MEDIASI SEBAGAI MEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN

  ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA S K R I P S I

  A N S O R I M E D I A S I S E B A G A I M E K A N I S M E A L TE R N A TI F P E N Y E LE S A I A N S E N G K E TA L I N G K U N G A N ( S T U D I K A S U S : P E N C E M A R A N L I N G K U N G A N D I T E M B O K D U K U H S U R A B A Y A ) v.

  M I 1 PE !!!'!.

  'U N IV F.PS U

  'C3UA*

  S U R li Y A F A K U L TA S H U K U M U N I V E R S I TA S A I R L A N G G A S U R A B A Y A

  1 9 9 4

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  MEDIASI SEBAGAI HEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN (STUDI KASUS : PENCEMARAN LINGKUNGAN

  DI TEMBOK DUKUH SURABAYA) SKRIPSI DIAJUKAN UNTUK HELENGKAPI TUGAS DAN

  HEMENUHI SYARAT-SYARAT UNTUK MENCAPAI GELAR SARJANA HUKUM

  Penbinbing : Penyusun :

  Baswedan, S.H NIP. 130261538

S K R I P S I

  MEDIASI SEBAGAI HEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN (STUDI KASUS : PENCEMARAN LINGKUNGAN

  DI TEMBOK DUKUH SURABAYA) Telah diuji dan disetujui pada :

  Hari-Tanggal : Kanis, 27 Januari 1994 Vaktu : 12.00 NIB.

  i

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

”Ta Allah

  , aku aohon cinta-Mu, dan ointa orang yang nencintai-Mu serta seaua amalan yang mendekatkanku kepada cinta-Mu

  ." (Dari nunajat Rasulullah SAW.

  kepada kekasihnya Yang Haha Tinggi dan Maha Agung).

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

K.ATA P EH G A N TA R

  Dengan senantiasa memanjatkan puji syukur alhamdu- lillah atas segala anugerah Allah SWT., sehingga hanya dengan kekuatan-Nya sajalah dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini.

  Ide penulisan skripsi ini, bercermin dari beberapa kasus pencemaran lingkungan di tengah-tengah laju pembangunan dewasa ini yang penegakan hukumnya sungguh sangat memprihatinkan. Kiranya perlu dikritisi, bahwa model pembangunan konvensional selama ini di samping bersifat eksploitation resources juga telah men'empatkan masyarakat miskin (tidak cukup memiliki akses sumber daya ekonomi maupun informasi) termarginalisasi hak-hak atas pembangunannya, yang secara hakiki semestinya dimiliki oleh setiap warga negara. Namun, pada kenyataannya mereka sering tidak berdaya merebut kembali hak-haknya manakala hak-hak itu mulai terkoyak oleh kepentingan yang berlindung di balik kepentingan pembangunan dan terfasilitasi oleh hukum yang tidak lebih dari sebuah legitimasi kekuasaan yang syarat dengan kepentingan politik.

  Dari latar belakang tersebut, maka penulisan

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  skripsi yang bersifat korektif ini diharapkan dapat menjadi salah satu mekanisme kontrol dan pertimbangan bagi kebijakan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Sebab, kita tidak ingin pembangunan yang kita enyam dewasa ini ternyata menimbulkan beban bagi anak cucu kita di generasi mendatang. Butti tcupat kita

  borpijak sekarang ini bukanlah warisan nenek Boyang, tetapi kita Beainjaanya dari anak cucu kita. Karenanya,

  merupakan tanggung jawab kita bersama untuk memeliharanya dari setiap upaya eksploitasi yang potensial mengahancur- kan masa depan bumi ini.

  Saya sadar, bahwa penulisan skripsi ini dengan segala fasilitas dan keterbatasan masih jauh dari sempurna. Namun, tidaklah mengurangi rasa hormat dan terima kasih saya pada : ,

  1. Segenap civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Airlangga, terutama : Pembantu Dekan III Bapak Hermawan

  Ps. Notodipoero, S.H., M.S. yang memfasilitasi saya memperoleh Bea Siswa Indo Cement dan Gelar Mahasiswa Prestasi Tahun Akademik 1992-1993 dengan makalah

  "Penegakan Hukum Perdata Lingkungan", yang materinya banyak saya singgung dalam skripsi ini. Kepada Dosen Pembimbing Bapak Ismet Baswedan, S.H. dan segenap Tim

  Penguji (Bapak Abdoel Rasjid, S.H., LLM., Bapak Basuki

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  Rekso Wibowo, S.H., M.S. dan Bapak Bambang Surjo, S.H.) kami ucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi- tingginya.

  2. Direktur YLBHI-LBH Surabaya Bapak Much. Zaidun, S.H., yang telah memberi kesempatan saya turut aktif di lembaga ini, juga kepada segenap rekan-rekan Peng&bdi Bantuan Hukum YLBHI-LBH Surabaya, Mas Indro Sugianto,

  Eko Nuryanto, Dadang Trisasongko, Boedhi Wijardjo, Achmad Fauzan, Munir, Andik, Purwoko, Nuzulul, Ida,

  Pungki, Dedik Gembul dan Hadi yang motivasi dan pokok- pokok pemikirannya turut mewarnai skripsi ini.

