KESAKSIAN DE AUDITU DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN HUKUM ACARA PIDANA ISLAM ( AnalisisPutusanMahkamahAgungNo. 193 PK/Pid.Sus/2010)

(1)

SKRIPSI

DiajukanKepadaFakultasSyariahdanHukumUntukMemenuhi Salah SatuSyaratMemperolehGelarSarjanaSyariah( S. Sy )

Oleh :

Ahmad Daenury

NIM : 109043200004

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali yang di larang oleh undang-undang salah satu nya yaitu keterangan saksi yang di peroleh dari orang lain (testimonium de auditu). Keterangan saksi yang bersifat de

auditu dilarang penggunaan nya di karenakan tidak di dapat secara langsung

melainkan dari orang lain yang kebenarannya sangat di ragukan, padahal di dalam hukum pidana yang di cari adalah kebenaran materil. Namun tidak serta merta dilarang adakalanya kesaksian de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti petunjuk, seperti dalam putusan Mahkamah Agung No. 193 PK/Pid.Sus/2010. Sedangkan dalam hukum acara Pidana Islam penggunaan kesaksian de auditu oleh para Ulama dilarang penggunaanya sebagai alat bukti di persidangan.

Kata kunci: Kesaksian de auditu, Hukum Pembuktian, Hukum acara pidana di Indonesia, Hukum acara pidana Islam, Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010.

Pembimbing: Kamarusdiana, S. Ag, MH. Nahrowi, SH, MH.


(5)

i

ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali yang di larang oleh undang-undang salah satu nya yaitu keterangan saksi yang di peroleh dari orang lain (testimonium de auditu). Keterangan saksi yang bersifat de

auditu dilarang penggunaan nya di karenakan tidak di dapat secara langsung

melainkan dari orang lain yang kebenarannya sangat di ragukan, padahal di dalam hukum pidana yang di cari adalah kebenaran materil. Namun tidak serta merta dilarang adakalanya kesaksian de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti petunjuk, seperti dalam putusan Mahkamah Agung No. 193 PK/Pid.Sus/2010. Sedangkan dalam hukum acara Pidana Islam penggunaan kesaksian de auditu oleh para Ulama dilarang penggunaanya sebagai alat bukti di persidangan.

Kata kunci: Kesaksian de auditu, Hukum Pembuktian, Hukum acara pidana di Indonesia, Hukum acara pidana Islam, Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010.

Pembimbing: Kamarusdiana, S. Ag, MH. Nahrowi, SH, MH.


(6)

ii

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT dzat yang maha kuasa atas segala penciptaannya. Berkat karunianya yang tak terhingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai sebuah kewajiban akademik. Shalawat serta salam selalu tercurah limpahkan keharibaan manusia agung yang kehadirannya ke muka bumi sebagai pelita kehidupan yang menerangi jalan setiap umat manusia menuju hidayah tuhan dialah Nabi Muhammad SAW suri tauladan yang baik bagi kita. Juga kepada keluarga, para sahabat, dan umatnya yang selalu mengamalkan Sunnah-sunnahnya hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan. Untuk itu dengan kerendahan hati serta penuh rasa ta’zhim dan takrim penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran Pengurus Dekanat yakni Pembantu Dekan I, II dan III.

2. Ketua serta Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum yang terhormat DR. H. Muhammad Taufiki, M. Ag dan Fahmi Muhammad


(7)

iii

3. Kamarusdiana, S. Ag, MH. Selaku dosen pembimbing I dan Nahrowi, SH, MH selaku dosen pembimbing II yang dengan kesabaran dan keikhlasannya membimbing, menasihati dan memberikan masukan yang amat berharga kepada penulis hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. Dr. Sudirman Abbas selaku dosen pembimbing akademik yang masukan serta

arahannya menjadi acuan dan motivasi bagi penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai.

5. Segenap Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas dan sabar mengajarkan, membimbing, serta mendidik penulis dalam berbagai disiplin ilmu. Semoga setiap tetesan keringat bapak ibu dibalas oleh Allah dengan kebaikan yang berlipat.

6. Kedua orang tua penulis Muhammad Nisin dan Almh. Hj. Rohayanah yang

setiap keringat peluh pengorbanannya, untaian do’a dalam diam dan

ibadahnya semua teruntuk penulis. Juga adik-adik tercinta Zatin Zuharoh Putri, Rizka Dhiaurrahmah terus semangat belajar.

7. Teman dan kawan karib seperjuangan PMH angkatan 2009, Holid, Rizal, Dadan, Hamzah, Ade Suhendra, Eva, Zainun, Firman, Zuni, Ayat, Nabila, Deli terima kasih atas kesetiaan pertemanannya selama ini. Canda tawa serta motivasi dan dukungan kalian adalah vitamin bagi penulis.


(8)

iv

Akhirnya, tiada kata yang paling indah selain ucapan syukur kepada Allah SWT atas selesainya skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya para pembaca. Sekian.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Jakarta,


(9)

HALAMAN PERNYATAAN ...

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... v

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 9

D.Manfaat dan Signifikansi Penelitian ... 10

E. MetodePenelitian ... 10

F. Studi Terdahulu ... 12

G.Sistematika Penulisan ... 14

BAB II :KESAKSIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN HUKUM ACARA PIDANA ISLAM A.Macam-macam Alat Bukti ... 16

B.Pengertian dan Landasan Hukum Kesaksian ... 21

C.Syarat-syarat Menjadi Saksi... 26

D.Larangan Menjadi Saksi... 29


(10)

B. Saksi Istifadlah ... 44 C. Kekuatan Pembuktian Kesaksian De Auditu dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia ... 46

BAB IV :KEKUATANKESAKSIAN DE AUDITUSEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT HUKUMACARA PIDANA ISLAM

A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid. Sus/2010

1. Kronologi Kasus ... 49 2. Pertimbangan Hukum Hakim ... 53 B. Analisis hokum Acara Pidana terhadap kesaksian de auditu... 55 C. Analisis hokum acara Pidana Islam terhadap kesaksian de auditu . 60

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA

... 68


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesaksian dalam hukum Islam di sebut dengan Syahadah, berasal dari kata musyahadah yang berarti melihat dengan mata.1 Karena syahid, atau orang yang menyaksikan memberi tahu apa yang ia lihat dan ia saksikan. Maksudnya ialah pemberitahuan terhadap apa yang ia ketahui dengan suatu

ungkapan yaitu:”Aku saksikan atau Aku telah menyaksikan (asyhadu atau syahidtu).

Menurut Syara’ kesaksian adalah pemberitaan yang pasti yaitu ucapan

yang keluar yang diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karena beritanya telah tersebar.2Memberikan kesaksian asal hukum nya adalah fardlu kifayah, artinya jika dua orang telah memberikan kesaksian maka semua orang telah gugur kewajibannya. Dan jika semua orang menolak tidak ada yang mau untuk menjadi saksi maka berdosa semua nya, karena maksud kesaksian itu untuk memelihara hak.

Hukum memberikan kesaksian dapat berubah menjadi fardlu „ain, jika tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua yang mengetahui kasus itu.

1

Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, (Mesir: Fath alam el-Arabi, 2004), h.1037.

2

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.73.


(12)

Kewajiban untuk menjadi saksi di dasarkan atas firman Allah SWT yang berbunyi:

Artinya: ”….Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila

mereka dipanggil…” (Q.S.Al-Baqarah 282).

Syarat-syarat seseorang dapat memberi kesaksian sebagai berikut: 1. Dewasa

2. Berakal

3. Mengetahui apa yang di saksikan 4. Beragama Islam

5. Adil

6. Saksi itu harus dapat berbicara 7. Saksi itu harus dapat melihat

Hukum Islam tidak menjelaskan secara rinci tentang sifat-sifat yang harus di miliki seorang saksi agar kesaksiannya dapat diterima dihadapan majelis hakim. Untuk mendapatkan keyakinan hakim terhadap suatu peristiwa dan kejadiannya itu dengan melihat dan mengalami sendiri. Kesaksian itu harus datang dari dua orang saksi atau satu orang saksi tetapi harus didukung dengan alat bukti lainnya. Kecuali dalam hal yang diperkenankan menggunakan saksi Istifadlah.


(13)

Saksi Istifadlah ialah berita yang mencapai derajat antara berita mutawatir dan berita orang perorangan, yaitu berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicaraan dikalangan manusia (masyhur).Terkait dengan kekuatan pembuktian melalui khabar Istifadlah kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat ada yang memperbolehkan tetapi dalam kasus-kasus tertentu ada pula yang memperbolehkan nya pada semua perkara.

