Pascafenomenologi Ruangsiber Menelaah proposal Re

Pascafenomenologi Ruangsiber: Menelaah
Realitas Visual Internet dan Konsep
“Ruangsiber” dalam Ilmu Antropologi1
Dinamika kehidupan sosial melalui mediasi internet telah
mencipta cakrawala dunia baru. Berbagai aktivitas sosial yang
sebelumnya mensyaratkan kebertubuhan tergantikan dengan
aktivitas dalam ruang yang diistilahkan dengan ruangsiber ini.
Dari kegiatan ekonomi, transfer dan diseminasi pengetahuan,
sampai moda interaksi yang lebih mendasar seperti
silahturahmi kekeluargaan dan pertemanan.
Berdasarkan data penelitian Bank Dunia (2011), pengguna
internet berjumlah 32,8 % dari jumlah penduduk dunia
(www.wordbank.org). Sedangkan di Indonesia, dengan
mengacu data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika
(2015) adalah 33% dari jumlah penduduk. Pengguna Facebook
berjumlah 60,06 juta orang, Twitter 19,5 juta orang. Berarti
lebih dari 1/3 jumlah penduduk Indonesia beraktifitas di
internet. Sebuah fenomena yang tentunya menarik untuk kita
refleksikan.
Dalam tulisan ini, saya membahas dimensi filosofis
ruangsiber perspektif pascafenomenologi dan antropologi.

Pascafenomenologi dikembangkan oleh Don Ihde seorang filsuf
teknologi kontemporer, sebuah konsep yang menjelaskan
secara lebih luas fenomenologi pasca-Husserl yakni Martin
Heidegger, Paul Ricoeur, dan Maurice Merleau-Ponty. Dalam
pascafenomenologi, dijelaskan intensionalitas tidak terbatas
pada kesadaran yang tertuju pada dunia, melainkan tubuh
dalam relasinya dengan dunia sosial dan kultural. Ia
mengatakan
pascafenomenologi
selalu
berpijak
dari
materialitas tubuh yang terhubung dengan materialitasmaterialitas lainnya atau secara lebih spesifik artefak
teknologi. Kesadaran sebagaimana dijelaskannya telah
menubuh dengan dunia. Menurutnya “Intentionality, now not
‘consciousness per se’ but embodied, includes material
1 Artikel dipublikasi jurnal rumpun ilmu sosial dan humaniora ULTIMA HUMANIORA.
Volume 1, Nomor 2, Sepertember 2013.

technologies in various positions as I relate to a or any ‘world’“

(Ihde, 2003: 15).
Pembahasan dalam tulisan ini diawali dengan menjelaskan
pascafenomenologi ruangsiber, setelah itu konsep ruangsiber
dalam ilmu antropologi meliputi pemikiran antropologi Arturo
Escobar tentang ruangsiber dan kebudayaan teknologi
(cyberculture), cyborgs@cyberspace-nya David Hakken, dan
komunitas virtual.
Pascafenomenologi Ruangsiber
Pascafenomenologi ruangsiber adalah konsep filosofis untuk
menjelaskan relasi-relasi pragmatis manusia dan dunia siber.
Konsep ini dielaborasi dari filsafat Don Ihde tentang
fenomenologi
instrumentasi
dan
multistabilitas
dalam
ruangsiber. Sebuah konsep tentang bagaimana kita memahami
internet sebagai medium dunia yang bersifat global. Internet
menghadirkan realitas sesungguhnya secara reduktif dalam
ruang layar dalam bentuk hiperteks dengan mediasi teknologi

virtual.
Setiap
entitas
informatif
dalam
ruangsiber
merepresentasikan keberadaan dunia tubuh (world of bodies),
baik itu manusia sebagai tubuh dan realitas sesungguhnya.
Media sosial seperti Skype, Facebook, dan Twitter,
misalnya, dapat dikategorikan sebagai ruang sosial yang
berada dalam dimensi pascafenomenologis ruangsiber. Moda
interaksi sosial tereduksi dan pada saat yang sama meluas
melampaui
kapasitas
ruang
kebertubuhan.
Tubuh
dikonstitusikan ke dalam eksemplar program, identitas
terkonstruksi dalam wujud hiperteks. Atau dalam format
telepresence, dimana tubuh hadir secara audio-visualkinestetis dalam ruang layar. Media sosial menjadi medium

