HUKUM DAN WAJAH HAKIM DALAM DINAMIKA HUKUM ACARA PERADILAN

Farkhani, S.HI., S.H., M.H
Evi Ariyani, S.H., M.H

HUKUM DAN WAJAH HAKIM
DALAM DINAMIKA HUKUM
ACARA PERADILAN

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. & Evi Aryani, S.H., M.H.
Hukum dan Wajah Hakim Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan;
Farkhani, S.HI., S.H., M.H. & Evi Ariyani, S.H., M.H.; Editor: Luthfiaba
Zahriani & Heni Satar Nurhaida; Solo: Pustaka Iltizam; 2016
156 hlm.; 20,5 cm
ISBN: 978-602-7668-76-8

Hukum dan Wajah Hakim Dalam
Dinamika Hukum Acara Peradilan
Penulis:
Farkhani, S.HI., S.H., M.H.
Evi Ariyani, S.H., M.H.
Editor:
Luthfiana Zahriani

Heni Satar Nurhaida
Tata Letak:
Taufiqurrohman
Cover:
naka_abee
Cetakan I : Oktober 2016
Diterbitkan Oleh :

Perum Gumpang Baru
Jl. Kresna No. 1, Gumpang, Kartasura, Solo.
Phone : 0271-7652680, HP. 081548542512
Email : p_iltizam@yahoo.com

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Nabi Muhammad Saw.
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan atas terselesaikannya buku yang ada di tangan saudara ini. Harus penulis
sampaikan bahwa buku ini adalah penggabungan sedemikian
rupa ditambah dengan polesan dari dua penulisnya atas dua

penelitian yang dilakukan tahun sebelumnya.
Keinginan untuk tidak sekedar menjadi laporan penelitian, mendorong penulis untuk bekerja lebih baik di sela relung
waktu yang kosong diantara aktivitas mengajar dan kesibukan
mengurusi administrasi perkuliahan, mengubahnya menjadi
buku agar dapat dikonsumsi oleh mahasiswa dan khalayak,
termasuk kritik konstruktif. Pilihan judul “Hukum dan Wajah
Hakim dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan” karena penelitian kami berkenaan dengan kinerja hakim dalam ruang
sidang. Dissenting opinion, penemuan hukum dan praperadilan adalah bagian dari kinerja hakim yang dapat saja dilakukan
sewaktu-waktu ketika kasus yang dihadapinya menuntut untuk melakukan itu.
Melakukan dissenting opinion, rechtsvinding dan praperadilan dengan perkara baru yang belum ada pijakan hukumnya
adalah pekerjaan berat yang mempertaruhkan diri, jabatan,
institusi dan bahkan hukum itu sendiri. Tanggung jawab di dunia dengan berbagai konsekuensinya harus dihadapi, belum
lagi pertanggungjawaban akhirat yang pasti menanti. Pada
proses ini hakim betul-betul harus mencurahkan segala daya
Kata Pengantar

3

upayanya untuk menghasilkan pendapat, hukum baru ataupun putusan yang betul-betul harus dapat memenuhi tujuan
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Prosedur beracara tetap

harus dilalui, dibarengi dengan loncatan berpikir yang biasanya out of the box dengan hasil konklusi yang benar-benar
brillian. Walaupun kesalahan bisa saja terjadi dan hakim tidak
bisa dipidanakan karena persolan kesalahan dalam memberikan putusan tapi akan dapat berakibat fatal pada keberlangsungan karier dan kredebilitasny sebagai hakim.
Bagi hakim-hakim yang tidak atau belum memiliki keberanian untuk menjalankan fungsi hakim yang sesungguhnya
karena berbagai alasan, bermain aman, patuh pada prosedur
dan teks book, pada satu sisi menguntungkan dirinya namun
pada sisi lain hukum menjadi sangat prosedural, rigid, stagnan
dan tanpa dinamika yang akan mendorong pendalaman terhadap pembelajaran hukum, menjadi hukum menjadi ilmu yang
kurang menarik dan hanya terukurung dalam teks books and
procedures. Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman
sebenarnya sudah memberikan jaminan kemerdekaan bagi
hakim untuk menggali segala nilai dan norma yang memungkinkan dapat digunakan untuk memecahkan problem hukum,
lokal maupun nasional.
Akhirnya, harapan penulis adalah semoga buku ini bermanfaat.
Billaahi fii sabiililhaq, fastabiqul khairaat.
Penulis

4

Hukum dan Wajah Hakim

Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

Daftar Isi
KATA PENGANTAR..................................................................................... 3
DAFTAR ISI .................................................................................................. 5

BANGUNAN HUKUM DAN GERAKAN HUKUM PROGRESIF DI
INDONESIA .................................................................................................. 7
A. Bangunan Hukum Indonesia ............................................................. 7
B. Sistem Hukum Indonesia ..................................................................15
C. Gerakan Hukum Progresif di Indonesia......................................22
D. Gerakan Hakim Progresif di Indonesia .......................................27

WAJAH DAN INTEGRITAS HAKIM ......................................................29
A. Buruk Rupa Hakim Kita .....................................................................29
B. Jaminan Kemerdekaan Hakim ........................................................35

WAJAH HAKIM INDONESIA DALAM BEDA PENDAPAT (DISENTING
OPINION) DAN PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING).................41
A. Hakim Sebagai Judge Made Law dalam Sistem Hukum

Indonesia .................................................................................................41
B. Perilaku Hakim Indonesia ................................................................45
C. Beda Pendapat (Dissenting Opinion) dan Penemuan Hukum
Oleh Hakim..............................................................................................55

DISSENTING OPINION DAN RECHTSVINDING DALAM PUTUSAN
HAKIM (Sebuah Contoh Kecil dari Kinerja Hakim di PN

dan PA Kota Salatiga)........................................................69
Daftar Isi

5

NEGARA HUKUM DAN KEWAJIBAN MEMBERIKAN JAMINAN
PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA NEGARANYA ......................81
A. Negara Hukum .......................................................................................81
B. Negara dan Perlindungan Terhadap Warga Negara ..............99

PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI
INDONESIA ............................................................................................ 103

A. Dinamika Institusi Hukum ............................................................103
B. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Praperadilan di Indonesia ........................................................................................................110
C. Fungsi, Tujuan dan Wewenang Praperadilan.......................120
D. Pra Peradilan; Sebuah Upaya Perlindungan Terhadap Subyek
Hukum....................................................................................................123
E. Kebebasan Hakim dalam Pembuatan Putusan .....................125

CONTENT ANALYSIS TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN
NOMOR: O4/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel........................................ 133
A. Pemberantasan Korupsi dan Perlawanan Balik Koruptor133
B. Analisis Prosedur Hukum Putusan Nomor: O4/Pid.
Prap/2015/PN.Jkt.Sel......................................................................136
C. Content Analysis dari Perspektif Idealitas Putusan Hakim ...
138

