DOSA DOSA POLITISI KITA pdf
DOSA-DOSA POLITISI KITA !
Oleh : Ibrahim
Anggota Ikatan Guru Indonesia (IGI Luwu Utara)
Semestinya partai politik berfungsi sebagai wahana pendidikan politik bagi masyarakat
agar tercapai pola pikir yang sadar akan hak dan kewajibannya. Namun apa jadinya jika
partai politik beserta para pengurusnya justru mempertontonkan politik transaksional.
Demokrasi dijadikan tangga untuk mencapai kekuasaan yang pada akhirnya individu
dan kelompok mereka yang menikmati alam kebebasan ini.
Bagi-bagi uang, sembako, proyek ditambah janji-janji tak realitistis terbukti mampu meninabobokan masyarakat kita. Inilah adalah dosa besar yang diwariskan Partai Politik
yang sangat berakibat fatal bagi generasi mendatang Indonesia.
Babak baru permainan politik pragmatis baru saja dipertontonkan, adegan demi
adegan, babak demi babak, sandiwara itu terus diputarkan di pelupuk mata rakyat
Indonesia. Politisi dengan lihainya mengucapkan kata-kata, kalimat demi kalimat bak
syair dan nash yang tak terbantahkan. Seolah-olah apa yang mereka perbuat, apa yang
mereka katakan adalah sebuah kemestian dan nampak seperti benar adanya.
Pertarungan elit politik telah menjadi tontontan lumrah, hampir tiap stasiun TV
menayangkannya, bahkan kadangkala ironi tersebut juga dimuat oleh segmen
infotainment. Memang sungguh berat membedakan segmen infotainment dan politik
dewasa ini, apalagi Partai politik ada kecenderungan mengakomodir selebriti pada
jabatan tinggi dengan tujuan menarik simpatik massa awam.
Sekali-kali pada isu-isu tertentu, politisi saling berdebat, menyerang politisi lainnya
dengan seribu satu argument. Politisi lainnya mempertahankan diri dan tak mau kalah
dari rival politiknya menggunakan segala macam kemampuan retorika yang ia miliki.
Anehnya, dikesempatan lain, argumentasi yang dipertahankan tersebut dapat dipelintir
dengan memperhalus penggunaan bahasa atau istilah yang digunakan. Kompromi
selalu menjadi hal yang biasa jikalau kepentingan politik sudah dapat disatukan.
Sandiwara mereka telah berakhir dengan sedikit saja persinggungan kepentingan yang
tersedia.
Politisi berkata, ini adalah win-win solution yang cerdas, yang dapat mengakomodir
semua kepentingan rakyat. Pada saat itu semestinya kita patut bertanya ; kepentingan
mana sebenarnya yang terakomodir, apakah rakyat atau partai ?
Tahun 2013, mungkin adalah tahun yang sial bagi pelaku dunia politik praktis. Sejumlah
pengurus teras Parpol tersandung kasus korupsi. Namun walaupun begitu, tetap saja
ada orang yang menangisi penangkapan dan pengunduran diri politisi-politisi tersebut.
Kesedihan yang tak berdasar tersebut kemungkinannya didorong oleh sikap fanatisme
berlebihan ataukah buta hati pada kondisi realitas yang ada.
Jika kita berhitung secara matematis, janji pada saat kampanye dan realitas dilapangan
pasca pemilihan (Caleg, Pilkada, Pilgub maupun Pilpres) dipastikan tidak akan
terealisasi secara keseluruhan. Namun anehnya lagi, ketika pemilihan berikut digelar
lagi tetap saja politisi tersebut mendulang suara yang signifikan. Apa ini karena
popularitas yang semu atau karena money politik. Atau mungkin dua-duanya benar.
Masyarakat kita tak pernah peduli lagi sebagus mana program dan track record calon
yang ia akan pilih. Yang jelas ia mampu memberi selembar, dua lembar uang ratusan
ribu kepada pemilih, maka kemungkinan dialah yang akan terpilih.
Jika berkaca pada kondisi yang ada maka teori karya para pemikir Frankfurt School
yang mengungkapkan bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara
kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan), tujuan dari kesuksesan politik
adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang
dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya. Teori ini sesungguhnya masih
sangat relevan dengan kondisi kebangsaan kita akhir-akhir ini.