  3. Bapak Takdir Rahmadi, S.H., LLM., pembimbing istimewa yang bagian tesis masternya saya pergunakan sebagai literatur penulisan skripsi ini. Demikian halnya dengan Bapak Mas Achmad Santosa, S.H., LLM., yang banyak memberikan pengalamannya tentang mediasi.

  4. Karibku Haris, Lutfi, Aan, Lucy, Lulung, Emy dan semua keluarga.

  5. Ibu Sultonah serta semua kakak dan adik-adikku yang tercinta.

  6. Semua pihak yang turut membantu terselesaikannya penulisan.skripsi ini, yang tidak tersebut di sini.

  Pada akhirnya saya sadar bahwa setiap hasil karya manusia tidak ada yang sempurna, demikian halnya penulisan

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  skripsi ini, untuk itu lebih jauh perlu kritik dan saran.

  Namun saya berharap skripsi ini dapat tetap bermanfaat bagi pertimbangan penegakan hukum lingkungan yang dewasa ini tengah dalam kondisi memprihatinkan. Juga bermanfaat bagi pengembangan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa lingkungan di masa mendatang, di mana lingkungan yang semakin potensial menjadi korban pembangunan yang kurang peduli terhadap pelestarian lingkungan, lebih mendapat perhatian dan perlindungan.

  Surabaya, 27 Januari 1994 Penulis,

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ABSTRAK

  Adanya banyak kendala penegakan hukum lingkungan, khususnya mengenai

substansi hukum itu sendiri. Para ahli analisis kebijaksanaan publik merumuskan bahwa

kesangkilan atau kemangkusan penegakan suatu produk peraturan perundang-undangan

termasuk UULH ini dipengaruhi oleh variable-variabel antara lain :

Pertama, variabel-variabel di luar undang-undang, yang didalamnya terkait variabel-variabel

mudah-tidaknya masalah itu dikendalikan. Termasuk dalam hal ini adalah persoalan

keanekaragaman perilaku kelompok sasarannya, kesukaran-kesukaran teknis terkait dengan

penegakan peraturannya, dukungan publik terhadap peraturan perundang-undangan,

kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana.

  

Kedua, variabel-variabel substansif undang-undang, yang didalamnya terkait permasalahan

konsistensi tujuan, keterpaduan hierarki-titik veto sanksi, akses formal dan evaluasi oleh

pihak luar.

  

Ketiga, tahap-tahap yang ada dalam proses implementasinya (variabel tergantung), yang di

dalamnya terkait persoalan-persoalan out put kebijaksanaan dari badan pelaksana, kepatuhan

kelompok-kelompok sasaran terhadap putusan badan pelaksana, dampak nyata keputusan

badan pelaksana, persepsi terhadap dampak keputusan tersebut dan akses perubahan

perundang-undangan.

  Persepsi yang merata (prevalent) di kalangan aparat pemda dan instansi sektoral

(Departemen Perindustrian beserta Kanwil dan Kandepnya dan BKPM atau BKPMD), bahwa

tindakan tegas konsisten terhadap pencemar lingkungan di kalangan perusahaan industri

dikhawatirkan menyebabkan penurunan angka pertumbuhan industri dan investasi. Padahal

tolok ukur keberhasilan aparat instansi-instansi tersebut adalah pencapaian target

pertumbuhan industri dan investasi yang dicanangkan dari pemerintah pusat. Hal ini

  ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

mengakibatkan instansi-instansi pemda dan sektoral memberikan toleransi yang berlebihan

pada industri yang nyata-nyata telah mencemari dan merugikan warga masyarakat.

  Kenyataan demikian tidak bisa dipungkiri dalam setiap penegakan hukum, terutama

dalam penegakan hokum lingkungan di pengadilan. Penyelesaian di pengadilan sering

dihadapkan pada persoalan struktural-politis, yang membuat lembaga peradilan tidak otonom.

Adanya kendala-kendala yang melekat pada proses pengadilan dalam menangani kasus-kasus

lingkungan, telah mengecewakan para pihak yang yang menjadi korban khususnya dan

masyarakat pada umumnya. Adanya kendala tersebut, ternyata telah pula menimbulkan

kesadaran masyarakat bahwa pengadilan tidak selalu menjadi forum terbaik untuk

menyelesaikan sengketa. Timbulnya kesadaran itu telah pula mendorong para sarjana untuk

mengkaji pengembangan mekanisme-mekanisme alternative penyelesaian sengketa

lingkungan. Salah satu di antara berapa bentuk mekanisme alternatif penyelesaian sengketa lingkungan adalah mediasi.

  D A F TA R I S I

IV BAB

  I PENDAHULUAN

  3. Alasan Pemilihan Judul ......

  29 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  26 UULH ...

