KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) TERHADAP SENGKETA KONSUMEN IKLAN OTOMOTIF YANG MENYESATKAN (Studi Kasus Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen No. 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012)

(1)

Suntan Satriareva

i ABSTRAK

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) TERHADAP SENGKETA KONSUMEN IKLAN

OTOMOTIF YANG MENYESATKAN

(Studi Kasus Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen No. 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012)

Oleh

SUNTAN SATRIAREVA

Sengketa antara Ludmilla Arif sebagai konsumen melawan PT Nissan Motor Indonesia (PT NMI) bermula pada saat Ludmilla menemukan fakta bahwa bahan bakar mobil Nissan miliknya tidak seirit dengan klaim brosur iklan Nissan March yang di keluarkan oleh PT NMI. Ludmilla yang merasa dirugikan dengan iklan tersebut kemudian mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sebagai lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen, majelis BPSK berwenang dan mengadili serta memberikan sebuah putusan terhadap sengketa tersebut. Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menjelaskan bahwa putusan majelis BPSK adalah bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada lagi upaya banding dan kasasi pada putusan itu. Hal yang menarik terdapat di dalam Pasal 56 ayat (2) yang menyebutkan para pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Persoalan di atas telah membuktikan bahwa adanya inkonsistensi yang dapat ditemukan dalam aturan hukum mengenai perlindungan konsumen. Hal itu jugalah yang dirasakan oleh Ludmilla, karena sengketa tersebut tidak hanya selesai di BPSK, tetapi terdapat upaya hukum dari PT NMI untuk mengajukan keberatan terhadap putusan yang di keluarkan oleh BPSK. Bentuk tanggung jawab PT NMI sebagai pelaku usaha terhadap praktik periklanan yang merugikan konsumen dan kepastian hukum putusan BPSK menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian empiris. Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-terapan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi


(2)

ii

kepustakaan dan wawancara kepada pihak yang terlibat. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan pemeriksaan data, klasifikasi data, dan sistematika data yang kemudian dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pertama, PT NMI sebagai pelaku usaha harus bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh Ludmilla dengan membayarkan uang sejumlah Rp 150.000.000,- sebagai hukuman berdasarkan amar putusan majelis BPSK. Kedua, terhadap inkonsistensi yang terdapat di dalam UUPK, ternyata justru diperkuat dengan lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 2006. Pasal 1 ayat 3 Perma Nomor 1 Tahun 2006 menjelaskan bahwa keberatan adalah upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK. Rumusan tersebut justru memperkuat pasal-pasal yang bertentangan dalam UUPK, sehingga membuat tidak adanya kepastian hukum dalam putusan yang di keluarkan oleh BPSK.


(3)

(4)

(5)

(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Suntan Satriareva. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 1991. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak H. Hefni Erwin dan Ibu Hj. Dra. Marlina Ruslan.

Penulis menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar SD Negeri Pondok Kelapa 03 Pagi Jakarta Timur pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama di SLTP Negeri 252 Jakarta Timur pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 71 Jakarta Timur pada tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi internal maupun eksternal kampus. Penulis aktif di dalam keluarga besar UKM-F Mahkamah (Mahasiswa Pengkaji Masalah Hukum). Di awal perkuliahan 2009, penulis diamanatkan menjadi Wakil Ketua Barisan Intelektual Muda BEM FH 2009. Pada tahun 2010, penulis aktif sebagai Anggota Komisi A (Kelembagaan) DPM FH 2010. Tahun 2011 dan 2012 penulis aktif dalam kepengurusan BEM FH dan ditunjuk sebagai Asisten Bidang Eksternal dan Sekretaris Eksekutif. Setelah itu, penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Perdata (HIMA Perdata) FH Unila.

Selain aktif di organisasi internal kampus, penulis juga aktif dalam organisasi eksternal kampus. Penulis memilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandar Lampung Komisariat Hukum Unila sebagai batu loncatan dan tempat pembelajaran penulis untuk mengasah kemampuan berorganisasi. Di akhir tahun


(7)

vii

2009 penulis mengikuti pelatihan Basic Training yang diadakan oleh HMI

Komisariat Hukum Unila, dan di akhir tahun 2010 penulis mengikuti jenjang

pelatihan Intermediate Training yang diadakan oleh HMI Cabang Jakarta Selatan.

Selama di HMI, penulis aktif menjadi pengurus baik ditingkatan komisariat maupun tingkatan cabang. Pada periode 2011/2012 penulis diamanatkan menjadi Kepala Departemen Penelitian, Pengembangan dan Penataan Anggota (P3A), di periode 2012/2013 penulis diamanatkan untuk menjadi Ketua Umum HMI Komisariat Hukum Unila, dan pada pertengahan tahun 2013 penulis aktif menjadi Wasekum Bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Kepemudaan (PTKP) HMI Cabang Bandar Lampung.

Pada pertengahan tahun 2011, penulis pernah mewakili nama Fakultas Hukum Unila di tingkat nasional dengan maju sebagai Juara 1 Lomba Proposal Bisnis yang diadakan oleh Indonesian Banking School Jakarta. Dan pada pertengahan tahun 2012 penulis mengikuti program Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN Tematik) di Desa Sukaraja, Kecamatan Gunung Alip, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Di tempat KKN itulah penulis banyak mendapat pelajaran hidup yang sangat berharga.


(8)

ix MOTO

“Jiwa ragaku demi keadilan” (Naarche Jabez Tumundo)

“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah”

(Thomas Alva Edison)

“Yakin Usaha Sampai” (Himpunan Mahasiswa Islam)


(9)

viii

PERSEMBAHAN

Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan sebuah karya sederhana atas anugerah Tuhan dan tetesan keringatku ini kepada :

Ibunda Marlina Ruslan dan Ayahanda Hefni Erwin tercinta.

Terimakasih atas segala cinta, kasih sayang, ketulusan, pengorbanan, dukungan dan doa yang selalu mengalir untukku.

Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam dan Almamter yang kubanggakan Universitas Lampung.

Terimakasih atas semua proses pembelajaran bagiku, terimakasih atas semua pengalaman hidup yang sangat berharga untuk membantuku menyebrangi jembatan


(10)

x

SANWACANA

Segala ucapan rasa syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang maha berhak menguasai seluruh langit dan bumi, yang tidak akan pernah memejamkan matanya untuk selalu tetap mengasihi ciptaannya yang paling mulia, serta yang akan menjadi hakim sangat adil di hari akhir nanti. Penulis harus bersyukur, karena nikmat dan karunia-Nyalah, hingga akhirnya

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “KEKUATAN

HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) TERHADAP SENGKETA KONSUMEN IKLAN OTOMOTIF YANG MENYESATKAN (Studi Kasus Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

No. 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana hukum di Universitas Lampung.

Dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan, dorongan, serta doa dari berbagai pihak yang telah mendukung penulis. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung;

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H., selaku Pembimbing Satu atas semua pemikiran


(11)

xi

waktunya disela-sela kesibukan beliau sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Lampung;

4. Bapak Depri Liber Sonata S.H., M.H., selaku Pembimbing Dua yang telah

meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, kritik dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Ibu Yennie Agustine MR, S.H., M.H., selaku Pembahas Satu yang telah

memberikan kritik, saran dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;

6. Ibu Kasmawati, S.H., M.H., selaku Pembahas Dua yang juga telah memberikan

kritik, saran dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;

7. Ibu Widya Krulinasari, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik penulis, yang

telah membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum;

8. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

penuh dedikasi dalam meneteskan ilmu-ilmu yang luar biasa selama ini kepada penulis dalam masa studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

9. Seluruh Bapak dan Ibu guru semasa penulis masih duduk di SD 03 Pondok

Kelapa, SMP 252 Jakarta dan SMA 71 Jakarta yang telah memberikan dan meneteskan ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis. Mereka semualah pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa;

10. Terhormat serta terkasih kedua Kakakku Diolla Gleadyanova dan Leadytha

Mardaleiza terimakasih banyak kalian telah memberikan contoh proses pendewasaan hidup kepadaku, terimakasih atas semua bantuan materi dalam pemenuhan penulisan skripsi ini. Dan yang tersayang Adikku Flora Ananda Rizky terimakasih banyak atas segala curahan hati dan kasih sayang yang kamu kasih buat Pun Suntan, semoga kelak aku bisa ngebiayain semua beban sekolah sampai kamu kuliah nanti. Teruslah bermimpi setinggi-tingginya dan kejar mimpi itu bontot;

11. Sahabat-sahabat “jigijoy” Joanne Sherly Cool, Gilang Pratama, Khairul Kalam,

Nadya Arrizka, Malik Hanro Agam terimakasih telah menjadi sahabat selama kurang lebih sepuluh tahun ini. Semoga Tuhan mentakdirkan kita untuk selalu bersama selamanya;


(12)

xii

sampai 10. Tetap solid dan nikmatin kehidupan ini, karena sebuah kehidupan dimulai ketika kita bisa menikmati apa yang seharusnya kita bisa hadapi. Tetaplah berkibar dan besar dari darah kita sendiri, salam hitam!;

13. Teman-teman senasib sepenanggungan dari Jabodetabek, Galuh Kafhi Hussein,

Rendy Adithia Putra, Mozes D. Tonapa, Verdy Firmansyah, Waldi Indrawan, Yoga Nugraha Liawan dll yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Kebanggaan terbesar bisa kenal kalian semua di Lampung dan terima kasih banyak telah menjadi teman senasib sepenanggungan, sukses terus buat kita semua;

14. Partner kerja penulis selama berorganisasi di Internal kampus baik itu

UKMF-Mahkamah, Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas, terimakasih banyak atas semua dedikasi serta kerjasama yang diberikan sehingga kita semua tahu dan sadar akan pentingnya organisasi dalam sebuah kehidupan. Teruslah ukir sejarah terbaik bagi kehidupan kalian masing-masing;

15. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandar Lampung,

khususnya saudara-saudaraku di Komisariat Hukum Unila. Kanda, yunda dan semua senior yang tak bisa disebutkan namanya satu persatu, terimakasih banyak atas semua bimbingannya, atas semua ajaran yang diberikan, pesan-pesan hidup serta ilmu yang insya Allah akan penulis terapkan di kehidupan masyarakat nanti. Sahabat-sahabat presidium 2012/2013 (Galuh Kafhi Hussein, Andriawan Kusuma, Azam Akhmad Akhsya, M. Fadillah, Sutono, dll) yang selalu setia mendampingi penulis saat menjalankan amanah menjadi Ketua Umum KHU. Walaupun hanya segelintir orang yang memiliki kesadaran, tetapi semangat kitalah yang hanya bisa menjadi pondasi untuk menjalankan amanah di komisariat. Adinda-adinda yang selalu berusaha untuk memberikan semangat dan dorongannya kepada penulis dalam menjalankan kehidupan ber-HmI, terimakasih banyak atas semua sumbangsihnya kepada komisariat. Jangan pernah


(13)

xiii

lari dari dinamika, jangan pernah lari dari konflik, hadapi konflik itu secara bersama, karena yakinlah konflik dan dinamika itu membuat kita menjadi tambah besar. Dan teruslah jalani kehidupan kita semua ini dengan keeyakinan dan usaha yang maksimal untuk mencapai tujuan kita bersama;

16. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum Universitas Lampung 2009, terima kasih

atas semua bantuan, dukungan serta canda dan tawanya selama ini;

17. Keluarga besar Asrama Silampari, Perumahan Kampus Hijau Residen serta

Perumahan Raja Basa Permai yang telah menampung dan menjadi tempat tinggal penulis selama menyelesaikan masa studinya di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

18. Terimakasih banyak kepada keluarga besar Yuk ita dan Om Heri, Ridwan, Dani,

Mong. Terimakasih banyak telah menjadi keluarga dan bagian dari hidup penulis, terimakasih atas segala nasihat dari Yuk Ita kepada penulis, terimakasih telah menjadi sosok Ibu bagi anak-anak Komisariat, terimakasih atas segala kebaikan untuk memenuhi logistik penulis selama hidup di Lampung terutama saat-saat penulis menyusun skripsi ini;

19. Mayatania Bolyn, terimakasih banyak atas semua kasih sayang, kesabaran,

perhatian, nasihat, dorongan semangat yang tidak pernah bosan-bosannya kamu kasih buat aku. Terimakasih telah menjadi kekasih terbaik, sahabat, teman dekat yang selalu memberikan canda dan tawanya, yang selalu memberikan solusi dan dukungannya dalam setiap langkah yang kuambil. Semoga skripsi ini menandakan akan adanya bagian baru dalam hidup kita. Terimakasih banyak juga untuk segenap keluarga besar Bapak Pudji Hari Bowo dan Ibu Lynda Hari Bowo, terimakasih banyak atas segala doa dan dukungannya kepada penulis;

20. Terimakasih banyak atas semua pihak yang telah terlibat, yang tidak bisa

disebutkan namanya satu persatu. Semoga apa yang telah kalian berikan akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.


(14)

xiv

yang harus diperbaiki dalam penulisan skripsi ini. Karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik sang maha kuasa Allah SWT. Semoga skripsi ini bisa menjadi sebuah referensi positif bagi pembacanya, dan menjadi manfaat bagi penulis dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya di bidang hukum.

Wabillahitaufik Walhidayah Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung 2013, Penulis,


(15)

xv DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

JUDUL DALAM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

MOTTO ... ix

SANWACANA ... x

DAFTAR ISI ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 9

C.Tujuan Penelitian ... 10

D.Kegunaan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A.Perlindungan Konsumen ... 12

1.Pengertian Perlindungan Hukum ... 12

2.Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 15

B.Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen ... 19

1. Asas Hukum Perlindungan Konsumen ... 19


(16)

xvi

2. Pelaku Usaha ... 29

3. Pemerintah ... 33

D.Hak dan Kewajiban Konsumen ... 35

1. Hak Konsumen ... 36

2. Kewajiban Konsumen ... 41

E. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 43

1. Hak Pelaku Usaha ... 43

2. Kewajiban Pelaku Usaha ... 43

F. Promosi dan Periklanan ... 44

G.Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 45

1. Penyelesaian Melalui Sengketa Pengadilan ... 47

2. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ... 48

III. METODE PENELITIAN ... 50

A.Jenis Penelitian... 50

B.Tipe Penelitian ... 52

C.Pendekatan Masalah... 53

D.Metode Pengumpulan Data ... 54

E. Metode Pengolahan Data ... 54

F. Analisis Data ... 55

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56

A.Tanggung Jawab PT NMI Terhadap Produk yang Merugikan Konsumen ... 56

1. Kronologis Iklan dan Keluhan Konsumen ... 57

2. Proses Persidangan di BPSK ... 61


(17)

xvii

No. 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012 ... 63

4. Tanggung Jawab PT NMI Selaku Pelaku Usaha ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 68

B. Kepastian dan Kekuatan Eksekutorial Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 70

1. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 71

2. Hubungan BPSK dengan Lembaga Arbitrase ... 76

3. Inkonsistensi dan Kekuatan Eksekutorial BPSK ... 84

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran dan Rekomendasi... 92

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transportasi adalah suatu alat yang terus berlangsung dalam kehidupan manusia.1

Setiap orang membutuhkan transportasi untuk mempermudah proses

keberlangsungan hidup guna tercapainya suatu tujuan tertentu. Transportasi mempunyai peran yang besar baik itu terhadap perorangan ataupun secara kolektif. Bahkan transportasi dapat turut serta untuk memajukan perekonomian suatu negara.