tubuh-tubuh yang terkoneksi secara global.
Dengan
pascafenomenologi
ruangsiber,
instrumen
mencipta ruang dan menghadirkan realitas sesungguhnya
melalui mediasi internet. Oleh karenanya, ia tidak terbatas
pada interaksi sosial yang kemudian mencipta dunia secara
sosiologis dan antropologis seperti Facebook dan Twitter,
melainkan relasi berjarak antara manusia dan dunia
termediasi teknologi virtual. Dunia terkoneksi ke dalam
internet dipahami sebagai ekstensi pengalaman kebertubuhan

yang bersifat global. Ketika sebuah instrumen terintegrasi
dengan internet, kita dapat mengaksesnya tanpa adanya relasi
kebertubuhan. Dengan internet, dunia terfragmentasi dan
terdomestikasi melampaui pemahaman kita tentang ruang dan
waktu sesungguhnya.
Bila dalam fenomenologi instrumentasi Ihde, relasi tubuh
dan instrumen mewujud secara intensional dan tersituasikan,

yaitu ketika tubuh mencipta pengalaman eksistensialrelasional fenomenologis seperti dalam diagram:
Manusia

Instrumen

Dunia

Dalam pascafenomenologi ruangsiber, instrumen secara
global terdomestikasi dalam ruang layar. Mediasi internet
memungkinkan kita mengaksesnya tanpa adanya relasi
kebertubuhan.
Tubuh
memahami
secara
perseptual
kompleksitas dunia inderawi melalui mediasi teknologi
informasi. Struktur relasionalnya seperti dalam diagram:
Manusia
Dunia


Internet

Instrumen

SLOOH SpaceCamera (www.slooh.com) adalah situs
internet yang memberi pemahaman tentang dimensi
pascafenomenologis ruangsiber. Situs SLOOH SpaceCamera
menghadirkan aktivitas teleskop robotik yang berada di
kepulauan Canaria Samudera Atlantik. Dengan membuat akun
di situs SLOOH kita dapat mengakses aktivitas teleskop
dengan mengikuti jadwal events teleskop yang ditentukan oleh
admin situs. Setiap anggota dengan membuat reservasi dapat
mengontrol dengan bebas teleskop yang berada di kepulauan
Canaria ini. Teleskop terkoneksi secara global dengan mediasi
internet. Teleskop hadir dalam ruang layar dan menjadi logis
sebagai sistem relasional manusia, internet, teleskop, dan
alam semesta. Alam semesta yang dimediasi teleskop yang
terdomestikasi dalam ruang layar menjelaskan dunia cyber
menjadi realitas tak terbatas.


Galileo
Teknologi Informasi
Alam Semesta

Teleskop

Selain itu kita ketahui situs jejaring sosial The Telegarden
(1995-2004). The Telegarden menampilkan instalasi artistik
taman yang dirawat oleh tangan robotik melalui internet.
Setiap anggota terdaftar dalam The Telegarden masing-masing
dengan tumbuhannya sendiri dapat merawat dan menyirami
tumbuhan dengan mediasi tangan robotik dan melihat
pertumbuhannya dalam ruang layar. Realitas dalam The
Telegarden terbatas pada kualitas hiperteks audio-visualkinestetis (video), namun ia merupakan representasi dari
realitas sesungguhnya yang kompleks secara inderawi.
The Telegarden mensyaratkan instrumen terkoneksi ke
dalam
jaringan
internet.
Dimensi

pascafenomenologis
ruangsibernya ketika ia kemudian termediasi oleh program
komputer yang dapat mengontrol gerak tangan robotik. Relasi
manusia dan instrumen terintegrasi dengan teknologi
komputer
mengubah
dan
mengondisikan
realitas
sesungguhnya. Relasi kemenubuhan ditransformasikan ke
dalam ruang layar.
Selain itu paling mutakhir dan visioner adalah The
Internet of Things. The Internet of Things merupakan sebuah
gagasan tentang virtualisasi benda-benda agar dapat dibaca
dan dikomprehensi secara perseptual hermeneutis dalam
ruang layar. Sebuah visi terkoneksinya benda-benda secara
teknologis ke dalam internet. Dengan RFID (Radio-Frequency
Identification), benda-benda ditag agar kemudian dikenali dan
dapat dideteksi gerak aktifitasnya dalam ruang layar. Seperti
disebutkan dalam situsnya, The Internet of Things mempunyai

misi mewujudkan kebebasan berinternet dan untuk lebih
menghidupkan dunia cyber dimana benda-benda dapat
dikomprehensi secara elektronis.
Kualitas
kebertubuhan
ditransformasikan
secara
teknologis seperti Facebook, Twitter, SLOOH, The Telegarden
dan visi The Internet of Things menjelaskan tentang realitas
omnipresence karena dapat diakses tanpa batasan ruang dan
waktu. Akan tetapi realitas kebertubuhan termediasi ini hadir
terbatas dan tersituasikan dalam bentuk hiperteks (teks,