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 149
BIODATA PENULIS ................................................................................ 154

6


Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

BANGUNAN HUKUM DAN GERAKAN
HUKUM PROGRESIF DI INDONESIA

A. Bangunan Hukum Indonesia
Sejak kemerdekaan Indonesia, negara ini dengan tegas
menyatakan bahwa negara ini adalah negara hukum. Pernyataan yang tertera tegas dalam konstitusi UUD 1945 ini bukan
persoalan sepele bagi negara yang baru saja memerdekakan
dirinya setelah lebih dari 3,5 abad dalam kangkangan jajahan
beberapa negara Eropa dan Jepang. Sebab identitas dan bangunan hukum atas nama Indonesia dalam arti produksi legislasi
Indonesia belum dapat memproduk berbagai aturan hukum
yang melingkupi seluruh kebutuhan masyarakat Indonesia, kecuali konstitusi UUD 1945 yang bersifat sementara dan sangat
simpel.
Keberanian menetapkan sebagai negara hukum bagi negara yang baru saja lahir menjadi negara merdeka merupakan
keputusan dan kesepakatan politik yang sungguh sangat berani, untuk tidak mengatakan terlalu gegabah dan terburu-buru.
Karena menetapkan diri sebagai negara hukum berarti menuntut pemerintah yang baru terbentuk untuk memegang teguh
paradigma awal lahirnya istilah negara hukum.
Gagasan awal tentang negara hukum dikemukakan oleh

Aristoteles pada zaman Yunani Kuno 300SM. Ia menyatakan
bahwa yang memerintah dalam negara hukum bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil. Ini artinya, keadilanlah
yang memerintah dan keadilan harus terjelma dalam kehiduBangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia

7

pan bernegara. Aristoteles mensejajarkan hukum (keadilan)
dengan akal (kecerdasan dan bahkan dewa, sehingga barangsiapa memberi tempat bagi hukum untuk memerintah, berarti
memberi tempat bagi dewa dan akal serta kecerdasan untuk
memerintah, berarti pula telah memberi tempat bagi binatang
buas, sebab menurut Aristoteles betapapun bijaksananya manusia, ia tetap memiliki keinginan dan nafsu yang dapat mendorongnya menjadi binatang buas dan menjadi makhluk yang
paling rendah. Dengan demikiaan hukumlah yang patut memiliki kedaulatan tertinggi dan hukumlah yang layak menjadi
sumber kekuasaan dalam suatu negara. (Siti Fatimah, 2005:
23-24). Padahal belum ada perangkat hukum yang dibuat kecuali konstitusi yang sementara dan simpel itu (UUD 1945).
Sifat sementara dan simpel ini didasarkan pada statemen
Bung Karno saat berpidato pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945;
“tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar
kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah
revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang

Dasar yang lebih sempurna dan lengkap” (A.B. Kususma,
2004: 470)
Konsekuensi selanjutnya yang harus diemban bagi sebuah
negara hukum adalah bahwa negara yang pada awalnya adalah
sebuah fakta kekuasaan menjadi institusi hukum yang membenarkan dirinya sebagai sebuah komunitas yang diatur oleh
hukum (Hans Kelsen, 2008: 315). Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap persoalan dan aktivitas negara baik yang
bersifat pasif dan aktif harus memiliki landasan yuridis yang
sah. Sementara pada sisi yang lain, negara baru saja lahir dan
belum ada produk lain dari parlemen yang terbentuk dalam
8

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

situasi peralihan kekuasaan selain undang-undang dasar. Bila
demikian adanya, menurut Hans Kelsen (2008: 315) negara
harus dipresentasikan sebagai makhluk pribadi yang berbeda
dari hukum, dengan maksud agar hukum dapat membenarkan
negara, jika negara benar dan menyalahkan negara jika negara
salah (pen).

Apalagi diktum keramat “negara hukum” secara tegas dijelaskan dalam penjelasan UUD 1945 pra amandemen adalah
rechtstaat. Padahal menjadikan dan membangung negara hukum adalah persoalan pelik. Buktinya adalah pembangunan
negara hukum sejak kemerdekaan belum juga selesai dengan
baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Indonesia menjadi
terkenal di dunia sebagai negara dengan sistem hukum yang
sangat buruk. Yang dimaksud dengan pembangunan hukum
yang belum selesai disini, menurut Satjipto Rahardjo (2007:
46-47) adalah bagaimana menjadikan negara hukum itu suatu organisasi yang secara substansial mampu menjadi rumah
yang menyenangkan, menyejahterakan dan membahagiakan
bangsa Indonesia.
Pemilihan aliran negara hukum ini (rechtstaat) juga membawa konsekuensi tersendiri sebagaimana juga bila memilih
model rule of law dan Islamic law. Mengapa model-model aliran
atau sistem hukum ini diungkapkan? Karena sangat mungkin
atau ada peluang dari masing-masing sistem hukum tersebut
untuk diadopsi oleh negara Indonesia yang baru merdeka ini.
Alasan simplistiknya adalah; rechtstaat, karena negara ini pernah dijajah oleh beberapa negara Eropa yang menganut model
civil law, terutama Belanda. Adapun rule of law, karena Indonesia juga pernah dijajah oleh Inggris –negara hukum common law- walau tidak begitu lama. Adapun kesempatan untuk
menggunakan islamic law adalah mayoritas politisi dan penBangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia


9

duduk Indonesia adalah Islam, bahkan sempat terjadi perdebatan sengit tentang salah satu norma hukum dalam Pancasila.
Pilihan negara hukum rechtstaat oleh founding fathers dapat dipahami dengan beberapa alasan berikut ini, diantaranya;
1.

Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dijajah oleh Belanda
selama 3,5 abad. Kurun waktu yang lama tersebut, menjadi
waktu yang sangat baik bagi Belanda untuk menanamkan
semua sistem hukum yang dianutnya untuk ditransplantasikan ke dalam negara jajahannya. Oleh karena kendala
situasi dan kondisi yang dihadapi, pilihan model negara
hukum rechtstaat adalah yang paling memungkinkan untuk menghindari facum of law (kekosongan hukum), ketiadaan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat Indonesia yang baru meredeka.

2.

Hukum-hukum warisan Belanda dengan berbagai pranata
hukumnnya yang telah establish dalam waktu lama dan
dipatuhi, menjadi jalan keluar yang paling mudah dan sementara untuk menutup ruang kosong hukum yang belum
disusun secara matang dan komprehensif oleh pemerintah
Indonesia.

3.