Pusat perekonomian dan pemerintahan yang ada di Jakarta membuat sarana transportasi menjadi suatu alat vital dalam berkehidupan di Ibukota. Di kota-kota besar yang ada di Indonesia, kalangan masyarakat tingkat ekonomi menengah keatas cenderung lebih banyak memilih kendaraan pribadi sebagai alat transportasi sehari-hari dibandingkan dengan penggunaan jasa transportasi umum. Karena pada umumnya alat transportasi umum kebanyakan tidak memberikan kenyamanan dan keamanan kepada masyarakat, sehingga di zaman sekarang tingkat penggunaan transportasi umum pada masyarakat Indonesia semakin menurun. Selain itu, menggunakan mobil sebagai alat kendaraan pribadi ternyata lebih efektif dari segi efisiensi waktu, daripada menggunakan alat transportasi

1

Suharto dan Tata Iryanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Surabaya: Penerbit Indah, 1989), hlm. 220, “Transportasi” yang berarti Angkutan/pengangkutan.


(19)

2

umum seperti Angkutan Kota, Bus, ataupun Taksi sekalipun. Menurut survei Masyarakat Transportasi Indonesai (MTI) penurunan transportasi umum akan terus terjadi jika pemerintah tidak segera membenahi angkutan massal. Apalagi penjualan mobil saat ini mencapai 240 unit per hari, sedangkan sepeda motor

mencapai 890 unit per/hari.2

Keadaan seperti inilah yang dianggap sebagai peluang dan dimanfaatkan secara baik-baik oleh para investor asing untuk berlomba-lomba menarik perhatian masyarakat sebagai konsumen produk otomotif. Beberapa negara yang selama ini dikenal piawai dalam hal pengembangan teknologi mobil turut serta merasakan atmosfer pasar mobil di Indonesia. Sebut saja Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Jerman serta beberapa negara Eropa lainnya. Pabrikan besar seperti Toyota, Honda, Suzuki, Hyundai, KIA, Ford, Nissan dan lain-lain ikut berpartisipasi dalam rangka pengadaan alat transportasi untuk masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut, para pelaku usaha telah menciptakan beberapa jenis barang maupun jasa dengan segala kualitas dan harga yang sangat bervariasi.

Keadaan saat konsumen membutuhkan barang ataupun jasa ini seringkali disalahgunakan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha yang pada

akhirnya hanya akan menguntungkan pihak pelaku usaha.3 Produsen-produsen

kendaraan roda empat mulai berlomba-lomba untuk menarik perhatian masyarakat

2 www.tempo.com “penurunan tingkat trasnportasi umum di Indonesia” dikutip pada hari

Sabtu, 20 Januari 2013 pukul 15:01 WIB.

3 Ria Febryanti, “Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pengguna Layanan Jasa

Penerbangan Bertarif murah (Studi Pada PT. Indonesia Air Asia)”. (Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung. 2010) hlm. 3.


(20)

Indonesia. Berbagai carapun dilakukan, dari mulai merancang kendaraan yang sangat modern, membuat harga yang terjangkau dengan masyarakat luas, sampai membuat iklan bahan bakar yang sangat irit sehingga menarik perhatian masyarakat banyak.

PT Nissan Motor Indonesia (selanjutnya disebut PT NMI) merupakan salah satu produsen mobil Jepang ternama yang terdapat di negara kita. Selama kurun waktu beberapa tahun ini, PT NMI banyak mengeluarkan produk-produk kendaraan roda empat yang tidak asing bagi masyarakat. Sebut saja Nissan Juke, Nissan Terrano ataupun Nissan March yang cukup banyak dilirik oleh konsumen di Indonesia.

Dengan keunggulan grand design yang elegan, produk-produk Nissan banyak

diminati dan baik dipakai oleh semua golongan, baik mahasiswa, karyawan kantor, maupun pejabat pemerintahan.

Agar menarik perhatian pada masyarakat, para pelaku usaha melakukan promosi. Promosi merupakan salah satu cara untuk tercapainya suatu tujuan pelaku usaha. Sekarang ini, cara produsen mempublikasikan suatu produknya semakin maju dan beraneka ragam sehingga proses penyampaiannya ke masyarakat semakin cepat. Hal ini disebabkan karena perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat

melalui berbagai media sudah meng-globalisasi di Indonesia. Tetapi dalam

perkembangannya, penyampaian informasi telah banyak yang keluar jalur dan

hanya mementingkan pihak produsen yang mengiklankan.4 Ini semua dapat dilihat

dari cara penyampaian iklan yang terlalu atraktif, menarik, bersifat membujuk konsumen dan menawarkan janji-janji yang meyakinkan konsumen dalam iklan sebuah produk, khususnya produk otomotif.

4


(21)

4

Pada dasarnya konsumen tidak akan mengetahui semua jenis dan kualitas produk barang atau jasa sehinga masyarakat sangat memerlukan informasi produk barang atau jasa yang akan ditawarkan. Untuk menyampaikan informasi tersebut digunakanlah iklan, baik melalui media cetak atau elektronik. Disamping sebagai alat informasi, iklan bagi pelaku usaha adalah media yang paling dibutuhkan untuk memasarkan produknya dan menaikkan jumlah penjualan. Selain menguntungkan para produsen, iklan juga harus dipandang sebagai alat informasi yang tidak saja menguntungkan para pelaku usaha, tetapi juga menguntungkan para konsumen.

Pentingnya informasi tentang mutu atau kualitas suatu barang dan jasa tertentu yang ditawarkan dapat melindungi konsumen dari iklan-iklan yang menipu atau menyesatkan. Dengan iklan, maka konsumen dapat mengetahui kriteria kekurangan dan kelebihan dari produk barang maupun jasa yang ditawarkan sehingga informasi yang mereka peroleh dapat menjadi bahan pertimbangan mereka untuk membuat keputusan pembelian. Maka secara tidak langsung dikatakan bahwa iklan ialah sumber informasi yang berguna untuk menarik minat konsumen agar dapat membeli namun tetap bersifat jujur dan apa adanya.

Minimnya pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen seringkali dimanfaatkan juga oleh pelaku usaha sebagai celah untuk mengelabui konsumen khususnya pada proses periklanan. Pengetahuan dasar hukum yang jelas dibutuhkan untuk kepentingan konsumen. Sebaiknya,

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)5 sebagai lembaga swadaya

5

Salah satu LSM dibidang perlindungan konsumen yang juga ikut sebagai penggagas dalam penyusunan rancangan (draft) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.


(22)

konsumen Indonesia bisa lebih aktif dan intensif dalam mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) sehingga hak-hak konsumen dapat terpenuhi dengan maksimal. Dalam Pasal 9 ayat (1) UUPK yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara

tidak benar, dan/atau seolah-olah:6

a) Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga

khusus, standar mutu tertentu, gaya atau model tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

b) Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

c) Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau telah memiliki

sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, kelengkapan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

d) Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai

sponsor, persetujuan atau afiliasi;

e) Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f) Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g) Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h) Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

i) Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

6

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, Pasal 9 ayat (1).


(23)

6

j) Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak

mengandung resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

k) Menawarkan sesuatu yang mengandung janji belum pasti.”