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa saksi Istifadlah adalah merupakan suatu cara dari cara-cara pengetahuan yang meniadakan kecurigaan tentang seorang saksi dan hakim dan ia lebih kuat dari kesaksian saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya.3Dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis dipersidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.4

Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam proses dipengadilan, karena dapat menentukan bersalah atau tidak nya seseorang.

3

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 82.

4

Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), h. 21.


(14)

Macam-macam alat bukti dalam hukum acara pidana diatur didalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pasal 184 ayat (1) yaitu:

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Menurut KUHAP pasal 1 butir 26 yang dimaksud dengan saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali yang dilarang oleh undang-undang. Mereka tersebut ialah:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.


(15)

Alasan bagi keluarga untuk tidak dapat didengar sebagai saksi antara lain: - Pada umumnya mereka tidak objektif bila didengar sebagai saksi; - Agar hubungan kekeluargaan mereka tidak retak;

- Agar mereka tidak merasa tertekan waktu memberikan keterangan;

- Secara moral adalah kurang etis apabila seseorang menerangkan perbuatan yang kurang baik keluarga nya.5

Selain itu yang dapat dikecualikan menjadi saksi menurut pasal 170 KUHAP yaitu mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatan nya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.Menurut Andi Hamzah pengecualian ini hanya bersifat relatif, karena frasa pasal tersebut mengatakan”dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi…” maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim.6

Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan yang bertitik berat sebagai alat bukti ditujukan kepada permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian. Syarat sahnya keterangan saksi, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara

5

Ibid.,h. 45.

6

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h. 262.


(16)

pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain.7

Keterangan saksi yang dapat bernilai sebagai alat bukti ialah keterangan saksi yang di lakukan didepan sidang pengadilan terhadap sebuah kejadian tindak pidana yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri dan ia alami sendiri. Satu orang saksi bukanlah saksi (unnus testis, nullus testis) asas ini bisa di simpangi berdasarkan pasal 185 ayat 3 KUHAP, yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang sah.

Adapun keterangan saksi yang di peroleh dari orang lain yang di dalam ilmu hukum acara pidana di sebut testimonium de auditu atau hearsay

evidence bukanlah alat bukti yang sah.8Menurut pendapat Andi Hamzah tidak

diperkenankan nya kesaksian de auditu sebagai alat bukti selaras dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, sehingga patut tidak dipakai di Indonesia.9

Senada dengan hal tersebut Wirjono Prodjodikoro juga melarang menggunakan keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti. Lebih lanjut ia

7

Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, h. 58-59.

8

Ansori Sabuan, dkk, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 2010), h.179.

9


(17)

mengatakan bahwa hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi deauditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik bahkan sudah semestinya. Akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat disampingkan begitu saja. Mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu, dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.10

Pasal 185 ayat (5) KUHAP mengatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Hal ini menunjukan bahwa KUHAP tidak menerima keterangan saksi

de auditu sebagai alat bukti, namun hakim tidak dapat menolak begitu saja

keterangan saksi de auditu. Keterangan semacam ini dapat berguna untuk menyusun serangkaian fakta hukum terhadap keyakinan hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap terdakwa.

Senada dengan hal tersebut M.Yahya Harahap juga menolak keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti. Menurutnya, jelas bagi kita

kebenaran yang “relevan” untuk dikemukakan saksi, terbatas hal-hal yang berhubungan dengan yang dilihat, didengar atau dialaminya sendiri. Saksi

tidak di tuntut untuk menerangkan sesuatu yang berupa”cerita orang lain”

10

M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, (Bogor: Politea, 1983), h.160.


(18)

kepada nya maupun “perkiraan”, atau “pendapat” atau “dugaan”.11

Demikian juga hal-hal yang bersifat persangkaan tidak perlu dikemukakan di sidang pengadilan.

Berdasarkan pada latar belakang pemikiran tersebut maka penulis ingin mengajukan nya menjadi sebuah penelitian skripsi sebagai upaya untuk memahami secara lebih utuh dan mendalam mengenai pembuktian saksi de

auditudalam hukum acara pidana dengan memperbandingkannya dalam

hukum Islam.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka dapat diidentifikasi masalah-masalah yang meliputi permasalahan mengenai kesaksian de auditu dalam pandangan hukum Islam ini, diantaranya: 1. Apa macam-macam alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia

dan hukum acara pidana Islam?

2. Apa yang dimaksud dengan kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana diIndonesia dan hukum acara Pidana Islam?

3. Bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana?

11

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika,2009) ed.2 cet ke IX, h.183.


(19)

4. Bagaimana kekuatan pembuktian saksi de auditu dalam hukum acara pidana Islam?

2. Pembatasan Masalah

Dalam membahas masalah ini, penulis hanya ingin menitikberatkan dan memfokuskan pada bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian de

auditu dalam hukum acara pidana Islam dan hukum acara Pidana di

Indonesia dengan menganalisis salah satu putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan kesaksian de auditu ini.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasannya, maka penulis merumuskan kajian dalam permasalahan ini sebagai berikut: 1. Bagaimana kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam

pandangan hukum acara pidana di Indonesia dan hukum Acara pidana Islam?

2. Bagaimana putusan dan pertimbangan hakim Mahkamah Agung tentang saksi de auditudalam putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ilmiah bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran atas suatu obyek penelitian.


(20)

1. Menjelaskantentang kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam pandangan hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam

2. Menganalisis putusan dan pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung tentang saksi de auditusebagai alat bukti dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian

Terkait dengan signifikansi dan manfaat penelitian, maka paling tidak terdapat tiga manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini;

1. Manfaat bagi penulis, penelitian ini menjadi penting karena merupakan syarat akademik untuk mencapai gelar Sarjana Syariah di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Manfaat bagi Institusi, penelitian ini menjadi salah satu sumbangsih pemikiran bagi dunia akademik, khususnya dilingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Manfaat bagi masyarakat luas, penelitian ini berguna bagi kalangan akademisi, praktisi hukum maupun masyarakat umum untuk memahami mengenai kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum Acara pidana Islam.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini akan memfokuskan kajiannya pada kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana Islam dengan


(21)

memperbandingkan nya dengan hukum acara pidana di Indonesia, maka alur penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan studi pustaka sebagai acuannya. Pendekatan yang digunakan yakni metodelogi penelitian hukum normatif, dengan bahasan hukum yang berada dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan kesaksian de auditu.

2. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-komparatif, artinya penulis akan mendeskripsikan makna kesaksian de auditu dalam pandangan hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidanaIslam, lalu menganalisis mengenai kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam serta menganalisis putusan dan pertimbangan hakim Mahkamah Agung tentang saksi de auditudalam putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010.

3. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah literatur-literatur yang membahas mengenai hukum pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia seperti buku yang ditulis oleh Munir Fuady dengan judul Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, M. Yahya


(22)

Harahap yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP serta buku tentang Hukum Pembuktian dalam Islam

diantaranyaseperti buku karya Hasbi Asshidiqie Peradilan dan Hukum

Acara Islam, Anshoruddin Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara

Islam dan Hukum Positif, Ahmad Fath BahansyNazriatul Itsbat Fil Fiqh

al-Jina‟ial-Islami, Dirasat Fiqhiah Muqaranah,serta buku-buku terkait lainnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penulis berupaya melakukan survey kepustakaan dan studi literatur. Survey kepustakaan yaitu menghimpun data yang berupa sejumlah literatur yang diperoleh di perpustakaan atau tempat lain kedalam sebuah daftar bahan pustaka. Sedangkan studi literatur adalah mempelajari, menelaah dan mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang menjadi objek penelitian.

F. Studi Terdahulu

Sejauh pengamatan penulis terhadap beberapa penelitian yang berkaitan dengan masalah ini baik secara umum mengenai pembuktian atau secara khusus dengan kesaksian de auditu telah ada sebelumnya diantaranya buku karya Anshoruddin yang berjudul Hukum Pembuktian Menurut Hukum

Acara Islam dan Hukum Positif, buku yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka


(23)

Islam dan hukum positif terhadap masalah pembuktian yang didalamnya juga dibahas mengenai kesaksian de auditu.

