Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Menghada

Seminar Antarabangsa Bersama Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universitas Indonesia
(SEBUMI 3), 16-18 Desembe 2010 di Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia

Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Menghadapi Perubahan Sosial
Dr. R. Cecep Eka Permana
(Universitas Indonesia)

Abstrak

Masyarakat Baduy saat ini masih hidup sederhana di daerah Pegunungan Kendeng, Banten Selatan.
Masyarakat Baduy juga pada umumnya masih terikat pada pikukuh (aturan adat). Pikukuh tersebut
antara lain menyatakan lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan (panjang
tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Implikasi dari pikukuh itu adalah masyarakat
Baduy menerima apa adanya atau tidak mengubah ketentuan yang sudah ada dari karuhun
(luluhur/nenek moyang), termasuk didalamnya adalah tidak menerima barang moderen atau buatan
pabrik. Insan Baduy yang melanggar pikukuh akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan
adat tertinggi).
Hingga saat ini, pikukuh relatif bertahan pada masyarakat Baduy Dalam (tangtu), namun
kecenderungan melonggar pada masyarakat Baduy Luar (panamping). Makalah ini akan mengkaji
pergulatan bathin masyarakat Baduy antara menjaga kemurnian pikukuh dan mengikuti perkembangan
zaman. Kajian tersebut akan didasari pada kearifan atau pengetahuan lokal Baduy dalam menghadapi

perubahan sosial masyarakat pada era modernisasi dan globalisasi sekarang ini.
Kata Kunci: Kearifan Lokal, Masyarakat Baduy, Perubahan Sosial

1. Pembuka
Masyarakat Baduy merupakan salah satu sukubangsa di Indonesia yang masih menjalani
kehidupan secara bersahaja.

Kesahajaan masyaraat ini antara lain ditunjukkan dengan

rumah-rumah yang bentuknya hampir sama dari bahan kayu, bambu, rumbia dan ijuk;
pakaian adat dengan bahan sederhana berwarna putih dan hitam; hidup dari matapencaharian
perladangan berpindah; dan menjalankan tata kehidupan berdasarkan kepercayaan Sunda
Wiwitan.

Masyarakat Baduy terletak di wilayah Jawa bagian Barat, pada daerah yang merupakan
bagian dari pegunungan Kendeng (900 meter dari permukaan laut). Secara geografis,
lokasi masyarakat Baduy ini terletak pada 6o 27' 27" - 6°30' Lintang Utara (LU) dan 108o 3'
9" - 106o 4' 55" Bujur Timur (BT) (Iskandar, 1992: 21). Secara administratif, wilayah

1


Baduy sekarang termasuk dalam Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Propinsi Banten, dengan luas 5.101,85 hektar. Sebagai suatu desa, Baduy atau
Kanekes terdiri atas beberapa kampung yang terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
Baduy Tangtu (Baduy Dalam) dan Baduy Panamping (Baduy Luar).

Hingga sekarang

masyarakat Baduy masih menyimpan berbagai kearifan lokal sebagai senjata dan sekaligus
benteng menghadapi perubahan sosial-budaya.

2. Gambaran Ringkas Masyarakat Baduy
Sebutan Orang Baduy atau Urang Baduy awalnya bukanlah berasal dari mereka sendiri.
Istilah Baduy diberikan oleh orang-orang di luar wilayah Baduy, dan kemudian digunakan
oleh laporan-laporan etnografi pertama susunan orang-orang Belanda. Dalam laporan orang
Belanda tersebut, masyarakat itu disebut dengan badoe'i, badoei, dan badoewi (Hoevell
1845, Jacob dan Meijer 1891, Pleyte 1909), sehingga sebutan "Baduy" lebih dikenal.
Bahkan, pada tahun 1980, ketika Kartu Tanda Penduduk (KTP) diperkenalkan di daerah
itu hampir semua penduduk tidak menolak sebutan Orang Baduy. Namun sesungguhnya,
sebutan diri yang biasa mereka gunakan adalah Urang Kanekes. Mereka biasa pula

dengan menyebut asal dan wilayah kampung mereka, seperti Urang Cibeo (nama salah
satu kampung), Urang Tangtu, dan Urang Panamping (Garna, 1993a: 120).