Ternyata dikemudian hari, PT NMI yang ada di Jakarta terlibat kasus sengketa dengan konsumennya. Karena dianggap PT NMI melakukan kebohongan dengan iklan salah satu produk Nissan yang dianggap konsumen sebagai iklan yang menyesatkan. Didalam salah satu brosur produk andalannya yaitu Nissan March menyebutkan bahwa keiritan bahan bakar Nissan March mencapai 18km-21km/liter bensin. Namun ternyata ada konsumen yang bernama Ludmilla Arif merasa bahwa iklan yang ada di brosur Nissan March terdapat unsur penipuan yang menyesatkan konsumen. Karena setelah membeli produk Nissan tersebut, Ludmila merasa bahwa 1 liter bahan bakar hanya mampu menempuh jarak sejauh 8km. Hal inilah yang membuat Ludmila sebagai konsumen mengadukan kejadian tersebut kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) selaku lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa

konsumen.7

UUPK memberikan pedoman bagi konsumen atau pelaku usaha yang akan menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Dalam Pasal 49 ayat (1) UUPK, pemerintah membentuk BPSK di kota atau kabupaten untuk penyelesaian di luar pengadilan atau secara nonlitigasi. Penyelesaian secara nonlitigasi atau sering

7

www.avanzaxenia.net “kasus Nissan March” dikutip pada hari Selasa, 12 Februari 2013 pukul 13:34 WIB.


(24)

disebut penyelesaian sengketa alternatif, yang akan dilakukan oleh BPSK adalah

cara-cara pemeriksaan mediasi, arbitrase, dan konsiliasi.8

Pasal 54 ayat (3) UUPK, menjelaskan bahwa putusan majelis BPSK adalah bersifat final dan mengikat. Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final

adalah bahwa dalam BPSK tidak ada upaya banding dan kasasi.9 Sampai disini

dapat dikatakan ketentuan ini memenuhi ciri undang-undang arbitrase modern yang dapat membawa putusan arbitrase menjadi efektif. Undang-undang arbitrase modern menyampingkan campur tangan yang luas dari pihak peradilan umum. Namun, harus ditelaah kembali sampai seberapa jauh ketentuan pasal ini

mendapat dukungan secara integral dari ketentuan pasal UUPK.10 Hal yang

menarik adalah ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 56 ayat (2) yang menyebutkan para pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan

tersebut.11

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, didalam Pasal 54 ayat (3) UUPK itu menjelaksan bahwa putusan BPSK itu merupakan putusan yang bersifat final (tidak ada upaya hukum lebih lanjut). Namun jika dilihat lebih jauh lagi pada Pasal 56 ayat (2) UUPK dijelaskan bahwa para pihak dapat mengajukan upaya hukum lebih lanjut jika merasa dirugikan. Artinya, dalam hal ini ada pertentangan yang dapat kita lihat antara Pasal 54 ayat (3) dan Pasal 56 ayat (2) UUPK.

8

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, Pasal 49 ayat (1).

9

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, Pasal 54 ayat (3).

10

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 261.

11

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, Pasal 56 ayat (2).


(25)

8

Keadaan yang seperti inilah yang membuat kekuatan BPSK itu dianggap lemah oleh para pihak yang terlibat sengketa karena ternyata ada sebuah indikasi bahwa putusan BPSK itu tidak bersifat mutlak.

Tidak jarang kita menemukan para pihak pelaku usaha yang bersengketa baik itu pihak penggugat maupun tergugat merasa tidak puas dengan hasil putusan

BPSK.12 Kejadian ini juga terjadi dalam sengketa konsumen antara Ludmilla Arif

selaku konsumen melawan PT NMI. BPSK telah mengeluarkan putusan bahwa kasus ini dimenangkan oleh konsumen selaku penggugat. Namun kasus ini tidak selesai pada tahap BPSK, ternyata ada upaya keberatan dari PT NMI sehingga kasus ini berlanjut sampai ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Persoalan hukum diatas adalah bukti bahwa adanya inkonsistensi yang dapat ditemukan di dalam UUPK. Dimana inkonsistensi itu terdapat pertentangan antara Pasal 54 ayat (3) dan Pasal 56 ayat (2) UUPK sehingga nantinya akan menyebabkan adanya tafsir ganda di dalam UUPK itu sendiri, yang dapat merugikan baik pihak konsumen maupun pihak produsen. Hal ini juga dapat menyebabkan tidak efektifnya BPSK sehingga yang berakibat pada sulitnya hukum perlindungan konsumen untuk ditegakkan.

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam sengketa tersebut dan memutuskan untuk menulis skripsi

yang berjudul “Kekuatan Hukum Putusan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) Terhadap Sengketa Konsumen Iklan Otomotif yang

12

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2007), hlm. 146.


(26)

Menyesatkan (Studi Pada Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen No. 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012)”.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian dan penjelasan mengenai latar belakang diatas, maka yang menjadi sebuah rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana kepastian hukum putusan BPSK terhadap sengketa iklan otomotif yang menyesatkan?

Pokok Bahasannya adalah :

1) Bentuk tanggung jawab PT NMI sebagai pelaku usaha terhadap praktik

periklanan yang menyesatkan dan merugikan konsumen;

2) Kepastian hukum dan kekuatan eksekutorial putusan BPSK dalam kasus

sengketa konsumen No. 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012.

Ruang lingkup penelitian ini meliputi ruang lingkup pembahasan dan ruang lingkup bidang ilmu. Ruang lingkup pembahasan adalah penyelesaian sengketa antara produsen dengan konsumen yang terlibat persengketaan karena adanya indikasi penipuan dalam iklan sebuah produk otomotif. Sedangkan ruang lingkup ilmu adalah kajian Hukum Ekonomi khususnya Hukum Perlindungan Konsumen.

Sunaryanti Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan


(27)

10

kehidupan ekonomi dan cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara

adil dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia.13

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah dan pokok bahasan diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana bentuk tanggung jawab PT

NMI sebagai pelaku usaha terhadap praktik periklanan produk otomotif yang menyesatkan dan merugikan konsumen;

2) Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana kepastian hukum dan kekuatan

eksekutorial terhadap putusan BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen dalam kasus sengketa konsumen No. 099/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012.

D. Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang diuraikan maka kegunaan penelitian dalam penulisan ini adalah:

1) Kegunaan Teoritis, yaitu sebagai pengembangan ilmu pengetahuan hukum

khususnya hukum ekonomi mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen yang merasa tertipu dengan sebuah brosur iklan produk otomotif yang dianggap menyesatkan.

2) Kegunaan Praktis, yaitu:


(28)

a. Sebagai informasi bagi pembaca mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen yang merasa tertipu dengan sebuah brosur iklan produk otomotif yang dianggap menyesatkan;

b. Untuk menambah perbendaharaan karya ilmiah pada Fakultas Hukum

Universitas Lampung;

c. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) di


(29)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Pengertian perlindungan dalam bahasa inggris adalah protection. Sedangkan menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)1 mengartikan perlindungan adalah tempat

berlindung. Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu:

1) Unsur tindakan melindungi;

2) Unsur pihak-pihak yang melindungi;

3) Unsur cara-cara melindungi.

Dengan demikian kata perlindungan mengandung makna yaitu, suatu tindakan perlindungan atau tindakan melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu.

Kalau kita bicara tentang hukum pada umumnya yang dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu

1


(30)

kehidupan bersama : keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu

sanksi.2

Perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan yang utama, karena berdasarkan pemikiran bahwa hukum sebagai sarana yang dapat mengakomodasi kepentingan dan hak seseorang secara komprehensif. Disamping itu, hukum memiliki kekuatan memaksa yang diakui secara resmi di dalam negara, sehingga dapat dilaksanakan secara permanen. Berbeda dengan perlindungan melalui institusi lainnya seperti perlindungan ekonomi, atau politik misalnya, yang bersifat temporer atau sementara.