Selain itu M.Hasbi Asshidiqie juga menulis buku yang berjudul

Peradilan dan Hukum Acara Islam. M.Yahya Harahap juga menulis sebuah

buku yang sangat populer di kalangan akademisi dibidang hukum khususnya hukum pidana yaitu Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP buku yang telah beberapa kali cetak ulang ini membahas secara luas dan mendetail mengenai KUHAP mulai dari tahap penangkapan, penyelidikan hingga putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Adapun yang berbentuk makalah diantara nya yang ditulis oleh Muntasir Syukri (Hakim Pengadilan Bangil) dengan judul Menimbang Ulang Saksi De Auditu Sebagai Alat Bukti (Pendekatan Praktik Yurisprudensi

Dalam Civil Law). Karya ilmiah yang berbentuk skripsi yaitu yang ditulis

oleh Fatwa Khidati Zulfahmi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekuatan Kesaksian Testimonium De Auditu Dalam Hukum Acara Perdata, skripsi ini mengkomparasikan testimonium de auditu dalam hukum acara perdata dan hukum Islam.

Dari beberapa buku dan karya tulis yang pernah ada sebelumnya penulis belum menemukan karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan pembuktian kesaksian de auditu dalam pandangan hukum acara pidana Islam yang dikomparasikan dengan hukum acara pidana di Indonesia. Oleh karena


(24)

itu penulis berkeinginan untuk meneliti lebih mendalam mengenai masalah ini sebagai sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan merupakan pengaturan langkah-langkah penulisan penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis antara pembahsan pertama dengan pembahasan-pembahasan selanjutnya. Untuk itu maka pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, sebuah bab pendahuluan dan tiga bab isi, kemudian di tutup dengan sebuah bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran penelitian ini. Dalam penelitian ini penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut;

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan tentang latar belakang munculnya permasalahan penelitian ini. Setelah itu permasalahan di batasi dan menetapkan permasalahan yang menjadi masalah utama.

Karena penelitian ini bersifat ilmiah, maka perlu diadakan tinjauan pustaka dengan tujuan untuk memposisikan studi ini diantara studi-studi terkait lainnya yang pernah dilakukan atau searah dengan penelitian ini dan setalah itu diuraikan kerangka teori yang di gunakan dalam studi ini serta metode penelitiannya. Dan pada pembahasan terakhir dari bab ini diuraikan mengenai sistematika pembahasannya.


(25)

Selanjutnya hasil penelitian ini akan di sajikan dalam 3 bab berikutnya. Bab dua akan di paparkan mengenai konsep kesaksian dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam, yang berisi mengenai macan-macam alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesiadan hukum acara pidana Islam, pengertian dan landasan hukum kesaksian, syarat menjadi saksi dan kekuatan kesaksian dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam.

Pada bab ketiga penelitian ini akan memaparkan mengenai konsep kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam. Yang pada pokok pembahasannya mengenai pengertian kesaksian de auditu, saksi Istifadlah, dan kekuatan pembuktian kesaksian

deauditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana

Islam.

Selanjutnya pada bab keempat akan dipaparkan hasil analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010 mengenai kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam pandangan hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acarapidana Islam.

Pada bab kelima, penulis akan memberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang penulis kemukakan dalam skripsi ini agar dapat denganmudah dipahami oleh para pembaca. Selain itu juga pada bab ini akan


(26)

di sertai dengan saran-saran untuk dikaji lebih mendalam oleh para peneliti-peneliti selanjutnya.

BAB II

KESAKSIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN HUKUM ACARA PIDANA ISLAM

A. Macam-Macam Alat Bukti

Macam-macam alat bukti dalam hukum acara pidana dapat dilihat dari ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP yang telah menentukan alat bukti yang

sah secara “limitatif” menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu tidak dibenarkan bila dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum baik yang terikat maupun terbatas hanya diperbolehkan menggunakan alat bukti itu saja.Adapun alat bukti menurut KUHAP ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.


(27)

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi12. Ada beberapa ketentuan pokok yang harus dipenuhi oleh seorang saksi sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian yaitu:

1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji

2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah apa yang ia lihat, dengar dan alami sendiri

3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran bukan merupakan keterangan saksi

4. Keterangan saksi harus dinyatkan di sidang pengadilan

5. Keterangan saksi saja tidak cukup, yakni keterangan seorang saksi saja belum dianggap cukup sebagai alat bukti dalam membuktikan kesalahan terdakwa atau “Unus testis nullus testis”.

b. Keterangan ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.Alat bukti keterangan ahli merupakan sebuah kemajuan dari pembuat undang-undang yang menyadari pentingnya menyatukan perkembangan ilmu pengetahuan dan

12

Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik Peradilan, ( Jakarta: Gramata Publishing, 2012), h. 58.


(28)

teknologi, sehingga keterangan ahli sangat memegang peranan penting dalam peradilan pidana.

c. Surat

Alat bukti surat ialah suatu alat bukti yang berupa tulisan yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan atau surat yang dikualifikasikan dengan sumpah yakni berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh kewenangan pejabat umum.Menurut Sudikno Mertokusumo surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah fikiran.13

Surat tersebut dapat dibuat dengan membuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri disertai alasan keterangan yang jelas dan tegas. Surat yang dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk kedalam tata laksana sehingga menjadi tanggung jawabnya. Hal demikian akan diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan.14

d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadiaan atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara satu yang lain maupun dengan tindak pidana

13

Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung:Mandar Maju, 2003), h. 62.

14


(29)

sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Dalam praktik persidangan, kepada hakimlah diletakkan kepercayaan untuk menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan merupakan petunjuk. Semuanya harus dipertimbangkan secara cermat dan teliti.15Oleh sebab itu hakim harus penuh dengan sifat kearifan, bijaksana dan penuh kecermatan berdasarkan hati nuraninya dalam menggunakan alat bukti petunjuk. Dengan demikian, hakim dapat menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, sehingga alat bukti yang sangat penting untuk dipergunakan dapat didesakkan saja..

e. Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (pasal 189 ayat (1) KUHAP).16

Dalam pemeriksaan, terdakwa akan ditanyakan tentang apa yang dia nyatakan atau jelaskan disidang pengadilan mengenai perbuatan yang diketahui atau yang dialami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Oleh sebab itu diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, yakni

15

Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, h. 79.

16


(30)

keterangan tersebut akan dinyatkan disidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukan, diketahui, atau dialaminya sendiri. Hal tersebut bertujuan agar keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti sehingga menjadi pernyataan atau penjelasan yang benar.

Alat-alat bukti menurut hukum Islam, baik secara keperdataan maupun pidana, lazimnya dikenal sebagai berikut17:

a. Saksi b. Surat

c. Persangkaan/Petunjuk (Qarinaah)

Secara bahasa, qarinah diartikan sebagai tanda-tanda yang merupakan hasil kesimpulan hakim dalam menangani berbagai kasus melalui Ijtihad, sehingga tanda-tanda itu menimbulkan keyakinan. Persangkaan dibagi menjadi dua, yakni Qarinah Qununiyyah, yaitu persangkaan yang ditentukan oleh undang-undang, dan Qarinah Qudloiyyah, yaitu persangkaan yang merupakan hasil kesimpulan hakim setelah memeriksa perkara. Dengan demikian, qarinah yang dapat dijadikan alat bukti harus jelas dan meyakinkan sehingga tidak akan dibantah lagi oleh manusia normal, berakal atau seluruh persangkaan yang oleh undang-undang

17


(31)

dilingkungan peradilan selama jelas-jelas tidak bertentangan dengan hukum Islam.

d. Pengakuan

Ikrar atau pengakuan adalah menetapkan dan mengakui sesuatu hak dengan tidak mengingkarinya. Dasar hukum pengakuan adalah QS:

An-Nisa’ ayat 135 yang berbunyi:

ْ ّا ّْا أ ْم سفْأ ٰ ّع ْ ّ ّّ ءا ش طْسقّْاب ما ق ا ك ا مآ ّا ا أ ا ب ْقأّْا

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar

penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu

sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (QS. An-Nisa’ 135).

Firman Allah ini mengisyaratkan bahwa persaksian yang ditunaikan itu hendaknya demi karena Allah. Menurut Qurasih Shihab didahulukannya pengakuan atas kesaksian karena Allah adalah dikarenakan tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang makruf tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksanakan makruf yang diperintahkannya itu, dia lalai.18 Terlebih dahulu melakukan pengakuan terhadap hak-hak yang diakuinya sebelum menuntut kesaksian pada orang lain.

