UJIAN TENGAH SEMESTER MAKALAH PERLAKUAN

Disusun untuk memenuhi syarat penilaian Ujian Tengah Semester pada mata kuliah Pelaporan dan Akuntansi Keuangan

Oleh: Esti Laras Aruming Tyas (2013220785) PROGRAM PROFESI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan dunia bisnis dan industri saat ini sangat pesat. Semua sektor industri seakan berlomba-lomba meningkatkan kualitas entitasnya. Peningkatan kualitas entitas bergantung pada informasi ekonomi yang bisa menjelaskan keberadaan dan perkembangan entitas tersebut bagi pihak-pihak lain yang berhubungan dengan entitas. Penyajian informasi terkait dengan aktivitas ekonomi entitas dapat dilakukaan melalui penyajian laporan keuangan.

Laporan keuangan merupakan sarana bagi entitas untuk mengkomunikasikan kegiatan bisnis entitas tersebut kepada pihak internal dan eksternal entitas. Pihak internal entitas meliputi para pemegang modal atau saham, jajaran manajemen, dan juga serikat pekerja entitas. Pihak eksternal entitas adalah kreditur, calon investor, pemerintah, dan masyarakat yang berada di lingkungan sekitar entitas.

Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi (PSAK No.1,2009:05). Laporan keuangan juga menjadi wujud pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya-sumber daya yang dimiliki entitas dan digunakan untuk menjalankan roda bisnis entitas. Tingginya peranan laporan keuangan dalam sebuah sistem industri membuat keberadaan laporan keuangan sangat dibutuhkan, tentunya dengan kualitas laporan keuangan yang baik.

Laporan keuangan yang baik adalah laporan keuangan yang dapat dipahami, relevan, andal, dapat diperbandingkan, dan lengkap. Kelengkapan laporan keuangan bisa dilihat dari keberadaan lima elemen laporan keuangan yaitu: laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan posisi keuangan, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Mengingat fungsi penting dari laporan keuangan, maka mutlak bagi entitas untuk melakukan penyusunan laporan keuangan dengan baik, benar, dan sesuai standar yang berlaku. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi asimetri informasi di kalangan pengguna laporan keuangan.

Sehubungan dengan upaya penyusunan laporan keuangan yang baik, pemilihan dan penggunaan metode akuntansi yang tepat menjadi hal yang harus diperhatikan. Metode akuntansi yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis industri yang Sehubungan dengan upaya penyusunan laporan keuangan yang baik, pemilihan dan penggunaan metode akuntansi yang tepat menjadi hal yang harus diperhatikan. Metode akuntansi yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis industri yang

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, perbedaan penggunaan metode untuk perlakuan akuntansi entitas sangat mungkin terjadi, khususnya pada beberapa jenis industri yang unik dan memiliki karakteristik khusus. Letak kekhususan karakteristik industri tersebut bisa terjadi pada sisi perlakuan aset, pengelolaan komoditas entitas, struktur permodalan, atau lainnya.

Kondisi wilayah Indonesia yang cocok untuk industri pertanian dan perkebunan menjadi satu alasan tersendiri mengapa di Indonesia banyak tumbuh entitas yang berkecimpung di dunia agribisnis. Sektor ini pun sanggup menopang sebagian perekonomian nasional dan sering kali menjadi penyelamat dalam struktur perekonomian makro negara ini. Entitas yang bergerak pada sektor industri agribisnis, utamanya bidang perkebunan, merupakan salah satu contoh dari entitas dengan karakteristik khusus terkait dengan penyusunan laporan keuangannya. Skala usaha dari entitas-entitas tersebut juga beragam. Mulai dari entitas yang berskala bisnis kecil setaraf Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang belum go public hingga pada entitas dengan skala bisnis yang besar dan sudah go public .

Entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan memiliki dan mengelola aset biologis berupa tanaman perkebunan yang cenderung lebih rumit perlakuannya. Proses pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan untuk sisi aset entitas, terutama pada bagian aset biologisnya, membutuhkan pemahaman yang lebih detail. Hal ini dikarenakan, pada perkembangannya saat ini, aset biologis akan mengalami klasifikasi yang berulang di sepanjang umur ekonomisnya akibat transformasi bentuk aset tersebut. Aktivitas entitas terkait dengan pengelolaan aset biologis tersebut juga menambah unsur kekhasan dari entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan.