  24

  23

  19

  17

  6. Pertanggungjawaban Sistematika

  5. Metodologi ..................

  4. Tujuan Penulisan ............

  2. Penjelasan Judul ...........

  1. Latar Belakang Masalah dan Rumusannya .... 1

  KATA PENGANTAR DAFTAR ISI v m

  a. Kebutuhan praktis ...................... 52

  3. Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan

  d. Perkembangan Metoda Penentuan Ganti Rugi ................................... 48

  c. Beban Pembuktian Terbalik ............. 44

  b. Tanggung gugat pelaku pencemaran b.l. Prinsip liability based on fault .. 39 b.2. Prinsip strict liability ......... 40

  2. Penyelesaian Sengketa Perdata Lingkungan melalui Pengadilan a. Gugatan berdasarkan pasal 1365 B.W. ... 36

  1. Tinjauan Segi-segi Hukum dalam Substansi

  BAB II TINJAUAN UMUM LEMBAGA-LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN

  b. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui tim tripihak (pasal 20 ayat (2)) UULH .. 55 c. Beberapa bentuk mekanisme alternatif penyelesaian sengketa lingkungan ...... 59

  BAB III PENDAYAGUNAAN MEDIASI DI INDONESIA

  

  

  b. Mediasi di Tengah Proses Persidangan ...106

  a. Upaya Mediasi Pra Litigasi ............ 104

  5. Uapaya Penyelesaian melalui Mediasi dan Hasil Kesepakatannya

  

  3. Tanggapan Pemda dan Dasar Adanya Pencemaran ................................ 99

  2. Upaya yang Dilakukan Warga ............... 97

  1. Gambaran Kasus .... ...................... 95

  BAB IV PENDAYAGUNAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN DI TEMBOK DUKUH

  

  1. Landasan Yuridis .......................... 68

  e. Inkonsistensi peran pejabat administrasi ........................... 88

  d. Masalah pelaksanaan kesepakatan ....... 85

  c. Peranserta masyarakat .................. 84

  b. Penentuan mediator ..................... 81

  a. Masalah pendanaan ...................... 80

  3. Kendala-kendala Mediasi

  d. Upaya-upaya memperkenalkan mediasi .... 76

  a. Kendala peradilan yang sederhana cepat dan ringan ............................. 71 b. Luasnya ruang lingkup permasalahan lingkungan ............................. 70 c. Dukungan budaya musyawarah ............ 75

  2. Beberapa Faktor Penyebab Efektifnya Mediasi

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  BAB

  V PENUTUP

  1. Kesimpulan ................................ 128

  2. Saran ..................................... 132 DAFTAR PUSTAKA ........................................ 134 LAHPIRAH

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  BAB I PEHDAHULUAH

  Grat sekali kaitannya dengan model pembangunan konvensional yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi

  (economic growth), maka semakin memberi peluang bagi

  lahirnya berbagai kebijaksanaan yang mengesampingkan kepentingan serta mengabaikan hak-hak masyarakat atas pengelolaan sumber daya alam. Pola pembangunan ini menjadikan manusia hanya sebagai objek yang harus ditingkatkan kemakmurannya. Akses pada sumber daya

  (resources)

  , apakah itu sumber daya ekonomi (termasuk sumber daya alam), atau juga sumber daya non ekonomi (termasuk informasi) yang dapat meningkatkan kualitas diri mereka tidak dibuka secara luas. Prioritas pertumbuhan ekonomi mengakibatkan sikap toleransi yang berlebihan dari pemerintah terhadap pelaku pencemaran dan menimbulkan eksklusivme aparat birokrasi didalam proses pengambilan keputusan-keputusan administratif lingkungan. Kondisi demikian menjadi penyebab utama meningkatnya kasus-kasus pencemaran pada beberapa wilayah di seluruh Indonesia.

  Pembahasan masalah lingkungan sering membawa kita pada masalah yang rumit, keterkaitan berbagai faktor, dan masalah serta persepsi baru yang mengharuskan kita untuk meninggalkan pandangan-pandangan yang sudah dianggap usang (obstinate). Perkembangan ini dengan segera membawa kita pada suatu permasalahan pokok dan

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  penting, yaitu cara bagaimana sistem hukum harus mampu menjawab secara efektif persoalan yang timbul dari benturan-benturan kepentingan sebagai akibat dari penanfaatan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini.

  Dalam pelaksanaan pembangunan sering kali terjadi benturan kepentingan yang tidak menguntungkan lingkungan. Hal ini disebabkan sistem hukum lingkungan di Indonesia sendiri yang sektor satu dengan lainnya belum searah. Sistem hukum lingkungan di Indonesia yang terdiri dari sekumpulan peraturan perundang-undangan sektoral dan merupakan ketentuan operasional belum menyesuaikan diri sepenuhnya dengan UULH sebagai <umbrella provitions). Padahal salah satu syarat pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah keharusan adanya kesesuaian ketentuan- ketentuan operasional dengan prinsip-prinsip ekologi dan prinsip-prinsip UULH yang bersifat lintas sektoral dan antar disiplin ilmu.

  Pola pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi yang digunakan sejak aval Orde Baru disamping nenyuburkan eksploitasi sumber daya alam, semakin lama semakin disadari sebagai penyebab u tain a meningkatnya laju permasalahan lingkungan.

  Dalam pola pembangunan seperti ini, pengelolaan sumber daya alam telah lepas sama sekali dengan fungsi

  • Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukun Lingkungan Indonesia. Alumni, Bandung, 1992, hal.1.

  3

  ekosistennya. Fungsi keterikatan, keragaman, keselarasan dan keberlanjutan dari ekosistem sering diabaikan.

