LGBT HAM dan Agama Satelit Post 2 Maret
PublicService
Ketegasan
KHOLIL ROKHMAN
Redaktur Pelaksana SatelitPost
Jadwal Kegiatan Donor Darah Sukarela
di Kabupaten Banyumas
Setiap hari Unit Donor Darah (UDD) PMI Kab.
Banyumas Jl. Raya Pekaja Desa Sokaraja Tengah,
07.00 - 21.00 WIB.
Rabu, 2 Mar
et 2016
Maret
z RRI Purwokerto
(dapatkan suvenir untuk 200 pendonor pertama)
07.30 - 13.30 WIB
Unit Donor Darah Palang Merah Indonesia Kab. Banyumas
Jl. Raya Pekaja No. 37 Sokaraja Telp : (0281) 6441014
e-mail: [email protected]
7
LGBT, HAM,
dan Agama
Sorot Redaksi
KARENA pemimpin diminta jadi
pemimpin untuk mengusahakan
kebaikan banyak orang. Kebaikan
orang yang dipimpinnya. Untuk
mengusahakan kebaikan, satu modal yang harus
dimiliki pemimpin adalah ketegasan.
Ketegasan kadang jadi modal yang tak menguntungkan ke depannya. Sebab, setiap kebijakan bisa
memunculkan pro dan kontra. Sementara, ketegasan
adalah bagian dari melaksanakan kebijakan. Tentunya,
akan memunculkan pro dan kontra. Tapi kalau
pemimpin enggan menemui pro dan kontra dalam
setiap kebijakannya. Maka, tak ada kata yang tepat
selain ‘tak layak’.
Ketegasan itu, dapat dilihat dalam kasus Kaijodo.
Bagaimana Kalijodo adalah wilayah milik pemerintah
yang diduduki warga. Tentu warga yang menduduki
tak selamanya salah. Karena ada cerita oknum di
baliknya. Oknum yang memanfaatkan ketidakpahaman
warga untuk mengeruk keuntungan. Ketika ada area
milik pemerintah yang diduduki individu, maka harus
dikembalikan ke pemerintah. Diusahakan untuk
kepentingan khalayak ramai.
Basuki Tjahaja Purnama
alias
Ahok, sudah menunJalan rusak,
jukkan bagaimana ketegaakses kesehatan san itu penting. Ketegasekalipun meyang sulit, akses sannya,
munculkan pro kontra
pendidikan yang dalam kasus Kalijodo, tetap penting untuk jadi
mahal,
kaca bagi banyak pemimkemiskinan,
pin. Khusus untuk Kalijodo, Ahok membuktikan
adalah
bahwa ketegasan bisa jadi
permasalahan pedoman membangun
klasik yang perlu daerah.
Kasus soal tanah negara
yang dicomot individu
ketegasan.
kiranya bukan hanya terjadi di Jakarta. Kasus ketidaktegasan pemimpin juga
hilir mudik di beberapa sisi kehidupan di daerah lain.
Misalnya, jika ada area milik pemerintah lalu dijadikan
area berbisnis yang menguntungkan segelitir orang,
maka harus ditindak secepatnya. Semakin tak tegas,
semakin mengulur permasalahan, semakin rumitlah
persoalan.
Jika persoalan tak segera diselesaikan, maka akan
muncul persoalan di masa yang akan datang. Permasalahan bukan hanya pemerintah dengan individu,
tapi juga anak pinak dari individu tersebut. Ruwetlah
ceritanya.
Kalijodo dan beberapa perkara lain, membuktikan
bahwa ketegasan bisa mengurangi persoalan. Maka,
ketegasan dalam banyak aspek pemerintahan bisa
berkaca dari kasus Kalijodo dan sejenisnya. Jalan rusak,
akses kesehatan yang sulit, akses pendidikan yang
mahal, kemiskinan, adalah permasalahan klasik yang
perlu ketegasan.