B. Pengertian dan Landasan Hukum Kesaksian

Saksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki enam pengertian. Pertama, saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri

18

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:


(32)

suatu peristiwa atau kejadian. Kedua, saksi adalah orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan, dapat memberi keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. Ketiga, saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa.

Keempat, saksi adalah keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh

orang yang melihat atau mengetahui. Kelima, saksi diartikan sebagai bukti kebenaran. keenam, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tertentu suatu perkara yang didengarnya, dilihatnya, atau dialami sendiri.19Sedangkan kesaksian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan keterangan (pernyataan) yang diberikan oleh saksi.

Dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur secara tegas mengenai definisi saksi dan keterangan saksi. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP dinyatakan

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Sementara itu Pasal 1

angka 27 KUHAP menyatakan, “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai

19

Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008), ed. IV, h. 1206.


(33)

suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.20

Definisi saksi dalam Pasal 1 angka 26 juncto pasal 1 angka 27 juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP mengalami perluasan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tertanggal 8 Agustus 2011. Dalam amarPutusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal a quotersebut tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri”;

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal-pasal a quotersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

pengertian saksitidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak

20


(34)

pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri”;21

Dengan demikian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, definisi keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.22

Memberikan kesaksian merupakan kewajiban bagi setiap orang. Hal ini dapat kita lihat dalam rumusan penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yaitu “Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil kesuatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya

dengan ahli”.

Dari ketentuan tersebut memberikan pemahaman bahwa memberikan keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana disidang pengadilan adalah kewajiban setiap orang. Terhadap segala penolakan atau pengingkaran terhadap kewajiban hukum tersebut merupakan pelanggaran

21

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, diakses dari situs Www.Mahkamahkonstitusi. com pada Senin 9 September 2013.

22


(35)

hukum dan dapat dikenakan pidana. Oleh karenanya apabila saksi tidak datang menghadap ke sidang pengadilan setelah dipanggil secara patut dan wajar tanpa alasan yang dapat diterima,maka saksi dapat dihadirkan secara paksa.

Kesaksian dalam Islam dikenal dengan Syahadah, yang berarti melihat dengan mata.23 Karena syahid, atau orang yang menyaksikan memberi tahu apa yang ia lihat dan ia saksikan. Maksudnya ialah pemberitahuan terhadap apa yang ia ketahui dengan suatu ungkapan yaitu:”Aku saksikan atau Aku telah menyaksikan (asyhadu atau syahidtu).

Sedangkan menurut Syara‟ kesaksian adalah pemberitaan yang pasti yaitu ucapan yang keluar yang diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karena beritanya telah tersebar.24 Definisi lain juga dapat dikemukakan tentang kesaksian yaitu sebagai:

اخ ظفّب غ ّع قحب ّا ا خا

“Pemberitaan seseorang dengan hak atas orang lain dengan lafal tertentu”.25

Memberikan kesaksian merupakan kewajiban yang bersifat

Kifayah.26Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam QS: al-Baqarah

ayat 283:

23

Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, (Mesir: Fath alam el-Arabi, 2004), h.1037.

24

Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.73.

25Abi Bakr Usman bin Muhammad Syata’ Addimyati, Hasyiyah I‟anah Attholibin, ( Beirut:


(36)

م ّع ّ ْعت ا ب ّّا ۗ ّْق مثآ إف ا ْ تْ ْ م ۚ ا ّا ا تْ ت اّ

Artinya: “ Dan janganlah kamu ( para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah 283).

Berdasarkan pada ayat ini menurut Wahbah Zuhaili menunjukan bahwa jika seseorang dipanggil untuk memberikan kesaksian maka wajib hukumnya untuk memenuhi panggilan itu, apabila dua orang telah menunaikannya maka gugurlah kewajiban masyarakat umum dan berdosa semuanya jika tidak ada yang mau memenuhi panggilan untuk memberikan kesaksian tersebut.27

C. Syarat-syarat Menjadi Saksi

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir dapat dikatakan bahwa dalam setiap perkara pidana di sidang pengadilan selalu bersandar pada alat bukti keterangan saksi disamping alat bukti yang lain. Oleh karenanya agar keterangan saksi memiliki nilai pembuktian di hadapan hakim maka perlu diatur mengenai syarat menjadi saksi. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP mengatur secara tegas tentang hal itu, diantaranya:

26Mahmud A’is Mutawalli, Dlomanatul A‟dalah fil Qadla Islami, (Beirut: Dar al Kutub El

Ilmiya, 2003), h. 70.

27

Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir fil Aqidah wasyariah wal Minhaj, (Damsyq : Darul Fikr, 2003) Juz. II, h. 117.


(37)

1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji

Hal ini diatur dalam pasal 160 ayat (3) yaitu” Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib memberikan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang

sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya”. Berdasarkan ketentuan ini maka terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah maka ia dapat dikenakan sandera selama 14 hari, (Pasal 161 ayat (1).

2. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan

Artinya keterangan saksi yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak dapat dijadikan alat bukti. Sehingga hakim tidak dapat menjatuhkan putusan terhadap terdakwa berdasarkan pada keterangan saksi yang disampaikan diluar sidang pengadilan.

3. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup

Pasal 185 ayat (2) menyatakan “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya”. Ketentuan dalam pasal ini berasal dari asas hukum pidana Unnus Testis, Nullus Testis, artinya adalah satu saksi bukan merupakan saksi.

Asas tersebut dapat disimpangi berdasarkan pasal 185 ayat (3) yaitu

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila


(38)

contrario menurut Alfitra keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai satu alat bukti lain, misalnya satu keterangan saksi ditambah keterangan terdakwa, satu keterangan saksi ditambah satu alat bukti surat.28

Dalam hukum Islam persyaratan seseorang untuk menjadi saksi sangat ketat dan selektif, hal ini dikarenakan kesaksian merupakan unsur terpenting dalam persidangan (qadla) yang bertujuan untuk menumbuhkan dan menguatkan keyakinan hakim dalam memutuskan perkara pidana terhadap terdakwa. Karena berhubungan tidak hanya dengan hak-hak terdakwa tetapi juga dengan hak-hak Allah.

Adapun syarat menjadi saksi menurut Sayid Sabiq29 yaitu: 1. Islam

2. Adil

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

ّّ ا ّا ا قأ ْم ْم ْ ع ْ ا ْشأ Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena

Allah.” (QS. Ath-Thalaq: 2).

Para ulama ahli fiqih berpendapat bahwa sifat adil itu berkaitan dengan kesalehan dalam agama dan memiliki sifat Muru‟ah (kewibawaan). Kesalehan

28

Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), h. 60.

29


(39)

dalam agama dapat dipenuhi dengan melaksanakan amalan-amalan yang bersifat Fardlu dan Sunnah, dan menjauhi diri dari hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan, serta tidak melakukan perbuatan dosa besar dan menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil.30 Menurut Abu Bakr Utsman bin

Muhammad Syata’ al-Dimyati dalam kitab nya Hasyiyah I’anah at-Tholibin hal-hal yang dapat menghilangkan Muru‟ah seseorang diantaranya makan dan minum dipasar, makan dan minum sambil berjalan, bermain catur, tertawa terbahak-bahak serta berdansa.31

3. Baligh 4. Berakal

5. Dapat berbicara

6. Memiliki ingatan yang baik

7. Bebas dari tuduhan negatif (tidak ada permusuhan).

Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh Anshoruddin dalam bukunya mengatakan bahwa seseorang yang hendak memberikan kesaksian harus dapat memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Dewasa 2. Berakal

3. Mengetahui apa yang disaksikan 4. Beragama islam

30

Ibid., h. 1039.


(40)

5. Adil

6. Saksi itu harus dapat melihat 7. Saksi itu harus dapat berbicara.32

Selain itu saksi juga disyaratkan tidak ada paksaan terhadap dirinya, hal ini dimaksudkan agar saksi dapat memberikan keterangan seobjektif mungkin berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

D. Larangan Menjadi Saksi

Pada dasarnya menjadi saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang yang mempunyai pengetahuan terhadap perkara pidana tersebut. Akan tetapi terdapat pengecualian terhadap beberapa orang yang dilarang untuk menjadi saksi. Pasal 168 KUHAP menyebutkan:

“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

32


(41)

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Alasan tidak dapat didengarnya keluarga sebagai saksi diantaranya ialah, pada umumnya mereka tidak dapat bersikap objektif bila didengar sebagai saksi, agar hubungan kekeluargaan mereka tidak menjadi pecah disebabkan karena keterangan yang diberikan sebagai saksi, dan agar mereka tidak merasa tertekan pada saat memberikan kesaksian serta secara moral psikologi sangat tidak etis apabila seseorang menerangkan perbuatan yang kurang baik dari keluarganya.