Keberadaan aset biologis bagi entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan menjadi sangat unik dan krusial karena jenis aset ini merupakan komoditas utama entitas. Aktivitas utama entitas dalam pengelolaan aset biologis mulai dari penanaman hingga bisa menghasilkan produk yang bisa dijual harus dikelompokkan Keberadaan aset biologis bagi entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan menjadi sangat unik dan krusial karena jenis aset ini merupakan komoditas utama entitas. Aktivitas utama entitas dalam pengelolaan aset biologis mulai dari penanaman hingga bisa menghasilkan produk yang bisa dijual harus dikelompokkan

Pengukuran, pengakuan, dan penyajian terhadap aset biologis harus menggunakan metode akuntansi yang tepat agar entitas bisa menentukan nilai dari semua kelompok aset biologisnya dengan wajar. Kewajaran penilaian aset biologis ini juga harus disesuaikan dengan kontribusi dari aset tersebut pada keuntungan entitas. Ini dilakukan untuk memenuhi prinsip kesesuaian antara pendapatan dan beban ( matching ) dalam penyusunan laporan keuangan entitas.

Apabila entitas sudah mampu menilai secara wajar maka laporan keuangan yang akan disusun oleh entitas juga akan menampilkan informasi yang sesungguhnya terjadi di lapangan pada entitas tersebut. Sehingga, laporan keuangan yang dihasilkan tidak akan bias dan dapat memberikan informasi ekonomi yang benar kepada para penggunanya. Namun, apabila entitas tidak mampu melakukan penilaian dengan wajar dan sesuai standar, maka kemungkinan entitas untuk menyampaikan informasi yang bias kepada para pengguna laporan keuangan akan semakin besar. Mengingat unsur akun aset biologis ini merupakan hal utama bagi entitas perkebunan.

Entitas yang bergerak di bidang industri perkebunan juga wajib menyusun laporan keuangannya sesuai dengan standar yang berlaku, dalam hal ini berlaku di Indonesia. Seperti entitas yang pada umumnya, standar akuntansi keuangan menjadi pedoman utama dalam menyusun laporan keuangannya. Terkait dengan pengelolaan aset biologis pada entitas bisnis perkebunan yang menjadi isu tulisan ini, standar akuntansi yang berlaku di Indonesia, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK), tidak memunculkan secara spesifik tentang akuntansi perkebunan atau akuntansi untuk aset biologis. Namun demikian, ada beberapa peraturan yang bisa digunakan sebagai acuan untuk akuntansi aset biologis pada entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan ini, seperti:

1. Surat Edaran Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No: SE-02/PM/2002 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perkebunan.

2. Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN Berbasis IFRS yang dikeluarkan oleh PT. Perkebunan Nusantara I-IV dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tahun 2011.

3. PSAK 14 tentang Persediaan.

4. PSAK 16 tentang Aset Tetap.

5. IAS 41 tentang Agricultural Asset .

6. PSAK No. 23 Revisi 2010 tentang Pendapatan

7. PSAK No. 48 Revisi 2009 tentang Penurunan Nilai Aset

8. Standar Akuntansi Keuangan ETAP Beberapa acuan di atas dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen untuk menyajikan laporan keuangan yang andal ( reliable ). Manajemen entitas terkait tentunya harus menyesuaikan penerapan dengan kondisi yang ada di lapangan. Manajemen harus tetap membuat kebijakan yang bisa menjamin bahwa laporan keuangan yang mereka susun bisa dipercaya dan andal, sehingga para pengguna laporan keuangan tetap bisa menggunakannya sebagai bahan pertimbangan utama untuk memutuskan tindakan ekonomi atas entitas ini.

Keandalan laporan keuangan bisa diperoleh dengan cara menggunakan biaya historis dalam penyajiannya. Prinsip biaya historis menekankan pada pencatatan atas aset, utang, ekuitas, pendapatan dan beban entitas berdasarkan pada harga perolehan awal dari akun tersebut. Penggunaan metode biaya historis ini memang lebih andal karena angka nominal yang disajikan sesuai dengan kenyataannya dan dapat diperiksa kebenarannya melalui dokumen terkait. Namun demikian, sisi lemah dari metode biaya historis adalah ketidakmampuannya untuk membuat penyesuaian terhadap kondisi terkini yang bisa mempengaruhi kewajaran nilai aset yang dimiliki entitas.