Selama masalah tersebut tak kunjung diselesaikan
dengan tegas di daerah dan pusat, maka semakin
bermasalahlah ke depannya. Ketegasan, juga jadi modal
bagus bagi pemimpin daerah dan pusat untuk kemudian hari. Bisa jadi dia akan kembali terpilih jadi
pemimpin daerah. Atau kalau dia sudah habis masa
jabatannya karena sudah 10 tahun, namanya akan
dikenang. Bukan hanya untuk tahun tahun selanjutnya,
tapi untuk puluhan tahun selanjutnya.
Kecuali jika pemimpin hanya ingin mengamankan
posisinya, tak mau berbuat tegas, dan sulit membuat
terobosan, dia hanya akan dikenang dalam lima tahun.
Itu pun tak semua mengenang dengan nada positif.
Dalam bahasa budayawan M Sobary, kedudukan jangan
jadi seperti kurungan sebenarnya. Tempat kenyamanan
dan tak mau mengubah keadaan di luarnya.
[email protected])
(kholil_r
([email protected])
RABU LEGI,
2 MARET 2016
NICHOLAS ROERICH. 1926
Slamet
Mahasiswa
Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah
Jakarta
Ketua Pimpinan
Pusat Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama
2015-2018
KASUS Very Idham Henyansyah alias Ryan yang dijuliki
“Jagal dari Jombang” pada
2008 silam sempat menguak
perilaku hubungan sesama
jenis di Indonesia. Ryan yang
memiliki orientasi seksualnya kepada sesama jenis ini
dengan tega membunuh dan
memutilasi pasangan sejenisnya, Heri Santoso. Bahkan
pembunuhan itu tidak dilakukannya sendiri, melainkan
bersama kekasihnya—yang
juga sesama jenis—Noval.
Dalam perkembangannya,
Ryan kemudian mengaku
telah melakukan pembunuhan kepada 10 orang lainnya,
sehingga jumlah korban men-
jadi 11 orang. Akibat dari
perbuatannya, Pengadilan
Negeri Depok menjatuhkan
vonis hukuman mati kepada
Ryan pada April 2009. Atas
vonis ini, pihak Ryan lantas
mengajukan banding dan
kasasi, namun permohonan
tersebut ditolak. Begitu pula
dengan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada
Mahkamah Agung yang juga
ditolak dan tidak mengubah
keputusan awal, yakni vonis
hukuman mati.
Setelah lama hilang dari
pemberitaan, kasus tentang
hubungan sesama jenis kembali menyeruak ke publik.
Tepatnya pada 6 Januari 2016
lalu, ketika I Wayan Mirna
Salihin meninggal usai meminum kopi vietnam yang
telah dicampur dengan sianida di Cafe Olivier, Mal Grand
Indonesia, Jakarta. Kasus ini
kemudian menyeret Jessica
Kumala Wongso sebagai tersangka tunggal. Dugaan adanya hubungan sesama jenis
tersebut kemudian diperkuat
dengan pesan singkat Jessica
kepada Mirna melalui Whatsapp.
Masyarakat Indonesia
kembali digegerkan dengan
penangkapan pedangdut
Saeful Jamil atas tuduhan
pencabulan kepada seorang
ABG lelaki berinisial DS pada
18 Februari 2016 kemarin.
Setelah ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus tersebut, mantan asisten pribadinya yang berinisial AW juga melaporkan Saiful Jamil
atas tuduhan serupa. Menurutnya, kejadian itu berlangsung pada tahun 2014, ketika
ia bekerja dengan Saiful Jamil.
Serentetan kasus ini tentu
menjadi kekhawatiran bagi
masyaraktat secara umum.
Terlebih lagi, kelompok LGBT kini telah berani dengan
terang-terangan melakukan
propaganda di pelbagai media, terutama media sosial.
Terlebih, dukungan terhadap
LGBT kini juga disuarakan
oleh perusahaan-perusahan
media sosial raksasa, seperti
Line, Facebook, dan WhatsApp melalui emoticon proLBGT.
