TUBERKULOSIS PARU paru yang dirawat

TUBERKULOSIS PARU
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium
tuberculosis (dan kadang-kadang oleh M. bovis dan africanum). Organisme ini
disebut pula sebagai basil tahan asam.
Penularan terjadi melalui udara (airborne spreading) dari "droplet" infeksi.
Sumber infeksi adalah penderita TB paru yang membatukkan dahaknya, dimana pada
pemeriksaan hapusan dahak umumnya ditemukan BTA positif. Batuk akan
menghasilkan droplet infeksi (droplet nuclei). Pada sekali batuk dikeluarkan 3000
droplet. Penularan umumnya terjadi dalam ruangan dengan ventilasi kurang. Sinar
matahari dapat membunuh kuman dengan cepat, sedang pada ruangan gelap kuman
dapat hidup. Risiko penularan infeksi akan lebih tinggi pada BTA (+) dibanding BTA
(-).
Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur
hidup. Setelah seseorang terinfeksi kuman tuberkulosis, hampir 90% penderita secara
klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif, 10% akan sakit. Penderita
yang sakit, bila tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati,
25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan 25 % menjadi kronik dan
infeksius.
EPIDEMIOLOGI
WHO menyatakan bahwa 1 /3 penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.

Setiap tahunnya diseluruh dunia didapatkan sekitar 4 juta penderita baru TB menular,
ditambah dengan jumlah yang sama TB yang tidak menular dan sekitar 3 juta
meninggal setiap tahunnya. Dari seluruh kematian yang dapat dicegah, 25%
diantaranya disebabkan oleh tuberculosis. Saat ini di negara maju diperkirakan setiap
tahun terdapat 10-20 kasus baru setiap 100.000 penduduk dengan kematian 1-5 per
100.000 penduduk sedang di negara berkembang angkanya masih tinggi. Di Afrika

setiap tahun muncul 165 penderita tuberkulosis paru menular setiap 100.000
penduduk.
Pada tahun 1995 diperkirakan 9 juta kasus baru dengan 3 juta kematian akibat
tuberkulosis. 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB terjadi di negara
berkembang. 75% kasus TB menyerang usia produktif ( 15-50 tahun ). Pada tahun
1992 WHO telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001, penyakit pada system pernafasan merupakan penyebab kematian kedua setelah
sistem sirkulasi. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, TB
merupakan penyebab kematian kedua, sedang pada SKRT 2001 menunjukkan TB
merupakan penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi.
WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian
akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan

pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita TB paru BTA (+) yang
diobati (23% dari perkiraan penderita TB BTA(+). Tiga perempat dari kasus berusia
15-49 tahun dan baru 20% yang tercakup dalam program pemberantasan tuberkulosis
yang dilaksanakan pemerintah.
PATOGENESIS
Tuberkulosis primer :
Infeksi

primer

terjadi

setelah

seseorang

menghirup

mikobakterium


tuberkulosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, basil TB akan
mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, disebut/ocws Ghon.
Melalui aliran limfe, basil mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Ghon dan
limfadenopati hilus membentuk kompleks primer. Melalui kompleks primer basil
dapat menyebar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Respons imun
seluler/hipersensitiviti tipe lambat terjadi 4-6 minggu setelah infeksi primer.
Banyaknya basil TB serta kemampuan daya tahan tubuh host akan menentukan
perjalanan penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan kasus, respons imun tubuh dapat

menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil menjadi kuman dorman. Pada
penderita dengan daya tahan tubuh yang buruk, respons imun tidak dapat
menghentikan multiplikasi kuman sehingga akan menjadi sakit pada beberapa bulan
kemudian. Sehingga kompleks primer akan mengalami salah satu hal sebagai
berikut :
1. Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restirution ad
integrum).
2. Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti sarang Ghon, firotik, perkapuran).
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya.
Sebagai contoh adalah pembesaran kelenjar limfe di hilus, sehingga

menyebabkan penekanan bronkus lobus medius, berakibat atelektasis. Kuman
akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat menuju lobus yang
atelektasis, menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis, hal ini
disebut sebagai epituberkulosis. Pembesaran kelenjar limfe di leher, dapat
menjadi abses disebut scrofuloderma. Penyebaran ke pleura menyebabkan
efusi pleura.
b. Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru sebelahnya. Atau
tertelan bersama dahak sehingga terjadi penyebaran di usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain seperti tuberkulosis
milier, meningitis, ke tulang, ginjal, genetalia.
Tuberkulosis post primer
Terjadi setelah periode laten (beberapa bulan / tahun) setelah infeksi primer.
Dapat terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi. Reaktivasi terjadi akibat kuman dorman
yang berada pada jaringan selama beberapa bulan/tahun setelah infeksi primer,
mengalami multiplikasi. Hal ini dapat terjadi akibat daya tubuh yang lemah.
Reinfeksi diartikan adanya infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya pernah
mengalami infeksi primer. TB post primer umumnya menyerang paru, tetapi dapat

pula di tempat lain di seluruh tubuh umumnya pada usia dewasa. Karakteristik TB
post primer adalah adanya kerusakan paru yang luas dengan kavitas, hapusan dahak

BTA positif, pada lobus atas, umumnya tidak terdapat limfadenopati intratoraks.
Tuberkulosis post primer dimulai dari sarang dini yang umumnya pada segmen apical
lobus superior atau lobus inferior. Awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil.
Sarang ini dapat mengalami salah satu keadaan sbb:
1.

Diresorbsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat

2.

Sarang meluas, tetap segera mengalami penyembuhan berupa jaringan fibrosis
dan perkapuran. Sarang dapat aktif kembali membentuk jaringan keju dan bila
dibatukkan menimbulkan kaviti.