Talcott Parsons seorang sosiolog percaya bahwa norma hukum dapat berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan sosialisasi maupun sebagai mekanisme kontrol sosial. Termasuk mengendalikan benturan kepentingan yang terjadi atau

mengintegrasikan kepentingan-kepentingan di masyarakat.3

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Dalam memberikan perlindungan hukum dapat melalui cara-cara tertentu, antara lain yaitu dengan:

1) Membuat peraturan, bertujuan untuk:

(a) Memberikan hak dan kewajiban;

2

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberti, 2003), hlm. 40.

3


(31)

14

(b) Menjamin hak-hak para subyek hukum.

2) Menegakkan peraturan, melalui:

(a) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventive)

terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perizinan dan pengawasan;

(b) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) pelanggaran

UUPK, dengan mengenakan sanksi pidana dan hukuman;

(c) Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative; recovery;

remedy), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.

Gambar 1. Skema Perlindungan Hukum4

4

Ibid., hlm. 32.

Perlindungan Hukum

Menegakkan Peraturan: 1. Fungsi Pencegahan; 2. Fungsi Penanggulangan; 3. Fungsi Pemulihan. Membuat Peraturan:

1. Memberikan hak dan kewajiban;

2. Menjamin hak-hak para subyek hukum.


(32)

2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen merupakan hal yang sangat perlu untuk terus dilakukan karena berkaitan dengan upaya mensejahterakan masyarakat dalam kaitan dengan semakin berkembangnya transaksi perdagangan pada zaman modern saat ini. Perhatian mengenai perlindungan konsumen ini bukan hanya di Indonesia tetapi juga telah menjadi perhatian dunia.

Dalam pertimbangan UUPK dikatakan,5

1) Bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil

dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

2) Bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat

mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;

3) Bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi

ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta

5

M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Jakarta; akademia, 2012), hlm 1.


(33)

16

kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;

4) Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan

kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab;

5) Bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia

belum memadai;

6) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas diperlukan perangkat peraturan

perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;

7) Bahwa untuk itu perlu dibentuk undang-undang tentang perlindungan konsumen.

Hukum Perlindungan Konsumen secara umum bertujuan memberikan perlindungan bagi konsumen baik dalam bidang hukum privat maupun bidang hukum publik. Kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen berada dalam kajian Hukum Ekonomi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK, perlindungan konsumen adalah “Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan hukum kepada konsumen”6Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan

6

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, Pasal 1 angka (1).


(34)

sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.

Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan (hukum) yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara mempertahankan hak dan

kewajiban itu.7

Dalam berbagai litelatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa

hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari konsumen.8 Hukum Konsumen

menurut beliau adalah “Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan

dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup”. Sedangkan

Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang

7

Janus Sidabolok. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 45.

8


(35)

18

memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat

yang melindungi kepentingan konsumen”.9

Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak konsumen). Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur didalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa didalamnya termasuk

seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi termasuk didalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara maupun hukum internasional. Sedangkan

cukupannya adalah ”hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam

usahanya untuk memenuhi kebutuhannya”, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi : informasi, memilih harga, sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan

perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.10

9

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 2.

10


(36)

Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tidak lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

B.Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

1. Asas Hukum Perlindungan Konsumen

Asas hukum menurut Paul Scholten adalah kecenderungan yang memberikan suatu penilaian yang bersifat etis terhadap hukum. Begitu pula menurut H.J. Hommes, asas hukum bukanlah norma hukum yang konkrit, melainkan sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Mirip dengan pendapat itu, menurut Satjipto Rahardjo asas hukum mengandung tuntutan etis, merupakan jembatan antara

peraturan dan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.11

Ada lima asas perlindungan konsumen dalam Pasal 2 UUPK, yaitu:12

1) Asas manfaat;

2) Asas keadilan;

3) Asas keseimbangan;

4) Asas keamanan dan keselamatan;

11

Wahyu Sasongko, Op.Cit., hlm. 36.

12

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821 Pasal 2.


(37)

20

5) Asas kepastian hukum.

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, produsen dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh

lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.13

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, undang-undang ini mengatur

sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha (produsen).14

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan

13

Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 31.

14


(38)

pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakkan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, produsen dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar

dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.15

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaiknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu, undang-undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipatuhi oleh

produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.16

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung didalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh pengadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan

15 Ibid. 16


(39)

22

menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan bunyinya.17 Setiap

peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen harus mengacu dan mengikuti kelima asas tersebut, karena dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila

diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu:18

1) Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan

konsumen;

2) Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan;

3) Asas kepastian hukum.

Radbruch Friedman menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,19

yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Diantara ketiga asas tersebut yang sering menjadi

sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa: “In

terms of law, justice will be judget as how law treats people and how it distributes its

17

Ibid., hlm. 33.

18

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Op.Cit., hlm. 26.

19


(40)

benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.20

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat didalamnya.

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut

sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch Friedman maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering

merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.21

2. Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen merupakan tujuan dan sekaligus usaha yang akan dicapai atau keadaan yang akan diwujudkan. Oleh karena itu, tujuan perlindungan konsumen perlu dirancang dan dibangun secara berencana dan dipersiapkan sejak dini. Tujuan perlindungan konsumen meliputi atau mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan dan

20

Ibid.

21


(41)

24

penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK telah dijelaskan

mengenai tujuan konsumen, yaitu:22

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari

ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian

hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha

produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Tujuan perlindungan konsumen tersebut seolah-olah disusun secara bertahap, mulai dari penyadaran hingga pemberdayaaan. Padahal, pencapaian tujuan perlindungan konsumen tidak harus melalui pertahapan berdasarkan susunan tersebut. Tetapi

22

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821 Pasal 3.


(42)

dengan melihat pada urgensinya. Misalnya, tujuan meningkatkan kualitas barang, tujuan nomor enam, pencapaiannya tidak harus menunggu tujuan pertama tercapai ialah meningkatkan kesadaran konsumen. Idealnya, pencapaian tujuan perlindungan

konsumen dilakukan secara simultan atau serempak.23

Dengan memperhatikan kepentingan dan keperluan konsumen di berbagai negara, khususnya di negara-negara sedang berkembang, harus diakui bahwa konsumen mengalami kondisi ketidak seimbangan ekonomi, tingkat pendidikan, daya tawar menawar, dan dengan memperhatikan bahwa pada dasarnya konsumen mempunyai hak terhadap produk yang tidak berbahaya, juga mempunyai hak untuk memajukan pembangunan sosial ekonomi dan perlindungan lingkungan secara adil dan berkesinambungan, maka rambu-rambu perlindungan konsumen ini mempunyai

tujuan sebagai berikut:24

1) Membantu pemerintah mencapai dan mempertahankan perlindungan yang

memadai bagi masyarakat sebagai konsumen;

2) Memfasilitasi pola produksi dan distribusi yang responsive terhadap kebutuhan

konsumen;

3) Membuat kode etik produksi serta distribusi barang dan jasa kepada konsumen;

4) Membantu pemerintah mencegah praktik bisnis yang kotor dari seluruh pelaku

usaha secara nasional dan internasional yang berdampak pada konsumen;

23

Wahyu Sasongko, Op.Cit., hlm. 41.

24


(43)

26

5) Memfasilitasi pembuatan lembaga konsumen independen;

6) Mewujudkan kerjasama internasional dalam bidang perlindungan konsumen;

7) Membangun kondisi pasar yang memberikan kesempatan kepada konsumen

dengan pilihan yang luas dengan harga yang murah;

8) Meningkatkan konsumsi yang berkelanjutan.