gambar, video, animasi). Keterbatasan ruang layar yang
membentuk realitas secara instrumental ini diistilahkan oleh
Ihde sebagai multistabilitas dalam ruangsiber. Ini menjadi
gagasan
utama
dalam
memahami

pascafenomenologi
ruangsiber.
Multistabilitas dalam ruangsiber dalam konteks ini
merupakan variasi-variasi perseptual fenomenologis dalam
ruang layar (screen space). Variasi-variasi perseptual ini
menurut Ihde tidak hanya tampilan hiperteks yang ambigu,
seperti misal, sebuah gambar yang menghasilkan dua bentuk
berbeda seperti dalam ilmu psikologi, yaitu gambar bebek dan
kelinci. Ia menjelaskan kemungkinan hadirnya persepsi ketiga
berkenaan dengan multistabilitas sebuah gambar (Ihde, 2003:
1). Sebuah gambar dapat dipersepsikan dalam perspektifperspektif berbeda yang kemudian memunculkan konsep
ruang dalam sebuah medium.
Multistabiltas ini mengontruksi pemahaman kita tentang
realitas
virtual.
Menurutnya,
terdapat
tiga
model
multistabilitas dalam kaitannya dengan fenomena realitas

virtual: 1) tampilan ruang layar, 2) non-netralitas internet
dalam bentuk email dan virtual technologies dan 3)
virtual/actual alternation. Email dan teknologi virtual
membawa pada pemikiran tentang non-netralitas ruangsiber,
dalam arti hadir secara interaktif sebagai realitas termediasi.
Teknologi
informasi
memungkinkan
kita
berinteraksi,
membaca realitas, dan mengontrol artefak-artefak terintegrasi
dengan internet. Non-netralitas ini kemudian memungkinkan
terbentuknya virtual/actual alternation, yaitu ketika informasi
dalam ruangsiber mengondisikan realitas sesungguhnya dan
vice versa realitas sesungguhnya mengubah realitas virtual.
Namun yang utama adalah tentang persepsi ruang
teknologis. Multistabilitas ruang ini adalah persepsi visualistis
ruang layar dimana dijelaskan memiliki dua bentuk variasi
fenomenologis: yaitu ruang layar dua dimensi (on-the-screenspace) dan ruang layar tiga dimensi atau (through-screenspace). Ruang layar dua dimensi menjadi medium untuk
menampilkan halaman program aplikasi terdiri dari teks,
simbol, dan angka. Sedangkan ruang layar tiga dimensi
mengonstruksi virtualitas dalam bentuk komputer grafik.

Game, simulasi 3D, dan video merupakan virtualitas throughscreeen-space. Realitas yang dihadirkan memiliki kesamaan
forma dengan realitas sesungguhnya namun terbatas pada
kualitas audio, video, dan gerak/kinestetik (Ihde, 2003: 3-7).
Dengan konsep multistabilitas ini, kita ketahui dimensi
pascafenomenologis ruangsiber berada dalam ruang layar. The
Telegarden,
misalnya,
merepresentasikan
taman
sesungguhnya secara audio-visual-kinestetis dengan mediasi
teknologi virtual, realitas tereduksi namun kita tetap dapat
mengontrolnya secara langsung. Multistabilitas dalam hal ini
adalah ketika perubahan dalam dunia virtual yang terbatas
mengondisikan dunia aktual. Dalam The Internet of Things,
perubahan virtual/actual menjadi lebih hidup karena dengan
RFID gerak benda-benda dapat diidentifikasi secara otomatis
melalui sistem informasi elektronis.
Multistabilitas dalam pascafenomenologi ruangsiber
adalah ketika kita melihat variasi-variasi tampilan hiperteks
dan efek-efek yang dihasilkannya. Ini yang membedakan dunia
cyber dengan dunia pikiran Cartesian dimana dikatakan
sebagai entitas terpisah dengan dunia tubuh. Kualitas
hiperteks mengontruksi dunia eksternal pikiran alih-alih dunia
internal pikiran Cartesian. Filsafat Ihde tentang komputer
sebagai mesin epistemologi (Ihde, 2001: 81-83) dapat kita
bandingkan dengan gagasan ruangsiber sebagai ruang pikiran
eksternal ini, teknologi komputer mempunyai kapasitas untuk
mencipta realitas, menyelesaikan persoalan, dan mengontruksi
mimpi-mimpi seperti halnya dunia internal pikiran Cartesian.
Dunia tubuh termediasi dan terdomestikasi melalui
internet berciri multistabil. Dengan internet, dunia tubuh
(world of bodies) mengada secara reduktif dan meluas secara
global. Namun demikian, kita ketahui memahami realitas ini
mempunyai problemnya tersendiri. Aktivitas hermeneutis
menjadi syarat untuk memahami realitas ini. Karena tereduksi
dalam bentuk hiperteks dan selalu membutuhkan penafsiran
kita
terkadang
melihatnya
tidak
sebagai
realitas
pascafenomenologis, konsekuensinya ruangsiber tidak dilihat
secara otentik bahkan sering kali diragukan.
Hubert L. Dreyfus dalam On the Internet memberi
komentar tentang keotentikan ruangsiber ini. Ia menyatakan