Ketentuan pasal 168 tersebut tidak secara mutlak melarang orang-orang tersebut untuk menjadi saksi. Namun apabila orang-orang-orang-orang yang dikecualikan sebagai saksi tersebut menghendaki untuk memberikan kesaksian dan penuntut umum serta terdakwa menyetujuinya maka ia diperbolehkan untuk didengar keterangannya dibawah sumpah, tetapi jika tidak mendapat persetujuan maka keterangannya dilakukan tanpa sumpah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 169 yaitu:

(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 168

menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan dibawah sumpah.

(2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka


(42)

Selain itu yang dapat di kecualikan menjadi saksi menurut pasal 170 KUHAP yaitu mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatan nya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

Menurut Andi Hamzah pengecualian ini hanya bersifat relatif, karena

frasa pasal tersebut mengatakan”dapat minta dibebaskan dari kewajiban

untuk memberikan keterangan sebagai saksi…” maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim.33 Oleh karena itulah maka kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif.

Terkait dengan larangan seseorang menjadi saksi, dalam hukum acara pidana Islam berhubungan dengan konsep tahammul dan ada’.34Tahammul ialah kesanggupan memelihara dan mengingat suatu peristiwa. Sedangkan Ada‟ ialah kesanggupan untuk mengemukakan/melapalkan peristiwa tersebut dengan benar. Orang-orang yang secara sempurna memiliki kemampuan untuk tahammul dan ada‟ ialah orang merdeka, baligh, akil dan adil. Sedangkan golongan yang tidak memiliki kemampuan untuk tahammul dan

ada‟ sehingga kesaksiannya ditolak dan tidak ada nilai pembuktian sama sekali yaitu kanak-kanak, orang gila, orang kafir dan hamba. Permasalahan

33

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h. 262.

34

Usman Hasyim, Teori Pembuktian Menurut Fiqih Jinayat Islam, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984) h. 14.


(43)

tidak diterimanya kesaksian orang kafir (non muslim) karena al-Qur’an menghendaki bahwa kesaksian itu harus dilakukan oleh orang yang adil. Dan orang kafir tidak termasuk dalam kategori adil.35

Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa penolakan secara mutlak terhadap kesaksian orang non muslim kepada orang Islam sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh para ahli hukum Islam sebenarnya perlu ditinjau kembali. Lebih lanjut Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa dalam masalah persaksian yang penting adalah saksi-saksi tersebut dapat mengungkapkan tabir yang menutup kebenaran.36 Orang-orang yang dapat mengungkapkan kebenaran itu adakalanya dari orang-orang yang bukan Islam dan orang-orang itu dapat dijamin kepercayaannya, maka dalam hal ini kesaksian dapatlah diterima. Lebih lanjut ia mengatakan yang terpenting dari sebuah kesaksian ialah nilai kebenarannya.

Pendapat tersebut sejalan dengan perkembangan zaman saat ini, dimana pengaruh globalisasi mengakibatkan kehidupan masyarakat menjadi membaur satu sama lain yang tidak terikat dengan satu agama saja. Apabila terjadi perselisihan diantara mereka bukan suatu hal yang mustahil peristiwa dan kejadian yang terjadi justru disaksikan oleh orang-orang yang beragama selain Islam. Para praktisi hukum dibeberapa negara Islam, pendapat ini banyak

35Mahmud A’is Mutawalli, Dlomanatul A‟dalah fil Qadla Islami, (Beirut: Dar al Kutub El

Ilmiya, 2003), h. 81.

36

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqi‟in, (Kairo: Darul Hadis, 2006), Juz. I,


(44)

dipergunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi didalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu para praktisi hukum harus dapat membedakan saksi sebagai syarat hukum atau sebagai alat pembuktian, kalau syarat hukum berkenaan dengan syarat materiil dan berhubungan dengan

diyanatan, sedangkan saksi sebagai alat pembuktian berhubungan dengan

syarat formal yang berkaitan dengan qadlaan.37

Selain itu tidak dapat diterima kesaksiannya diantarnya juga ialah

kesaksian orang fasik. Menurut Syafi’iah orang fasik bukan ahli Syahadah ( tidak diterima kesaksiannya). Kesaksian orang fasik ditawakkufkan (ditunda) penerimaan/penolakannya sampai terbukti benar. Sebagaimana firman Allah SWT:

ا تف إ ب قساف ْمكءاج ْ إ ا مآ ّا ا أ ا م ا ْمتّْعف ام ٰ ّع ا ح ْصتف ّا جب امْ ق ا صت ْ أ

“ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada kaum tanpa mengetahui keadaannya yang

menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujuraat: 6). Menurut pendapat sebagian Fuqaha, mesti dibedakan antara sifat fasik yang datang pada saksi sesudah ia menunaikan kesaksian, jika sifat fasik itu termasuk yang tersembunyi dari manusia, seperti zina dan minum khamar, maka karena fasik ini ulama bersepakat untuk menolak kesaksiannya.

37


(45)

Menurut Wahab Zuhaili, bahwa ayat ini menunjukan keumuman lafadz dalam fasik dan berita. Artinya siapapun orang fasik dengan membawa kabar berita apapun maka harus diperiksa kebenarannya.38

Kesaksian karena hubungan kekerabatan juga dilarang. Tidak diterima kesaksian suami bagi isteri nya atau sebaliknya dan tidak diterima kesaksian ayah/ibu bagi anak dan seterusnya, sebagaimana tidak diterima kesaksian isteri ayah (ibu tiri) bagi anak tirinya, maupun ayah bagi anak tiri. Pelarangan keluarga menjadi saksi karena dikhawatirkan ia akan berdusta demi melindungi anggota keluarganya itu.

E. Kekuatan Pembuktian Kesaksian dalam Hukum Islam

Terkait dengan pembuktian kesaksian dalam hukum acara jinayat setidaknya tidak sama antara satu perkara dengan perkara lain, ada beberapa peristiwa yang dituntut padanya empat orang saksi, ada yang perlu 3 orang saksi, ada yang perlu dua saksi laki-laki atau seseorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang saksi dan ditambah sumpah, atau seseorang laki-laki saja.39 Perbedaan ini karena berbedanya ketentuan hukum yang berlaku (Al-Qur’an dan Sunnah).

Dalam kasus perzinahan para ulama bersepakat bahwa untuk membuktikannya diperlukan kesaksian 4 orang saksi yang adil. Hal yang

38

Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir fil Aqidah wasyariah wal Minhaj, (Damsyq : Darul Fikr, 2003) Juz. XIII, h. 558.

39

Ahmad Fath Bahansy, Nazriatul Itsbat Fil Fiqh al-Jina‟i al-Islami, Dirasat Fiqhiah Muqaranah, (Beirut: Dar al-Suruq, 1983) cet.IV. h.107.


(46)

demikian itu karena rasa malu terbukanya rahasia dalam jarimah ini lebih buruk dari yang lain-lainnya.

Hal ini berdasarkan pada Firman Allah SWT:

فّْا تْأ تاّّا ْم ْم عبْ أ ّْع ا ْ تْساف ْم ئاس ْ م حا

“Dan Terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah

ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)”. (QS.

An-Nisa’: 15).

Ayat ini menegaskan bahwa terhadap para wanita yang mendatangi perbuatan yang sangat keji yakni berzina atau lesbian maka hendaklah pembuktian itu didasarkan atas kesaksian empat orang saksi laki-laki. Persyaratan penerimaan persaksian perzinaan yang demikian berat agar pembuktiannya benar-benar valid karena menyangkut aib orang lain.40

Tata cara penyampaian kesaksiannya dilakukan didepan hakim pada waktu yang bersamaan, dengan menjelaskan secara lengkap kapan dimana dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Agar kejelasannya menjadi sempurna karena berhubungan dengan harga diri dan martabat seorang manusia.