Bahwa bagi negara yang baru merdeka, kemerdekaan, kedaulatan politik dan pengakuan dari dunia internasional
menjadi urusan yang sangat mendesak dan penting. Ancaman dari bangsa asing atas suatu bangsa yang telah merdeka akan menjadi alasan yang semakin kuat bagi bangsa
tersebut untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Berdasarkan pada realitas sejarah yang demikian itu, jelas
bahwa hukum dan pranata hukum yang berlaku pada awal kemerdekaan adalah warisan kolonial.

10

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

Setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, ternyata kehidupan masyarakat dan bangsa ini masih banyak diatur oleh produk-pruduk hukum kolonial. Galibnya, justru pada
persoalan-persoalan pokok dalam kehidupan bermasyarakat
bangsa ini, belum juga bisa melepaskan diri dari kekang
produk hukum kolonial, buktinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdt) dan hukum acaranya. Produk-produk hukum kolonial itu tidak juga berubah, apalagi diganti, hanya penghapusan
beberapa pasal saja yang dirasa sudah tidak relevan dan melanggar hak-hak asasi manusia secara mendasar.
Bagi sebuah bangsa yang merdeka, persoalan hukum yang
demikian tersebut dianggap bagian dari sebuah ironi negara
yang merdeka. Sebagai bangsa merdeka tidak seharusnya
menjadi pewaris yang loyal terhadap perangkat undang-undang pemerintah Kolonial. Karena pada hakekatnya, penjajah
itu masih kokoh mencengkeram negara dan bangsa ini, bukan
dalam bentuk fisik tapi dalam bentuk lainnya, dalam hal ini
produk-produk hukumnya yang masih eksis mengatur jantung
kehidupan masyarakat Indonesia. Bagaimanapun produkproduk hukum kolonial harus dirubah dan diperbarui, karena
dasar falsafahnya tidak berpijak pada nilai-nilai moral dan kultural masyarakat kita. Disamping itu sebagian materinya sudah
tidak sesuai lagi dengan dengan kebutuhan masyarakat dan zaman (Busyro Muqaddas dkk, 1992: vi).
Salah satu bukti bahwa produk hukum kolonial itu tidak
sejalan dengan nilai-nilai moral dan kultural masyarakat Indonesia adalah soal perzinahan yang diatur dalam pasal 284
KUHPidana. Delik perzinahan hanya akan jatuh pada salah satu
dan atau kedua pezina berstatus dalam ikatan perkawinan
yang sah. Sementara itu nilai-nilai dan kultul bangsa Indonesia,
Bangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia

11

tidak membenarkan sama sekali hubungan persebadanan tanpa akad nikah yang sah walaupun didasarkan atas suka sama
suka dan tanpa konsekuensi apapun dari hubungan persebadanan tersebut.
Seiring berlakunya zaman, kondisi hukum di Indonesia belum berubah. Kondisi yang belum berubah ini menggiring pada
satu identitas bangunan hukum Indonesia, paling tidak ia akan
membentuk satu unsur penting dalam bangunan hukumnya.
Memperhatikan historisitas perkembangan dan pembangunan hukum di Indonesia, negara ini mengakomodir seluruh sistem hukum yang berlaku pada masyarakat Indonesia termasuk
akulturasi budaya dan hukum yang telah memiliki kohesifitas
dan nilai kesejarahannya. Dengan demikian kita dapat melihat
bahwa banguna hukum negara Indonesia tegak di atas tiga pilar sistem hukum; hukum adat, hukum islam dan hukum kolonial.
Bangunan hukum yang demikian khasnya ini menjadikan
identitas hukum Indonesia sulit untuk dipersamakan dengan
sistem hukum yang berlaku secara spesifik pada aliran-aliran
hukum tertentu. Bangunan hukum Indonesia tidak identik
dengan sistem reachtstaat, bukan pula rule of law dan sulit pula
dikatakan sebagai socialist legality, serta sangat jauh dengan
identitas dan karakteristik Islamic law.
Sistem hukum negara Indonesia merangkum seluruh
kepentingan atau unsur dari sistem yang ada dengan didasarkan pada satu standarisasi nilai dan norma pada nilai dan norma Pancasila sebagai paramount law di negara ini.
Dari bangunan dengan sistem yang menopangnya tersebut, nyata bahwa tidak begitu mengunggulkan kepentingan
perorangan sebagaimana sistem rule of law, tidak juga men-

12

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

gutamakan kepentingan umum (kepentingan negara) sebagiamana sistem socialist legality. Tidak melepaskan agama namun
tetap memerlukan nilai-nilai agama atau ketuhanan. Dengan
sistem identitas bangunan hukum yang demikian dapat ditengarai bahwa sistem hukum Indonesia sengaja terbuka (Artidjo
Alkotsar, 1997: 26) untuk berbagai unsur hukum yang ada asal
sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yng didasarkan
pada Pancasila. Dengan sistem yang seperti ini, berarti membuka diri untuk senantiasa menyesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman yang mendorong akselerasi pembangunan masyarakat Indonesia yang adil, merata dan sejahtera.
Argumentasi mengenai bangunan hukum Indonesia
semacam ini selaras dengan apa yang pernah dikatakan oleh
Baharudin Lopa;
“Oleh karenanya hukum nasional yang kita ciptakan itu
adalah hukum nasional yang terbuka. Terbuka (luwes),
karena siap menerima perubahan-perubahan. Dinamis,
karena hukum nasional kita itu harus cepat menerima/
mengikuti perubahan-perubahan itu, sambil tetap menjaga kepribadian kita yang khas Indonesia.” (dalam Artidjo
Alkotsar, 1997: 26)
Sayangnya keinginan yang demikian itu tetap berputar
dalam kumparan positifisme hukum, mengekor pada perkembangan hukum yang mendominasi pemikiran hukum barat.
Perkembangan yang dimaksudkan adalah, bahwa hukum yang
mulanya dibangun, dijabarkan sesaui dengan tatanan nilai
yang bersifat transendental (lex eterna; hukum Tuhan/ kodrati), hukum para nabi dengan risalah kitab suci yang dibawanya
(lex devina), atau berasal dari hukum alam (lex natura) semata,
terus bergeser pada pandangan yang melihat peran manusia
begitu dominan dalam merumuskan ketentuan aturan hukum
Bangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia

13

konsep lex humana, yang cenderung bersifat legalistik normatif. Hal ini juga bisa kita temukan pada bangunan hukum
Indonesia saat ini.
Filsafat modern yang dikenal dan sangat mempengaruhi
paradigma berpikir Barat adalah Positivisme Logis. Paham ini
tidak mengakui metafisika. Mereka hanya mengakui persepsi
panca indera sebagai satu-satunya yang “ada”. Kalangan ilmuan
Barat mengakui bahwa dengan adanya filsafat Positivisme Logis, Barat sukses mencapai hasil yang gemilang dalam perkembangan ilmu pengetahuan (Taufiq Firmanto dalam hukum.
kompasiana.com).
Corak bangunan hukum yang demikian ini, jelas menegasikan berbagai problem hukum yang bersifat metafisis-spiritualis-transendentalis yang banyak meliputi kehidupan pada
masyarakat Timur dan Tengah khususnya.
Bangunan hukum yang bercorak positifistik legalistik, jelas sangat jauh untuk bisa menjangkau berbagai problem kehidupan manusia. Akhirnya berbagai persoalan hukum yang
muncul kepermukaan yang seharusnya lebih tepat dan akurat
dilakukan dengan pendekatan non positifisme menjadi bebas,
lepas dan sulit untuk dilakukan pembuktian yang bersifat logis
dalam pandangan positifistik logis ala Barat. Jangankan pada
aspek yang metafisis, problem hukum yang fisik dan beraneka
ragam kebutuhan serta peristiwa hukum yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat Indonesia pun masih banyak yang belum dijangkau oleh produk perundang-undangan yang legalistik formalistik tersebut.
Menyadari akan keterbatasan hal ini, para sarjana hukum
dan lembaga legislatif memberikan ruang gerak kepada aparatur pemerintah dan penegak hukum untuk melakukan tero-

14

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

bosan-terobosan hukum, penemuan-penemuan hukum bahkan kemerdekaan yang luas kepada para juris untuk berbeda
pendapat, pandangan atau tafsiran terhadap kasus-kasus hukum yang ditanganinya. Bahkan kebebasan hakim untuk memberikan alasan terhadap penjatuhan vonis pada kasus yang
dihadapinya telah dilindungi oleh undang-undang kehakiman
yang terbaru.
Namun sekali lagi, walaupun ruang tersebut dibuka, tetap
saja kendala lain semisal kemampuan intelektual, pengalaman
dan latar belakang yang berbeda dari para juris akan sangat
mempengaruhi lahir atau munculnya terobosan-terobosan
yang diharapkan.
Deskripsi singkat berkenaan dengan bangunan hukum
Indonesia sebagaimana tersebut di atas, akan semakin dapat
dipahami bila kita memahami pula dengan apa yang di sebut
“sistem hukum”. Sudah barang tentu dalam hal ini adalah sistem hukum Indonesia

B. Sistem Hukum Indonesia
Sistem berasal dari bahasa Yunani, “systema” yang berarti
keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian. Secara sederhana sistem diartikan sebagai susunan atau tatanan
yang teratur, yang terdiri dari bermacam-macam bagian yang
menyatu dan bersinergi untuk kokohnya sesuatu (bangunan).
Maka sistem hukum dapat diartikan sebagai suatu tatanan atau
susunan dari bagian-bagian tertentu yang membentuk bangunan hukum tertentu. Ini berarti dalam satu sistem hukum tidak
boleh ada bagian-bagian tertentu yang saling bertentangan,
tumpang tindih, ringkih kohesifitas dan lemah kontennya. Bila
problem itu ada dalam sebuah sistem, maka seharusnya sistem
Bangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia

15

itu sendiri yang yang harus segera menyelesaikan problemnya
hingga tidak berlarut-larut yang mengakibatkan bangunan sistem itu semakin buruk.
Sebenarnya tidak banyak sistem hukum yang dianut oleh
banyak negara di dunia, dan pada masing-masing negara memiliki kekhususan tersendiri pada sistem hukum yang menjadi bangunan dan identitas hukum nasionalnya. Di negara
kita, pada awalnya bangunan hukumnya tegak atas tiga sistem
hukum yang diakomodir menjadi identitas ataupun ciri khas
hukum Indonesia. Ketiga sistem tersebut adalah sistem hukum
kolonial (Eropa Kontinental), hukum adat dan hukum Islam.
Namun dalam perkembangannya ternyata mulai muncul unsur-unsur sistem hukum anglo saxon dipraktekan dalam ranah
hukum Indonesia dengan muatan dan wajah yang semakin jelas dari waktu ke waktu.

1.

Sistem Hukum Eropa Kontinental

Sistem ini bermula dari pandangan Imamanuel Kant mengenai negara,
“the union of multitude of men under law of
justice”. Hukum negara bertujuan melindungi otonomi individu berupa kebebasan dan hak milik pribadi sebagai dasar
yang diperlukan bagi kemerdekaan individu. Pikiran hukum
semacam ini berkembang subur di tanah Eropa daratan, dan
abad 19 adalah musim semi yang sangat baik bagi perkembangan paradigma. Tokoh-tokoh semacam von Savighny, Josep
Stahl, dan LA. Hart lahir di abad ini dan memperkokoh hukum
yang bersifat liberal dan individualis ini. Merekalah yang menciptakan filsafat, asas-asas, doktrin serta prinsip-prinsip hukum demi meyelesaikan tugas pokok tersebut. Asas-asas serta
doktirn yang diciptakan mereka kemudian dikonstruksikan

16

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

dan diterima sebagai sesuatu yang alami. Padahal sesungguhnya adalah kemenangan kaum borjuis (Satjipto Rahardjo, 2009:
23) yang sedang berjaya pada masa itu, yang pada mulanya
hanya memiliki kekuatan ekonomi namun stagnan dalam urusan politik termasuk hukum di dalamnya.
Konsep hukum yang demikian itu –lebih dikenal dengan
sistem rechtstaat-kemudian tersebar keseluruh penjuru dunia
lewat kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa lainnya di Afrika, Asia dan Amerika.
Di Jerman, rechtstaat adalah bangunan hukum murni yang
tidak berhubungan dengan politik. Hans Kelsen adalah orang
yang meletakan landasan teori konsep itu. Ia mengatakan, negara adalah tidak lain suatu bangunan hukum, dan isinya tidak
lain adalah tentang hukum positif. Dan pertanyaan yang harus
dijawab adalah apa dan bagaimana hukum itu dibentuk. Didasarkan pada paham ini maka sasaran utama dan satu-satunya diarahkan kepada pengetahuan atau mencari tahu tentang
“apa itu hukum”. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak
berhubungan dengan hukum harus dikeluarkan, membebaskan hukum dari unsur-unsur asing dari hukum (Satjipto Rahardjo, 2009: 6-7), seperti moral, ajaran agama, nilai-nilai adat
dan segala sesuatu yang spiritual metafisis.

Ciri khusus dari negara dengan sistem hukum Eropa kontinental adalah; a) adanya perlindungan terhadap hak azazi manusia, b) adanya pemisahan kekuasaan, c) pemerintah harus
mendasarkan pada peraturan-peraturan hukum, dan d) adanya peradilan administrasi.

Bangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia

17

2.