persoalan telepresence dengan merujuk pada filsafat
Descartes tentang moda memahami realitas melalui mediasi
tubuh yang kemudian dikomprehensi oleh pikiran (Dreyfus,
2001: 49-71). Descartes mempersoalkan realitas dipersepsikan
oleh tubuh sebagai medium ini. Tubuh dalam filsafat Descartes
sama halnya dengan teknologi virtual. Bedanya tubuh memberi
informasi pada entitas tak tercerap seperti jiwa, sedangkan
teknologi virtual memberi informasi pada tubuh sebagai yang
selalu berada dalam perspektif. Filsafat Dreyfus adalah
mengenai kritik fenomenologis ruangsiber, terutama mengenai
telepresence. Tubuh mewujud dalam bentuk hiperteks video
dikatakan berjarak dan tereduksi secara fenomenologis.
Konsekuensinya, ruangsiber menjadi tidak otentik karena
manipulasi lebih mempunyai potensi terjadi dibandingkan
dengan realitas sesungguhnya.
Terlepas dari problem keotentikan realitas telepresence
seperti diajukan oleh Dreyfus, sebenarnya ia adalah sama
halnya dengan membaca dan menafsir realitas itu sendiri.
Analoginya, seperti tubuh dalam nalar Cartesian memberi
informasi ke dalam ruang pikiran. Pikiran dalam hal ini tubuh
dalam relasinya dengan instrumen, ia memberi informasi baik
itu sebagai ekstensi pengalaman kebertubuhan atau pun lewat
pembacaan. Realitas telepresence memang tereduksi dalam
ruang layar, tapi dengan mediasi teknologi virtual realitas ini
menjadi nyata seturut dengan proses amplifikasi yang
melampaui ruang dan waktu kebertubuhan.
Realitas Visual Internet
Multistabilitas dalam ruangsiber seperti telah dijelaskan
berada dalam moda visualitas ruang layar. Visualitas menjadi
ciri utama yang kemudian mengonstruksi makna ruang virtual.
Slooh SpaceCamera, The Telegarden, The Internet of Things,
dan teknologi virtual lainnya hadir dalam batas-batas
visualitas ruang layar. Meski kualitas hiperteks lainnya seperti
kualitas audio telah terintegrasi dengan internet, realitas
visual tetap menjadi keutamaan.
Unsur visual dalam ruang layar adalah variasi
fenomenologis yang merepresentasikan dunia berjarak.
Sebagai realitas termediasi, dunia siber hadir secara terbatas

dan diperlukan tafsir visual. Meski simulasi komputer telah
memungkinan kita untuk memahami ruang ini sebagai yang
memiliki kesamaan dengan realitas aktual, misalnya ketika
tubuh manusia diintegrasikan ke dalam simulasi komputer, ia
tetap terbatas pada kualitas gerak, audio dan visual.
Dengan konsep multistabilitas, ruang layar menjadi
infrastruktur terbentuknya realitas virtual. Namun yang utama
seiring dengan perkembangan komputer grafik ketika
diketahui potensi terciptanya dunia beragam dalam ruang
layar 3D (through-screen-space). Persepsi yang berkembang
seiring dengan konstruksi grafik komputer dalam bentuk
animasi dan video menjelaskan keberadaan ruang virtual.
Meski dunia ini dapat meluas secara global melampaui
kapasitas persepsi kebertubuhan, ia tetap berada dalam moda
visualitas ruang layar.
Multistabilitas ruang layar 3D bila kita telaah berawal
dari perkembangan ilmu desain dan lukisan. Multistabilitas
sebuah gambar mewujud dalam sebuah medium yang
kemudian mencipta konsep ruang. Ihde membahas secara
lebih rinci tentang gambar dan ragam bentuk persepsi dalam
bukunya Consequences of Phenomenology (1986). Ia
menjelaskan fenomena gambar-gambar yang secara “kultural”
menampilkan perspektif gambar dan persepsi beragam.
Dalam komputer grafik, multistabilitas menjadi lebih
dinamis hadir secara audio-visual-kinestetis. Ia mencipta
ruang yang kemudian memunculkan gagasan virtualitas.
Visualitas menjadi keutamaan dalam mengonstruksi realitas
ruangsiber. Namun perlu digarisbawahi visualitas ruang layar
dalam hal ini realitas terkoneksi dan terdomestikasi yang
merepresentasikan dunia global. Visualisme ruangsiber
bukanlah realitas yang terbatas secara konseptual. Maknanya
kemudian menjadi lebih nyata ketika dimengerti bahwa ia
terbentuk
secara
perseptual-hermeneutis
berdasarkan
transformasi pengalaman manusia dengan mediasi teknologis.
Ruangsiber dalam Ilmu Antropologi
Perspektif pascafenomenologi ruangsiber, seperti telah
dijelaskan, dimensi filosofis ruangsiber berciri multistabil,
tubuh berada dalam relasi dengan dunia virtual dalam batas-