3.

Sarang pneumonik meluas, membentiik jaringan keju, yang bila dibatukkan akan
menimbulkan kaviti. Kaviti awalnya berdinding tipis kemudian menjadi tebal
(kaviti sklerotik). Kaviti akan mengalami :
a. Meluas dan menimbulkan sarang pneumonik baru.

b. Memadat dan membungkus diri disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat
mengapur dan sembuh, tapi dapat aktif kembali dan mencair menibulkan
kaviti kembali.
c. Menyembuh dan disebut open healed cavity, atau menyembuh dengan dengan
membungkus diri,akhirnya mengecil. Kaviti dapat menciut dan tampak
sebagai bintang (stellate shape).

Bentuk tuberkulosis post primer dapat sebagai tuberkulosis paru dan ekstra paru :
Pulmonary TB :
Cavitas
Upperlobe infiltrate
Fibrosis
Progressive pneumonia
Endobronchial Extrapulmonary TB :

Common
Pleural effusion
Lymphadenopathydisually cervical)
Central nervus system
(meningitis, cerebral tuberculoma)

Pericarditis (Effusion/constrictive)
Gastrointerstinal (ileocecal, peritoneal)
Spine, other bone & joint

Less common
Empyema
Male genital tract
(epididymitis, orchitis)
Female genital tract
(tubo-ovarial, endometrium)
Kidney
Adrenal gland
Skin (lupus vulgaris,
tubelculids,miliary)

Patogenesis
Patogenesis dan menifestasi patologi tuberkulosis paru merupakan hasil
repons imun seluler (cell mediated immunity) dan reaksi hipersensitiviti tipe lambat
terhadap antigen kuman tuberkulosis.
Perjalanan infeksi tuberkulosis terjadi melalui 5 stage.

Stage 1

: dimulai dari masuknya kuman tuberkulosis ke alveoli. Kuman akan
difagositosis oleh makrofag alveolar dan umumnya dapat dihancurkan.
Bila daya bunuh makrofag rendah, kuman tuberkulosis akan
berproliferasi dalam sitoplasma dan menyebabkan lisis makrofag. Pada
umumnya pada stage ini tidak terjadi pertumbuhan kuman.

Stage 2

: stage simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam non-activated
macrophag yang gagal mendestruksi kuman tuberkulosis hingga
makrofag hancur dan kuman tuberkulosis difagositosis oleh makrofag
lain yang masuk ke tempat radang karena faktor kemotaksis komponen
kompleman C5a dan monocyte chemoatractant protein (MPC-1). Lama
kelamaan makin banyak makrofag dan kuman tuberkulosis yang
berkumpul di tempat lesi.

Stage 3


: terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman tuberkulosis menetap karena
pertumbuhanya dihambat oleh respons imun tubuh terhadap tuberculinlike antigen. Pada stage ini delayed type of hipersensitivity (DTH)

merupakan respons imun utama yang mampu menghancurkan makrofag
yang berisi kuman. Respons ini terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi.
Dalam solid caseous center yang terbentuk, kuman ekstraseluler tidak
dapat tumbuh, dikelilingi non-activated macrofag, dan partly activated
macrofag. Pertumbuhan kuman TB secara logaritmik terhenti, namun
respons imun DTH ini menyebabkan perluasan caseous center dan
progresifitas penyakit. Kuman tuberkulosis masih dapat hidup dalam
solid caseous necrosis tapi tidak dapat berkembang biak karena keadaan
anoksia, penurunan pH dan adanya inhibitory fatty acid. Pada keadaan
dorman ini metabolisme kuman minimal sehingga tidak sensitif
terhadap terapi. Caseous necrosis ini merupakan reaksi DTH yang
berasal dari limfosit T, khususnya T sitotoksik (Tc), yang melibatkan
clotting factor, sitokin TNF-alfa, antigen reactif, nitrogen intermediate,
kompleks antigen antibody, komplemen dan produk-produk yang
dilepaskan kuman yang mati. Pada reaksi inflamasi, endotel vaskuler
menjadi aktif menghasilkan molekul-molekul adesi (ICAM-1, ELAM1, VCAM-1), MHC klas 1 dan II.
Endotel yang aktif mampu mempresentasikan antigen tubekulin pada sel

Tc sehingga menyebabkan jejas pada endotel dan memicu kaskade
koagulasi. Trombosis lokal menyebabkan iskemia dan nekrosis di dekat
jaringan.
Stage 4

: respons imun cell medialed immunity (CMI) memegang peran utama
dimana

CMI

akan

mengaktifkan

makrofag

sehingga

mempu


memfagositosis dan meghancurkan kuman. Activated macrophage
menyelimti tepi caseous necrosis untuk mencegah terlepasnya kuman.
Pada keadaan dimana CMI lemah, kemampuan makrofag untuk
menghancurkan kuman hilang sehingga kuman dapat berkembang biak
didalamnya dan selanjutnya akan dihancurkan oleh respons imun DTH,
sehingga caseous necrosis makin luas. Kuman tuberkulbsis yang

terlepas akan masuk kedalam kelenjar limfe trakheobronkhial dan
meyebar ke organ lain
Stage 5

: terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama kalinya terjadi
multiplikasi kuman tuberkulosis ekstraseluler yang dapat mencapai
jumlah

besar.

Respons

imun

CMI

sering

tidak

mampu

mengendalikannya.
Dengan progresifitas penyakit terjadi perlunakan caseous necrosis,
membentuk kavitas dan erosi dinding bronkus. Perlunakan ini
disebabkan oleh enzim hidrolisis dan respons DTH terhadap
tuberkuloprotein, menyebabkan makrofag tidak dapat hidup dan
merupakan media pertumbuhan yang baik bagi kuman. Kuman
tuberkulosis masuk ke dalam cabang-cabang bronkus/ menyebar ke
bagian pant lain dan jaringan sekitarnya.
DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU
Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain.
Gejala :
Respiratorik : batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas.
Sistemik

: demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan
turun.