Istilah Baduy ini juga muncul dari nama sebuah bukit bernama Gunung Baduy, dan di
dekatnya mengalir sungai kecil bernama Cibaduy. Menurut beberapa pendapat, sebenarnya
hanya penduduk di daerah inilah yang disebut Urang Baduy. Karena

daerah Baduy

merupakan pintu gerbang masuk ke daerah ini, dan penduduk daerah ini sering bepergian
ke luar dan bergaul dengan penduduk di sekitarnya, maka orang luar mengenal sebutan
Urang Baduy untuk masyarakat yang lebih luas lagi (Danasasmita dan Djatisunda, 1986:1).
Secara umum, masyarakat Baduy terbagi menjadi tiga lapisan masyarakat, yaitu tangtu,
panamping, dan dangka. Tangtu dan panamping berada pada wilayah desa Kanekes,
sedangkan dangka terdapat di luar desa Kanekes. Bila dilihat berdasarkan kesucian dan
ketaatannya kepada adat, tangtu lebih tinggi dibanding panamping, dan panamping lebih
tinggi dibanding dangka. Namun, pembagian yang sering digunakan adalah tangtu merujuk
pada

masyarakat


Baduy Dalam, sedangkan panamping

dan

dangka

merujuk pada

masyarakat Baduy Luar.

2

Pada masyarakat Baduy ini dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan
sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, masyarakat Baduy termasuk dalam wilayah
Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Desa Kanekes
ini dipimpin oleh kepala desa yang disebut Jaro Pamarentah (dahulu disebut Jaro
Warega, lalu pada jaman kolonial disebut Jaro Gubernemen). Seperti kepala desa atau
lurah di desa lain, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk
kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut puun. Uniknya bahwa bila

kepala desa lainnya dipilih oleh warga, tetapi untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru
kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan sebagai kepala desa.
Lokasi Masyarakat Baduy (peta kiri)
Salah satu kampung Baduy (foto kanan)

Secara tradisional pemerintahan pada masyarakat Baduy bercorak kesukuan yang disebut
kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini ada tiga
orang, masing-masing puun Cikeusik, puun Cibeo, dan puun Cikartawana. Dalam
menjalankan tugasnya Puun dibantu oleh sejumlah “pejabat” kapuunan, seperti Girang
Seurat (Pembantu utama puun atau pemangku adat); Baresan (petugas keamanan kampung);
Jaro (pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan); Palawari (petugas upacara adat);
Tangkesan (dukun kepala dan sebagai 'atasan' dari semua dukun).

Mata pencaharian masyarakat Baduy berfokus pada berladang dengan menanam padi. Padi
merupakan hal yang tidak terpisahkan dari dunia mereka yang dilambangkan sebagai Nyi
Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi. Padi harus ditanam menurut ketentuan-ketentuan
karuhun (leluhur). Padi hanya boleh ditanam di lahan ladang kering tanpa pengairan yang
disebut huma untuk keperluan upacara adat dan sehari-hari. Bahkan sebagian besar upacara

3


keagamaan orang Baduy tidak terlepas dari hubungannya dengan padi dan perladangan ini.
Sistem kalender atau penanggalan orang Baduy pun berkaitan sangat erat dengan tata urutan
kegiatan perladangan mereka.
3. Pikukuh Baduy
Pada dasarnya kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang.
Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka Domas atau
Sasaka Pusaka Buana.

Obyek pemujaan ini pada dasarnya merupakan sisa kompleks

peninggalan megalitik berupa bangunan berundak atau berteras-teras dengan sejumlah
menhir dan arca di atasnya. Inilah yang dianggap oleh orang Baduy sebagai tempat
berkumpulnya para karuhun (Permana, 2006).

Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan.
Menurut

ajaran agama ini, kekuasaan tertinggi berada


pada

Nu

Ngersakeun (Yang

Menghendaki), Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa), atau Batara Tunggal (Yang
Mahaesa). Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada
pikukuh (ketentuan adat) agar supaya orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan
kehidupan Baduy dan luar Baduy. Menurut keyakinan mereka, masyarakat Baduy berasal
dari hierarki tua, sedangkan di luar Baduy merupakan keturunan yang lebih muda.

Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah seperti
tertuang dalam ungkapan sebagai berikut:
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang diruksak
larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pondok teu meunang disambungan

nu lain kudu dilainkeun
nu ulah kudu diulahkeun
nu enya kudu dienyakeun
Artinya:
gunung tak boleh dihancur
lembah tak boleh dirusak
larangan tak boleh dilanggar
pantangan tak boleh diubah
panjang tak boleh dipotong
pendek tak boleh disambung
4

yang bukan harus ditiadakan
yang lain harus dipandang lain
yang benar harus dibenarkan
(Garna, 1988:53-54, 1993a:139)
Dengan demikian pikukuh mengatur tentang menjaga dan melestarikan lingkungan alam,
adat, dan perilaku pantas manusia.

Ketentuan yang mengatur tentang menjaga dan


melestarikan lingkungan alam ditunjukkan dengan ungkapan ”gunung teu meunang dilebu,
lebak teu meunang diruksak”. Ketentuan yang mengatur tentang menjaga dan melestarikan
adat ditunjukkan dengan ungkapan ”larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang
dirobah, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung”. Sementara itu,
ungkapan lainnya berkaitan dengan menjaga dan melestarikan perilaku pantas manusia.