  Haka orientasi pembangunan terhadap tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi hampir selalu menempatkan masyarakat, terutama kelompok masyarakat miskin sebagai korban pembangunan yang tidak menghormati lingkungan ini.

  Pembangunan mempunyai tujuan jangka panjang dalam arti kita tidak hanya membangun untuk kita, generasi yang sekarang, melainkan juga anak cucu kita, generasi yang akan datang. Dengan lain perkataan pada akhir hayat kita, bumi haruslah kita kembalikan kepada generasi berikutnya dalam keadaan yang lebih baik. Fase yang kita tinggalkan harus dapat merupakan dasar untuk mendukung fase pembangunan berikutnya. Haruslah ada janinan tidak akan terjadi keambrukan karena lingkungan tidak dapat lagi mendukung pembangunan itu. 2

  Pernyataan di atas mengingatkan kita, terutama untuk merenungkan seberapa jauh kita menghayati apa yang sering kita ekspresikan dalam ungkapan "bumi ini bukan

  

warisan dari nenek moyang kita, tapi kita mem in jam dari

anak cucu kita

  Lingkungan hidup dalam kaitannya dengan pembangunan mulai dikenal di kalangan pemerintahan negara di dunia pada awal 1970-an sejak adanya Deklarasi PBB tentang

  2Hani Djuangsih, "Peranan Sains dalam Proses E.£Eboktian acngketa Lingkungan“ . Prosiding Diskusi Dua

  Hari

  IHasalahzmasalah Prosedural dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan*' . Editor : Sukma V. Saubary dan Sandra Moniaga, SKREPP dan WALHI, Jakarta, 1989, hal. 63.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  4

  lingkungan hidup, atau tepatnya tahun 1972, sebagaimana halnya ditetapkan dalam Deklarasi Stockholm (Stockholm

  Declaration). Dan sejak itulah mulai dirintis adanya

  berbagai langkah untuk mengembangkan pola pembangunan yang berwawasan lingkungan.

  Kita tentu menganggap, masalah pelestarian alam dan lingkungan hidup menduduki prioritas penting dalam skala pembangunan nasional, dan dalam konteks kita sebagai negara berkembang masalah itu juga dipandang sebagai masalah Hak Asasi Manusia (HAH). Hal ini terlihat dari fakta adanya Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup dalam komposisi kabinet dalam beberapa Pelita terakhir ini.

  Dengan adanya Deklarasi Stockholm tersebut di atas, perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan untuk berkembang lebih kuat, baik pada taraf nasional, regional maupun internasional. "Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan Dek­ larasi Stockholm ini sebagai referensi bersama”

  Setelah terlahirnya Deklarasi Stockholm, maka kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang berwawasan lingkungan mulai mengedepan menyertai perjalanan zaman. o

  Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan , Sdisi V, C e t . VIII, Gadjah Mada University Press, Yogy&karta, 1991, hal. 9.

  5 Pada tahun 1978 sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah

  untuk meratakan hasil-hasil pembangunan sebagaimana digariskan oleh Pelita

  III, perhatian terhadap masalahlingkungan hidup semakin meningkat. Erat kaitannya dengan hal ini, ketentuan TAP MPR RI No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara memberikan penjelasan sebagai berikut :

  Dalam pelaksanaan pembangunan perlu selalu diadakan penilaian yang seksama terhadap pengaruhny'a bagi kelangsungan hidup, agar pengamanan atas pelaksanaan pembangunan dan kelangsungan hidupnya dapat dilakukan baik secara sektoral maupun regional dan untuk itu perlu dikembangkan kriteria baku mutu lingkungan hidup.

  Untuk menghadapi masalah tersebut, pada dekade tahun 1880-an dikenal dengan adanya konsep "pembangunan berwawasan lingkungan”, dengan menumbuhkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam aktivitas pembangunan tanpa merusak lingkungan. Hal ini dapat kita lihat dari Pola

  Umum Pembangunan Jangka Panjang, yaitu ; Dalam melaksanakan pembangunan, sumber-sumber daya alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan juga harus memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang.^

  4XAE HER BX

  IV/MPR/1978, Saris-garis Besar Haitian Negara. Tentang Ekonomi, Butir 13 C.

  51AE. KEfi ai

  II/MPR/19BB. Saris-garis Besar Haluan Negara. Arah Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  6 Konferensi Stockholm di atas ternyata tidak dapat

  mengatasi masalah lingkungan yang dihadapi dunia. Pada satu pihak negara maju masih meneruskan pola hidupnya yang mewah dan boros serta yang mencemari lingkungan. Pada pihak lain, negara sedang berkemb&ng juga meningkatkan eksploitasi pada sumber daya alamnya untuk meningkatkan pembangunan dan untuk membayar hutang luar negerinya. Dengan timbulnya masalah tersebut, PBB membentuk sebuah komisi khusus untuk menelaah masalah lingkungan itu, yaitu komisi sedunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan. Komisi ini telah menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dan mengumumkan laporannya yang berjudul Hari Depan Kita

  Bersama (Our Common Future).® Dari laporan yang dirumuskan Komisi Dunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan ini, kemudian lahir dan berkembang konsep sustainable development. Hal ini secara politis diperkuat dengan masuknya pertimbangan masalah lingkungan pada umumnya dan pembangunan berkelanjutan pada khususnya dalam GBHN 1988, yang didefinisikan sebagai : "pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka" P

  — - - - - - -— —— —_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ i

  ^ t t o Soemarwoto.Indonesia dalam Kancah Xsu Lingkungan Global, Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 7.