Sehubungan dengan kelemahan metode biaya historis tersebut, maka saat ini munculah standar akuntansi yang berlaku internasional, yaitu IFRS. Secara garis besar, IFRS memperbolehkan adanya pengukuran aset entitas dengan menggunakan metode revaluasi atau penilaian kembali. Dengan menggunakan fair value accounting seperti yang dianut oleh IFRS, maka entitas diperbolehkan untuk menyajikan laporan keuangannya pada nilai yang disesuaikan dengan nilai pasarnya atau sering disebut dengan nilai wajar.

Indonesia pun saat ini sudah mulai melakukan harmonisasi dan konvergensi atas aturan yang ada dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dengan International Financial Accounting Standards (IFRS). Entitas-entitas di Indonesia, termasuk juga entitas perkebunan, diperbolehkan untuk menerapkan metode revaluasi terhadap Indonesia pun saat ini sudah mulai melakukan harmonisasi dan konvergensi atas aturan yang ada dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dengan International Financial Accounting Standards (IFRS). Entitas-entitas di Indonesia, termasuk juga entitas perkebunan, diperbolehkan untuk menerapkan metode revaluasi terhadap

Terkait dengan akuntansi untuk industri perkebunan, IASB sebagai badan yang menyusun IFRS telah mengeluarkan aturan mengenai akuntansi perkebunan. Peraturan itu ada pada pada IAS 41 tentang Accounting for Agricultural Assets . Peraturan dalam IAS 41 melingkupi standar akuntansi yang bisa diterapkan pada sektor industri agrikultur. Standar ini dapat dijadikan bahan acuan bagi manajemen entitas perkebunan untuk menyusun laporan keuangannya sesuai dengan metode revaluasi atau nilai wajar di tengah keterbatasan standar pada SAK Indonesia.

Untuk SAK ETAP, memang sifatnya masih sama dengan SAK, masih menjelaskan dengan umum mengenai pedoman akuntansi. SAK ETAP didesain untuk entitas bisnis yang tidak mempunyai akuntabilitas publik. Di dalam SAK ETAP, pedoman yang bisa dijadikan acuan terkait dengan akuntansi aset biologis pada industri perkebunan adalah konsep mengenai persediaan dan aset tidak lancar serta metode pengukuran atas nilai-nilai yang akan tersaji dalam laporan keuangan entitas tersebut. Penggunaan SAK ETAP pada entitas bisnis yang bergerak di bidang perkebunan dapat dilengkapi dengan penggunaan pedoman akuntansi lain yang lebih teknis mengatur mengenai perlakuan akuntansi aset biologisnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pelaporan aset biologis tersebut.

Sampai saat ini ada beberapa penelitian yang juga membahas mengenai masalah ini. Penelitian mengenai perlakuan akuntansi untuk aset biologis pada PT. Perkebunan Nusantara XIV di Makasar dan membandingkan perlakuan akuntansi yang ada dengan IAS 41 (Ridwan, 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa entitas terkait mengakui aset biologis yang dimilikinya dalam dua kelompok akun yaitu tanaman belum menghasilkan dan tanaman telah menghasilkan (Ridwan, 2011). Aset biologis tersebut diukur berdasarkan harga perolehannya.

Dalam artikel yang ditulis oleh Sari dan Martini (2012) mengenai Historical Cost vs Fair Value Accounting atas Pengakuan dan Penilaian Tanaman Perkebunan, disebutkan bahwa industri perkebunan memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan sektor industri lain, yang ditunjukkan oleh adanya aktivitas pengelolaan dan transformasi biologis atas tanaman untuk menghasilkan produk yang akan dikonsumsi atau diproses lebih lanjut. Tanaman perkebunan diklasifikasikan Dalam artikel yang ditulis oleh Sari dan Martini (2012) mengenai Historical Cost vs Fair Value Accounting atas Pengakuan dan Penilaian Tanaman Perkebunan, disebutkan bahwa industri perkebunan memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan sektor industri lain, yang ditunjukkan oleh adanya aktivitas pengelolaan dan transformasi biologis atas tanaman untuk menghasilkan produk yang akan dikonsumsi atau diproses lebih lanjut. Tanaman perkebunan diklasifikasikan

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada sub bagian sebelumnya, maka permasalahan yang diajukan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana cara pengukuran, pengakuan, dan penyajian akuntansi untuk aset biologis pada perusahaan perkebunan menurut konsep biaya historis dan konsep nilai wajar?