Penderita dengan gejala tersebut dianggap sebagai curiga TB dan harus diperiksakan
dahaknya. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (pagi-sewaktu-pagi/SPS) dengan cara
pengecatan.
Pemeriksaan fisik :
Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk
membedakan TB dengan penyakit paru lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi

kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara
lain penarikan struktur sekitar, suara napas bronkial, amforik, ronki basah. Pada efusi
pleura didapatkan gerak napas tertinggal, keredupan dan suara napas menurun sampai
tidak terdengar. Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran
kelenjar limfe, sering di daerah leher, kadang disertai adanya skrofuloderma.
Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan bakteriolgis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis.
Spesimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan lambung,
bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsi. Pemeriksaan dapat dilakukan
secara mikroskopis dan biakan.
Pemeriksaan dahak untuk menemukan basil tahan asam merupakan
pemeriksaan yang harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita
tuberkulosis

atau

suspek.

Pemeriksaan

dahak

dilakukan

3

kali

(sewaktu/pagi/sewaktu), dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau Kinyoun Gabbet.
Interpretasi pembacaan didasarkan skala IUATLD atau bronkhorst.
Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam pada
pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahan ditemukan BTA (+).
Bila hanya 1 spesimen positif, perlu pemeriksaan foto toraks atau SPS ulang.
Bila foto toraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB paru BTA (+) . Bila
foto toraks tidak mendukung TB maka perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang. Bila
SPS ulang hasilnya negatif berarti bukan penderita TB. Bila SPS-positif, berarti
penderita TB BTA (+). Bila foto toraks mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS
negatif, maka diagnosis adalah TB paru BTA negatif rontgen positif.

Foto toraks
Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak
diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto
toraks bila:


Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura, pneumotoraks)



Hemoptisis berulang atau berat



Didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+).

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif :
1.

bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.

2.

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.

3.

bayangan bercak milier

4.

Efusi pleura

Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif :
1.

Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah.

2.

Kalsifikasi

3.

Penebalan pleura.

Destroyed lung:
Gambaran radiologis yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru. Sulit untuk menilai aktiviti penyakit
berdasarkan gambaran radiologis tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologis
untuk megetahui aktivitas penyakit.
Luas proses
dinyatakan sbb :

yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan

1.

Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
lesi tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction
dari iga kedua dan prosesus spinosus verebra torakalis IV, atau korpus vertebra
torakalis V (sela iga ke-2) dan tidak dijumpai kaviti.

2.

Lesi luas, bila proses lebih dari lesi minimal.

Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting sebagai indikator
kestabilan penyakit sehingga dapat digunakan untuk evaluasi penyembuhan.
Pemeriksaan serologi dilakukan dengan metoda Elissa, Mycodot, PAP
( peroksidase anti peroksidase). Tehnik lain untuk mengidentifikasi M.tb dengan PCR
(polymerase chain reaction), RALF (Restrictive fragment length polymorphisms),
LPM (light producing maycobacterophage).
Pemeriksaan histopatologi jaringan, diperoleh melalui transbronchial lung
biopsy, transthoracal biopsy, biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar dan
organ lain diluar paru. Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan menunjukkan adanya
granuloma dengan perkejuan.
DEFINISI KASUS
Saat menegakkan diagnosis TB, dan sebelum menetukan pengobatan yang
diberikan, harus ditentukan pula definisi kasus TB. Definisi kasus ditentukan oleh 4
determinan yaitu :
1.

lokasi penyakit ( pulmoner/extra pulmoner)

2.

hasil hapusan dahak

3.

riwayat pengobatan sebelumnya

4.

beratnya penyakit

1.

2.

Definisi kasus berdasarkan lokasi penyakit :


TB paru yaitu bila penyakit melibatkan parenkim paru



TB ekstra paru yaitu TB pada organ selain paru.

Definisi kasus berdasarkan hasil hapusan dahak :


TB paru BTA (+), bila 2 atau lebih dari pemeriksaan dahak didapatkan BTA
(+) atau satu BTA (+) plus abnormalitas radiologis yang menunjukkan TB
paru, atau satu hapusan BTA (+) plus kultur M.tb positif.


3.

TB paru BTA (-), yaitu diluar definisi pada BTA (+) tersebut.

Definisi kasus berdasarkan beratnya penyakit :
Lokasi penyakit, luasnya kelainan, bacillary load menentukan beratnya penyakit.
Yang di kiasifikasikan berat bila penyakit dapat mengancam jiwa atau dan atau
menimbulkan cacat (TB milier, efusi perikardial, efusi pleura masif atau bilateral
meningitis TB, TB spinal, intestinal, genitourinaria).

4.

Definisi kasus berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :
Kasus baru (new case) :
Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari 1 bulan.
Kambuh (relaps):
Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif- (hapusan atau kultur).
Gagal pengobatan (treatment after failure):
Penderita yang memulai pengobatan kategori 2 setelah gagal dengan
pengobatan sebelumnya. Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Atau penderita
dengan BTA negative menjadi positif pada akhir bulan ke-2.
Pengobatan setelah default (Treatment after default/drop out):
Penderita yang kembali berobat, dengan hasil bakteriologi positif, setelah
berhenti minum obat 2 bulan atau lebih.

Pindahan (transfer in) :
Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten kemudian
pindah ke kabupaten lain. Penderita ini harus membawa surat rujukan/ pindah
(form TB 09).
Kasus kronik
Penderita dengan hasil BTA tetap positif setelah selesai pengobatan ulang
dengan kategori- 2.