  7 Ibid.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  Memang oaminan bahwa pembangunan tidak akan merusak lingkungan dilegitimasi oleh pemerintah pada tahun 1982, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

  (untuk selanjutnya dalam penulisan ini selalu disingkat dengan UULH) yang merupakan dasar yuridis dari pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

  UULH memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup, sehingga UULH berfungsi sebagai "payung” (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup maupun bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada.

  Akan tetapi, selama ini perencanaan dan penegakan prinsip-prinsip pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan masih dalam tahap “kebijaksanaan untuk tidak melaksanakan" (policy non enforcement), mengingat masih begitu banyaknya pasal-pasal dalam UULH yang belum dapat terjabarkan dalam peraturan pelaksanaan. Ada beberapa peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh UULH yang belum bisa dilahirkan antara lain :

  • Peran serta dalam pengelolaan lingkungan (amanat pasal 8 ayat (2) UULH);
  • Tata cara pengaduan dan ganti rugi yang diderita oleh

  8Koesnadi Hardjasoemantri, "tten.ielang Sepuluh Tahun

  

U n d a n g - u n d a n g Lingkungan Hidup". Pidato Akhir Jabatan Guru

B e s a r T e t a p F a k u l t a s H u k u m Universitas Gad.iah Mada.

  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992, hal. 10.

  I ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  8

  penderita dan penelitian tentang bentuk, jenis dan besarnya kerugian (amanat pasal 20 ayat (2) UULH);

  • Tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan lingkungan hidup (amanat pasal 20 ayat (4) UULH);
  • Ketentuan tentang tanggung gugat mutlak (amanat pasal 21 UULH) dan lain-lainnya.

  Dalam kondisi policy non enforcement ini, maka banyak pula peluang penegang kebijakan untuk menerapkan peraturan- peraturan yang bersifat fasilitatif bagi pemodal atau industri. Sebagai akibatnya, pembangunan yang dijalankan masih belum mampu mencerminkan aspek-aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

  Sehubungan dengan meningkatnya industri, belakangan banyak kasus pencemaran lingkungan di nusantara ini yang mulai terungkapkan. Pencemaran lingkungan ini biasanya disadari, justru pada saat yang sudah terlambat. Akibatnya pencemaran yang mengganggu keseimbangan ekologi, berdampak pada manusia yang tidak bisa lepas dari lingkungannya. Lalu siapa yang harus menanggung beban kerugian, baik kerugian yang diderita manusia, maupun lingkungan itu sendiri sebagai subjek hukum yang mengalami kerusakan.

  Maka terlepas dari lambat atau tidak, persoalan lingkungan harus menjadi refleksi bagi semua pihak. Sudah benar-benar seriuskah kita berusaha menyelamatkan negeri elok ini ? Juga patut dikaji seberapa besar kecintaan dan

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  9

  kepedulian pada lingkungan telah tumbuh di masyarakat kita ? Juga seberapa besarkah tanggung jawab sosial para pencemar telah dilaksanakan.

  Penanganan lingkungan memang harus dilakukan secara serius, karena keterkaitan manusia dengan lingkungan tidak hanya didorong oleh romantisme belaka, tetapi banyak argumen rasional yang mendasarinya. Pertana, kerusakan lingkungan adalah risiko yang tidak terpulihkan. Kalaupun masih memungkinkan, dibutuhkan waktu yang lama dan biaya

  pollutant

  cukup besar. Kedua, kebanyakan zat pencemar

  ( )

  bisa berakibat fatal bagi makhluk hidup, meskipun dalam jumlah yang masih kecil. Ketiga, adanya sinergisme, yaitu suatu zat pencemar bisa jadi sebelumnya dikatakan tidak berbahaya, tetapi pada kondisi tertentu bisa berubah menjadi bahan toksoid yang berbahaya. Keeapat, karena penderita terbesar yang menjadi korban kasus pencemaran lingkungan adalah masyarakat umum, yang sebenarnya secara langsung tidak pernah turut menikmati hasil kegiatan yang menimbulkan pencemaran lingkungan tersebut.9

  Masalah pencemaran lingkungan di negara-negara berkembang seperti halnya di Indonesia, identik dengan masalah pemiskinan yang harus cepat diatasi, kalau bisa

  Q °Zaim Saidi dkk, Hemahami Pencemaran Airf WALHI- YLKI-LBH, Jakarta, 1990, hal. 1 dan 2.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  10

  secara prevent!? sudah bisa ditengarai dan tidak perlu menunggu masalah itu menjadi besar. Apabila di negara- negara uaju danpak pencemaran lebih banyak dihubingkan dengan masalah keseha tan masyarakat (public health),

  (recreational

  gagguan terhadap kesempatan berrekreasi

  

opportunities ) dan keindahan (aesthetical values), maka

  di negara-negara berkembang pencemaran tidak hanya terkait dengan masalah-masalah tersebut, akan tetapi terkait erat dengan kesinambungan {survival) kehidupan ekononi masyarakat yang menjadi korbannya.