batas ruang layar. Dibedakan dengan antropologi yang
melihatnya mencakup dimensi empiris artefak-artefak
teknologi. Kajian ruangsiber menjadi keutamaan melampaui
pemahaman tentang multistabilitas ruang layar. Ruangsiber
tidak hanya situs-situs yang mengondisikan ruang virtual, tapi
lebih pada dinamika fenomena kemajuan teknologi baru,
terutama
teknologi
informasi
dan
komunikasi,
dan
pengaruhnya terhadap kehidupan sosial kultural manusia.
Arturo Escobar adalah antropolog yang membahas
fenomena ruangsiber sebagai ruang kebudayaan. Ia membuat
istilah cyberculture untuk menjelaskan manifestasi bentuk
kehidupan
dipengaruhi
oleh
teknologi-teknologi
baru.
Menurutnya, ada dua wilayah cyberculture: yaitu wilayah
artificial intelligence (berfokus pada teknologi informasi dan
komunikasi) dan wilayah bioteknologi. Kedua wilayah
cyberculture tersebut menurut Escobar membentuk cakrawala
baru kehidupan sosial manusia: technosociality dimana artefak
mengondisikan dunia sosial dan biosociality yaitu ketika
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu merekayasa
alam dan termasuk tubuh manusia (Escobar, 1994: 214).
Ilmu pengetahuan dan teknologi, demikian Escobar, telah
mencipta dunia sedemikian rupa sebagai cyberculture dimana
kategori nature dan culture, organisme dan mesin, menjadi tak
terdefinisikan. Menurut Escobar, “One of the most fruitful
insight is that technoscience is motivating a bluring an
implosion of categories at various levels, particularly the
modern categories that have defined the natural, the organic,
the technical, and the textual” (Escobar, 1994: 217). Namun
yang menjadi keutamaan berkenaan dengan cyberculture
bagaimana nature dan culture ini kemudian dipahami berada
dalam dinamika ekonomi politis.
Definisi Escobar menyatakan tentang ciri empiris
cyberculture. Ia tidak semata dunia virtual ruang layar (screen
space) atau dimensi pascafenomenologis ruangsiber. Meski
demikian, Escobar tetap memosisikan interaksi sosial dengan
mediasi teknologi informasi dan komunikasi sebagai bagian
dari wilayah kajian etnografi cyberculture (Escobar, 1994:
219). Ia menyatakan bagaimana kekhususan (specificity)