4. Perubahan Sosial-Budaya Masyarakat Baduy
a. Perubahan Sosial-Budaya dalam Kepercayaan
Gambaran perubahan sosial-budaya masyarakat Baduy berkaitan dengan kepercayaan dapat
dilihat dari kisah asal-usulnya. Dikisahkan bahwa Batara Tunggal atau Nu Ngersakeun
menciptakan tujuh batara, masing-masing Batara Cikal, Batara Patanjala, Batara Wisawara,
Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa. Secara
umum terlihat bahwa para batara dalam pantheon Baduy ini merupakan para dewa Hindu.
Hal ini jelas diketahui dari penggunaan istilah 'batara' dan nama-nama batara tersebut
seperti Batara Tunggal, Wisawara (mungkin sama dengan Iswara atau Syiwa), Wisnu,
Brahma, dan Mahadewa (nama lain untuk Syiwa). Agaknya hanya nama Cikal yang
mengandung unsur 'asli' dari Baduy. Sementara nama Niskala dan Patanjala walaupun
mengandung unsur Hindu, tetapi sering dijumpai dalam tokoh-tokoh Sunda dan bukan
termasuk dalam pantheon Hindu.


Menurut Danasasmita

dan Djatisunda (1986) tokoh Patanjala dalam mitologi Sunda

Kuno dianggap sebagai 'Wisnu Sunda'. Menurut mitologi Hindu, Patanjala adalah
seorang resi murid Syiwa yang berjumlah lima orang. Dalam sejarah Jawa Barat (abad ke13) ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan Patanjala ini, yaitu pendiri kerajaan
Galuh bernama Wretikandayun, dan seorang lagi adalah Darmasiksa. Tokoh Patanjala ini
dalam kepercayaan Sunda Kuno pun sangat kuat dan bahkan menggeser kedudukan
Brahma, Syiwa, dan Wisnu, terutama pada masyarakat peladang. Hal ini disebabkan kata

5

'patanjala' dapat berarti 'air hujan' (pata=jatuh, jala=air) yang sangat dibutuhkan dalam
pertanian. Dalam cerita yang tergolong sakral yaitu lakon Lutung Kasarung versi pantun
Baduy, tokoh Guru Minda disebut dengan Guru Minda Patanjala. Isi lakon ini berkaitan
dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Saya menduga bahwa
pengangkatan dan penggunaan nama Patanjala dalam pantheon Baduy ini karena besarnya
pengaruh dan perannya dalam sistem pertanian (ladang)


yang merupakan fokus utama

kehidupan masyarakat Baduy.

Pengangkatan dan penggunaan nama-nama Hindu dalam pantheon Baduy, saya kira
sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Seperti diketahui dalam sejarah

nusantara

pada

umumnya dan Jawa Barat khususnya termasuk daerah yang sejak awal didatangi dan
dipengaruhi oleh unsur Hindu; mulai dari Tarumanagara (abad 4-5 M) hingga Pajajaran
(abad 15-16). Rentang waktu yang sangat lama tersebut (kira-kira 1000 tahun) unsurunsur hinduisme tersebut sangat mungkin berpengaruh dan merasuk dalam kehidupan.
Pusat-pusat pemujaan asli seperti kompleks megalitik 'ditundukkan' dan dihindukan
dengan bukti prasasti. Pusat-pusat pemujaan tersebut misalnya di kompleks megalitik
Ciamis dengan prasasti kawalinya, di kompleks megalitik Ciampea (Bogor) dengan
prasasti Ciareuteum, Kebon Kopi dan Muara Cianteunya. Namun hal seperti itu rupanya
tidak terjadi di wilayah Baduy dan sekitarnya yang juga memiliki kompleks megalitik
seperti Arca Domas, Kosala, Pangguyangan, Tugu Gede, Salak Datar, dan Lebak Sibedug.
Di daerah

Baduy ini agaknya unsur-unsur hindu yang masuk dapat disaring, diseleksi

dan disesuaikan dengan inti kepercayaan dan kebutuhan setempat. Di samping itu, faktor
lokasi yang terpencil dan medan yang sulit juga mendukung sulitnya atau kurangnya
unsur-unsur asing yang masuk.

Ketinggian derajat unsur-unsur asli setempat misalnya ditunjukkan dengan meletakkan
Batara Cikal di atas batara lain yang mengandung unsur hindu. Cikal dalam bahasa
setempat dapat berarti sulung dan dipandang sebagai leluhur orang Baduy. Hal lain yang
menunjukkan sangat sedikitnya rembesan pengaruh Hindu ke dalam masyarakat Baduy
adalah pada konsep pimpinan tertinggi dalam masyarakat. Menurut Hindu berlaku konsep
dewa raja, dimana raja sebagai pemimpin tertinggi dianggap sebagai penjelaan dewa di dunia,
sehingga rakyat harus berbakti, tunduk dan mengabdi padanya. Sebaliknya bagi masyarakat
Baduy, pemimpin tertinggi yang disebut puun tidak dianggap sebagai penjelmaan dewa,
walaupun kewenangannya mirip dengan seorang raja.
6