  Hasalah lingkungan yang meliputi pencemaran dan atau perusakan lingkungan jelas merupakan perbuat^n yang dampaknya merugikan orang/pihak lain dan lingkungan. Karenanya, apabila peristiwa demikian terjadi, maka pihak penderita dapat menuntut secara perdata berupa sejumlah ganti rugi terhadap pihak yang menyebabkan pencemaran itu dan perusakan itu.

  Namun, sebelumnya perlu juga diluruskan sementara anggapan yang keliru, bahwa upaya memperoleh ganti rugi pada khususnya dan penegakan hukum lingkungan pada umumnya hanya melalui proses pengadilan. Hal ini tidak benar, sebab di dalam praktek penegakan hukum dengan berbagai sanksinya, seperti sanksi administratif, sanksi perdata ataupun pidana dapat dilakukan melalui berbagai jalur legal di luar pengadilan.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  11 Demikian halnya dengan tuntutan ganti rugi pada

  sengketa lingkungan, dimungkinkan melalui jalur legal di luar pengadilan. Landasan yuridisnya secara tegas diatur dalam pasal 20 ayat (1) dan (2) UULH, yang redaksionalnya mengatakan sebagai berikut :

  (1). Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (2). Tata cara pengaduan oleh penderita, tata cara i penelitian tim tentang bentuk, dan besarnya kerugian serta tata cara penuntutan ganti kerugian diatur dengan peraturan perundang-undangan.

  Dari ayat (1) dan (2) ini, UULH di samping menganut prinsip pencemar membayar, juga dapat dilihat tentang adanya tim tripihak yang dibentuk oleh pemerintah, yang terdiri atas penderita atau kuasanya, pihak pencemar atau kuasanya, dan unsur pemerintah yang dibentuk untuk setiap kasus.

  Pembentukan tim tripihak ini dimaksudkan agar sejauh mungkin diusahakan tercapainya kesepakatan atas besarnya ganti kerugian yang harus diberikan kepada penderita, setelah diteliti tentang bentuk, jenis dan besarnya kerugian. Untuk keperluan penelitian, dibutuhkan

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  12

  keahlian disiplin ilmu yang dapat diperoleh dari pusat- pusat studi lingkungan yang ada di universitas atau institut.

  Tata cara penuntutan ganti kerugian perlu diberikan penetapan batas waktu perundingan agar tidak berlarut- larut. Apabila batas waktu yang ditetapkan telah dilanpaui tanpa adanya kesepakatan tentang bentuk, jenis dan besarnya ganti kerugian yang perlu dibayar serta cara-cara penbayarannya, maka tuntutan ganti kerugian diajukan nelalui gugatan perdata ke pengadilan negeri.

  Bagaimanapun, berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (2) UULH ini, masih menunggu hasil penyusunan rancangan peraturan pemerintah tentang bagaimana tata cara gugatan dan penuntutan ganti kerugian, tata cara penelitian serta tata cara penetapan, dan pembayaran biaya pemulihan lingkungan. Peraturan pemerintah tersebut sangat penting, karena nengatur prosedur penyelesaian sengketa lingkungan di luar proses peradilan.

  Namun, sambil menunggu ketentuan operasionalnya yang nasih dalan proses, maka penyelesaian 'sengketa lingkungan yang pernah diupayakan melalui nediasi, seperti sengketa lingkungan di Dukuh Tapak-Semarang, juga yang pernah diterapkan di PT Indah Kiat dan terutama yang ditulis dalan skripsi ini, yaitu penyelesaian pencemaran lingkungan oleh PT Sarana Surya Sakti di Tenbok Dukuh P E R P U S T A K A A N M I L 1 K S U R A B A Y A - • u n i v e r s i t a s a i r l a n g g a Surabaya, dengan melak.uk.an evaluasi terhadap mekanisme mediasi yang pernah diterapkan, dengan segala peluang dan kegagalannya, naka diharapkan dapat menumbuhkan, terlebih lagi dapat didirikannya lembaga mediasi lingkungan seperti yang dimaksud oleh undang-undang di atas.

  Berlatar belakang posisi sosial masyarakat yang relatif lebih lemah dan awam dalam soal hukum, apabila dihadapkan dengan satu atau sejumlah pencemar dengan kekuatan ekonomi yang cenderung dekat dengan kekuasaan yang tangguh, nampaknya mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan melalui mediasi ini cenderung memberi peluang prinsip kesetaraan. Mediasi adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu dalam mencari penyelesaian dengan melibatkan pihak-pihak yang bersengketa. Keputusan akhir berdasarkan kesepakatan pihak yang bersengketa. Hasil akhir dari suatu mediasi adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagai pedoman untuk melaksanakan kegiatan yang telah disepakati. Pihak ketiga (mediator) tidak berwenang memaksakan ataupun turut mengambil keputusan.