PENGOBATAN
Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyebuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan
mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT yang efektif
dengan pengobatan jangka pendek. Standarisasi regimen untuk pengobatan TB
didasarkan pada rekomendasi WHO.
Terdapat 4 populasi kuman TB yaitu:
1.

"Metabolically active", yaitu kuman yang terus tumbuh dalam kaviti.

2.

"Basilli inside cell", misal dalam makrofag

3.

"Semi-dorman bacilli" (persisters)

4.

"Dorman bacilli"
Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk

membunuh kuman semi dorman.
Terdapat 3 aktifitas anti tuberkulosis yaitu :
1.

Obat bakterisidal : INH, rifampisisn, pirazinamid

2.

OAT dengan kemampuan sterilisasi : Rifampisin, PZA

3.

OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH, sedangkan
streptomisin dan etambutol kurang efektif.

OBAT ANTI TB
Anti TB drug

Action

Potency

Dosemg/kg
Daily

Intermitten
3x/wk 2x/wk

Isoniazid (H)

bactericidal

hight

5

10

15

Rifampicin (R)

bactericidal

hight

10

10

10

Pyirazinamid (Z)

bactericidal

low

25

35

50

Streptomysin (S)

bactericidal

low

15

15

15

Etambutol (E)

bacteriostatic

low

15

30

45

KODE REGIMEN PENGOBATAN TB
Pengobatan TB terdiri dari 2 fase yaitu :
Fase initial/fase intensif (2 bulan ):
Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu
penderita yang infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis membaik.
Kebanyakan penderita BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Pada
fase ini sangat penting adanya pengawasan minum obat oleh PMO (pengawas minum
obat).
Fase lanjutan ( 4-6 bulan ) :
Bertujuan mebunuh kuman persister (dorman) dan mencegah relaps. Fase ini
juga perlu adanya PMO.
Contoh kode pada regimen pengobatan TB : 2 (HRZE)/4 HR
Fase inisial adalah 2 (HRZE), lama pengobatan 2 bulan, dengan obat INH,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol diminum tiap hari.
Fase lanjutan adalah 4 (HR)3, lama pengobatan 4 bulan, dengan INH dan
rifampisin, diminum 3 kali seminggu.

Recommended treatment regiment for each diagnostic category
TB TREATMENT REGIMENS
TB
DIAGNOSTIC
CATEGORY
I

INITIAL
PAHSE
TB PATIENTS
(DAILY OR 3
TIMES
WEEKLY)
New smear- positive patients;
2HRZEb
New smear- negative PTB
with extensive
parenchymal
envolvement;
Severe concomitant HIV
disease or severe forms
of EPTB

CONTINUATION
PHASE (DAILY OR
3 TIMES WEEKLY)
4HR or 6 HE dailyc

II

Previously treated sputum
smear-positive PTB: - relaps treatment after
interruption - treatment failure

2 HRZES/
1HRZE

5HRE

III

New smear-negative PTB
(other than in Category I);
Less severe forms of EPTB

2HRZEC

4HR or 6 HE dailyc

IV

Chronic and MDR-TB cases Specially designeg standarized or
(still sputum-positive after
individualized regimens are
supervised re-treatment)
suggested for this category See
Chapter 5

a. "Direct observation" of drug intake is required during the initial phase of
treatment in smear-positive cases, and always in treatment that includes
rifampisin".
b. Streptomisin dapat digunakan sebagai pengganti etambutol. Pada kasus
meningitis TB etambutol hams diganti dengan Streptomisin.

c. Regimen HE berhubungan dengan angka gagal pengobatan dan kambuh yang
tinggi dibandingkan dengan pengobatan regimen yang menggunakan ^famgisin
selama fase lanjutan.
d. Bila mungkin, direkomendasikan untuk dilakukan tes sensitiviti terhadap OAT
sebelum pemberian obat kategori II pada kasus gagal pengobatan. Penderita yang
terbukti MDR-TB direkomendasikan menggunakan OAT Kategori OAT plus.
e. Etambutol dapat tidak digunakan selama pengobatan fase inisial pada penderita
tanpa adanya kavitas pada paru; hapusah dahan negatif pada penderita HIVnegatif; telah diketahui terinfeksi dengan kuman yang sensitif terhadap OAT; dan
penderita muda TB primer.
f. Kontak dengan penderita yang terbukti MDR-TB dipertimbangkan untuk
dilakukan kultur dan tes sensitiviti.
TB ekstra pulmoner meliputi :
Berat
• Meningitis

Ringan
• Kelenjar limfe

• Milier

• Efusi pleura unilateral

• Perikarditis

• Tulang (kecuali spinal)

• Peritonitis

• Sendi kecil

• Efusi pleura bilateral/massif

• Kelenjar adrenal

• Spinal
• Intestinal
• Genitourinaria
INDIKASI STEROID PADA TB
Steroid pada kasus TB diindikasikan pada meningitis, prerikarditis, efusi pleura
masif, TB kelenjar adrenal, laringitis, TB pada ginjal/saluran kencing, TB kelenjar
limfe yang luas dan pada reaksi hipersensitiviti akibat OAT.
PENGOBATAN TB PADA PADA KEADAAN KHUSUS

Kehamilan dan menyusui:
Hampir semua obat anti tuberkulosis aman untuk kehamilan, kecuali
streptomisin. Streptomisin tidak boleh digunakan pada kehamilan karena sifat
ototoksik pada janin.
Pada penderita TB yang menyusui, semua OAT dapat diberikan. Bila bayinya juga
mendapat OAT, dianjurkan untuk tidak menyusui agar bayi tidak mendapat dosis
berlebihan.
Kontrasepsi oral :
Rifampisin berinteraksi dengan obat kontrasepsi hormonal dengan risiko
penurunan efektifitas kontrasepsi, sehingga diperlukan dosis kontrasepsi yang lebih
tinggi (estrogen 50ug). Atau disarankan untuk menggunakan jenis kontrasepsi lain.
Gagal ginjal:
Rifampisin, INH dan pirazinamid aman digunakan untuk INH penderita gagal
ginjal. Jangan menggunakan streptomisin.

