penyelesaian Konsumen yaitu berupa:

  a) Pengembalian uang;

  b) Pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya;

  c) Perawatan kesehatan; dan/atau d) Pemberian santunan.

  b. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.

  200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Dalam hal sanksi administratif ini hanya dapat dijatuhkan apabila para pihak sepakat memilih mekanisme penyelesaian sengketa secara arbitrase.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Sengketa konsumen yang dapat diselesaiakan melalui BPSK berdasarkan Pasal 1 angka 8 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Pada umumnya sengketa asuransi jiwa dalam Pasal 17 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sengketa yang terkait masalah klaim, penuntutan jasa, dan penafsiran ketentuan polis. Dalam sengketa ini sering terjadi kekurangan barang bukti yang berakibat permohonan penyelesaian sengketa konsumen ditolak oleh Ketua BPSK. Apabila sudah memenuhi semua persyaratan maka permohonan dapat diterima oleh Ketua BPSK.

  Dalam hal sengketa yang diterima oleh Ketua BPSK dan gugutannya dikabulkan maka putusan yang sesuai dengan sengketa asuransi jiwa adalah ganti rugi pengembalian jasa karena dalam hal pengembalian jasa merupakan bentuk prestasi yang disediakan oleh pihak penanggung ( perusahaan asuransi) yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tertanggung. Selain itu juga dapat berupa sanksi adminitstarif yaitu penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

  Ketua BPSK memberitahukan putusan majelis secara tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat-lambatnya 7

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima dan menolak putusan BPSK. Konsumen dan pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK dibacakan.

  Tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006. Di samping itu, pelaku usaha yang menyatakan menerima putusan BPSK, wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK. Dalam hal, pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan, setelah batas waktu 7 (tujuh) hari dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui. Apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya, maka BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terhadap perbuatan BPSK, untuk dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Eksekusi atau pelaksanaan sudah mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau menaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan hukum.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Penetapan eksekusi diatur juga dalam Pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

  Konsumen mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum konsumen yang bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan. Permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan, ditetapkan oleh pengadilan negeri yang memutus perkara keberatan bersangkutan. Oleh karena itu, pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.

2.6 Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa dalam Asuransi Jiwa

2.6.1 Sebelum adanya Undang-Undang 40 Tahun 2014 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

  Berkaitan dengan pemilihan tempat penyelesaian sengketa terhadap nasabah asuransi jiwa yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian masih tergolong belum jelas, karena di dalam Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan secara rinci mengenai tempat penyelesaian. Selain itu, dalam Pasal 8 huruf m dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi ini sudah mengatur bahwa dalam polis asuransi harus memuat mengenai pemilihan forum penyelesaian perselisihan. Akan tetapi, dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut belum menjabarkan secara rinci mengenai tempat yang sesuai untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan perkara asuransi.

  Pada peraturan perundang-undangan tersebut mengandung multi tafsir yang oleh sebagian besar orang memiliki pemahaman atau penafsiran yang berbeda-beda. Hal yang sangat wajar apabila kemudian muncul banyak pertanyaan seputar tempat penyelesaian sengketa yang sesuai dan seperti apa yang dimaksudkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Klausula penyelesaian sengketa sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 diwajibkan mencantumkan Klausula Penyelesaian Sengketa (Disputes Clause) pada umumnya dicantumkan dua (2) pilihan forum penyelesaian sengketa yaitu Pengadilan dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Arbitrase, Mediasi, dan Ajudikasi).

  Sengketa di dalam asuransi jiwa antara Tertanggung dengan Penanggung, Penanggung dengan Penanggung Ulang dapat diselesaikan melalui forum sebagai berikut : a) Pengadilan

  Pengadilan terdiri dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA). Forum ini sudah dikenal oleh masyarakat umum untuk menyelesaikan berbagai macam perselisihan atau sengketa yang terjadi.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Proses peradilan yang lengkap berupa pemeriksaan bukti-bukti, saksi- saksi dan lain-lain dilakukan di tingkat pengadilan tingkat pertama (PN).

  Hasil akhir dari proses di Pengadilan Negeri berupa putusan yang hasilnya bisa bermacam-macam. Putusan Pengadilan ini akan memenangkan salah satu pihak. Apabila salah satu pihak yang tidak puas atau merasa dirugikan terhadap putusan Pengadilan Negeri bisa melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi maupun upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

  Upaya hukum banding dan kasasi merupakan upaya hukum biasa, karena upaya hukum tersebut dilakukan atas putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Sedangkan untuk upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa dan hanya dapat dilakukan sekali dengan alasan antara lain sebagai berikut :

  1. Putusan yang jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan.

  2. Putusan mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi dari apa yang dituntut.

  3. Suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab- sebabnya.

  4. Putusan didasarkan atas kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus, atau keterangan saksi atau surat- surat bukti kemudian oleh hakim dinyatakan palsu.

  5. Adanya novum (bukti baru) yaitu bukti yang benar-benar baru tidak pernah diungkap di dalam persidangan sebelumnya. Sedangkan bukti ini sangat menentukan.

  b) Arbitrase Penyelesaian sengeketa melalui arbitrase terdapat ada 2 (dua) macam yaitu:

  1. Arbitrase Ad Hoc Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang memiliki sifat sementara dan dibentuk oleh para pihak yang bersengketa.