Dalam perkara-perkara had selain zina seperti pencurian, minum khamar, qadzaf dan pemberontakan, maka pembuktiannya harus didasarkan atas kesaksian 2 orang saksi laki-laki yang adil. Perkara-perkara selain dari

40


(47)

hal tersebut kesaksiannya cukup dengan seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan.

Salah satu hal yang menjadi perdebatan dikalangan para ulama ialah soal saksi perempuan. Para Fuqahapada umumnya berpendirian bahwa kesaksian perempuan tidak bisa diterima untuk hukum hudud. Namun Ibnu Qayyim berpendapat bahwa seorang perempuan dapat diterima sebagai saksi jika ia dapat dipercaya, jika perempuan tersebut sempurna ingatannya tentang apa yang dia lihat, adil, dan juga cenderung religius, maka hukum ditetapkan atas dasar kesaksiannya saja. Menurut penulis tampaknya Ibnu Qayyim melihat perkembangan kehidupan manusia dimana derajatkesetaraan antara laki-laki dan perempuan itu sama.

Era modern pun menunjukan jika kualitas ingatan serta intelegensia perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Menurut suatu riwayat, pernah terjadi kaum perempuan menetapkan mahar yang cukup tinggi untuk suatu pernikahan pada saat kondisi ekonomi mereka sudah cukup. Melihat hal itu, Umar Bin Khattab khawatir bahwa gejala ini akan terus berlanjut, maka Umar menetapkan batas mahar itu maksimal 400 dirham. Pandangan ini di tentang

oleh seorang wanita Quraisy, yang mengatakan, “Tidakkah tuan telah mendengar bahwa Allah SWT telah berfirman, “Dan kamu sekalian telah memberikan kepada salah seorang diantara perempuan itu harta yang banyak, maka janganlah sekali-kali kamu mengambilnya sedikit pun” (QS An-Nisa’:


(48)

memberikan ampunan-Nya, semua orag ternyata lebih pandai dari Umar.”

Riwayat lain menyebutkan bahwa saat itu Umar menjawab, “Ibu benar dan

Umar yang salah.” Kemudian ia naik mimbar dan menarik keputusannya.41

BAB III

KEKUATAN PEMBUKTIAN KESAKSIAN DE AUDITU DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

A. Kesaksian De Auditu dalam Hukum Acara Pidana

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar pada keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih perlu pembuktian dengan bukti keterangan saksi.

Dalam hukum acara pidana di Indonesia sebagaimana dikemukakan dalam KUHAP bahwa yang dimaksud dengan saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan

41

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010) h. 101.


(49)

suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan

ia alami sendiri”.42 Di samping itu juga terdapat apa yang dikenal dengan istilah Testimonium de Auditu atau HearsayEvidence.

Hearsay berasal dari kata Hear yang berarti mendengar dan Sayberarti mengucapkan. Oleh karena itu secara harfiah istilah hearsay berarti mendengar dari ucapan (orang lain). Jadi, tidak mendengar sendiri fakta tersebut dari orang yang mengucapkannya sehingga disebut juga sebagai bukti tidak langsung (second hand evidence) sebagai lawan dari bukti langsung

(original evidence). Karena mendengar dari ucapan orang lain, maka saksi

deauditu atau hearsay ini mirip dengan sebutan “report”, “gosip” atau

“rumor”.

Dengan demikian, definisi kesaksian de auditu atau hearsay evidence yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain. Disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami. Ada juga yang mendefinisikan kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan dari orang lain.43 Sedangkan Subekti menamakannya dengan kesaksian pendengaran.

42

M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, (Bogor: Politea, 1983), h.6.

43Muntasir Syukri, “

Menimbang Ulang Saksi de Auditu Sebagai Alat Bukti (Pendekatan Praktik Yurisprudensi dalam Sistem Civil Law). Artikel di akses pada 28 juli 2013 dari http://www.Badilag.com.


(50)

Sementara itu, definisi yang cukup lengkap dikemukakan oleh Munir Fuady yakni yang dimaksud dengan kesaksian tidak langsung atau de auditu atau hearsay adalah suatu kesaksian dari seseorang dimuka pengadilan untuk membuktikan kebenaran suatu fakta, tetapi saksi tersebut tidak mengalami/mendengar/melihat sendiri fakta tersebut.44 Dia hanya mendengarnya dari pernyataan atau perkataan orang lain, dimana orang lain tersebut menyatakan mendegar, mengalami atau melihat fakta tersebut sehingga nilai pembuktian tersebut sangat bergantung pada pihak lain yang sebenarnya berada diluar pengadilan. Jadi, pada prinsipnya banyak kesangsian atas kebenaran dari kesaksian tersebut sehingga sulit diterima sebagai nilai bukti penuh.

Menurut Sudikno Mertokusumo adalah keterangan seorang saksi yang diperolehnya dari pihak ketiga. Dalam sistem Common Law dikenal dengan

hearsay evidence yang memiliki pengertian yang sama yakni keterangan yang

diberikan seseorang yang berisi pernyataan orang lain baik melalui verbal, tertulis atau cara lain.

Sebagai gambaran contoh mengenai kesaksian de auditu atau hearsay

evidence ini misalnya si A menjadi saksi di pengadilan, dimana si A

mendengar dari si B bahwa si B telah melihat, mengalami atau mendengar (dengan panca inderanya sendiri) bahwa suatu fakta telah terjadi. Dalam hal

44

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, , (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2012), Cet II h. 132.


(51)

ini, si B sebenarnya dapat berkedudukan sebagai saksi langsung, tetapi karena tidak datang ke pengadilan untuk bersaksi, dia bukan merupakan saksi, dan si A merupakan saksi tidak langsung (de auditu atau hearsay).

Saksi de auditu atau hearsay merupakan model kesaksian yang berkembang dalam seluruh sistem hukum di dunia baik dalam sistem hukum

Civil law ataupun dalam sistem hukum Common Law. Diskursus mengenai

kesaksian de auditu sudah ada sejak zaman Aristoteles dalam hukum Yunani. Pada zaman itu di Yunani, saksi de auditu tidak diperkenankan untuk didengar, dengan beberapa kekecualian. Kekecualian tersebut, antara lain sebagai berikut:

1. Jika saksi yang sebenarnya sudah meninggal;

2. Jika saksi yang sebenarnya jatuh sakit atau berada diluar negeri sehingga tidak mungkin di hadirkan di pengadilan.

Saksi de auditu atau hearsay tersebut merupakan model kesaksian yang dikenal tetapi pada prinsipnya tidak diakui kekuatannya sebagai alat bukti penuh, baik dalam sistem hukum Eropa Kontinental maupun dalam sistem hukum Anglo Saxon. Meskipun saksi de auditu ini dikenal, baik dalam sistem hukum Eropa Kontinental maupun dalam sistem hukum Anglo Saxon, doktrin hearsay bersama-sama dalam sistem Juri dan Eksaminasi Silang telah merupakan trio andalan utama yang sangat popular dalam hukum acaranya.

Akan tetapi, dalam perkembangannya justru sistem hukum


(52)

akhir abad ke 17. Meskipun berkembangnya pesat, dimana perkembangannya pada tahap-tahap awal masih mengakui saksi de auditu hanya sebagai konfirmasi bagi alat-alat bukti lainnya. Sampai kemudian hukum kesaksian de

auditu tidak diterima sebagai alat bukti, tetapi dengan sangat banyak

pengecualiannya.45

Masalah di terima atau tidaknya kesaksian de auditu sebgai alat bukti menjadi masalah Universal baik di Indonesia dan di negeri Belanda yang dapat di lihat dari doktrin dan Yurisprudensi, maupun di Amerika Serikat yang mengenal pula masalah hearsay ini. Dimanapun pengakuan terhadap

hearsaysebagai alat bukti tergantung pada tujuan untuk apa hal itu diajukan

dan apa yang akan dibuktikan dengan itu.

Pro dan kontra yang terjadi mengenai kesaksian de auditu tidak hanya menjadi diskursus perbincangan yang menarik di kalangan ahli hukum Indonesia saja tetapi juga para pakar-pakar hukum dunia. Taverne misalnya mengatakan “ Bahwa menurut sejarah dan juga kebutuhan praktik, menuntut

diakuinya kekuatan pembuktian kesaksian de auditu”.46

Pendapat yang pro memberikan argumentasi bahwa apabila kesaksian

de auditu di terima sebagai alat bukti maka dengan jalan ini tidak ada satupun

bahan bukti yang hilang, jika tidak maka walupun ada, tidak diceritakan didepan hakim, keterangan saksi mendapat sifat ketidakbenaran dan tidak

45

Ibid., h. 135.