2. Bagaimana peraturan atau standar akuntansi yang berlaku di Indonesia terkait dengan akuntansi untuk aset biologis?

3. Adakah usulan terkait dengan pengembangan standar akuntansi keuangan untuk perlakuan akuntansi pada aset biologis yang dapat diterapkan di Indonesia?

2. PEMBAHASAN

2.1 Aset

Dalam sub bab ini, akan dijelaskan mengenai pengertian aset, karakteristik aset, dan klasifikasi aset.

2.1.1 Pengertian Aset

Aset merupakan salah satu elemen dalam laporan posisi keuangan entitas yang menampilkan sisi sumber daya yang dimiliki oleh entitas dan digunakan dalam kegiatan bisnis entitas tersebut. Aset entitas bisa diperoleh melalui dana yang berasal dari internal entitas dan eksternal entitas. Berikut ini beberapa pengertian mengenai aset dari berbagai literatur.

Pengertian aset menurut SAK ETAP (2009:6) adalah: “Aset adalah sumber daya yang dikuasai oleh entitas sebagai akibat dari peristiwa

masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh entitas.”

Pengertian di atas digunakan sebagai pedoman dalam pemahaman mengenai aset di Indonesia. Pengertian aset menurut SAK ETAP ini selaras dengan pengertian aset menurut International Financial Reporting Standard (IFRS).

Sedangkan menurut Financial Accounting Standard Board (FASB) yang dikutip dari Kieso (2010: 180), pengertian aset adalah:

“ Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a particular entity as a result of transactions or events ”

2.1.2 Karakteristik Aset

Pengertian mengenai aset dari sejumlah sumber di atas mengarah pada beberapa karakteristik tentang aset. Karakteristik yang melekat pada akun aset dalam laporan keuangan ini membedakan akun aset dengan akun lain yang muncul dalam laporan keuangan. Beberapa karakteristik mengenai aset adalah (Kieso, 2010:181):

1. Aset merupakan hasil dari transaksi ekonomi entitas yang dilakukan di masa lalu.

2. Aset merupakan sumber daya yang sepenuhnya berada dalam kekuasaan kendali manajemen entitas.

3. Aset digunakan oleh entitas untuk melaksanakan kegiatan operasional bisnis entitas

untuk bisa menghasilkan pendapatan atau manfaat bagi entitas di masa mendatang.

2.1.3 Klasifikasi Aset

Secara garis besar, aset diklasifikasikan sebagai aset lancar ( current assets) dan aset tidak lancar ( non current assets) (PSAK No.1, 2009:18). Namun, jika dilakukan pengklasifikasian dengan lebih rinci, maka aset terbagi dalam klasifikasi, yaitu: aset tetap, properti investasi, aset tidak berwujud, aset keuangan, investasi dengan menggunakan metode ekuitas, persediaan, piutang dagang dan piutang lainnya, kas dan setara kas.

Aset lancar merupakan aset yang berupa kas dan aset lainnya yang diharapkan akan dapat diubah menjadi kas, atau dikonsumsi dalam satu tahun atau dalam satu siklus operasi, tergantung mana yang paling lama (Kieso, 2010:181). Akun turunan dari kelompok aset lancar adalah kas dan setara kas, investasi jangka pendek, piutang usaha, Aset lancar merupakan aset yang berupa kas dan aset lainnya yang diharapkan akan dapat diubah menjadi kas, atau dikonsumsi dalam satu tahun atau dalam satu siklus operasi, tergantung mana yang paling lama (Kieso, 2010:181). Akun turunan dari kelompok aset lancar adalah kas dan setara kas, investasi jangka pendek, piutang usaha,

Akun turunan aset lancar yang kedua adalah akun investasi jangka panjang. Akun ini merupakan akun tempat di mana entitas bisa menampilkan beragam bentuk investasi entitas yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai investasi jangka pendek. Umumnya, bentuk investasi jangka panjang berupa (Kieso, 2010:184):

1. Investasi dalam sekuritas atau surat berharga seperti: saham, obligasi, atau wesel tagih jangka panjang.

2. Investasi dalam bentuk aset berwujud yang tidak digunakan dalam operasional utama entitas, seperti: tanah.

3. Investasi yang ditempatkan dalam beberapa jenis dana khusus seperti: dana pensiun, dana pengembangan investasi lahan, dan lain sebagainya.