Ketika masuknya agama Islam sejak abad 16 M yang berpusat di Banten, masyarakat
Baduy pun merasakan rembesannya sehingga pantheonnya memasukkan unsur-unsur
Islam. Seperti Batara Cikal (tertua) disamakan dengan Nabi Adam sebagai penurun orang
Baduy, dan Batara Tujuh (termuda) disamakan dengan Nabi Muhammad sebagai penurun
orang di luar Baduy. Selain itu, dalam tradisi lisannya dikatakan:

"Dahulu, umat Nabi Adam (Baduy) melakukan puasa selam sebulan, dan umat Nabi
Muhammad (luar Baduy) selama tiga bulan. Tetapi suatu ketika Nabi Muhammad
minta tukaran waktu puasa dengan kakaknya (Nabi Adam), karena umat Nabi Adam lebih
kuat dan lebih tabah. Nabi Adam memenuhi permintaan tersebut. Maka mulai saat itu,
umat Nabi Muhammad hanya berpuasa selama sebulan (bulan Ramadhan), dan umat Nabi
Adam berpuasa selama tiga bulan (bulan Kawalu)"
Adanya unsur Hindu dan Islam juga diperoleh gambaran dari laporan C.L. Blume ketika
melakukan ekspedisi botani ke daerah tersebut pada tahun 1822. Ia menulis:

"...dipangkuan sebuah rangkaian pegunungan, yang menjulang tinggi di Kerajaan Bantam
di Jawa Barat... kami mendapatkan beberapa kampung pribumi, yang dengan sengaja
bersembunyi dari penglihatan orang-orang luar... Di sebelah barat dan di selatan gunung
ini... yang tidak dimasuki oleh ekspedisi Hasanudin... dalam kegelapan hutan yang lebat,
mereka masih dapat memuja para dewa mereka selama berabad-abad..."
Menurut Blume, komunitas Baduy ini berasal Kerajaan Sunda Kuno, yaitu Pajajaran,
yang bersembunyi ketika kerajaan ini runtuh pada awal abad ke-17, menyusul bergeloranya
ajaran Islam dari Kerajaan Banten (Garna, 1993b:144).

Menurut cerita rakyat di daerah Banten diriwayatkan bahwa dalam suatu pertempuran,
Kerajaan Pajajaran tidak dapat membendung serangan Kerajaan Banten. Pucuk pimpinan
Pajajaran saat itu yang bernama Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi) beserta
punggawa yang setia berhasil lolos meninggalkan kerajaan masuk ke dalam hutan belantara.
Akhirnya mereka tiba di daerah Baduy sekarang ini dan membuat pemukiman di sana
(Djuwisno, 1986:1-2).

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa komunitas Baduy berasal dari
Pajajaran.

Kerajaan

Menurut Van Tricht, mereka adalah penduduk asli dari daerah tersebut yang

7

mempunyai daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b:146). Masyarakat
Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang
pelarian Kerajaan Pajajaran. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5) orang
Baduy adalah penduduk setempat yang dijadikan mandala (kawasan yang suci) secara
resmi oleh

raja,

karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan

(tempat

pemujaan leluhur), bukan agama Hindu atau Budha. Kabuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli,
asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

Menurut saya, adanya penyebutan nama dan unsur asli setempat merupakan kearifan lokal
masyarakat Baduy dalam upaya menjaga eksistensi dan sekaligus sebagai suatu adaptasi
sistem kepercayaan mereka terhadap perubahan sosial-budaya. Di samping itu, juga
bertujuan untuk menyatakan bahwa mereka sebenarnya tidak lebih rendah dari yang lain.
Bahkan, hingga sekarang pun ketika agama Islam telah dianut hampir semua warga di sekitar
wilayah Baduy, masyarakat Baduy masih tetap bertahan dengan agama Sunda Wiwitannya.

b. Perubahan Sosial-Budaya dalam Perladangan

Masyarakat Baduy merupakan peladang murni, karena berladang merupakan tumpuan pokok
mata pencaharian mereka. Sistem perladangan yang mereka kenal berupa perladangan
berpindah- pindah. Lahan ladang Baduy dalam bahasa setempat disebut huma. Bekas huma
yang masih baru disebut jami, sedangkan bekas huma yang sudah lama ditelantarkan
sehingga telah menjadi semak belukar disebut reuma.

Menurut tradisi masyarakat Baduy, berdasarkan fungsinya, dikenal lima macam

huma.