Oleh : Ibrahim
Anggota Ikatan Guru Indonesia (IGI Luwu Utara)
Semestinya partai politik berfungsi sebagai wahana pendidikan politik bagi masyarakat
agar tercapai pola pikir yang sadar akan hak dan kewajibannya. Namun apa jadinya jika
partai politik beserta para pengurusnya justru mempertontonkan politik transaksional.
Demokrasi dijadikan tangga untuk mencapai kekuasaan yang pada akhirnya individu
dan kelompok mereka yang menikmati alam kebebasan ini.
Bagi-bagi uang, sembako, proyek ditambah janji-janji tak realitistis terbukti mampu meninabobokan masyarakat kita. Inilah adalah dosa besar yang diwariskan Partai Politik
yang sangat berakibat fatal bagi generasi mendatang Indonesia.
Babak baru permainan politik pragmatis baru saja dipertontonkan, adegan demi
adegan, babak demi babak, sandiwara itu terus diputarkan di pelupuk mata rakyat
Indonesia. Politisi dengan lihainya mengucapkan kata-kata, kalimat demi kalimat bak
syair dan nash yang tak terbantahkan. Seolah-olah apa yang mereka perbuat, apa yang
mereka katakan adalah sebuah kemestian dan nampak seperti benar adanya.
Pertarungan elit politik telah menjadi tontontan lumrah, hampir tiap stasiun TV
menayangkannya, bahkan kadangkala ironi tersebut juga dimuat oleh segmen
infotainment. Memang sungguh berat membedakan segmen infotainment dan politik
dewasa ini, apalagi Partai politik ada kecenderungan mengakomodir selebriti pada
jabatan tinggi dengan tujuan menarik simpatik massa awam.
Sekali-kali pada isu-isu tertentu, politisi saling berdebat, menyerang politisi lainnya
dengan seribu satu argument. Politisi lainnya mempertahankan diri dan tak mau kalah
dari rival politiknya menggunakan segala macam kemampuan retorika yang ia miliki.
Anehnya, dikesempatan lain, argumentasi yang dipertahankan tersebut dapat dipelintir
dengan memperhalus penggunaan bahasa atau istilah yang digunakan. Kompromi
selalu menjadi hal yang biasa jikalau kepentingan politik sudah dapat disatukan.
Sandiwara mereka telah berakhir dengan sedikit saja persinggungan kepentingan yang
tersedia.
Politisi berkata, ini adalah win-win solution yang cerdas, yang dapat mengakomodir
semua kepentingan rakyat. Pada saat itu semestinya kita patut bertanya ; kepentingan
mana sebenarnya yang terakomodir, apakah rakyat atau partai ?
Tahun 2013, mungkin adalah tahun yang sial bagi pelaku dunia politik praktis. Sejumlah
pengurus teras Parpol tersandung kasus korupsi. Namun walaupun begitu, tetap saja
ada orang yang menangisi penangkapan dan pengunduran diri politisi-politisi tersebut.
Kesedihan yang tak berdasar tersebut kemungkinannya didorong oleh sikap fanatisme
berlebihan ataukah buta hati pada kondisi realitas yang ada.
Jika kita berhitung secara matematis, janji pada saat kampanye dan realitas dilapangan
pasca pemilihan (Caleg, Pilkada, Pilgub maupun Pilpres) dipastikan tidak akan
terealisasi secara keseluruhan. Namun anehnya lagi, ketika pemilihan berikut digelar
lagi tetap saja politisi tersebut mendulang suara yang signifikan. Apa ini karena
popularitas yang semu atau karena money politik. Atau mungkin dua-duanya benar.
Masyarakat kita tak pernah peduli lagi sebagus mana program dan track record calon
yang ia akan pilih. Yang jelas ia mampu memberi selembar, dua lembar uang ratusan
ribu kepada pemilih, maka kemungkinan dialah yang akan terpilih.
Jika berkaca pada kondisi yang ada maka teori karya para pemikir Frankfurt School
yang mengungkapkan bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara
kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan), tujuan dari kesuksesan politik
adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang
dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya. Teori ini sesungguhnya masih
sangat relevan dengan kondisi kebangsaan kita akhir-akhir ini.