  Lembaga mediasi sebagai suatu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah berkembang dengan pesat di Amerika Serikat pada permulaan tahun

  70-an. Penerapan mediasi ini dimualai sebagai suatu

  13 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  14

  eksperimen untuk menjajaki kemungkinan adanya alternatif lain selain dari pada negajukan perkara ke pengadilan yang banyak nemakan waktu dan biaya, bahkan sering tidak nenecahkan perselisihan lingkungan

  Bagainana peluang nediasi dalan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, naka sebelun sanpai pada suatu kesinpulan bahwa lenbaga nediasi efektif atau tidak diterapkan di Indonesia, perlu terlebih dahulu dinengerti bagainana proses penyelesaian sengketa lingkungan dapat diselesaikan nelalui pengadilan, dan bagainana pula suatu sengketa lingkungan diselesaikan nelalui lembaga-lenbaga lain di luar pengadilan.

  Penbahasan yang telah ada yang berkaitan dengan lenbaga nediasi sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa lingkungan dewasa ini nasih relatif kurang bahkan nerupakan hal yang baru di kenal di Indonesia. Penbahasan ini diharapkan dapat nengisi kekurangan ataupun untuk nenbudayakan, disamping untuk nenberikan sekedar sunbangan penikiran pengenbangan konsep penyelesaian sengketa ling- kungan di luar pengadilan, terutama nengenai lenbaga nediasi itu sendiri. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat nendorong tulisan-tulisan lain yang nungkin lebih baik dari yang pernah ada, sehingga pada akhirnya dapat ^Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., hal. 356.

  i memberikan konstibusi dalam pengembangan mekanisme mediasi di Indonesia.

  Memang mediasi dalam sengketa lingkungan di Tembok Dukuh ini mengalami kegagalan karena beberapa faktor. Namun hal ini bukannya berarti penulisan tentang mediasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan di Tembok Dukuh ini sia-sia atau sama sekali tidak ada artinya. Karena bagai- manapun kegagalan ini sekaligus dapat dipelajari dan direfleksi kelemahan atau kendala yang ada di dalam mediasi, untuk selanjutnya dapat ditemukan perbaikan- perbaikan tentang mekanisme mediasi yang dianggap lemah tadi.

  Selain itu, ada keistimewaan tentang mekanisme mediasi yang digunakan dalam kasus ini. Mediasi mengintegrasi pada proses peradilan, dalam arti perkara di pengadilan masih tetap ada dan masih bisa dilanjutkan ketika mediasi tidak mencapai kata sepakat. Bisa dipersepsikan para pihak yang menyepakati upaya mediasi itu, hendak mencari dan sangat berharap tercapainya kesepakatan-kesepakatan, yang nantinya akan dikuatkan oleh pengadilan.

  Meskipun gugatan perdata perkara pencemaran lingkungan di Tembok Dukuh ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Surabaya, namun putusan itu belumlah final. Para penggugat melalui kuasanya telah mengajukan

  15 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA banding. Sementara sambil menunggu bagainana putusan akhir yang berkekuatan hukum tetap, maka dari kasus ini menarik dilakukan kajian atau anaiisa dengan memadukan pada sumber hukum yang berlaku, untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa lingkungan yang efektif. Itu semua dim&ksudkan untuk memperkaya mekanisme alternatif penegakan hukum perdata lingkungan.

  Pada akhirnya penyelesaian sengketa lingkungan di Tembok Dukuh yang dibawa ke pengadilan tingkat banding ini, berharap adanya putusan yang membawa angin segar sekaligus menghilangkan kendala bagi penegakan hukum perdata lingkungan, dengan menemukan mekanisme yang potensial efektif untuk diterapkan pada sengketa-sengketa perdata lingkungan lainnya. Sehingga pencari keadilan, khususnya mereka yang menjadi korban pencemaran memperoleh kepastian hukum. Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana bentuk lembaga dan sistem penegakan hukum perdata lingkungan ?

  2. Bagaimana peluang dan pendayagunaan lembaga mediasi sebagai mekanisme alternatif penyelesaian sengketa lingkungan ?

  3. Bagaimana peluang penyelesaian masalah pencemaran lingkungan di Tembok Dukuh dapat ditempuh ?

  16 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  2 . P e n . i e l a s a a i l a d u l

  Judul Skripsi ini adalah "Mediasi sebagai Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Studi Kasus

  Pencemaran Lingkungan di Tembok Dukuh, Surabaya."

  Adapun beberapa hal yang perlu dijelaskan dari judul skripsi ini adalah sebagai berikut :

  

Mediasi, berasal dari bahasa Inggris (mediation). Mediasi

  ini mempunyai pengertian sebagai suatu cara penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan antara para pihak, dengan melibatkan pihak ketiga yang netral atau tidak memihak

  (mediator), dengan melibatkan kedua pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian.**

  Mekanisne Alternatif, karena yang dimaksud mediasi di

  sini adalah merupakan salah satu cara yang dapat diambil (dipilih) dari sekian banyak bentuk mekanisme yang pernah dikembangkan dan diterapkan dalam praktek advokasi lingkungan. Misalnya, dari pengalaman yang pernah terjadi di Amerika Utara, beberapa bentuk mekanisme alternatif yang telah dikembangkan untuk penyelesaian perbedaan kepentingan sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam, adalah : perundingan (negotiation), konsiliasi,