Pertama, huma serang, yaitu huma adat kepunyaan bersama dan hanya ada di Baduy Dalam
(tangtu) yaitu di Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Kedua, huma puun adalah ladang
kepunyaan puun dan juga hanya terdapat di daerah Baduy Dalam (tangtu). Ketiga, huma
tangtu disediakan untuk keperluan penduduk tangtu. Keempat, huma tuladan untuk
keperluan upacara (seperti huma serang) di daerah panamping. Sedangkan, Kelima, huma
panamping untuk keperluan penduduk panamping.

Dalam pelaksanaan perladangan, Orang Baduy mengenal beberapa tahap kegiatan, yaitu
8

narawas (pemilih ladang), nyacar (menebas/menebang hutan), nukuh (membakar hasil
tebangan),

ngaseuk (menanam padi), ngored (membersihkan hama padi),

dan ngunjal

(panen). Namun, dalam makalah ini saya hanya akan membicarakan tentang narawas, karena
lebih banyak terlihat gambaran perubahan sosial-budayanya.

Kata 'narawas' berasal dari kata kerja tarawas yang berarti rintis, sehingga narawas
berarti merintis. Kegiatan ini berupa mencari atau memilih lahan untuk dijadikan huma.
Narawas ini dilakukan setelah terlihat munculnya bentang kidang (bintang waluku) pada
bulan pertama Orang Baduy, yaitu bulan Kapat (biasanya dimulai pada tanggal 18). Lahan
yang biasa dijadikan ladang baru itu berupa reuma atau hutan sekunder yang telah
diberakan cukup lama yaitu rata-rata lebih dari 3 tahun. Lahan itu telah mengalami
suksesi alami dari bekas huma. Selain tumbuh-tumbuhan liar atau semak belukar,
biasanya pada lahan ini masih dijumpai sejumlah tanaman yang ditanam ketika lahan
tersebut belum diberakan.

Ada empat indikator yang merupakan kearifan lokal masyarakat Baduy dalam memilih
lahan huma.
tumbuhan dan

Keempat indikator tersebut adalah jenis tanah, kandungan humus, jenis
kemiringan lereng. Indikator pertama, yaitu jenis tanah, dapat dilihat

berdasarkan paling sedikit tiga hal, yaitu warna, kandungan air dan udara, serta kandungan
batu. Berdasarkan warnanya dikenal taneuh hideung (tanah hitam), taneuh bodas (tanah
putih), dan taneuh beureum (tanah merah). Tanah hitam merupakan prioritas karena pada
tanah tersebut banyak mengandung surubuk (humus), sedangkan

tanah yang lain kurang

atau tidak subur. Berdasarkan kandungan air dan udaranya dikenal taneuh liket (tanah
lengket) dan taneuh bear (tanah gembur). Untuk memperoleh lahan huma yang baik, maka
sebaiknya dipilih taneuh bear karena pada tanah ini selain terdapat air, tanah ini juga longgar
dan

terdapat banyak

udara sehingga akar tanaman bisa bebas bergerak dan bernapas.

Sementara itu, berdasarkan kandungan batunya, lahan yang baik adalah taneuh teu aya
batuna (tanah yang tidak ada batunya) dan jangan memilih taneuh karang (tanah yang
banyak terdapat batu).

Indikator kedua, yaitu kandungan humus, dapat dilihat dari banyak tidaknya surubuk
dan koleang. Surubuk merupakan istilah Orang Baduy untuk menyebut humus sebagai
kandungan dalam tanah yang dapat menyuburkan tanaman. Sedangkan koleang adalah
istilah orang Baduy untuk menunjukkan daun-daun kering yang jatuh atau terdapat pada
9

permukaan tanah. Kedua unsur ini sangat penting bagi Orang Baduy sebagai pupuk organik,
mengingat mereka buyut (tabu) menggunakan pupuk, baik pupuk kandang maupun pupuk
kimia.

Indikator ketiga, yaitu jenis tanaman, dengan melihat berbagai jenis tanaman yang
tumbuh pada lahan tersebut. Lahan yang diperkirakan subur apabila banyak ditemukan
tumbuhan seperti babakoan, bintinu dan kiseureuh. Sementara itu, lahan yang diperkirakan
kurang subur biasanya ditumbuhi tanaman seuhang, peuris, dan reungkang. Dan indikator
keempat, yaitu kemiringan lereng, dapat dibedakan menjadi lahan gedeng (lahan yang
miring atau curam) dan lahan cepak (lahan di tempat datar). Pada dasarnya lahan huma
yang baik adalah lahan cepak, namun karena bentukan permukaan lahan di wilayah Baduy
jarang sekali ditemukan tanah yang datar, maka umumnya huma ditemukan pada lahan
gedeng. Untuk menjaga agar humus tanah tidak terbawa air hujan, maka pada lereng
tersebut biasanya dibuat teras-teras penahan yang terbuat dari potongan-potongan kayu.