Perspektif Indonesia Vs
Barat
Berbicara tentang Indonesia, tentu yang ada di benak
masyarakatnya adalah penganut budaya Timur dan
negara yang berdasarkan atas
Ketuhanan dasar kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Realitas ini tidak dapat
dipungkiri ketika melihat
Pancasila sebagai landasan
ideologi bangsa meletakkan
prinsip Ketuhanan di atas
prinsip-prinsip yang lainnya.
Maka dari itu, tidak mengherankan jika banyak permasalahan sosial yang terjadi
akan diselesaikan dengan
pendekatan keagamaan.
Di negeri ini pula, keberadaan agama tidak sematamata menjadi private domain
melainkan menjadi public
domain. Bahkan, karena po-
sisinya yang menjadi domain
publik, negara juga memberikan aturan terhadap keberadaan sebuah agama, termasuk melindungi pemeluknya dalam menjalankan aktivitas peribadatannya. Lebih
jauh lagi, negara juga memberikan aturan yang jelas
terkait pernikahan kepada
seluruh warga negara atas
dasar aturan agama masyarakat. Sehingga dalam hal “kebebasan” pun, ada aturan
yang ditetapkan, atau dalam
bahasa sederhananya adalah
kebebasan dalam ikatan dogma, artinya “bebas terbatas”.
Hal ini tentu akan berbeda
ketika membandingkan dengan negara-negara Barat
yang lebih mengedepakan
filsafat humanisme. Tujuan
dari gerakan humanisme tersebut adalah untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Para
penganut filsafat humanisme
berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, perlu
dipertahankan dan diekspresikan. Hal ini juga didasarkan atas posisi manusia sebagai pusat realitas, sehingga
segala sesuatu yang terdapat
di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia, bukan kepada intervensi
Tuhan maupun alam. Intinya
adalah kebebasan manusia
adalah yang tertinggi.
Berangkat dari hal ini, maka tidak heran jika fenomena
keberadaan LGBT yang sa-
ngat tabu di Indonesia, seolah
telah menjadi hal “biasa” dan
bahkan dilindungi secara
konstitusi di negara-negara
Barat. Hal ini karena ada
sudut pandang yang berbeda
dalam memaknai kebebasan
antara Indonesia dan negaranegara Barat. Terlebih, Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk
agama Islam, meyakini bahwa tujuan pernikahan satu di
antaranya adalah melindungi
keturunan ( hifdz al nasl ).
Tentu saja, hal ini hanya bisa
tercapai dengan pernikahan
beda jenis, bukan sesama
jenis.
Oleh karena itu, menyikapi
fenomena LGBT yang sedang
ramai diperbincangkan di Indonesia, kiranya perlu dipahami secara baik dan mendalam. Apakah LGBT itu
masuk dalam kategori HAM
yang harus dilindungi keberadaannya? Dalam pandangan saya, LGBT adalah sebuah kelainan, yang itu justru
harus disembuhkan bukan
dikembangkan. Tentu saja,
masyarakat secara umum
juga tahu bahwa manusia
diciptakan berpasang-pasangan, begitu juga dengan
makhluk lainnya. Akan tetapi, sebagai sesama manusia,
para LGBT juga harus tetap
dilindungi keberadaannya
sebagai penghormatan atas
kemanusiaan. Namun, yang
perlu digarisbawahi adalah
perlindungan yang berdasar
atas kemanusiaan ini bukan
berarti membenarkannya. (*)
REDAKSI SatelitPost menerima kiriman opini dari pembaca. Panjang opini berisi tiga halaman spasi 1,5. Naskah dikirim via email dan hendaknya
dilengkapi dengan foto terbaru berikut nomor telepon yang dapat dihubungi. Opini yang dikirimkan merupakan karya asli dari penulis. SatelitPost
tidak mengembalikan opini yang diterima. Kolom ini juga terbuka untuk guru. email: [email protected]
EDITOR: AGUS | LAYOUT : SATRIO
Ketegasan
KHOLIL ROKHMAN
Redaktur Pelaksana SatelitPost
Jadwal Kegiatan Donor Darah Sukarela
di Kabupaten Banyumas
Setiap hari Unit Donor Darah (UDD) PMI Kab.