46


(53)

berkaitan jika keterangan de auditu sengaja disingkirkan. Adalah logis jika suatu ucapan yang sering kali dikeluarkan berdasarkan keadaan emosional dan didengar untuk keadilan diterima sebagai bukti, dan begitu pula tidak menerima suatu pemberitahuan yang menurut keterangan seorang saksi diterangkan kepadanya oleh orang lain dalam keadaan tentram dan tenang.Sedangkan pendapat yang kontra menilai kalau begitu dimungkinkan pembuktian dari tangan kedua atau ketiga yang kebenarannya sangat minim sekali.

Pada umumnya hearsay di terima sebagai alat bukti tetapi dibatasi pengertiannya dari pengertian biasa. Tidak diajukan sebagai hearsay misalnyaketerangan terdakwa bahwa seseorang telah mengakui kepadanya bahwa orang itulah yang melakukan kejahatan tersebut.47

Di Indonesia sendiri hal ini menjadi perdebatan yang panjang dikalangan para ahli hukum. Sebut saja misalnya S.M Amin yang menolak jika kesaksian de auditu dapat dijadikan alat bukti. Menurutnya:

Memberi daya bukti kepada kesakian-kesaksian de auditu berarti

bahwa syarat di dengar, dilihat, atau dialami sendiri tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh dengan tidak langsung daya bukti,

keterangan-keterengan yang di ucapkan oleh seseorang di luar sumpah…….. Hal ini

berarti keterangan-keterangan seseorang yang tidak pernah dijumpai oleh hakim dijadikan alat bukti. Pokok pikiran supaya kesaksian harus di ucapkan

47


(54)

dihadapan hakim sendiri yang bertujuan supaya hakim dapat menilai keterangan saksi-saksi itu ditinjau dari sudut dapat tidaknya dipercaya atas dasar tinjauan terhadap pribadi saksi, gerak-geriknya dan lain-lain

dilepaskan”.48

Senada dengan S.M. Amin, M. Yahya Harahap juga berkomentar sebagai berikut.“ Oleh karena keterangan yang berbentuk Testimonium de Auditu atau Hearsay Evidence, bukan keterangan tentang apa yang diketahuinya secara personal (not what he knows personally), tetapi

mengenai apa yang “diceritakan” orang lain kepadanya (but what others

have told him) atau apa yang di dengarnya dari orang lain (what he has

heard said by others), lebih besar kemungkinanya “tidak benar” (untrue),

alasannya keterangan yang di berikannya bukan dari orang pertama. Sehubungan dengan itu, hearsay Evidence berada diluar alat bukti dan dinyatakan an out-of court statement, karena isi keterengan hanya merupakan

“repetisi” atau pengulangan dari apa yang di dengar dari orang lain.49

Dari pendapat keduanya tersebut dasar penolakan terhadap kesaksian

de auditu sebagai alat bukti dikarenakan saksi de auditu merupakan saksi

tidak langsung yang kebenarannya sangat di ragukan sekali, padahal hukum acara pidana mencari kebenaran materiil karena berkaitan dengan hak-hak

48

Hari Sasangka dan lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 40.

49

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika,2009) ed.2 cet ke IX, h.207.


(55)

seorang tersangka. Selain itu juga, jika kesaksian de auditu diterima sebagai alat bukti berarti telah terjadi pengingkaran terhadap definisi saksi itu sendiri.

B. SaksiIstifadlah

Arti kata As-Syahadahantara lain ialah Al-Iqroru yakni kesaksian50,

dan Al-Istifadlah ialah tersebar atau tersiar luas.51 Adapun yang dimaksud

khabar Istifadlah (berita tersebar) ialah berita yang mencapai derajat antara

berita mutawatir dan berita orang perorangan, yaitu berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicaraan dikalangan manusia.52

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa saksi Istifadlah adalah merupakan suatu cara dari cara-cara pengetahuan yang meniadakan kecurigaan tentang seorang saksi dan hakim dan ia lebih kuat dari kesaksian saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya.53Mengenai saksi

Istifadlah dalam hukum acara Islam berbagai macam pendapat antara lain

sebagai berikut:

Sayid Sabiq menghimpun beberapa pendapat para Ulama terkait dengan Saksi Istifadla. Ia mengatakan bahwaImam Syafi’I memperbolehkan seorang hakim mempergunakan saksi Istifadlah dalam hal-hal yang berhubungan dengan nasab, kelahiran, kematian memerdekakan budak,

50

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. XIV, h. 799.

51

Ibid.,h. 1163.

52

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum positif, h. 82.

53


(56)

perwalian, diangkatnya menjadi hakim, wakaf, nikah, beserta seluruh masalahnya, keadilan seseorang, cacat pribadi seseorang, wasiat, kecerdasan, dan kebodohan seseorang dari masalah-masalah yang berhubungan dengan hak milik seseorang. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa saksi

Istifadlah itu dapat dipergunakan hanya dalam lima hal yaitu: pernikahan,

persetubuhan (zina), nasab, kematian dan diangkatnya seseorang menjadi hakim dalam suatu wilayah.Imam Ahmad mengatakan bahwa sebagian dari

kalangan Syafi’iyah mengemukakan bahwa saksi Istifadlah itu hanya dapat dipergunakan dalam hal yang berhubungan dengan pernikahan, nasab, kematian, memerdekakan budak, perwalian dan tentang hak milik yang dipersengketakan.54

C. Kekuatan Pembuktian KesaksianDe Auditudalam Hukum Acara Pidanadi Indonesia

Dalam hukum acara pidana larangan menggunakan kesaksian de

auditu sebagai alat bukti di Indonesia diatur secara tegas dalam

KUHAP.55Pasal 185ayat (1) KUHAP menentukan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan. Selanjutnya, penjelasan pasal 185 ayat (1) KUHAP tersebut dengan tegas menentukan bahwa dalam suatu keterangan saksi, tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.

54

Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, h.1037

55


(57)

Dengan demikian terjawablah dengan tegas bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti sah. Andi Hamzah mengemukakan pendapatnya bahwa:

“Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu

tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak di pakai di

Indonesia pula.”56

Munir fuady mengemukakan alasan tidak dapat diterimanya kesaksian de auditu sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan suatu kebenaran atas suatu fakta kejadian karena memiliki beberapa kelemahan, yaitu sebagai berikut:57

1. Karena kesaksian de auditu tidak dibedakan mana yang merupakan kesaksian yang benar dan mana yang merupakan gosip atau rumor belaka. 2. Karena kesaksian de auditu tidak dapat menghadirkan saksi yang

sebenarnya ke pengadilan untuk didengar oleh para hakim dan para pihak. 3. Karena saksi yang sebenarnya tidak hadir dipengadilan, maka tidak ada

pertanyaan yang dapat diajukan dan tidak dapat dilakukan eksaminasi

56

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 267.

57


(58)

silang (cross examination) sehingga tidak dapat diketahui seberapa jauh kesaksiannya itu akurat.

4. Karena saksi yang sebenarnya tidak datang ke pengadilan, maka terdapat masalah validitas kesaksiannya, yaitu tidak dapat diketahui sejauh mana keakuratan dari persepsi, ingatan, narasi, keseriusan, dan ketulusan hatinya.

5. Karena problem ambigiusitas bahasa. Dalam hal ini, tidak diketahui apa maksud persis nya ketika mengucapkan sesuatu kata.

Keterangan saksi de auditu tidak dapat dipakai sebagai alat bukti penuh. Bahkan dalam banyak putusan pengadilan keterangan saksi de auditudianggap sama sekali tidak berharga sebagai alat bukti. Keberatan terhadap kesaksian

de auditu dahulu didasarkan kepada asas bahwa seluruh proses pembuktian

langsung didepan hakim dan terdakwa mengikuti seluruh proses itu, yang merupakan pembuktian terbaik.58

58


(59)

BAB IV

KEKUATAN KESAKSIAN DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT HUKUM ACARA PIDANAISLAM

A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid.Sus/2010

1. Kronologi Kasus59

Peristiwa pidana ini menyangkut terdakwa JEFRI OLOANDIKA SILALAHI Bin JARASMIN SILALAHI pada hari minggu tanggal yang sudah tidak diingat lagi pada bulan November 2007 sekitar pukul 11.00 WIB bertempat dikebun belakang Perumahan Griya Harapan yang terletak di Desa Penyangkringan, Kecamatan Weleri kabupaten Kendal dengan sengaja

59

Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid. Sus/2010 di akses pada situs Www.mahkamahagung.go.id. Pada jum’at 1 November 2013.