C.Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perlindungan Konsumen

1. Konsumen

Konsumen secara umum adalah pihak yang mengkonsumsi suatu produk. Istilah

konsumen berasal dari bahasa asing, consumer (Inggris); dan consumenten (Belanda).

Menurut kamus hukum Dictionary of Law Complete Edition konsumen merupakan

pihak yang memakai atau menggunakan barang dan jasa, baik untuk kepentingan diri

sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.25

Az. Nasution mengartikan konsumen adalah setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi

barang atau jasa lain atau memperdagangkannya kembali.26

Arti konsumen di Indonesia sesuai dengan Pasal 1 angka (2) UUPK adalah: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk

25

M. Marwan dan Jimmy. P, Kamus Hukum (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hlm. 378.

26


(44)

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.27 Unsur-unsur konsumen dalam rumusan tersebut, ialah:

1) Setiap orang;

Setiap orang adalah perseorangan dan tidak termasuk badan hukum maupun pribadi hukum.

2) Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat;

Barang dan/atau jasa yang dimaksud dapat diperoleh di tempat umum, misalnya pasar, supermarket dan toko.

3) Untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, atau mahluk hidup lain;

Barang dan/atau jasa digunakan, dipakai, dimanfaatkan tidak untuk keperluan konsumen, keluarga konsumen atau orang lain.

4) Tidak untuk diperdagangkan.

Barang dan/atau jasa digunakan, dipakai, dimanfaatkan tidak untuk keperluaan komersil.

Ada unsur yang sangat penting dari pengertian konsumen, yaitu tentang maksud atau tujuan dilakukan pembelian tidak untuk dijual kembali, tetapi untuk kepentingan pribadi. Mengenai bentuk dan cara dilakukannya perbuatan hukum atau transaksi konsumen tidak diharuskan dalam bentuk tertentu, yang pokok adalah tujuan

27

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, Pasal 1 angka (2).


(45)

28

dilakukannya transaksi bukan untuk bisnis, melainkan untuk kepentingan pribadi atau personal. Perolehan suatu produk dapat dilakukan dalam berbagai cara dan bentuk perbuatan. Seperti transaksi pembelian, sewa-menyewa yang dapat dilakukan dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda, namun tidak untuk tujuan bisnis. Unsur tidak untuk dijual kembali, sudah seharusnya tidak masuk dalam pengertian konsumen, karena kegiatan pembelian untuk dijual kembali adalah kegiatan dagang atau perbuatan perniagaan.

Dalam penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK juga dikatakan, di dalam kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah

konsumen akhir.28

Jadi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan konsumen itu hanyalah orang pemakai akhir dari suatu produk barang dan jasa. Dalam pengertian bahwa produk yang dibelinya tersebut adalah untuk dikonsumsinya sendiri dan tidak untuk

diperjualbelikan lagi.29

Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi

28

M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Jakarta: Akademia, 2012), hlm.7.

29

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Liku-Liku Perjalanan UUPK (Jakarta: YLKI dan USAID), hlm. 4.


(46)

pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama

dengan pemakai. Sedangkan di Eropa, pengertian konsumen bersumber dari Product

Liabillity Directive sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan

Hukum Perlindungan Konsumen.30

2. Pelaku Usaha

Pelaku usaha sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk didalamnya pembuat, grosir, leveransir dan pengecer professional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat profesional merupakan syarat mutlak

dalam hal menuntut pertanggung jawaban dari produsen.31

Pasal 1 ayat (3) UUPK, memberikan pengertian pelaku usaha sebagai berikut:32

“Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku

30

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Op.Cit., hlm. 7.

31

Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 16.

32 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8 Tahun 1999 TLN Nomor 3821, Pasal 1 ayat (3).


(47)

30

usaha di luar negeri, karena UUPK membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik

Indonesia.33

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut

memberikan rincian sebagaimana dalam Directive (pedoman bagi negara masyarakat

Uni Eropa), sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada

siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk.34

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh

usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang produsen.35

Hubungan antara Konsumen dan Pelaku Usaha

Konsumen dan pelaku usaha merupakan subyek hukum dalam UUPK. Transaksi antara kedua subyek hukum itu akan menentukan adanya hubungan hukum dan menjadi syarat pokok untuk menentukan apakah suatu tuntutan atau gugatan dapat diajukan berdasarkan UUPK atau tidak, sehingga dapat dikualifikasi sebagai tuntutan

33

Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 38.

34

Ibid.

35


(48)

konsumen. Sehubungan dengan hal itu, perlu dipelajari unsur-unsur dan karakter

kedua subyek hukum tersebut.36

Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha relevan dan memiliki arti penting dalam penyusunan gugatan konsumen. Gugatan konsumen hanya dapat ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan hukum. Karena dengan adanya hubungan hukum menunjukkan adanya kepentingan hukum antar pihak yang berhubungan. Oleh karena itu, gugatan konsumen yang terjadi karena hubungan hukum yang bersifat tak langsung akan memperbanyak pihak-pihak yang akan digugat. Mulai dari pengecer sampai dengan produser, atau cukup hingga ke agen saja.37

Dalam transaksi konsumen yang bersifat tak langsung dengan pelaku usaha akan melibatkan pihak-pihak yang banyak terlihat. Dalam mata rantai bisnis, suatu produk yang dihasilkan oleh pabrik akan menempuh proses dari pihak-pihak tertentu hingga sampai di pasar dan akhirnya jatuh ke tangan konsumen. Dalam praktiknya ada beragam jenis dan nama dalam mata rantai bisnis, yang secara yuridis sulit membedakannya dan mencari padanan istilah yang tepat ke dalam bahasa Indonesia.

Pelaku usaha akan banyak terdiri dari banyak pihak, antara lain:38

1) Produser (Produce );

2) Importer;

36

Wahyu Sasongko, Op.Cit., hlm. 53.

37

Ibid., hlm. 60.

38


(49)

32

3) Agen (Agent );

4) Kantor Cabang (Branch Office);

5) Kantor Perwakilan (Representatives Office);

6) Perantara (Broker);

7) Pedagang (Trader);

8) Dealer;

9) Penyalur (Distributor);

10) Grosir (Wholeseller);

11) Pengecer (Reatiler).

Hubungan tak langsung antara konsumen dan pelaku usaha akan menyulitkan konsumen dalam melakukan penuntutan. Untuk itu, perlu cara khusus dalam

pengajuan gugatan atau tuntutan konsumen.39

Transaksi konsumen yang bersifat langsung akan lebih memudahkan konsumen dalam melakukan penuntutan atau meminta tanggung jawab pelaku usaha atas produk atau prestasi yang diberikan. Hubungan langsung antara konsumen dan pelaku usaha, misal dalam transaksi konsumen sebagai pelanggan jasa reparasi kendaraan motor

39


(50)

dan montir atau konsumen pengguna jasa catering (jasa boga) akan memudahkan

dalam menggugat karena pihaknya hanya penyedia jasa itu sebagai tergugatnya.40

Gambar 2.41

Hubungan hukum bersifat langsung antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan

Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan hukum yang

umumnya didasari pada transaksi berupa kontrak atau kesepakatan (agreement) dari

kedua belah pihak. Hubungan hukum adalah hubungan antar subyek hukum yang

dilakukan menurut hukum yang dapat berupa ikatan hak dan kewajiban.42

3. Pemerintah

Peranan pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan sangat penting. Tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen agar mendapat hak-haknya, sementara itu tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen juga menjadi bagian yang

40

Ibid.

41

Ibid.

42

Ibid.