kanamisin

dan capreomisin. Hindari

penggunaan etambutol, digunakan hanya bila tidak ada alternatif obat lain, dengan
menyesuaikan dosis sesuai dengan fungsi ginjal.
Penyakit hati kronik :
Pirazfriamid tidak boleh diberikan. INH rifampisin plus satu atau dua obat
non-hepatotoksik seperti streptomisin dan etambutol dapat diberikan dengan total
pengobatan 8 bulan. Alternatif lain dengan 9 RE atau SHE pada fase inisial
dilanjutkan HE pada fase lanjutan dengan total pengobatan 12 bulan. Regimen yang
direkomendasikan adalah 2 SHRE/6_HR ; 9 RE atau 2 SHE/10 HE

Hepatitis akut :

Sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis sembuh. Bila sangat diperlukan OAT
dapat diberikan dengan kombinasi SE selama 3 bulan. Selanjutnya setelah hepatitis
sembuh dapat diberikan fase lanjutan selama 6 bulan dengan INH dan Rifampisin.
Bila hepatitis tidak menyembuh, SE diteruskan sampai 12 bulan. Regimen yang
diberikan 3 SE/6 HR atau 12 SE.
GAMBARAN TB SAAT INI
Kematian akibat TB saat ini makin meningkat, terutama pada usia muda.
Diperkirakan terjadi kematian 2-3 juta akibat TB setiap tahunnya. Pada setiap detik
akan terdapat 1 penderita baru. Tiap 1 orang penderita TB dengan BTA (+) dapat
menulari 10-15 orang lain/tahun. Dengan meningkatnya jumlah penderita HIV, kasus
TB juga makin meningkat.

“MULTI DRUGS RESISTANCE TB"
Yaitu penderita TB aktif dengan kuman yang resisten terhadap sedikitnya
rifampisin dan INH, dengan atau tanpa disertai resistensi terhadap obat lain. MDR TB
terjadi akibat pengobatan yang tidak rasional, seperti pemberian resep yang tidak
benar oleh dokter, regimen tidak benar, penggunaan obat tidak lengkap dan
berkesinambungan atau oleh karena tidak adanya supervisi dalam pengobatan.
DOTS ( Directly Observe Treatment Shortcourse )
Sejak tahun 1995 program pemberantasan penyakit TB dilaksanakan dengan
strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Di Indonesia dituangkan dalam
bentuk GERDUNAS-TB (Gerakan Terpadu Nasional TB). Yang dimaksud dalam
strategi DOTS adalah :
1.

Adanya komitmen pemerintah untuk menanggulangi TB

2.

Penemuan kasus secara langsung dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

3.

Pemberian obat yang diawasi secara langsung (DOT = Directly Observe
Therapy)

4.

Penyediaan obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu.

5.

Monitoring serta pencatatan dan pelaporan.

a. Screening: cough > 2-3 weeks. Diagnosisxlinical sign, symptorn, normal chest
radiography
b. Consider other diagnosis

KEPUSTAKAAN
1.

Dannenberg AM, Rook GAW. Pathogenesis of pulmonary tuberculosis : an
interplay of tissue-damaging and macrophage-activating immune responses dual mechanism that control bacillary multiplication. In: Bloom BR ed.
Tuberculosis. Pathogenesis. Protection. And Control.. Washington: ASM press,
1994, pp 495 - 483

2.

Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI, 2003

3.

WHO. TB. A Clinical Manual for South-East Asia. WHO, 1997

4.

WHO. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for national Programmes, WHO,
2003

Multi-Drug Resistance (MDR)-TB
Soedarsono
Multi-Drug Resistance dalam pengobatan tuberkulosis (TB) menjadi masalah
kesehatan masyarakat di sejumlah negara dan merupakan hambatan terhadap program
pengendalian TB secara global. Kekebalan kuman TB terhadap obat anti tuberkulosis
(OAT) sebenarnya telah muncul sejak lama. MDR-TB muncul seiring dengan
dimulainya penggunaan rifampisin secara luas semenjak tahun 1970-an. Kekebalan
ini dimulai dari yang sederhana yaitu monoresisten, poliresisten sampai dengan MDR
dan extensive drug resistance (XDR).
WHO pada tahun 2005 melaporkan di dunia lebih dari 400.000 kasus MDRTB terjadi setiap tahunnya sebagai akibat kurang baiknya penanganan dasar kasus TB
dan transmisi strain-strain kuman yang resisten obat anti TB. Penatalaksanaan MDRTB lebih sulit dan membutuhkan biaya lebih banyak dalam penanganannya
dibandingkan dengan kasus TB yang bukan MDR. 2,3,4
Menurut WHO, saat ini Indonesia menduduki peringkat ke delapan jumlah
kasus MDR-TB dari 27 negara. Data awal survei resistensi obat OAT lini pertama
(Drug Resistant Survey = DRS) yang dilakukan di Jawa Tengah pada 2006,
menunjukkan angka TB-MDR pada kasus baru yaitu 2,07%, angka ini meningkat
pada pasien yang pernah diobati sebelurnnya yaitu 16,3%. Beberapa komponen yang
harus dipenuhi dalam penatalaksanaan MDR-TB adalah tersedianya sarana
laboratorium yang tersertifikasi khususnya untuk uji resistensi OAT, obat-obat TB lini
ke dua yang lengkap dan sumber daya manusia yang terlatih serta sumber dana yang
memadai.
Batasan.


Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT lini pertama



Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT lini pertama, tetapi tidak
resisten terhadap INH dan Rifampisin secara bersama-sama. 2,3,8



Multidmg-resistance (MDR): kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid
dan rifampicin. Secara singkat MDR-TB adalah resistensi terhadap INH dan
rifampisin secara bersama dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain.8,9



Extensive drug-resistance (XDR): Selain MDR-TB, juga terjadikekebalan
terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolonsebagai OAT lini ke dua,
dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin,
dan amikasin).



Totally drug-resistance (TDR): Resistensi total ini dikenal juga dengan istilah
super XDR-TB, yaitu didefinisikan dengan kuman yang sudah resisten dengan
seluruh OAT lini pertama (INH, rifampisin, etambutol, streptomisin, pirazinamid)
dan OAT lini kedua (amikasin, kanamisin, kapreomisin, fluorokuinolon,
thionamide, PAS).

Selain itu berkaitan dengan mekanisme resistensi obat TB, maka perlu diketahui
beberapa definisi dari resistensi OAT.


Resistensi Primer (primary resistance): adalah resistensi yang terjadi pada
penderita yang belum pernah mendapat pengobatan OAT atau sudah pernah
mendapat pengobatan tetapi kurang dari 1 bulan. Pada resistensi ini terjadi oleh
karena individu terpajan dengan kuman yang telah resisten terhadap obat TB atau
disebut resistance among new cases.2,3,8



Resistensi sekunder (acquired resistance): Resistensi sekunder adalah resistensi
yang terjadi pada penderita yang sebelumnya telah pernah mendapat terapi OAT
(tercatat) minimal selama 1 bulan, sehingga pengobatan yang tidak adekuat akan
menimbulkan seleksi terhadap kuman yang resistensi terhadap obat yang telah
diberikan dan disebut resistance among previously treated cases. 2,3,8

PENYEBAB RESISTENSI OBAT- TB
Penyebab resistensi obat TB atau drug resistance TB (DR-TB) secara umum
dapat terbagi menjadi 3 faktor, yaitu yang pertama faktor kuman, kedua klinis dan

ketiga program. Bagaimanapun DR-TB pada dasarnya adalah suatu fenomena yang
terjadi oleh karena perbuatan manusia sendiri (man made phenomena}. Pada
perspektif kuman , DR-TB terjadi oleh karena adanya mutasi genetik yang
menimbulkan obat tidak efektif melawan kuman yang mengalami mutasi. Dari
perspektif klinis dan program, DR-TB terjadi karena terapi yang tidak
memadai/adekuat atau kurang baik. 3,4
Pada awalnya, resistensi obat TB dapat terjadi oleh karena kesalahan manusia
(human error) yaitu meliputi kesalahan dalam penatalaksanaan kasus, manajemen
logistik, peresepan obat.
Beberapa human error yang sering terjadi antara lain ialah : (a) Pemakaian
obat tunggal dalam pengobatan TB, (b) Pemberian obat yang tidak adekuat (tidak
teratur, dosis kurang, waktu yang tidak tepat ), (c) Penggunaan obat kombinasi yang
pencampurannya dilakukan tidak dengan baik sehingga mengganggu bioavaibilitas
obat, (d) Penyediaan obat yang tidak teratur, (e) Pengetahuan penderita yang minimal
tentang penyakit TB akibat tidak ada atau kurangnya KIE dari provider terhadap
penderita tersebut ,4'15 Jadi terdapat 3 faktor utama penyebab terjadinya pengobatan
TB yang tidak adekuat yang pada akhirnya memudahkan terjadinya kasus resistensi
obat TB, yaitu (1) faktor penyedia sarana dan prasarana kesehatan, (2) faktor obat,
dan (3) faktor pasien sendiri. Uraian selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut
ini.3,4

Tabel 2 . Penyebab terapi OAT tidak adekuat3,4
Penyelenggara
Kesehatan: Regimen
yang tidak adekuat

Obat: (Ketersediaan/ Kualitas
yang tidak adekuat)

Pasien : Konsumsi obat
yang tidak adekuat

Pedoman yang tidak
sesuai
Ketidakadanya
pedoman Pelatihan
yang kurang
Tidak adanya
pengawasan
pengobatan

Kualitas yang buruk

Kepatuhan yang buruk

Ketidaktersediaan beberapa obat Kurangnya informasi

Penyimpanan yang buruk
Kesalahan dosis/ kombinasi

Sedikitnya pembiayaan
program TB kontrol

Kurangnya biaya
Kekurangan transportasi
Efek samping obat
Hambatan sosial
Malabsorbsi

PENEMUAN DAN DIAGNOSIS PENDERITA MDR-TB
Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya.
Kemungkinan terjadi resistensi pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya
adalah sebesar 4 kali lipat, sedangkan untuk terjadinya TB-MDR sebesar 10 kali lipat
atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum pernah diobati. Diagnosis MDRTB ditegakkan dengan uji sensitiviti obat atau Drug Sensitivity Test (DST), bukan
sekedar berdasarkan gambaran foto toraks dan adanya faktor risiko yang ada pada
seseorang. Pemilihan pasien yang akan dilakukan DST di negara dimana sumber daya
tersedia, maka semua pasien TB akan dilakukan DST pada saat pengobatan TB
dimulai. Akan tetapi, di negara dengan sumber daya yang terbatas, pemilihan pasien
yang akan dilakukan DST untuk menegakkan diagnosis MDR-TB didasarkan
indikasi. Pasien suspek MDR-TB akan dilakukan kultur dan DST. Untuk itu WHO
2008 guidelines mengindikasikan kelompok populasi yang dicurigai sebagai
penderita MDR-TB adalah pasien dengan faktor risiko resisten terhadap obat TB
sebagai berikut. Di Indonesia, mengadopsi dari WHO 2008 guidelines di atas, saat ini
kelompok individu yang perlu dilakukan DST sebagai pasien suspek MDR-TB adalah
kelompok yang berisiko tinggi, yaitu: 3,4,9