(60)

melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa saksi korban melakukan persetubuhan dengannya dengan cara berikut:

Pada waktu dan tempat seperti disebutkan diatas terdakwa dan saksi korban Farida Lumban Raja Binti Amintas Lumban Raja yang sebelumnya telah mengikuti kegiatan Pramuka yang diselenggarkan selama 2 (dua) hari setelah selesai kemudan terdakwa mengantar pulang saksi korban. Namun sebelum sampai rumah terdakwa mengajak saksi korban berjalan menuju ke kebun untuk bersantai disana sambil duduk. Selanjutnya terdakwa merangkul sambil mencium kening saksi korban dan pada saat akan mencium bibir saksi korban menolak dengan menggelengkan kepala, melihat hal tersebut terdakwa berdiri dan memaksa saksi korban dengan cara mendorong kedua bahu saksi korban dengan mengunakan kedua tangannya sehingga saksi korban berusaha bangun dari tempat duduknya. Namun karena kuatnya dorongan dari kedua tangan terdakwa sehingga saksi korban tersandar di pinggiran tempat duduk tersebut. Kemudian terdakwa dengan cepat, tangan kanan nya menyingkapkan rok melepas celana dalam sampai sebatas paha sambil tangan kirinya tetap mendorong pundak saksi korban sebelah kiri. Lalu terdakwa membuka resleting celananya dan mengeluarkan alat kelaminnya kemudian memasukkannya kedalam alat kelamin saksi korban sampai masuk dan menggerakkan pantatnya maju mundur beberapa kali sampai merasa klimaks dan mengeluarkan air mani yang dimasukkan kedalam alat kelamin saksi korban.


(61)

Akibat perbuatan terdakwa, saksi korban di jumpai selaput dara robek pada posisi jam 7 sampai dasar berdasarkan hasil Visum et Repertum Nomor : Klien/112/1V/2008 tanggal 8 juni 2008 yang di tandatangani oleh dr. Mastutik dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah Kendal.Berdasarkan hal tersebut perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 26 ayat (1)Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 81 ayat 1 di sebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000.00 (enam puluh juta rupiah).

Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya menuntut agar terdakwa di pidana selama 6 (enam) tahun penjara dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.Unsur-unsur dalam perbuatan tersebut yaitu, perbuatan melawan hukum, memaksa melakukan persetubuhan, dengan kekerasan atau ancaman. Namun Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Kendal dalam amar putusan nyaNo.


(62)

SILALAHI Bin JARASMIN SILALAHI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan didalam dakwaan Primair, Subsidair, dan Lebih Subsidair. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan, memerintahkan terdakwa untuk dibebasakan dari tahanan rumah tahanan Negara, serta memulihkan hak dan martabat terdakwa.

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kendal, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung.Terhadap Kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, Mahkamah Agung memutuskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 272 K/Pid.Sus/2009 tanggal 15 Mei 2009 yang dalam amar putusan nya menyatakan bahwa Mengabulkan Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Kendal, Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor: 234/Pid 2008/PN.KDL, Menyatakan terdakwa JEFRI OLOANDIKA SILALAHI Bin JARASMIN SILALAHI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “persetubuhan terhadap anak dibawah umur” dan Menjatuhkan kepada terdakwa JEFRI OLOANDIKA SILALAHI Bin JARASMIN SILALAHI dengan hukuman pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.

Terhadap putusan kasasiMahkamah Agung tersebut Terdakwa mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Dalam Memori Peninjauan Kembali (PK) salah satunya terdakwa mengajukan keberatan


(1)

orang lain atau Testimonium de auditu. Namun tidak serta merta keterangan saksi de auditu ditolak dipersidangan, para pakar hukum Indonesia sebagian dapat menerima saksi de auditu dengan syarat dan ketentuan tertentu. Bahkan dari hasil penalitian penulis menemukan ada beberapa putusan pengadilan yang dapat menerima kesaksian de auditusebagai salah satu alat bukti dipersidangan yakni melalui alat bukti petunjuk.

Senada dengan hukum acara pidana Indonesia dalam hukum acara pidana Islam pun saksi de auditu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Namun ada metode kesaksian atas kesaksian yang dapat dipergunakan dalam sidang pengadilan jika saksi asal berhalangan hadir untuk memberikan kesaksian.

2. Dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) nomor 193 PK/Pid. Sus/2010 Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnyamenyatakan membenarkan dan menguatkan putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 272 K/Pid.Sus/2009 yang dalam salah satu putusannya pada halaman 12-13 membenarkan keberatan Penuntut Umum/Pemohon Kasasi bahwa Judex Facti (Pengadilan Negeri Kendal) telah keliru dan tidak cermat dalam menilai kesaksian saksi-saksi tersebut diatas yang bersifat de auditu. Putusan ini telah sesuai dan tidak menyalahi aturan yang berlaku karena saksi de auditu pun dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk apabila terdapat persesuaian dengan alat bukti lainnya.


(2)

B. Saran

1. Dengan semakin berkembangnya teknologi dan informasi serta dinamika kehidupan yang amat kompleks maka menuntut untuk adanya dinamisasi dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam hukum acara pidana. Dalam menghadapi perkara pidana yang di dalamnya terdapat testimonium de auditu, hakim harus bersikap dan bertindak seobyektif mungkin dengan tidak serta merta menolak kesaksian tersebut tetapi harus menilai nya dengan cermat dan teliti apakah relevan dan manfaat jika saksi tersebut di dengar keterangannya

2. Bagi institusi hukum tertinggi di Indonesia yaitu Mahkamah Agung agar dapat membuat aturan dan arahan yang jelas dan baku bagi para hakim untuk di terimanya kesaksian de auditu sebagai alat bukti di persidangan melalui instrument alat bukti petunjuk. Tentunya dengan terlebih dahulu mencermati relevansi, kemanfaatan serta kebenaran kesaksian yang demikian. Sehingga perkara pidana di persidangan dapat diputuskan secara cepat dan efisien.


(3)

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim, Depag RI

Abbas, Afifi Fauzi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Adelina Press, 2010. Ad-Dimyati, Abi Bakr Usman bin Muhammad Syata’, Hasyiyah I‟anah

Attholibin, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Juz. IV, 2012.

Ad-dam, Ibnu Abi, Kitab Adab al-Qadla,Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987.

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Jakarta:Raih Asa Sukses, 2011.

Alim, Muhammad. Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kajian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, Cet I. Yogyakarta: LKIS, 2010.

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, I‟lam al-Muwaqi‟in, Kairo: Darul hadis, 2002. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum


(4)

Asshidieqy, Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Cet II. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Bakhri, Syaiful. Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan, Jakarta: Gramata Publishing, 2012.

Bahansy, Ahmad Fath. Nazriatul Itsbat Fil Fiqh al-Jina‟I al-Islami, Dirasat Fiqhiah Muqaranah, Beirut: Dar al-Suruq, 1983.

Bassiouni, M Cherif, ed, The Islamic Criminal Justice System, New York: Oceana Publications. 1982.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, ed. IV, 2008.

Djalil, Basiq. Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012.

Fuady, Munir. Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Harahap, M Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Cet.IX. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Hiariej, Eddy O.S. Teori & Hukum Pembuktian, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012.

Hasyim, Usman. Teori Pembuktian Menurut Fiqih Jinayat Islam, Yogyakarta: Andi Offset, 1984.


(5)

Madkur, Muhammad Salam, Al-Qadla‟ fil Islam, Mesir: Daar Annahdlah Al-Arabiyah, tt.

M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, Bogor: Politea, 1983.

Mutawalli, Mahmud A’is, Dlomanatul A‟dalah fil Qadla Islami, Beirut: Dar al Kutub El Ilmiya, 2003.

Rusyd, Ibn. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut: Dar El fikr, 2008.

Sabiq, Sayid. Fiqhussunnah, Mesir: Fath Alam El-Arabi, 2004. Sabuan, Ansori. dkk. Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa, 2010.

Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Vol. II, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.

Umam, Chaerul, Dkk. Ushul Fiqih 1, Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir FilAqidah wasyariah wal Minhaj,Juz. II, Damsyq : Darul Fikr, 2003.

Yanggo, Huzaemah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. www.Badilag.com.


(6)