Banyumas Jl. Raya Pekaja Desa Sokaraja Tengah,
07.00 - 21.00 WIB.
Rabu, 2 Mar
et 2016
Maret
z RRI Purwokerto
(dapatkan suvenir untuk 200 pendonor pertama)
07.30 - 13.30 WIB
Unit Donor Darah Palang Merah Indonesia Kab. Banyumas
Jl. Raya Pekaja No. 37 Sokaraja Telp : (0281) 6441014
e-mail: [email protected]
7
LGBT, HAM,
dan Agama
Sorot Redaksi
KARENA pemimpin diminta jadi
pemimpin untuk mengusahakan
kebaikan banyak orang. Kebaikan
orang yang dipimpinnya. Untuk
mengusahakan kebaikan, satu modal yang harus
dimiliki pemimpin adalah ketegasan.
Ketegasan kadang jadi modal yang tak menguntungkan ke depannya. Sebab, setiap kebijakan bisa
memunculkan pro dan kontra. Sementara, ketegasan
adalah bagian dari melaksanakan kebijakan. Tentunya,
akan memunculkan pro dan kontra. Tapi kalau
pemimpin enggan menemui pro dan kontra dalam
setiap kebijakannya. Maka, tak ada kata yang tepat
selain ‘tak layak’.
Ketegasan itu, dapat dilihat dalam kasus Kaijodo.
Bagaimana Kalijodo adalah wilayah milik pemerintah
yang diduduki warga. Tentu warga yang menduduki
tak selamanya salah. Karena ada cerita oknum di
baliknya. Oknum yang memanfaatkan ketidakpahaman
warga untuk mengeruk keuntungan. Ketika ada area
milik pemerintah yang diduduki individu, maka harus
dikembalikan ke pemerintah. Diusahakan untuk
kepentingan khalayak ramai.
Basuki Tjahaja Purnama
alias
Ahok, sudah menunJalan rusak,
jukkan bagaimana ketegaakses kesehatan san itu penting. Ketegasekalipun meyang sulit, akses sannya,
munculkan pro kontra
pendidikan yang dalam kasus Kalijodo, tetap penting untuk jadi
mahal,
kaca bagi banyak pemimkemiskinan,
pin. Khusus untuk Kalijodo, Ahok membuktikan
adalah
bahwa ketegasan bisa jadi
permasalahan pedoman membangun
klasik yang perlu daerah.
Kasus soal tanah negara
yang dicomot individu
ketegasan.
kiranya bukan hanya terjadi di Jakarta. Kasus ketidaktegasan pemimpin juga
hilir mudik di beberapa sisi kehidupan di daerah lain.
Misalnya, jika ada area milik pemerintah lalu dijadikan
area berbisnis yang menguntungkan segelitir orang,
maka harus ditindak secepatnya. Semakin tak tegas,
semakin mengulur permasalahan, semakin rumitlah
persoalan.
Jika persoalan tak segera diselesaikan, maka akan
muncul persoalan di masa yang akan datang. Permasalahan bukan hanya pemerintah dengan individu,
tapi juga anak pinak dari individu tersebut. Ruwetlah
ceritanya.
Kalijodo dan beberapa perkara lain, membuktikan
bahwa ketegasan bisa mengurangi persoalan. Maka,
ketegasan dalam banyak aspek pemerintahan bisa
berkaca dari kasus Kalijodo dan sejenisnya. Jalan rusak,
akses kesehatan yang sulit, akses pendidikan yang
mahal, kemiskinan, adalah permasalahan klasik yang
perlu ketegasan.