format komunikasi ini yang kemudian memunculkan istilah
virtualitas telah membentuk gagasan tentang cyberculture.
Seiring
dengan
munculnya
fenomena
kehidupan
ruangsiber, seperti munculnya banyak program jejaring sosial,
saya kira penting mengetengahkan kajian virtualitas budaya.
Karena virtualitas ini pada dasarnya dapat kita kategorikan
sebagai
realitas
pascafenomenologis.
Ketersambungan
(konektivitas) dengan dunia internet berarti ketersambungan
dengan dunia hiperteks yang merepresentasikan tubuh-tubuh
secara global. Bila diandaikan sebagai bentuk kehidupan
(lifeform), ruangsiber tentu dapat dikatakan sebagai ruang
kebudayaan dimana ia tereduksi dan teramplifikasi dalam
bentuk hiperteks (animasi, gambar, video, teks) yang
terkoneksi. Imaji kebudayaan mewujud secara virtual dalam
ruang layar.
Don Ihde mengistilahkan virtualitas budaya terkonstruksi
teknologi imaji dengan pluriculture. Kebudayaan pada suatu
masyarakat dihadirkan (diproduksi dan reproduksi) secara
virtual sehingga tercipta imaji budaya global (Ihde, 1990: 164).
Dengan
gagasan
pluriculture,
budaya-budaya
dunia
terfragmentasi dalam sebuah medium dan dalam arti tertentu
melebur menjadi satu budaya populer. Pluriculture membentuk
persepsi tentang virtualitas kebudayaan. Escobar sebenarnya
sudah menyatakan bagaimana virtualitas cyberculture telah
mencipta imajinasi dan praktik budaya populer (Escobar, 1994:
218). Namun ia tidak mengelaborasi lebih jauh fenomena
virtualitas budaya dalam arti imajinasi dan praktik budaya ini,
menurutnya budaya populer cyberculture lebih pada budaya
material dikondisikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pluriculture dapat kita bandingkan dengan antropologi
visual yang dijelaskan oleh Escobar sebagai keutamaan seiring
dengan
perkembangan
teknologi.
Antropologi
visual
memahami imaji dan secara khusus menggunakan teknologi
imaji, seperti halnya pluriculture, untuk membahasakan dan
menafsir fenomena budaya. Namun antropologi visual lebih
bersifat epistemologis dalam arti teknologi imaji digunakan
untuk membahasakan realitas budaya. Imaji diproduksi dan
ditafsirkan sebagai sebuah teks sehingga menghasilkan
pemahaman tentang kebudayaan.

Antropolog yang membahas ruangsiber selain Escobar
adalah David Hakken. Ia menjelaskan secara lebih luas
antropologi ruangsiber meliputi fenomena revolusi komputer
(komputerisasi), entitas-entitas pembawa kebudayaan yang ia
istilahkan cyborg dalam ruangsiber, dan forma relasi-relasi
sosial dikondisikan oleh teknologi informasi terbaru (Advanced
Information
Technology).
Eksplorasi
Hakken
meliputi
fenomena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta
pengaruhnya terhadap perubahan sosial.
Ia membuat konsep cyborg dalam ruangsiber sebagai
konstruksi antropologis relasi manusia dan internet (Hakken,
1999: 5). Dalam ruangsiber, manusia dikonstitusikan sebagai
entitas-entitas relasional pembawa kebudayaan yang ia
definisikan dengan cyborgs@cyberspace. Namun Hakken tidak
membatasinya hanya dalam ruangsiber. Cyborg adalah entitas
pembawa kebudayaan mewujud dalam relasinya dengan
teknologi dan meluas melampaui kapasitas dan kekhususan
tubuh manusia. Sejak awal sejarah manusia menggunakan
artefak kebudayaan sampai ia mewujud sebagai entitas dalam
ruangsiber, demikian Hakken, manusia sudah berciri cyborgic
(Hakken, 1999: 71-72).
Kondisi cyborgic seperti dikemukakan oleh Hakken
menyatakan manusia selalu berada dalam relasinya dengan
kebudayaan, sehingga menggambarkan kondisi hibrida
manusia dan artefak-artefak kebudayaan. Hakken tampaknya
melupakan tubuh secara potensial dan persepsional bersifat
alamiah. Kealamiahan tubuh, terutama dalam kapasitasnya
mempersepsikan
realitas,
membawa
pada
gagasan
bahwasannya tidak selalu berada dalam relasi dengan
kebudayaan.
Dalam filsafat Ihde, dijelaskan tubuh selain bersifat
kultural adalah juga alamiah. Ia mengistilahkannya ke dalam
dua bentuk tubuh, yaitu body one dan body two. Dari dua
bentuk tubuh ini kemudian dimengerti tubuh-tubuh dalam
relasinya dengan teknologi. Body one menurutnya tubuh
alamiah atau tubuh sebagai organisme yang memiliki potensi
mempersepsikan realitas. Sedangkan body two, tubuh dalam
dimensi kulturalnya terbentuk berdasarkan pengalaman
kebudayaan (Ihde, 2001: 17). Adapun tubuh-tubuh dalam