Dalam proses pemilihan lahan ini, bila telah ditemukan calon huma (khususnya huma
tangtu), maka pada tempat itu biasanya diberi tanda dengan cara meletakkan batu, batu
asahan dan tanaman koneng atau kunyit (Curcuma longa). Hal

ini yang tidak boleh

dilupakan adalah setiap pilihan lahan huma tersebut harus sepengetahuan dan restu dari
puun. Selama proses pemilihan lahan ini terdapat beberapa pantangan, yakni tidak boleh
meludah, berbicara kasar/kotor, kentut, merokok, dan memakai baju kotor, serta harus
mengenakan ikat kepala.
Hal penting lain yang diperhatikan adalah calon huma telah cukup masa bera atau perputaran
untuk kembali ke ladang semula. Dahulu waktu bera calon huma mencapai 7-10 tahun,
tetapi sekarang ini memerlukan waktu sekitar 3-5 tahun. Selain itu, dari segi ukuran huma
juga mengalami pengurangan dari sekitar 1 hektar menjadi 0,5 hektar. Hal ini disebabkan
karena jumlah penduduk yang terus bertambah, sedangkan luas wilayah yang boleh dibuka
untuk huma tidak bertambah atau terbatas.
Data demografi tentang orang Baduy pertama kali tercatat pada tahun 1888 berjumlah
291 orang yang menempati 10 buah kampung. Namun, pada beberapa tahun berikutnya data
jumlah penduduk Baduy meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs

10

dan Meijer 1891; Pennings 1902). Pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1908 penduduk
Baduy dilaporkan berjumlah 1.547 orang, sedangkan dua puluh tahun kemudian, jumlah
penduduk dilaporkan sedikit berkurang menjadi 1.521 orang (Tricht 1929).

Pada tahun 1966 penduduk Baduy diketahui berjumlah 3.935 orang, dan menjadi 4.063 pada
tahun 1969. Pada tahun 1984 penduduk Baduy berjumlah 4.587 orang, dan tahun 1986
berjumlah 4850 orang (Garna, 1985, 1993; Iskandar, 1992). Menurut catatan tahun 1990
orang Baduy berjumlah 5582 jiwa, tahun 1993 tercatat 5.649 orang, tahun 1994 berjumlah
6.483 orang, dan tahun 2004 tercatat 7.532 orang (Permana, 2006). Berdasarkan perhitungan
terakhir (2009) oleh Kantor Desa Kanekes penduduk Baduy berjumlah 11.172 orang.
Dengan demikian, setelah 112 tahun penduduk Baduy bertambah lebih dari 40 kali lipat!

Dampak lain dari berkurangnya jumlah masa bera dan ukuran lahan adalah berkurang pula
hasil panen. Terlebih lagi pantangan menggunakan pupuk buatan pabrik, sehingga kesuburan
tanaman berkurang. Berkurangnya hasil panen berarti berkurang pula persediaan beras di
lumbung (leuit). Kenyataan sekarang ini banyak leuit yang tidak terisi dan akhirnya rusak.
Untuk kebutuhan sehari-hari yang biasanya diperoleh dari leuit masing-masing keluarga, kini
terpaksa harus membeli beras dari luar Baduy. Membeli berarti memerlukan uang, sementara
uang diperoleh dari kegiatan jasa melalui kerja ekstra. Bahkan, tidak sedikit pula, warga
Baduy (terutama Baduy Panamping) menjadi penggarap atau membuka huma di luar wilayah
Baduy. Agaknya, kearifan lokal masyarakat Baduy sedang diuji.

c. Perubahan Sosial-Budaya dalam Aktivitas Sehari-hari
Secara lebih nyata perubahan sosial-budaya pada masyarakat Baduy terlihat pada aktivitas
sehari-hari, antara lain pada pakaian, perlengkapan rumah tangga, dan pergaulan. Sejatinya
pakaian orang Baduy memancarkan kesederhanaan. Menurut mereka meninggalkan
kesederhanaan

berarti

membatalkan tapa

dunianya.

Hal

tersebut

tertuang dalam

ungkapan bijak mereka: ”sare tambah teu tunduh, ngawadang tambah teu lapar, make
tambah teu taranjang” artinya tidur sekadar pelepas kantuk, makan sekadar pelepas lapar,
berpakaian sekadar tidak telanjang.

Pakaian kaum pria Baduy berbeda dari pakaian kaum wanitanya. Pakaian pria terdiri atas

11

tiga bagian, yaitu ikat kepala yang disebut telekung, romal, atau iket; baju tanpa kerah
berlengan panjang yang disebut kutung; dan sarung yang disebut aros. Pakaian pria
tangtu agak berbeda dari pria panamping, terutama pada warna dan kualitas bahannya. Pria
tangtu memakai ikat kepala berwarna putih tenunan sendiri, bajunya hasil tenunan serat
daun pelah atau boeh berwarna putih, dan sarungnya terbuat dari benang kanteh (benang
kasar) bergaris putih dan nila yang dikenakan sebatas dengkul (mirip rok wanita) dan diikat
dengan beubeur (ikat pinggang) berupa selendang kecil. Sebaliknya
mengenakan ikat kepala berwarna nila yang disebut merong.

pria panamping

Bajunya disebut

jamang

kampret (baju kampret), biasanya berlapis dua, baju putih di sebelah dalam dan baju hitam
di sebelah luar. Akan tetapi banyak pria panamping hanya mengenakan baju hitam.