Selama masalah tersebut tak kunjung diselesaikan
dengan tegas di daerah dan pusat, maka semakin
bermasalahlah ke depannya. Ketegasan, juga jadi modal
bagus bagi pemimpin daerah dan pusat untuk kemudian hari. Bisa jadi dia akan kembali terpilih jadi
pemimpin daerah. Atau kalau dia sudah habis masa
jabatannya karena sudah 10 tahun, namanya akan
dikenang. Bukan hanya untuk tahun tahun selanjutnya,
tapi untuk puluhan tahun selanjutnya.
Kecuali jika pemimpin hanya ingin mengamankan
posisinya, tak mau berbuat tegas, dan sulit membuat
terobosan, dia hanya akan dikenang dalam lima tahun.
Itu pun tak semua mengenang dengan nada positif.
Dalam bahasa budayawan M Sobary, kedudukan jangan
jadi seperti kurungan sebenarnya. Tempat kenyamanan
dan tak mau mengubah keadaan di luarnya.
[email protected])
(kholil_r
([email protected])
RABU LEGI,
2 MARET 2016
NICHOLAS ROERICH. 1926
Slamet
Mahasiswa
Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah
Jakarta
Ketua Pimpinan
Pusat Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama
2015-2018
KASUS Very Idham Henyansyah alias Ryan yang dijuliki
“Jagal dari Jombang” pada
2008 silam sempat menguak
perilaku hubungan sesama
jenis di Indonesia. Ryan yang
memiliki orientasi seksualnya kepada sesama jenis ini
dengan tega membunuh dan
memutilasi pasangan sejenisnya, Heri Santoso. Bahkan
pembunuhan itu tidak dilakukannya sendiri, melainkan
bersama kekasihnya—yang
juga sesama jenis—Noval.
Dalam perkembangannya,
Ryan kemudian mengaku
telah melakukan pembunuhan kepada 10 orang lainnya,
sehingga jumlah korban men-
jadi 11 orang. Akibat dari
perbuatannya, Pengadilan
Negeri Depok menjatuhkan
vonis hukuman mati kepada
Ryan pada April 2009. Atas
vonis ini, pihak Ryan lantas
mengajukan banding dan
kasasi, namun permohonan
tersebut ditolak. Begitu pula
dengan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada
Mahkamah Agung yang juga
ditolak dan tidak mengubah
keputusan awal, yakni vonis
hukuman mati.
Setelah lama hilang dari
pemberitaan, kasus tentang
hubungan sesama jenis kembali menyeruak ke publik.
Tepatnya pada 6 Januari 2016
lalu, ketika I Wayan Mirna
Salihin meninggal usai meminum kopi vietnam yang
telah dicampur dengan sianida di Cafe Olivier, Mal Grand
Indonesia, Jakarta. Kasus ini
kemudian menyeret Jessica
Kumala Wongso sebagai tersangka tunggal. Dugaan adanya hubungan sesama jenis
tersebut kemudian diperkuat
dengan pesan singkat Jessica
kepada Mirna melalui Whatsapp.
Masyarakat Indonesia
kembali digegerkan dengan
penangkapan pedangdut
Saeful Jamil atas tuduhan
pencabulan kepada seorang
ABG lelaki berinisial DS pada
18 Februari 2016 kemarin.
Setelah ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus tersebut, mantan asisten pribadinya yang berinisial AW juga melaporkan Saiful Jamil
atas tuduhan serupa. Menurutnya, kejadian itu berlangsung pada tahun 2014, ketika
ia bekerja dengan Saiful Jamil.
Serentetan kasus ini tentu
menjadi kekhawatiran bagi
masyaraktat secara umum.
Terlebih lagi, kelompok LGBT kini telah berani dengan
terang-terangan melakukan
propaganda di pelbagai media, terutama media sosial.
Terlebih, dukungan terhadap
LGBT kini juga disuarakan
oleh perusahaan-perusahan
media sosial raksasa, seperti
Line, Facebook, dan WhatsApp melalui emoticon proLBGT.