teknologi dimaknai sebagai tubuh relasional seperti
antropologi Hakken. Dapat kita nyatakan, secara definitif
tubuh dalam relasinya dengan artefak bersifat pragmatis,
selain tubuh sebagai entitas cyborgic, keberadaan tubuh
alamiah dan tubuh kultural penting untuk diketahui dalam
memahami tubuh manusia dalam relasinya dengan teknologi.
Selain itu, adalah menarik bila kita telaah secara filosofis
potensi cyborgic sebagai kualitas pascafenomenologis. Cyborg
dalam
ruangsiber
dapat
diproposisikan
bersifat
pascafenomenologis karena tubuh meluas secara global
melalui mediasi internet dan mewujud sebagai hiperteks.
Tubuh dieksternalisasikan dalam bentuk teks, gambar, dan
video. Dimensi teknologis pada tubuh manusia ketika
menggunakan artefak menyatakan ia tidak semata sebuah
organisme. Kendati demikian, ia tidak kemudian dijelaskan
semata-mata sebagai ekstensi kualitas inderawi yang mewujud
sebagai dunia termediasi dan terdomestikasi. Ketika manusia
menggunakan instrumen tentunya potensi tubuhnya meluas
tidak hanya secara perseptual, tapi juga dimensi praktisnya
meliputi kekuatan, kecepatan dan kualitas lainnya yang
melampaui kapasitas tubuh manusia.
Komunitas Virtual
Dalam etnografi ruang teknologis Escobar dan Hakken
terdapat pembahasan tentang komunitas virtual. Komunitas
virtual menjadi bagian penting konsep ruangsiber dalam
antropologi. Escobar mengategorikan komunitas virtual
sebagai bagian dari kajian etnografi cyberculture. Escobar
tidak membatasi kajian komunitas hanya dalam virtualitas
ruang terkoneksi, ia menyatakan pentingnya menelaah
komunitas terbentuk dalam realitas aktual dikondisikan oleh
teknologi informasi dan komunikasi (Escobar, 1994: 218).
Hakken lebih jauh membahas komunitas-komunitas terbentuk
dalam dunia virtual dengan mengacu pada dunia aktual yang
merupakan
bagian
dari
wilayah
kajian
etnografi
cyberculturenya Escobar.
Hakken menyatakan keberadaan komunitas dalam
ruangsiber “accelerates the decoupling of space from place”
(Hakken, 1999: 95). Konsep place dalam arti aktualitas

komunitas dalam wilayah geografis diasumsikan menjadi
kurang bermakna seiring dengan munculnya konsep space
dalam ruang virtual. Menurut Hakken, karakter komunitas
pada dasarnya berada dalam virtualitas space atau berada
dalam tataran persepsi. Dengan demikian, karakter komunitas,
bahkan sebelum konsep ruang virtual terbentuk, tidak selalu
mencirikan keberadaan place atau wilayah dalam realitas
aktual.
Namun demikian, yang utama dalam pemikirannnya
bagaimana konsep komunitas virtual terbentuk dan terhubung
ke realitas aktual melalui mediasi teknologi informasi terbaru.
Hakken lebih jauh membahas komunitas-komunitas terbentuk
dalam dunia virtual yang merupakan bagian dari wilayah
etnografi cyberculturenya Escobar. Komunitas virtual adalah
manifestasi dari relasi-relasi sosial yang ia kategorikan ke
dalam tiga bentuk relasi-relasi: yang utama meso-social
relations. Pada level ini, komunitas virtual terbentuk
berdasarkan realitas aktual meliputi komunitas-komunitas,
wilayah/daerah (geografis), dan organisasi. Kemudian level
micro-social relations sebagai bentuk komunikasi ruangsiber
pada level individual atau pertemanan dan kemudian macrosocial relations yang berlevel nasional seperti negara dan
global (Hakken, 1999: 93-131). Hakken membahas komunitas
virtual dalam relasinya dengan dinamika empiris/aktual relasirelasi sosial.
Antropolog lainnya yang membahas komunitas virtual
adalah Daniel Miller dalam artikelnya An Extreme Reading of
Facebook (2010). Dalam salah satu proposisinya mengenai
Facebook ia menyatakan bagaimana pesatnya perkembangan
media sosial terutama Facebook telah merubah secara radikal
premis dan arah ilmu sosial. Dalam tulisan tersebut, Miller
menjelaskan fenomena ruang sosial internet yang selalu
diasumsikan berakhir pada sikap individualisme. Namun
kenyataannya, demikian penelitian Miller, fenomena Facebook
sebagai bentuk komunikasi tersituasikan membuat individuindividu kembali pada kesadaran komunitas.
Miller melakukan penelitian tentang Facebook di sebuah
desa di Trinidad. Ia membuat kesimpulan bahwa dalam sebuah
komunitas dimana ikatan kekeluargaannya masih kuat,