Sementara itu, wanita tangtu mengenakan pakaian yang kadang berbeda dari pakaian
wanita panamping. Wanita tangtu mengenakan kemben, yaitu selendang yang dililitkan
pada badan bagian atas. Untuk pakaian bawahnya digunakan sehelai samping (kain) yang
dililitkan sebatas pinggang. Baik kemben maupun samping terbuat dari benang kanteh
atau serat daun pelah yang dibuat sendiri.

Pakaian wanita panamping berupa kebaya

berwarna biru muda dan kain berwarna biru tua. Jenis kainnya ada yang disebut kacang
herang hasil tenunan sendiri, dan ada pula yang disebut kain merong.

Pada waktu

mengikuti upacara turun muja di tangtu, mereka mengenakan kebaya warna putih dan kain
biru tua atau biru muda.
Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran atau perubahan. Pada awalnya masyarakat tangtu
menenun sendiri pakaiannya, tetapi sekarang hanya masyarakat panamping yang masih
menjalaninya. Itu pun bahan benang yang digunakan tidak lagi diperoleh dan dibuat sendiri,
tetapi dari benang buatan pabrik.

Khusus untuk masyarakat panamping, telah lama

mengenakan pula kain bermotif batik warna hitam dan biru dengan hiasan tertentu buatan
Majalaya Bandung atau membelinya di Pasar Tanah Abang Jakarta. Belakangan ini, batiknya
pun telah menggunakan hiasan bervariasi dengan warna coklat dan hijau. Bahkan kaum
remaja prianya pun sudah terbiasa menggunakan celana berbahan jeans. Dalam hal ini pun,
kearifan lokal masyarakat Baduy kembali diuji.
Dari segi peralatan hidup sehari-hari baik untuk pertanian, rumah tangga, maupun keperluan
lainnya juga dibuat secara sederhana dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di
sekitar mereka, misalnya kayu, bambu, pandan, tempurung kelapa, dan rotan. Hanya

12

beberapa jenis peralatan yang tidak dapat dibuat sendiri, ditukar atau dibeli dari luar, seperti
golok, pisau, panjang (piring/mangkok porselen), kenceng (penggoreng logam), dan seeng
(dandang tembaga).

Peralatan rumah tangga yang biasa terdapat dan dibuat oleh orang Baduy, terutama oleh
orang tangtu adalah: (1) peralatan tidur, berupa samak (tikar anyaman daun pandan), rekal
atau angklak (bantal dari kayu), dan simbut (selimut tenunan sendiri); (2) peralatan dapur
dan makan, aseupan (kukusan dari anyaman bambu), hihid (kipas dari anyaman bambu),
jahas (piring kayu), comong (cangkir bambu), dan batok (cangkir tempurung kelapa); (3)
peralatan rumah lainnya adalah totok atau pagawangan (semacam pelita dari ruas bambu
pendek dengan gantungan kayu, bahan bakarnya: minyak picung), kelek (tempat air dari
bambu satu ruas), tomo (sejenis periuk tanah liat tempat menyimpan air matang), siwur (alat
penyiduk air dari tempurung kelapa dengan tangkai bambu atau kayu), lodong (tabung
bambu tempat nira atau tuak), koja atau jarog (tas rajutan serat kayu), nyiru (alat penampi
gabah dari anyamam bambu), dan pakara (peralatan tenun dari kayu dan bambu).

Hingga sekarang, orang tangtu sebagian besar masih membuat dan menggunakannya untuk
keperluan sehari-hari. Namun tidak demikian halnya pada orang panamping yang telah
banyak menggunakan peralatan sehari-hari dengan buatan pabrik/moderen, seperti piring dan
cangkir kaca atau porselen, sendok dan garpu dari plastik atau logam, lampu minyak tanah,
kasur dan bantal kapuk/busa, bahkan memiliki lampu senter, radio, dan handphone!.

5. Penutup
Kebudayaan tidak statis, melainkan bersifat dinamis.

Kebudayaan selalu bergerak dan

berubah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Melalui kebudayaan itulah suatu masyarakat
beradaptasi untuk melangsungkan kehidupannya. Hanya saja, daya dan cara adaptasi setiap
individu dan masyarakat berbeda-beda, sehingga melahirkan penyesuaian diri dan kelompok
juga berbeda-beda terhadap berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi dalam
masyarakat.