Perspektif Indonesia Vs
Barat
Berbicara tentang Indonesia, tentu yang ada di benak
masyarakatnya adalah penganut budaya Timur dan
negara yang berdasarkan atas
Ketuhanan dasar kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Realitas ini tidak dapat
dipungkiri ketika melihat
Pancasila sebagai landasan
ideologi bangsa meletakkan
prinsip Ketuhanan di atas
prinsip-prinsip yang lainnya.
Maka dari itu, tidak mengherankan jika banyak permasalahan sosial yang terjadi
akan diselesaikan dengan
pendekatan keagamaan.
Di negeri ini pula, keberadaan agama tidak sematamata menjadi private domain
melainkan menjadi public
domain. Bahkan, karena po-
sisinya yang menjadi domain
publik, negara juga memberikan aturan terhadap keberadaan sebuah agama, termasuk melindungi pemeluknya dalam menjalankan aktivitas peribadatannya. Lebih
jauh lagi, negara juga memberikan aturan yang jelas
terkait pernikahan kepada
seluruh warga negara atas
dasar aturan agama masyarakat. Sehingga dalam hal “kebebasan” pun, ada aturan
yang ditetapkan, atau dalam
bahasa sederhananya adalah
kebebasan dalam ikatan dogma, artinya “bebas terbatas”.
Hal ini tentu akan berbeda
ketika membandingkan dengan negara-negara Barat
yang lebih mengedepakan
filsafat humanisme. Tujuan
dari gerakan humanisme tersebut adalah untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Para
penganut filsafat humanisme
berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, perlu
dipertahankan dan diekspresikan. Hal ini juga didasarkan atas posisi manusia sebagai pusat realitas, sehingga
segala sesuatu yang terdapat
di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia, bukan kepada intervensi
Tuhan maupun alam. Intinya
adalah kebebasan manusia
adalah yang tertinggi.
Berangkat dari hal ini, maka tidak heran jika fenomena
keberadaan LGBT yang sa-
ngat tabu di Indonesia, seolah
telah menjadi hal “biasa” dan
bahkan dilindungi secara
konstitusi di negara-negara
Barat. Hal ini karena ada
sudut pandang yang berbeda
dalam memaknai kebebasan
antara Indonesia dan negaranegara Barat. Terlebih, Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk
agama Islam, meyakini bahwa tujuan pernikahan satu di
antaranya adalah melindungi
keturunan ( hifdz al nasl ).
Tentu saja, hal ini hanya bisa
tercapai dengan pernikahan
beda jenis, bukan sesama
jenis.
Oleh karena itu, menyikapi
fenomena LGBT yang sedang
ramai diperbincangkan di Indonesia, kiranya perlu dipahami secara baik dan mendalam. Apakah LGBT itu
masuk dalam kategori HAM
yang harus dilindungi keberadaannya? Dalam pandangan saya, LGBT adalah sebuah kelainan, yang itu justru
harus disembuhkan bukan
dikembangkan. Tentu saja,
masyarakat secara umum
juga tahu bahwa manusia
diciptakan berpasang-pasangan, begitu juga dengan
makhluk lainnya. Akan tetapi, sebagai sesama manusia,
para LGBT juga harus tetap
dilindungi keberadaannya
sebagai penghormatan atas
kemanusiaan. Namun, yang
perlu digarisbawahi adalah
perlindungan yang berdasar
atas kemanusiaan ini bukan
berarti membenarkannya. (*)
REDAKSI SatelitPost menerima kiriman opini dari pembaca. Panjang opini berisi tiga halaman spasi 1,5. Naskah dikirim via email dan hendaknya
dilengkapi dengan foto terbaru berikut nomor telepon yang dapat dihubungi. Opini yang dikirimkan merupakan karya asli dari penulis. SatelitPost
tidak mengembalikan opini yang diterima. Kolom ini juga terbuka untuk guru. email: [email protected]
EDITOR: AGUS | LAYOUT : SATRIO