Sistem Hukum Adat

Pilar kedua dari bangunan hukum Indonesia adalah sistem hukum adat. Sistem hukum adat di Indonesia adalah
hasil kristalisasi nilai-nilai asli bangsa Indonesia yg hidup
di masyarakat dan dijadikan pedoman bagi seluruh lapisan
masyarakat adat untuk menjalankan aktifitas nya, dan ditegakkan oleh organisasi adat yang mendapatkan mandat. Nilainilai yang dijadikan sebagai pedoman yang pada akhirnya
menjadi hukum adat itu adalah nilai-nilai atau yang menjadi
aspek –kehidupan yang integral dalam hubungan pribadi dengan masyarakat, antar masyarakat (kelompok), pribadi atau
masyarakat dengan alam dan Tuhan. Corak nilai tersebut dikategorisasikan; a) nilai magis-relegius, b) nilai komunal, c)
nilai kontan, dan d) nilai visual (Soleman B. Taneka, 1987: 8890). Singkatnya, sistem hukum adat mengakomodir seluruh
nilai-nilai kultural kehidupan masyarakat adat.
Indonesia sangat kaya akan sistem hukum ini, karena Indonesia adalah negara yang paling banyak di dunia memiliki
suku. Dari ratusan suku yang ada, dapat dikatakan masingmasing memiliki sistem hukum adat tersendiri, yang kemudian
oleh van Vollenhoven diklasifikasikan dalam 19 hukum adat.
Oleh karena hal inilah maka kiranya tidak mungkin setiap kali
melakukan pembangunan, pembaharuan hukum mengesampingkan aspek-aspek kehidupan asli (karakter) asli bangsa Indonesia (hukum adat).
Hukum adat bersumber pada peraturan-peraturan hukum
tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan
dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena bersumber
pada nilai-nilai kehidupan yang tidak terkodifikasikan, hukum
adat memiliki sifat a) elastis dan mudah berubah, mudah me18

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

nyesuaikan diri dengan perkembangan hidup masyarakatnya,
b) tradisionalis, didasarkan pada nilai-nilai yang ditanamkan
oleh nenek moyangnya. Dan sistem hukum adat akan tetap bertahan hidup tergantung pada kesadaran hukum masyarakat
adat tersebut terhadap nilai-nilai hukum dan adat yang diyakininya.

3.

Sistem Hukum Islam

Sangat sedikit sejarahwan yang mengatakan bahwa Islam
telah masuk ke Indonesia sejak pemerintahan Khalifah Umar
bin Khattab atau Utsman bin Affan. Mayoritas diantara mereka,
berdasarkan fakta-fakta sejarah menyimpulkan bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Terlepas dari perbedaan itu, yang tidak mungkin dipungkiri adalah bahwa Islam
sebagai agama yang syamil dan kamil, hanya mengakulturasikan (mendakwah) sebagian dari sistem ajarannya. Aqidah,
syari’ah dan muamalah adalah bagian yang integral dan tidak
mungkin dipisah-pisahkan secara parsial dalam dakwah Islam.
Berkenaan dengan hukum Islam, sungguh tidak ada satu
ayatpun dalam al-Qur’an maupun satu tekspun dalam al-Hadits yang secara tegas menerangkan hal itu secara epsitimologis.
Istilah hukum Islam yang kita kenal saat ini adalah hasil simplikasi dari term yang bernama syari’ah. Simplikasi terjemahan
dan pemahaman seperti itu tidaklah salah, meskipun sebanyak
lima kali kata syari’ah disebutkan dalam kitab suci al-Qur’an,
namun konotasi lebih jauh dari kata hukum Islam (Jawahir
Thantowi, 2002: 7).
Kesimpulan tentang hukum Islam dan syari’ah yang dikemukakan oleh Thontowi mendapat kejelasan dari dari beberapa defenisi hukum yang dikemukakan oleh beberapa ahli
Bangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia

19

justru berawal dari terjemahan “Islamic Law” dalam khazanah
keilmuan hukum Barat. Diantara pengertian itu sebagai berikut berikut ini;
Joseph Schacht (1964: 1), seorang orientalis mengartikan
hukum Islam sebagai keseluruhan kita Allah yang mengatur
kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Pengertian
yang dikemukakan oleh Schatcht ini lebih mendekati pengertian syari’ah. Adapun Hasby Asy-Syiddiqie (1993: 44) mengartikan hukum Islam sebagai koleksi daya upaya fuqaha
dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Pengertian dari Hasby ini lebih dekat dengan
makna fiqh (Mardani, 2009: 270).

Merujuk pada bebepa pengertian hukum dimuka, maka
dapat dipahami bahwa sistem hukum Islam adalah seperangkat aturan hukum yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan
syari’at Islam yang terkadung dalam al-Qur’an dan al-Hadits
serta hasil ijtihada para fuqaha yang kompeten di bidangnya.
Dalam kontek keindonesian, yang dimaksud dengan hukum
Islam adalah ketentuan-ketenatuan hukum sebagaimana
pengertian dimuka yang dikodifikasikan dalam sistem hukum
positif Indonesia.
Pemahaman yang demikian sangat beralasan dari segi historisitas pelembagaan hukum Islam dalam masyarakat Indonesia sejak awal masa kedatangan Islam ke Nusantara sampai
pada saat Orde Refomasi ini. Telah banyak bagian-bagian dari
syari’at Islam yang telah menjadi bagian (positifisasi) yang tak
terpisahkan dari bangunan dan identitas sistem hukum nasional. Sebagian contoh kecil yang masih dan sedang berjalan
adalah hukum positif bidang zakat, wakaf, perkawinan dan
perbankan syari’ah.

20

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

Sumber utama dari hukum Islam adalah wahyu (al-Qur’an
dan al-Hadits). Keduanya berfungsi sebagai groundnorm yang
wajib mengilhami seluruh produk hukum yang menjadi kebutuhan bagi setiap pencari keadilan dalam hukum Islam. Teksteks qath’i wajib dipegang teguh dan tertutup terhadap multi
tafsir, namun para fuqaha memberikan peluang lewat ijtihad
yang terbuka dalam upaya penegakannya. Dengan demikian,
hukum Islam tidak akan terjerumus dalam kubangan hukum
yang bersifat lex humana, yang lepas sama sekali dari pancaran
hukum yang telah ditetapkan Tuhan dalam kitab suci. Maqasid
al-Syari’ah dan maslahah lebih diunggulkan daripada mengikuti perkembangan kehidupan dan kebutuhan hidup manusia
yang bisa positif dan dapat pula negatif.
Walaupun telah jelas bahwa bangunan hukum Indonesia
terdiri dari tiga sistem tersebut, dalam prakteknya yang paling
dominan dan paradigma hukum yang dipegangi dengan teguh
oleh para penegak hukum, pemerintah dan legislator kita adalah merujuk pada sistem rechtstaat model eropa kontinental
yang legalistik positifistik. Sebuah sistem yang lebih mementingkan bentuk dari pada substansi, lebih memegang teguh
prosedur daripada keadilan yang hakiki. Oleh karenanya pencarian keadilan (searching for justice) bisa menjadi gagal hanya
karena persoalan melanggar prosedur. “semua penanganan
kasus harus sesuai dengan prosedur yang berlaku”, (Adji Samekto, 2008: 33-34) demikian ungkapan yang sampai saat ini
tetap dipertahankan dalam setiap menangani peristiwa hukum
yang terjadi. Maka tidak jarang sebuah peristiwa hukum yang
harusnya dapat diselesaikan dengan singkat, dapat memakan
waktu yang sangat lama hanya karena persoalan prosedur
yang harus ditaati. Bahkan segala bentuk atau upaya lain untuk
mencari kebenaran dan keadilan (search for truth and justice)
dalam upaya menegakkan keadilan, diluar prosedur hukum
Bangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia

21

yang berlaku, dianggap sebagai out of legal thought, bahkan dianggap sebagai perbuatan illegal, melakukan pelanggaran dan
dikenakan hukum dan prosedur hukum yang berlaku.

C. Gerakan Hukum Progresif di Indonesia
1.

Sejarah hukum progresif

Wacana, tawaran dan pengajaran hukum progresif sangat
menarik saat ini, di tengah degradasi legitimasi terhadap penegakan hukum di negeri ini. Dikatakan menarik karena hukum
progresif berupaya menggugat keberadaan hukum modern
yang dianggap mapan dalam memenuhi kebutuhan manusia
dalam berhukum. Hukum progresif mengungkap tabir dan
mendedah kegagalan hukum modern yang positivistik, legalistik dan linier dalam menjawab berbagai persoalan hukum yang
terjadi dalam kehidupan dan kemanusiaan (Satjipto Rahadjo,
2009: v).
Hukum progresif juga menuntut keberanian aparat penegak hukum untuk menafsirkan hukum dalam rangka memperadabkan manusia. Hukum progresif memberi peluang kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dalam menegakkan keadilan
untuk kebahagiaan dirinya. Hukum progresif menuntut pula
para hakim mengasah spiritualitasnya sehingga kepekaan hati
nuraninya, berani mengadili perkara dengan mendengarkan
suara dan putusan hati nuraninya baru kemudian mencari landasan hukum untuk menjadi dasar putusan nuraninya. Hukum
progresif juga menuntut para hakim tidak terjebak pada rutinitas aturan hukum acara, setiap perkara yang dihadapinya
diperiksa dan diputuskan dengan hukuman. Bila perkara yang
diperiksanya itu dapat diselesaikan dengan rekonsiliasi mengapa harus ada hukuman (Satjipto Rahardjo, 2007).
22

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

Wacana hukum progresif ini hadir di tengah kegalauan
masyarakat Indonesia yang memuncak. Kegalauan itu tidak
hanya melanda para pengamat, akademisi dan mahasiswa saja,
bahkan rakyat awam sekalipun turut galau terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kegalauan mereka karena melihat
fakta di depan mata dan terjadi berulang kali bahkan terus
menerus, seperti kelemahan rakyat miskin dan marginal yang
selalu dalam posisi lemah ketika harus berhadapan dengan
hukum, sementara orang “kaya dan kuat” cenderung lolos dari
jeratan hukum.
Sebenarnya telah lama muncul kegalauan itu. Pada tahun
1970, masyarakat sudah disajikan pertunjukan yang bernama
“mafia pengadilan”. Di era Orde Baru menyaksikan betapa hukum menjadi alat legitimasi perilaku despotik para penguasa
dan para kroninya. Harapan sebenarnya hampir muncul pada
era reformasi, namun tidak berapa lama kekecewaan pula
yang didapatnya. Terutama dengan yang berhubungan dengan
kasus korupsi, komersialisas dan commondifaction (Sadjipto
Rahardjo, 2007: 3-4).
Setelah dirunut dan dicari apa sebenarnya yang menjadikan kondisi hukum (budaya hukum dan sistem penegakkan
hukum) kita degradatif adalah kejujuran, integritas, keburukan
moralitas, rendahnya akhlak serta tipisnya spiritualitas pada
semua lini organ-organ penggerak hukum, bukan pada persoalan gaji dan tunjangan kesejahteraan. Sebab gaji dinaikkan dan
tunjangan kesejahteraan ditingkatkan, tetap saja kondisi hukum di negara belum bergeser kearah yang sesuai dengan ekspektasi harapan masyarakat Indonesia. Perilaku buruk yang
berkembang itu lambat laun menular, merasuki alam bawah sadar pikiran masyarakat dan akhirnya dimplementasikan dalam
perilaku ketika menghadapi persoalan hukum. “Kalau tidak koBangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia

23

lusi dan suap sana-sini jangan harap keadilan yang diharapkan
berpihak pada dirinya”, pikiran semacam ini akhirnya berubah
menjadi suatu yang wajar bila “mentok” menghadapi problem
hukum.
Melihat kondisi terpuruknya hukum di Indonesia itu, begawan hukum dari Universitas Dipenogoro Semarang, Satjipto Rahardjo, berkontemplasi dan mengajukan pertanyaanpertanyaan filosofis “apa yang salah dengan hukum kita?” dan
“apa serta bagaimana jalan untuk mengatasinya?”
Berawal dari pertanyaan kontemplatif itulah, selanjutnya
Prof Tjip mengusung gagasan bahwa hukum Indonesia harus
progresif. Sebagai seorang professor di bidang hukum tentunya, ia mencari landasan teoritik apa atau asumsi apa yang bisa
dijadikan langkah awal atau pijakan untuk mengembangkan
gagasan besarnya tersebut, serta bagaiman caranya agar gagasannya tersebar dan membumi, implementatif dalam dunia
hukum yang nyata.
Asumsi dasar yang diajukannya adalah “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Oleh karenanya hukum bukan
untuk dirinya sendiri, sehingga menyingkirkan nilai apapun
yang tidak berdimensi hukum. Hukum bukan untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum,
hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia
yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan dalam skema hukum.
Dalam pikiran Prof. Tjip, hukum bukanlah institusi yang
absolut dan final. Hukum bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusia yang menjadi penentu atas hukum. Untuk memperkuat asumsi tersebut, Prof
Tjip mengatakan;

24

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

“memang menghadapkan manusia kepada hukum mendorong kita melakukan pilihan-pilihan rumit. Tetapi pada
hakekatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada
kedua faktor tersebut. Semakin landasan teori bergeser ke
faktor hukum, semakin suatu teori menganggap hukum
sebagai sesuatu yang mutlak-otonom dan final. Semakin
bergeser ke manusia, semakin teori tersebut ingin memberikan ruang pada faktor manusia” (Satjipto Rahardjo,
2009: 5)
Dalam kesempatan yang lain Tjip juga mengatakan;
“…., baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat,
ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum
dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks
hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya
kebahagiaan manusia” (Satjipto Rahardjo, 2007: ix).
Melihat hal ini, sebenarnya Prof Tjip tidak menciptakan teori baru yang ia namakan hukum progresif. Ia hanya membelokan arah hukum yang selama ini menjadi problem masyarakat
Indonesia, kearah yang berbeda dan menjadikan hukum lebih
baik dari sebelumnya dalam tataran implementatif. Gagasan
hukum ini berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan
oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857), yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum
perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup
bersama dan itulah secara mutlak. Satjipto Rahardjo hanya
mengintrodusir kembali, dan menyesuaikan dengan karakter
keindonesiaan.

Bangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia

25

2.

Motor gerakan hukum progresif

Prof. Tjip sangat sadar bahwa gagasannya (hukum progresif) bukanlah persoalan baru dalam dunia toeri hukum.
Ia hanya menyadarkan bahwa kondisi akut kerusakan sistem
(penegakkan) hukum di Indonesia karena terkungkungnya pemikiran dan produk legislasi bangsa ini pada pada jenis hukum
yang positifistik legalistik sentris. Keadilan hukum hanya dipahami bila keadilan itu sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku dan ketentuan hukum yang tertulis dalam berbagai
peraturan perundangan yang berlaku.
Prof Tjip hanya menggali kembali lebih dalam dan mengangkatnya kepermukan agar terlihat bahwa ada sisi lainnya
dari teori hukum dan alat penunjangnya lainnya guna memperbaiki berbagai kerusakan pada sistem hukum yang tengah
berlaku sekarang. Oleh karenanya, ia sangat gencar menyebarjan gagasannya dalam berbagai kesempatan, terutama dalam
kuliah-kuliah hukumnya yang ia tujukan pada mahasiswanya
yang banyak diantaranya adalah para penegak hukum negeri
ini. Para jaksa, polisi, hakim, pengacara dan akademisi yang
menjadi mahasiswanya dipahamkan dengan benar akan maksud gagasan-gagasan pemikiran hukumnya dan mengharap
mereka menjadi bagian dari motor penggerak perubahan paradigama berfikir hukum di sektornya masing-masing.

Di samping lewat kuliah-kuliah di ruang kelas, media massa, forum diskusi dan seminar, serta buku adalah ruang bebas
baginya untuk terus menuangkan gagasannya itu. Hal yang menarik gagasannya terhadap sistem penegakkan hukum di negeri ini, sorotan tajamnya lebih ditujukan pada peran dan perilaku hakim serta ruang peradilan yang sangat sakral.

26

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

Betapa tidak nestapa, norma atau kaidah hukum (undangundang) yang sesungguhnya masih memberikan peluang untuk
tidak dipahami secara tekstualis, justru hanya dibunyikan oleh
hakim dengan apa adanya saja. Cara pandang hakim terhadap
hukum seringkali amat kaku dan normatif-prosedural dalam
melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa
yang disebut “keadilan hukum” (legal justice), tetapi gagal menangkap “keadilan masyarakat” (social justice). Hakim telah
meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam
putusanputusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar dari putusan-putusan pengadilan
masih menunjukkan lebih kental “bauformalisme-prosedural”
ketimbang kedekatan pada “rasa keadilan warga masyarakat”
(D. Adriyanto dalam http://greatandre.blogspot.com).
Melihat hal ini, Satjipto Rahardjo hanya sebagai pemantik
starter agar motor utama (hakim) bergerak lebih cepat dan
progresif dalam setiap kali melintasi trek hukum di ruang-ruang pengadilan.

D. Gerakan Hakim Progresif di Indonesia
Harus diakui bahwa perjuangan Satjipto Rahardjo, agar
gagasannya membumi mulai nampak ada sedikit hasil. Hasil
yang lebih nyata adalah bahwa gagasan hukum progresifnya
masih terus ditebarluaskan oleh para akademisi yang pernah
menjadi mahasiswanya. Ajarannya masih terus didengungkan
dalam ruang-ruang kuliah, diperbincangkan dalam ruang-ruang diskusi. Namun ini tidak cukup, karena persoalan utama
dan akut hukum kita adalah dalam tataran implementasi oleh
para aparatur penegak hukum di Indonesia.

Bangunan Hukum dan Gerakan
Hukum Progresif di Indonesia

27

Hal yang menggembirakan, adalah munculnya komunitas
hakim yang mengklaim dirinya adalah hakim-hakim (beraliran) progresif. Mereka tergabung dalam komunitas yang bernama Forum Komunikasi Hakim Progresif Indonesia. Usianya
pun masih tergolong muda.
Forum Komunikasi Hakim Progresif Indonesia ini terbentuk pada tahun 2010. Lilik Mulyadi, penasehat Forum Komunikasi Hakim Progresif Indonesia ini mengatakan bahwa forum
ini berawal dari diskusi-diskusi yang dilakukan oleh beberapa hakim di situs jejaring sosial. Awalnya, ada rencana untuk
menggugat dan mendemo presiden dan DPR untuk memperjuangkan kesejahteraan hakim. Rencana ini akhirnya gagal,
karena beberapa inisiatornya sempat ‘diperiksa’ oleh Badan
Pengawasan Mahkamah Agung (MA).
Meski rencana demonstrasi terhenti, para hakim itu masih
melakukan diskusi-diskusi via online melalui situs jejaring sosial, di inbox Facebook,” Karena dianggap memiliki pemikiran
dan tujuan yang sama, yakni menciptakan komunitas hakim
yang berpikiran progresif (http//hukumonline.com).
“Keagakseriusan” komunitas ini terlihat dengan sudah
adanya logo komunitas dan telah memiliki blog di dunia maya.
Namun yang sangat disayangkan adalah ada nama tapi belum
ada bentuk, apalagi aksi yang membuat warna dan wajah pengadilan di Indonesia berubah. Tentunya dengan lahirnya putusan-putusan progresif yang dapat dirasakan oleh masyarakat
luas. Untuk itu kita masih mau menungggu dan melihat sampai dimana mereka dapat memerankan klaimnya sebagai pendekar hakim progresih di rimba belantara hukum Indonesia.