PENYEDIA JASA PELAYANAN


(51)

34

penting dalam upaya membangun kegiatan usaha yang positif dan dinamis, sehingga

hak-hak konsumen tetap bisa diperhatikan oleh para pelaku usaha.43

Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi, serta mengendalikan produksi, distribusi dan peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik

kesehatannya maupun keuangannya.44

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan,

maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah:45

1) Registrasi dan penilaian;

2) Pengawasan produksi;

3) Pengawasan distribusi;

4) Pembinaan dan pengembangan usaha;

5) Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.

Peranan pemerintah sebagaimana disebutkan diatas dapat dikategorikan sebagai peranan yang berdampak jangka panjang sehingga perlu dilakukan secara terus menerus memberikan penerangan, penyuluhan dan pendidikan bagi semua pihak. Dengan demikian, tercipta lingkungan berusaha yang sehat dan berkembangnya pengusaha yang bertanggung jawab. Termasuk disini menciptakan pasar yang

43

Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hlm. 38.

44

Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 23.

45


(52)

kompetitif dengan berangsur-angsur menghilangkan monopoli dan proteksi. Dalam jangka pendek, pemerintah dapat menyelesaikan secara langsung dan cepat

masalah-masalah yang timbul.46

D.Hak dan Kewajiban Konsumen

Hubungan hukum menimbulkan kemungkinan diakuinya hak-hak akibat hukum berupa hak dan kewajiban. Demikian juga dengan hubungan antara konsumen dan pelaku usaha. Hak-hak konsumen yang diatur dalam UUPK bersifat terbuka, artinya selain ada hak-hak konsumen yang diatur dalam UUPK, dimungkinkan diakuinya hak-hak konsumen lainnya yang tidak diatur dalam UUPK tetapi diatur dalam

peraturan perundang-undangan lain di sektor tertentu.47

Kesejahteraan dan kemakmuran merupakan tujuan dari pembangunan nasional yang menjadi tanggung jawab bersama (tanggung jawab setiap komponen bangsa) untuk mewujudkannya. Produsen/pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat itu. Dunia usaha harus mampu menghasilkan berbagai barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dengan pemastian terhadap mutu, jumlah yang mencukupi, serta keamanan pada pemakai barang dan/atau jasa yang diedarkan ke pasar.

Dalam kegiatan menjalankan usaha, undang-undang memberikan sejumlah hak dan membebankan sejumlah kewajiban dan larangan kepada produsen. Pengaturan

46

Ibid.

47


(53)

36

tentang hak, kewajiban, dan larangan itu dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara produsen dan konsumennya, sekaligus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian pada umumnya.

1. Hak Konsumen

Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan

yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.48

Seiring dengan keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka mulailah dipikirkan kepentingan-kepentingan apa dari konsumen yang perlu mendapat perlindungan. Kepentingan-kepentingan itu dapat dirumuskan dalam bentuk hak.

Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum. Hak-hak konsumen yang tercantum dalam

Pasal 4 UUPK, yaitu:49

1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang;

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

48

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 43.

49

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, Pasal 4.


(54)

3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8) Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang

dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis)

apabila mengkonsumsi suatu produk.50

Hak untuk memilih dimaksudkan dapat memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada

50


(55)

38

tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang

dipilihnya.51

Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan

produk.52

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang

berkaitan dengan kepentingan konsumen.53

51

Ibid., hlm. 41-46.

52

Ibid.

53


(56)

Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur

hukum.54

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu

produk yang dibutuhkan.55

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ini jelas dimaksudkan agar pihak pelaku usaha itu tidak membeda-bedakan konsumen. Produsen harus menganggap semua konsumen itu berstatus sama, tanpa membeda-bedakan status, suku maupun agama. Karena hal inilah yang dapat menjadikan suatu konflik atau perpecahan antara pelaku usaha dengan pihak

konsumen.56

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan

54

Ibid.

55

Ibid.

56


(57)

40

produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian materi, maupun

kerugian yang menyangkut diri konsumen.57

Selain itu resolusi PBB No. 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan

konsumen yang perlu dilindungi yaitu:58

1) Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanan;

2) Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

3) Tersedianya informasi-informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

4) Pendidikan konsumen;

5) Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

6) Kebebasan untuk membentuk konsumen/orang lainnya yang relevan dan memberi

kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan kepentingan yang menyangkut kepentingan mereka.

Sementara itu dikenal pengelompokan konsumen dalam wujud yaitu kepentingan fisik, kepentingan sosial ekonomi dan kepentingan perlindungan hukum. Kepentingan fisik berarti kepentingan konsumen yang berkaitan dengan keselamatan dan

57Ibid. 58

Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 38. Lihat juga, Resolusi PBB No. 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection).


(58)

keamanan jiwa dan raga mereka dalam menggunakan barang dan/atau jasa. Barang dan/atau jasa memberi manfaat bagi jiwa dan raga mereka. Kepentingan fisik ini terganggu kalau penggunaan barang dan/atau jasa malah membahayakan keselamatan dan kesehatan. Kepentingan sosial ekonomi berarti konsumen harus dapat hasil maksimal dari penggunaan sumber-sumber ekonomi dalam mendapat barang dan/atau jasa yang diperoleh. Kepentingan hukum bagi konsumen merupakan kepentingan dan kebutuhan yang sah, adalah tidak adil bagi konsumen bila kepentingan mereka tidak

dihormati, tidak dihargai, tidak seimbang, dan tidak dilindungi hukum.59

2. Kewajiban Konsumen

Konsumen sebagai subyek hukum, selain memiliki hak juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban konsumen sebagaimana dijelaskan pada Pasal 5

UUPK adalah:60

1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut.

59

Ibid.

60

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999 TLN Nomor 3821, Pasal 5.


(59)

42

Hal ini dimaksud agar konsumen dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya sebagaimana telah diurai diatas bahwa pada pokoknya hak satu pihak terhadap pihak lainnya lahir dari suatu perjanjian tertulis antara konsumen dan pelaku usaha yang sering tidak dapat ditemukan sehingga kebanyakan orang hanya berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan konsumen yang digunakan memanfaatkan maupun memakai barang dan/atau jasa yang disediakan untuk pelaku usaha.

Kewajiban konsumen yang lain menurut beberapa para ahli ialah:61

1) Bersikukuh untuk meminta tanda pembelian (kwitansi) tanpa terkecuali terhadap

barang yang telah dibeli;

2) Baca informasi diatas barang sebelum membeli;

3) Jangan tergiur dengan iklan yang menyesatkan;

4) Beli hanya barang yang terstandarisasi;

5) Ajukan tuntutan konsumen terhadap barang yang tidak baik pelayanannya, atau

terhadap praktik bisnis tidak adil.

61


(60)

E.Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

1. Hak Pelaku Usaha

Pasal 6 UUPK mengatur mengenai hak-hak dari pelaku usaha, yaitu:62

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad

tidak baik;

3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian sengketa

konsumen;

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

2. Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 7 UUPK mengatur mengenai kewajiban dari pelaku usaha antara lain:63

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

62

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999 TLN Nomor 3821, Pasal 6.

63

Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 5 Tahun 1999 TLN Nomor 3821, Pasal 7.


(61)

44

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang

dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

F. Promosi dan Periklanan

Perkembangan telekomunikasi dan informasi dalam dunia bisnis semakin berkembang dengan pesat, sehingga banyak perusahaan atau orang perseorangan yang membuat bisnis reklame, iklan dan promosi secara siginifikan. Bukanlah hal yang dianggap tabu jika bentuk dan jenis promosi ini semakin atraktif. Media yang digunakan beragam, promosi bisnis dapat dikemas melalui surat kabar, majalah atau melalui radio, televisi dan bahkan internet.