Pada masyarakat Baduy perubahan sosial-budaya relatif sedikit terjadi pada masyarakat
tangtu dibandingkan panamping. Masyarakat tangtu masih teguh menjalankan pikukuh
Baduy, sedangkan masyarakat panamping semakin longgar menjalankannya. Adanya

13

pembagian tangtu dan panamping secara budaya merupakan kearifan lokal sebagai buffer
zone dalam pemertahanan adat terhadap pengaruh luar yang akan menyebabkan perubahan
sosial-budaya masyarakat Baduy. Daerah panamping yang identik dengan Baduy Luar
merupakan filter pertama yang berlapis-lapis (ditunjukkan dengan banyaknya kampung
panamping) menghadapi pengaruh-pengaruh luar yang kemungkinan masuk ke wilayah
budaya Baduy. Bahkan di daerah tangtu pun terdapat kampung-kampung pertahanan mulai
dari kampung Cibeo dan Cikartawana, sebelum memasuki kampung adat Cikeusik yang
paling sakral.

Inti pikukuh untuk mempertahankan adat dan sekaligus menangkal pengaruh dari luar Baduy
adalah: lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan (panjang tidak
boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Hakikat dari pikukuh tersebut adalah tetap
mempertahankan aturan dan ketentuan yang telah diturunkan oleh karuhun (leluhur), tanpa
menambah atau mengurangi dari aturan dan ketentuan yang ada. Dalam rangka menjalankan
pikukuh maka terdapat pula sejumlah buyut (pantangan/larangan) yang berlaku baik untuk
masyarakat Baduy maupun masyarakat di luar Baduy yang datang berkunjung. Dengan
mengikuti pikukuh niscaya adat dan kebiasaan sehari-hari masyarakat Baduy tidak berubah.
Oleh karena itulah maka gambaran tentang masyarakat Baduy relative tidak berubah selama
ratusan tahun.

Seperti juga telah digambarkan di atas, walaupun pikukuh tetap dijalankan oleh masyarakat
panamping, namun derasnya pengaruh dan ‘godaan’ modernisasi menyebabkan longgarnya
pertahanan

adat

mereka.

Masyarakat

panamping

berada

dalam

dilema

antara

mempertahankan adat (dianggap tidak bisa maju) dan menerima modernisasi (dianggap
melanggar pikukuh).

Dalam perubahan sosial-budaya yang terus menerus itu, pilihan

pahitnya adalah tetap menjadi atau keluar dari seorang Baduy dengan segala konsekuensinya.
Agaknya kearifan lokal Baduy pun perlu adaptasi dalam menghadapi perubahan ini.

Daftar Pustaka
Adimihardja, K. (2000, Januari-April). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air
Pemelihara Sungai. Jurnal Antropologi Indonesia XXIV (61), 47-59.
Danasasmita, S., dan Djatisunda, A. (1986). Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung:
Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
Djoewisno, M.S. (1987). Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Jakarta: Khas Studio.

14

Ekadjati, E. S. (1995). Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka
Jaya.
Garna, J. (1985). Masyarakat Baduy dan Siliwangi (menurut anggapan orang-orang Baduy
masa kini). Makalah Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung:
Pemda Tk. I Propinsi Jawa Barat-Pusat Penelitian Arkeologi Nasional-Ecole Francaise
d'Extreme-Orient.
Garna, J. (1988a). Perubahan Sosial Budaya Baduy. In N. Rangkuti (Ed.), Orang Baduy
dari Inti Jagat (pp. 47-55). Yogyakarta: Bentara Budaya, KOMPAS, Etnodata
Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa.
Garna, J. (1988b). Nyi Pohaci Sanghyang Asri. In N. Rangkuti (Ed.), Orang Baduy dari
Inti Jagat (pp. 60-66). Yogyakarta: Bentara Budaya, KOMPAS, Etnodata Prosindo,
Yayasan Budhi Dharma Pradesa.
Garna, J. (1993a). Masyarakat Baduy di Banten. In Koentjaraningrat (Ed.), Masyarakat
Terasing di Indonesia (pp. 120-152). Jakarta: Departemen Sosial RI, Dewan Nasional
Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, dan Gramedia,
Garna, J. (1993b). Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku
Asli terhadap Pembangunan. L. T. Ghee dan Alberto G. Gomes (Ed.), Suku Asli
dan Pembangunan di Asia Tenggara (pp. 142-160). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Iskandar, J. (1992). Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah
Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
Jacobs, J. and Meijer, J.J. (1891). De Badoej's. 's-Grahenhage: Martinus Nijhoff.
Pennings, A.A. (1902). De Badoewi's in verband met enkele oudheden in de Residentie
Bantam. TBG, XLV, 370-386.
Permana, R.C.E. (2006). Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Tricht, B. van. (1929). Levende antiquiteiten in West-Java. Djawa, IX, 43-120.

15