kkk

28

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

WAJAH DAN INTEGRITAS HAKIM

A. Buruk Rupa Hakim Kita
Salah satu pengertian hukum adalah peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-badan resmi
yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan
tersebut berakibat diambilnya tindakan hukum.
Klausa “berakibat diambilnya tindakan hukum” menunjukan pada upaya penegakan hukum, dan upaya penegakan
hukum tidak lepas dari peran serta hakim sebagai pemberi
putusan atau penilai apakah suatu perbuatan layak dijatuhi
hukuman atau tidak dan/atau berapa kadar yang tepat untuk
memberikan hukuman pada sutau perbuatan yang melanggar
hukum. (Farkhani, 2011: 80)
Berdasar pada pemahaman tersebut, posisi hakim sebagai salah satu aparatur penegak hukum sangat fundamental
dan urgen. Hakim menjadi benteng terakhir bagi penegakkan
hukum. Jika para hakim yang menjadi penegak hukum dan
keadilan lemah, malas, rusak moralitas dan integritasnya, serta
tumpul spiritualitas dan nuraninya, maka hampir dapat dipastikan penegakkan hukum sedang meluncur deras menuju kehancuran. Padahal hakim adalah penguasa kolektif yang bersifat mutlak atas segala putusan-putusannya dalam persidangan.
Putusan-putusan yang dibuatnya tidak dapat dipersalahkan
apalagi dipidanakan karena landasan-landasan ilmiah hukum

Wajah dan Integritas Hakim

29

dan diktum-diktum peraturan yang dipergunakannya keliru,
lemah, absurd bahkan tidak bernuansa hukum sekalipun.
Akhir-akhir ini posisi hakim sedang dalam sorotan tajam,
karena banyak kasus yang menjerat hakim, yang memutar
balik posisi hakim sebagai pengadil menjadi pesakitan yang
diadili, akibat dari para hakim itu sendiri yang “memperdagangkan” kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan
keuntungan sesaat. Demi keuntungan itu pula mereka tanpa
ragu menggadaikan kehormatan dan keluhuran jabatan yang
disandang sebagai penegak hukum. Bahkan, di atas itu semua,
sadar atau tidak, mereka makin menggerus asa publik terhadap masa depan penegakan hukum. Kasus suap hakim Syarifuddin Umar, Muhtadi Asnun, Ibrahim dan Imas Dianasari menjadi bukti yang cukup untuk mewakili perlaku hakim yang kian
memperihatinkan. Perbuatan mereka menyumbang indikasi
remunerasi dan perbaikan gaji menjadi gagal guna menggenjot kinerja dan membentengi integritas para hakim, agar tidak
mudah diintervensi oleh kekuasaan uang para “pemilik modal”.
Tidak hanya uang yang merongrong integritas para hakim,
moralitas individu yang tidak dibentengi dengan spiritualitas
yang tinggi mendorong nafsu syahwat untuk dipenuhi secara
ilegal. Kasus seorang hakim Mahkamah Syari’ah di Aceh barubaru ini menjadi wakil dari rendahnya moral hakim. Belum lagi
ancaman terhadap independensi para hakim, kekuasaan politik juga sering menjadikan mereka gamang dalam mengemban
kewenangannya dengan teguh. Banyak kasus yang melibatkan
para politisi, para pemilik modal dan aparatur pemerintah
tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam penetapan hukum
dan pemerlakuan dalam sidang-sidangnya.
Lain dari itu, sorotan tajam kembali tertuju pada korp
hakim yang mengadili perkara-perkara kecil dengan terdakwa
30

Hukum dan Wajah Hakim
Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan

anggota masyarakat yang miskin baik secara ekonomi, sosial
dan politik, terbelakang dan jauh dari paham tentang penegakkan hukum di negeri ini, dan dengan putusannya pula yang
dirasa mengusik rasa keadilan masyarakat. Para hakim tersebut sekedar membunyikan pasal dari peraturan yang ada dan
hanya berkutat pada cara berfikir silogisme dengan alasan
legalitas dan kepastian hukum. Pemikiran hukum warisan
penjajah benar-benar telah merasuk dalam sumsum dan pemikiran para hakim negeri ini. Pemikiran hukum legal formalism yang positifistik yang sedang berkembang pada abad awal
Belanda menjajah Indonesia sampai menjelang kemerdekaan
(3,5 abad) benar-benar diwariskan secara sukses di negeri
jajahannya.
Masa yang sangat panjang, dimana awal masa munculnya
pemikirian hukum legal formalism pada 1650 M, Belanda melaluli VOC-nya dan pemerintahnya telah menancapkan kuku
imperalisme beserta tanaman nilai-nilai (norma dan teori)
hukum, hingga sampai pada masa akhir kejayaan paham teori
ini (awal abad 19) Belanda masih tetap bercokol di bumi Indonesia. Masa tanam dan internalisasi norma dan produk hukum kolonial yang positifistik ini jelas telah mengurat akar, dan
sangat sulit dihilangkan dalam sejarah perkembangan hukum
di Indonesia, maka sebenarnya dapat saja dipahami mengapa
hakim-hakim kita mayoritas terkungkung dan nyaman terjebak dalam lingkaran legal formalisitik yang positifistik, rasionalistik dan empiristik.
Walaupun demikian, pada zaman yang telah berubah, kemerdekaan telah lama dihirup bangsa ini, perkembangan ilmu
pengetahuan, informasi dan teknologi seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para cendikiawan hukum, aparatur penegak
hukum dan terkhusus hakim untuk melepaskan diri dari ketWajah dan Integritas Hakim

31

erkungkungan sistem hukum yang telah mengurat akar tersebut. Bila kondisi yang telah berubah tersebut tidak sama sekali
merubah mainset hukum hakim, lantas untuk apa hakim mendapat ruang kebebasan dalam memutuskan perkara dan mengapa hakim disebut sebagai judge made law?
Akibat dari teori yang melahirkan sistem peradilan yang
senafas tersebut melahirkan realitas fakta bahwa hakimhakim itu begitu cepat, tegas, mantap menyidangkan perkara
dan memutuskan hukuman pada para terdakwa dari kalangan
masyarakat kaum proletar, membunyikan peraturan perundang-undangan dan sedikit berkreasi bila kasus yang dihadapinya dipublis oleh berbagai media massa, baik cetak maupun
elektronik dan diikuti oleh aksi demonstrasi dari kalangan
mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aksi solidaritas.
Sementara pada kasus-kasus yang melibatkan politisi, birokrasi, selebriti, penguasa dan pemilik modal, kebenaran dan
keadilan hukum mereka perdagangkan. Pisau hukum yang
mereka pegang tiba-tiba tumpul dan tak mampu memotong
dengan cepat berbagai kejahatan yang dilakukan oleh kaum
borjuis tersebut. Palu hukum yang mereka pegang menjadi
berat untuk memutuskan mereka bersalah dan mendapatkan
balasan setimpal dari akibat kejahatan yang dilakukannya. Seringkali mereka menutup mata dan telinga dari hiruk pikuknya
demontrasi yang bahkan d