(1)

V.KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggung jawaban PT NMI sebagai pelaku usaha yang melakukan praktik periklanan menyesatkan dan merugikan konsumen telah diputus sesuai dengan Pasal 19 UUPK mengenai tanggung jawab pelaku usaha. Majelis arbitrase BPSK dalam putusannya terkait sengketa konsumen antara Ludmilla Arif melawan PT NMI menyatakan bahwa klaim yang terdapat di dalam kegiatan promosi iklan Nissan March telah melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c UUPK, dan menyatakan bahwa transaksi mobil Nissan March tersebut dibatalkan. PT NMI sebagai Termohon harus dihukum membayar uang sebesar Rp. 150.000.000,- kepada Ludmilla selaku Pemohon yang mengadukan kasus ini kepada BPSK karena merasa dirugikan sebagai konsumen produk otomotif Nissan March. Putusan arbitrase BPSK tersebut sudah sesuai dengan ketentuan UUPK karena unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-undang tersebut telah terpenuhi sehingga putusan BPSK dalam kasus ini sudah sesuai dengan ketentuan UUPK.


(2)

2. Permasalahan kepastian hukum dan kekuatan eksekutorial putusan BPSK dalam sengketa konsumen antara Ludmilla Arief meelawan PT NMI tersebut telah membuktikan bahwa kurangnya ketegasan hukum dan tidak adanya kekuatan eksekutorial yang dimiliki BPSK. Pertentangan yang ada di dalam Pasal 54 ayat (2) dan Pasal 56 ayat (3) UUPK justru diperkuat dengan lahirnya Pasal 41 ayat (3) dan Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 serta Pasal 1 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 yang membuat semakin lemahnya lembaga penyelesaian konsumen tersebut. Walaupun UUPK telah menegaskan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan terhadap semua jenis putusan BPSK, namun dalam Pasal 2 Perma Nomor 1 Tahun 2006 dikatakan bahwa keberatan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK. Hal ini jugalah yang terjadi didalam putusan BPSK No. 099/Pts. A/BPSK-DKI/II/2012 tentang sengketa konsumen antara PT NMI dengan Ludmilla Arif sebagai konsumen. Setelah putusan arbitrase BPSK memberikan putusan bahwa sengketa ini dimenangkan oleh pihak konsumen, PT NMI sebagai pelaku usaha mengajukan upaya keberatan dengan “alasan lain” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (5) Perma Nomor 1 Tahun 2006. Sampai akhirnya kasus tersebut tidak hanya selesai di BPSK saja, tetapi berlanjut hingga ke Pengadilan Negeri bahkan sampai kasasi di Mahkamah Agung, sehingga terlihat tidak adanya ketegasan dalam memberikan titel hukum terhadap putusan yang di keluarkan oleh BPSK.


(3)

B.Saran dan Rekomendasi

1. Skripsi ini pertama direkomendasikan kepada pemerintah sebagai regulator dan pemegang kebijakan sangat penting untuk segera merevisi segala jenis peraturan tentang perlindungan konsumen, sehingga tidak ada lagi terjadinya pelemahan terhadap tubuh BPSK. Hak-hak konsumen dalam menerima informasi iklan yang benar, jelas, jujur dan tidak menyesatkan konsumen harus dijunjung tinggi dengan dibuatnya peraturan yang lebih tegas dan lebih fokus terhadap segala jenis periklanan baik itu melalui media cetak maupun elektronik. Sosialisasi akan hak-hak konsumen harus lebih ditegakkan, dan jangan hanya menekankan kegiatan sosialisasi di Ibukota saja, tetapi juga melakukan kegiatan sosialisasi tentang perlindungan konsumen di setiap daerah Indonesia. Dengan begitu diharapkan dapat menutup kemungkinan bagi para pihak yang beritikad buruk untuk membuka kembali perkara sengketa konsumen melawan pelaku usaha dengan alasan yang tidak jelas.

2. Sengketa konsumen di dalam skripsi ini juga harapannya dapat memberikan pelajaran kepada seluruh konsumen di Indonesia yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dalam kegiatan usaha sehari-hari, dimana tidak jarang kita melihat pelaku usaha yang menjalankan usahanya tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada. Langkah yang dilakukan oleh Ludmilla sudah sangat tepat, meskipun masih banyak kekurangan dalam penyelesaian sengketa di tubuh BPSK. Akan tetapi, bukan berarti kita sebagai konsumen bisa selalu diam ketika kita merasa dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Kita harus tetap berani dan


(4)

jangan pernah ragu untuk membela hak-hak kita sebagai konsumen jika ada pelanggaran dalam segala bentuk kegiatan usaha. Karena percayalah pada prinsipnya walaupun terdapat pertentangan di dalam UUPK, tetapi masih banyak keuntungan yang kita dapatkan jika kita ingin menyelesaikan sengketa konsumen melalui BPSK sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan segala perkara sengketa konsumen di Indonesia.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku/Literatur

Barkatullah, Halim Abdul. 2010. Hak-Hak Konsumen. Nusa Media, Bandung.

Marwan, Muhammad dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum. Reality Publisher, Surabaya.

Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberti, Yogyakarta.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yudo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sadar, Muhammad, Moh Taufik Makarao dan Habloel Mawadi. 2012. Hukum

Perlindungan Konsumen di Indonesia. Akademia, Jakarta

Sasongko, Wahyu. 2007. Ketentuan-ketentuan Pokok Hukum Perlindungan

Konsumen. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Shidarta, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Shofie Yusuf, 2008. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sidabalok, Janus. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Suharto, dan Tata Iryanto. 1989. Kamus Bahasa Indonesia. Penerbit Indah, Surabaya. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. 2001. Liku-Liku Perjalanan UUPK. YLKI


(6)

B.Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelsaian Sengketa Umum.

Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

C.Artikel, Jurnal, Skripsi

Febryanti, Lia. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pengguna Layanan Jasa Penerbangan Bertarif Murah (Studi Pada PT. Indonesia Air

Asia). Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Darmawan, Grace Steffie. 2010. Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Final and

Binding Putusan Arbitrase. Skripsi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Jakarta.

D.Internet

http://www.blogspot.com http://www.tempo.com http://www.avanzaxenia.net

http://id.shyoong.com/law-and-politics/constitutional-law/20930989-pengertian-arbitrase/#ixzz2VLyOaiZx


Dokumen yang terkait

Kedudukan dan Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Rangka Menyelesaikan Sengketa Konsumen ditinjau dari UU nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsume

22 339 103

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Mengimplementasikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

6 80 130

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Produsen

0 46 132

EKSISTENSI KELEMBAGAAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM MENJALANKAN INDEPENDENSI PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

0 10 48

KONSUMEN DAN PEMBIAYAAN KONSUMEN: Studi Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Konsumen Dan Pembiayaan Konsumen: Studi Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor: 02-06/LS/IV/2012/BPSK.Ska Mengenai Perjanjian Pembiayaan K

0 2 17

KONSUMEN DAN PROMOSI KARTU DEBET: Studi terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta Konsumen Dan Promosi Kartu Debet: Studi terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta Nomor 01-02/Jk/II/2014/Bpsk.Ska dalam Sengketa

0 4 13

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI EKSISTENSI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DI SURAKARTA

0 0 17

Kata kunci: sengketa, konsumen, BPSK PENDAHULUAN - SENGKETA KONSUMEN DAN TEKNIS PENYELESAIANNYA PADA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

0 0 12

KENDALA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

0 1 20

PERMASALAHAN DAN KENDALA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

0 0 13