  U Takdir Rahmadi, Mekaaismc Alternatif Penyelesaian

  S a n g k o t a L i n g k u n g a n d&R Advokasi Lingkunganâ–  makalah pada

  Lokakarya Pengetahuan Hukum dan Advokasi Lingkungan bagi Pekeja Bantuan Hukum dan Pola Penanganan Kasus-kasus

  Lingkungan, Batu-Malang, 18-22 Juni 1992, hal. 4

  17 ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  18

  dialog tentang kebijaksanaan (policy dialogue), tin ahli pencari fakta (fact finding), arbitrasi (arbitration) dan lain sebagainya. Namun, bagaimanapun juga cara penyelesai­ an ini tidak akan pernah meniadakan sama sekali law en­

  forcement dalam sistem peradilan (litigasi).

  

Sengketa Lingkungan , dalam UULH pasal 1 butir 7 dan 8

  bab I dibedakan menjadi dua macam, yakni pencemaran

  1

  lingkungan dan perusakan lingkungan. 6 Sedangkan yang dimaksud dengan sengketa lingkungan dalam judul skripsi ini adalah jelas mengarah dan terkait dengan kasus pencemaran yang terjadi di Tembok Dukuh. Dari judul skripsi ini, dapat dijelaskan bahwa salah satu bentuk penegakan hukum perdata lingkungan, selain menggunakan yang sudah umum dipakai, juga dimungkinkan melalui upaya mediasi, yang juga merupakan upaya hukum (punya landasan yuridis) non litigasi.

  12Pasal 1 ayat (7) UULH Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya taanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya;

  Pasal 1 ayat (8) UULH Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  19 3 . A l a s a n P e m i l i h a n J u d u l

  Alasan pemilihan judul bertolak dari adanya banyak kendala penegakan hukum lingkungan, khususnya mengenai substansi hukum itu sendiri. Para ahli analisis kebijaksanaan publik merumuskan bahwa kesangkilan atau kenangkusan penegakan suatu produk peraturan perundang-

  undangan termasuk UULH ini dipengaruhi oleh variabel-

  variabel antara lain :

  Pertama, variabel-variabel di luar undang-undang, yang di

  dalamnya terkait variabel-variabel mudah-tidaknya masalah itu dikendalikan. Termasuk dalam hal ini adalah persoalan keanekaragaman perilaku kelompok sasarannya, kesukaran- \ kesukaran teknis terkait dengan penegakan peraturannya, dukungan publik terhadap peraturan perundang-undangan, kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana.

  Kedua, variabel-variabel substansif undang-undang , yang

  di dalamnya terkait permasalahan konsistensi tujuan, keterpaduan hierarki-titik veto sanksi, akses formal dan evaluasi oleh pihak luar.

  Ketiga, tahap-tahap yang ada dalam proses implementasinya

  (variabel tergantung), yang di dalamnya terkait persoalan-persoalan out put kebijaksanaan dari badan pelaksana, kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap putusan badan pelaksana, dampak nyata keputusan badan pelaksana , persepsi terhadap dampak keputusan tersebut dan akses perubahan perundang-undangan. As' Persepsi yang merata (prevalent) di kalangan aparat pemda dan instansi sektoral (Departemen Perindustrian beserta Kanwil dan Kandepnya dan 8KPM atau BKPMD), bahwa tindakan tegas konsisten terhadap pencemar lingkungan di kalangan perusahaan industri dikhawatirkan menyebabkan penurunan angka pertumbuhan industri dan investasi.

  Padahal tolok ukur keberhasilan aparat instansi-instansi tersebut adalah pencapaian target pertumbuhan industri dan investasi yang dicanangkan dari pemerintah pusat. Hal ini mengakibatkan instansi-instansi pemda dan sektoral memberikan toleransi yang berlebihan pada industri yang nyata-nyata telah mencemari dan merugikan warga masyarakat.

  Kenyataan demikian tidak bisa dipungkiri dalam setiap penegakan hukum, terutama dalam penegakan hukum lingkungan di pengadilan. Penyelesaian di pengadilan sering dihadapkan pada persoalan struktural-politis, yang membuat lembaga peradilan tidak otonom. Adanya kendala- kendala yang melekat pada proses pengadilan dalam menangani kasus-kasus lingkungan, telah mengecewakan para

  13Indro Sugianto, Problematika Penegakan Hukum Lingkungan dl Indonesia. Catatan kecil dalam diskusi yang diselenggarakan Surabaya Post perwakilan Gresik, 22

  September 1993, hal. 3 dan 4.

  20 1 ^

  I ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  21

  pihak yang yang menjadi korban khususnya dan masyarakat pada umumnya. Adanya kendala tersebut, ternyata telah pula menimbulkan kesadaran masyarakat bahwa pengadilan tidak selalu menjadi forum terbaik untuk menyelesaikan sengketa.

  Timbulnya kesadaran itu telah pula mendorong para sarjana untuk mengkaji pengembangan mekanisme-mekanisme alternatif penyelesaian sengketa lingkungan. Salah satu di antara bberapa bentuk mekanisme alternatif penyelesaian sengketa lingkungan adalah mediasi.