1. Individu yang mengalami gagal terapi setelah retreatment dan kasus kronik,
dimana kelompok ini memiliki angka tertinggi (80 %) menempati kasus MDRTB.
2. Individu yang gagal terapi dengan OAT kategori 2 (sputum tetap positif pada
bulan ke-3)
3. Individu yang diterapi OAT tetapi sputum tetap positif pada bulan ke- 3 setelah
pemberian sisipan pada kategori 1.
4. Individu yangkembali stelah DO pada pengobatan kategori 1 atau kategori 2 .
5. Memiliki riwayat pengobatan TB yang tidak adekuat, bukan DOTS atau
managemen yang buruk.
6. Tinggal didaerah yang kasus MDR -TB tinggi
7. Kasus TB kambuh ( kategori 1 atau kategori 2)
8. Individu yang memiliki keluhan TB dan kontak erat dengan penderita MDR-TB,
termasuk petugas kesehatan yang kontak erat dengan penderita MDR-TB
9. Memiliki kondisi yang co-morbid dengan MDR-TB, malabsorbsi atau rapid
transit diare diare.
10. Individu dengan infeksi HIV
DASAR-DASAR PENGOBATAN MDR-TB
Dalam pengobatan MDR-TB terutama untuk keperluan membuat regimen
obat-obat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi lima group
berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut. Klasifikasi OAT yang
dipergunakan dalam pengobatan TB MDR dibagi dalam 5 kelompok berdasarkan
potensi dan efikasinya , yaitu (a) kelompok pertama : Pirazinamid dan Ethambutol,
karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik, (b) kelompok kedua: obat
injeksi bersifat bakterisidal, Kanamisisn (Amikasin), jika alergi diganti Kapreomisin,
Viomisin. (c) kelompok ketiga: Fluorokuinolon,obat bakterisidal tinggi,msalkan
Levofloksasin, (d) kelompok keempat : obat bakteriostatik lini kedua, PAS (para
aminocallicilic acid), Ethionamid, dan Sikloserin,(e) kelompok kelima : obat yang

belum jelas efekasinya, amosisilin + asam Klavulanat dan makrolide baru
(Klaritromisin).
Grup pertama : semua obat oral lini pertama yang terbukti sensitif seyogyanya
digunakan, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat ini
sebaiknya digunakan dengan dosis maksimal
Grup kedua: obat injeksi bersifat bakterisidal. Golongan obat ini merupakan
komponen yang krusial dalam regimen pengobatan MDR-TB. Semua pasien
diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah yaitu memelau hasil kultur
negative. Penelitian di Peru, keadaan ini dicapai setelah minimal enam bulam
pengobatan. Kanamisin (Amikasin) jika alergi diganti Kapreomisin, Viomisin.
Grup ketiga : Fluorokuinolon, merupakan obat bakterisidal tinggi. Semua pasien yang
sensitive terhadap group obat ini, harus mendapat quinolon dalam regimennya.
Grup keempat : merupakan obat bakteriostatik lini kedua. Golongan obat ini
mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan quinolon.
Grup kelima : golongan obat ini belum jelas efikasinya. Secara in vitro menunjukkan
efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR-TB masih minimal.
Dalam membuat paduan/regimen pengobatan MDR-TB, ada tiga cara
pendekatan yang didasarkan atas riwayat obat TB yang pernah dikonsumsi penderita,
data Drug Resistance Surveillance (DRS) di suatu area, dan hasil DST dari penderita
itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana yang dipakai, maka dikenal pengobatan
dengan regimen yang standar, pengobatan dengan regimen standar yang diikuti
dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut, dan
pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST
individu penderita tersebut.

Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas
hasil DRS yang bersifat respresentatif pada populasi dimana regimen tersebut akan
diterapkan. Semua pasien MDR-TB akan mendapat regimen yang sana.
Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai
dari hasil DST individu penderita : Awalnya semua pasien akan mendapat regimen
yang. Regimen tersebut dibuat berdasrkan hasil DST sebagaimana tersebut di atas.
Selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah tersedia
dari pasien yang bersangkutan.
Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil
DST individu pasien: tiap regimen bersifat individualis dibuat berdasarkan riwayat
pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat
dari pasien yang bersangkutan tersedia.
Saat ini, di Indonesia dikarenakan sumber daya yang masih terbatas,
pendekatan yang dipakai dalam mengobati penderita MDR-TB adalah pendekatan
pengobatan dengan regimen standar. Meskipun demikian seorang klinisi hendaknya
mengetahui bagaimana pentahapan dalam membuat regimen untuk pengobatan
MDR-TB. WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai dilukiskan
pada gambar berikut.
Tahap 1

: gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi

Tahap 2

: tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
berdasarkan hasil uji sensitiviti dan riwayat pengobatan

Tahap 3

: tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan
fluorokuinolon

Tahap 4

: tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat
golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang
mungkin efektif

Tahap 5

: pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari
golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila
dirasakan belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.

Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR-TB yang dianjurkan oleh
WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain : 3.4
1. Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita
2. Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan
obat lini kedua yang berada di area/ negara tersebut.
3. Regimen minimal terdiri dari 4 obat yang jelas diketahui efektivitasnya
4. Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan
5. Obat diberikan sekurang-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin
etambutol, pirazinamid, dan fluorokuinolon diberikan setiap hari oleh karena
konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi.
6. Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi.
7. Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak
memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh.
8. Pirazinamid

dapat

dipertimbangkan

digunakan

efektif.

dalam

Sebagian

keseluruhan

besar

penderita

pengobatan
MDR-TB

apabila
memiliki

keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis menghasilkan suasana asam
dan pirazinamid bekerja aktif.
9. Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan.
Pengobatan pasien MDR-TB terdiri atas 2 (dua) tahap: tahap awal dan tahap lanjutan.
Pengobatan MDR-TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan pasien TB
bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat OAT
lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah
obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal
dilanjutkan kecuali OAT injeksi.

Di Indonesia, saat ini panduan standar obat dalam uji program pendahuluan di RSU
Dr. Soetomo dan RS Persahabatan yang akan diberikan pada setiap pasien MDR-TB
adalah sebagai berikut :
Fase intensif

Fase intermiten

Km-(E)-Eto-Lfx-Z-Cs

E-Eto-Lfx-Z-Cs

Keterangan :
Km : Kanamisin
E : Ethambutol
Eto : Ethionamid

Lfx : Levofloksasin
Z : Pirazinamid
Cs : Sikloserin

Dua hal yang sangat penting yang harus diperhatikan adalah: yang pertama, KIE yang
bersifat komprenhensif terhadap penderita dan keluarganya menyangkut berbagai hal
yang berkaitan dengan pengobatan yang akan diberikan. Yang kedua, selama
pengobatan harus dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT).
PEMANTAUAN SELAMA PENGOBATAN & HASH PENGOBATAN
Evaluasi awal merupakan penentu kondisi klinis pasien dan apakah diperlukan
pengobatan ancillary (misalnya bronkodilator, suplemen nutrisi, steroid). Selain itu,
deteksi yang cepat dan tepat adanya ko-morbid seperti insufisiensi ginjal, HIV,
diabetes dan depresi sangat membantu dalam perencenaan program pengobatan pada
pasien MDR-TB tersebut. Mengingat obat-obat MDR-TB yang toleransinya rendah
atau banya efek samping, maka pemantauan selama pengobatan terutama nenyangkut
efek samping harus dilakukan sesering mungkin. Penatalaksanaan yang appropriate
dengan waktu yang tepat merupakan hal yang sangat penting dan menentukan
kelangsungan/ kepatuhan pengobatan.

I.

TERAPI PEMBEDAHAN

Pada kasus TB dengan adanya kuman persisten pada jaringan nekrotik luas pada
paru, sedikitnya vaskularisasi dar keterbatasan penetrasi obat akan menimbulkan
terjadinya kegagalan terapi atau kekambuhan kasus TB. Kerusakar jaringan paru
dan kavitas parti yang luas kemungkinan jugs sebagai tempat terjadinya
kekambuhan kuman. Kondis: tersebut sangat memungkinkan terjadinya DRTB.10
Terapi pembedahan diindikasikan pada kasus DR-TB dengan kerusakan
jaringan paru yang luas dan dengan kavitas luas atau kavitas yang persisten. Pada
kasus dengan kegagalan terjadinya konversi sputum setelah terapi OAT selama 4
bulan pada fase intensif dipertimbangkan untuk dilakukan terapi pembedaan.
Jenis operasi pembedahan sangat tergantung dengan luas kerusakan jaringan paru
dan fungsi paru sebelum pembedahan, sehingga pemilihan operasi bedah dapat
segmentectomy, atau lobectomy.4,10
Pengobatan OAT harus diberikan selama 3-4 bulan sebelum tindakan bedah
dilakukan pada kasu DR-TB, dengan tujuan untuk menurunkan infeksi bakteri di
sekitar jaringan paru. Setelah tindakan bedah dilakukan, terapi OAT tetap
diberikan selama 18-24 bulan. Pada beberapa penelitiana tindakan bedah pada
kasus DR-TB dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.4,10
II. PENCEGAHAN TERJADINYA RESISTENSI OBAT
WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB,
selain relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan
risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahan yang terbaik
adalah dengan strandarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi
DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah
terjadinya resistensi OAT.3,4,9
Pencegahan terjadinya DR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus
baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada

pertama kali, penyembuhan secara komplit kasus kambuh, penyediaan suatu
pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang
"crusial", pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secara gratis.
Banyaknya kasus DR-TB oleh kareria "man made phenomena" maka jangan
pernah memberikan terapi timggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal
dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untuk penanggulangan
TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi
sesuai "evidence base" dan tes kepekaan kuman.23

DAFTAR PUSTAKA
Anti-tuberculosis drug resistance in the world. Third global report.
The WHO/IUATLD global project on drug resistance surveillance,
1999-2002. World Health Organization, Geneva; 2004 (WHO/
HTM/TB/2004.343).
Bjorn Petrini, Sven Hoffner, Drug-resistant and multidrug-resistant tubercle bacilli,
International Journal of Antimicrobial Agents 13 (1999) 93-97
Global tuberculosis control: surveillance, planning, financing. WHO report 2004.
Geneva, World Health Organization (WHO/HTM/TB/2005.349).
Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis. Geneva,
World Health Organization, 2006 (WHO/ HTM/TB/ 2006.360).
Revised National TB Control Programme, DOTS Plus Guidelines. Central TB
Division, DGHS, Ministry of Health, New Delhi, 2006.
WHO/IUATLD. Anti-tuberculosis drug resistance in the world. Third global report
2004, WHO, Geneva, Switzerland.
World Health Organization. Anti-tuberculosis drug resistance in the world : third
global report. The WHO/ IUATLD global project on antituberculosis drug
resistance surveillance 1999- 2002. Geneva: World Health Organization,
2004.