komunitas virtual Facebook menjadi semacam alternatif dari
relasi-relasi
sosial
dalam
dunia
aktual.
Sehingga
konsekuensinya, pemikiran tentang individualisme dalam
realitas aktual dan kesadaran komunitas dalam realitas virtual
dapat dikatakan tetap relevan.
Keberadaan komunitas virtual menjelaskan teknologi
informasi dan komunikasi yang memediasikan tubuh-tubuh
dalam ruangsiber. Etnografi komunitas virtual seperti
dijelaskan Hakken, misalnya, merujuk pada keberadaan
komunitas dalam realitas aktual seperti organisasi-organisasi
dan wilayah-wilayah. Atau Miller membahas dinamika relasi
komunitas online dan offline yang kemudian mencipta
pengalaman beragam tentang dunia siber.
Namun bila kita telaah secara filosofis, komunitas virtual
berada dalam aras multistabilitas ruangsiber. Terutama ketika
kita temui banyaknya komunitas-komunitas virtual terbentuk
seiring dengan perkembangan media sosial. Komunitas virtual
menjadi nyata hanya dalam ruang layar. Imam Ardhianto,
peniliti di Centre for Anthropology Studies UI, melakukan
penilitian tentang komunitas hacker dan menemukan bahwa
keberadaan
komunitas
online
memang
tidak
selalu
berkorespondensi dengan realitas offline. Komunitas hacker,
menurutnya saat ini banyak telah beralih ke media sosial
seperti Facebook dan Twitter, menjadi nyata hanya dalam
virtualitas ruang layar. Meski pengaruh komunitas hacker
terhadap realitas aktual tetap tak bisa kita diabaikan,
keberadaan komunitas hacker sebagai tubuh-tubuh terkoneksi
dalam dunia virtual menurutnya tak bisa diketahui dalam
realitas aktual.
Keberadaan komunitas-komunitas di media sosial terbaru
seperti kita ketahui lebih terbentuk melalui diskursus naratif
berawal dari ruangsiber. Dalam Facebook dan Twitter kita
temukan banyak grup virtual tercipta berdasar pada narasi
tertentu terutama narasi-narasi bertema ilmu pengetahuan.
Komunitas-komunitas ilmu pengetahuan di FB di antaranya
adalah Philosophy tercatat kurang lebih berjumlah 35.000
anggota, Biology (zoology and botany) 11.950 dan Cosmology
3.600. Seperti kita ketahui komunitas-komunitas ini menjadi
nyata dalam batas-batas virtualitas.

Perkembangan komputer dan program media sosial, yang
telah mengondisikan ruang sosial virtual, tentunya menjadi
pertimbangan
tersendiri
mengenai
tren
terbentuknya
komunitas berawal dari ruang sosial virtual. Dapat
disimpulkan kemudian, kehidupan dalam dunia siber
mendapat
penjelasannya
mengacu
pada
keberadaan
komunitas-komunitas virtual. Ia tidak terbatas hanya dunia
tubuh dalam ruang layar termediasi teknologi virtual tapi juga
narasi-narasi terbentuk berdasarkan moda interaksi sosial.
Epilog
Demikian uraian realitas visual ruang siber dalam perspektif
pascafenomenologi dan antropologi. Realitas ditelaah dalam
konteks fenomenologi instrumentasi dan multistabilitas
ruangsiber. Realitas termediasi ini kemudian memunculkan
istilah pascafenomenologi ruangsiber. Sedangkan dalam
antropologi, konsep ruangsiber meliputi pembahasan relasi
manusia dan teknologi dalam lingkup budaya. Ruangsiber
dipahami pada tataran materialistik budaya dan pengaruhnya
terhadap nilai-nilai sosial dan ekonomi politis yang menjadi
bagian integral antropologi ruangsiber. Konsep ini dibahas
melampaui pemahaman kita tentang multistabilitas ruang
layar. Kendati demikian, pembahasan dalam antropologi tidak
menempatkan tubuh dalam konteks praksis dan persepsional
sebagai keutamaan yang berpengaruh terhadap dinamika
realitas.
Dalam perspektif pascafenomenologis, tubuh dalam
praksis relevan dipahami posisinya untuk menelaah ruang
sosial dan kultural. Relasi manusia dan teknologi informasi
mentransformasikan pengalaman manusia tentang dunianya
dan mencipta realitas terkoneksi dan terdomestikasi. Refleksi
mengenai internet sebagai perangkat hermeneutis dalam
kaitannya dengan dinamika perubahan dunia aktual dan
virtual saya pikir relevan untuk diketahui. Dimensi
pascafenomenologis ruangsiber adalah sama nyatanya dengan
dimensi fenomenologis realitas sesungguhnya.