4. Investasi kepada entitas afiliasi atau bukan afiliasi. Selanjutnya, untuk kelompok akun aset tetap, merupakan kelompok akun yang terdiri dari rincian aset entitas berupa aset berwujud yang memiliki umur ekonomis lebih dari satu tahun. Aset yang masuk dalam kelompok ini digunakan oleh entitas dalam kegiatan operasional bisnisnya, sehingga entitas wajib membuat alokasi penyusutan untuk masing-masing aset yang ada di kelompok akun ini. Penyusutan itu dilakukan per tahun dengan metode yang diperbolehkan dalam standar akuntansi keuangan.

Aset tidak berwujud adalah aset entitas yang tidak memiliki substansi fisik dan umur ekonomisnya lebih dari satu tahun. Aset tidak berwujud meliputi: paten, goodwill , hak cipta, merek dagang, dan lain-lain. Entitas juga wajib mengalokasikan penyusutan untuk masing-masing aset tidak berwujud.

Akun turunan dari aset yang terakhir adalah akun aset lain-lain. Secara umum, akun ini terdiri dari aset entitas yang tidak dapat dimasukkan dalam keempat klasifikasi aset yang sebelumnya. Aset lain-lain ini antara lain terdiri dari: peralatan yang sudah tidak digunakan lagi dalam operasional entitas, pajak tangguhan, kas yang dibatasi penggunaannya, dan lain-lain yang sesuai dengan kondisi entitas masing-masing.

2.2 Aset Biologis

Sub bab ini akan membahas mengenai topik aset biologis. Di dalamnya akan dijelaskan mengenai pengertian dan gambaran umum tentang aset biologis, dan klasifikasi aset biologis khusunya pada tanaman perkebunan.

2.2.1 Pengertian dan Gambaran Umum tentang Aset Biologis

Bagi entitas yang bergerak di industri perkebunan atau peternakan, maka akan muncul jenis aset yang khusus pada sederet klasifikasi aset yang dilaporkannya. Aset khusus yang menjadi pembeda tersebut adalah aset biologis. Aset biologis adalah aset entitas berupa hewan dan atau tanaman (IAS 41). Sesuai dengan karakteristik mengenai aset, maka aset biologis ini pun juga merupakan hasil dari transaksi ekonomi entitas di masa lalu, dikendalikan sepenuhnya oleh entitas, dan juga diharapkan akan memberikan manfaat bagi entitas di masa mendatang.

Karakteristik khusus yang melekat pada aset biologis terletak pada adanya proses transformasi atau perubahan biologis atas aset ini sampai pada saatnya aset ini dapat dikonsumsi atau dikelola lebih lanjut oleh entitas. Karakteristik khusus inilah yang juga melekat pada entitas industri perkebunan seperti yang dijadikan obyek pada tulisan ini. Tranformasi biologis merupakan proses pertumbuhan, degenerasi, produksi, dan prokreasi yang disebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif pada makhluk hidup dan menghasilkan aset baru dalam bentuk produk agrikultur atau aset biologis tambahan pada jenis yang sama (Ridwan, 2011). Terkait dengan penulisan ini, maka penjelasan mengenai aset biologis dikhususkan pada aset biologis berupa tanaman perkebunan.

2.2.2 Klasifikasi Aset Biologis-Tanaman Perkebunan

Pada industri perkebunan, tanaman perkebunan merupakan komoditas utama entitas. Hal ini dikarenakan semua aktivitas entitas terkait operasional bisnisnya bermula pada proses pengelolaan dan hasil penjualan dari tanaman ini. Aset biologis, khususnya yang berbentuk tanaman perkebunan dapat diklasifikasikan sebagai berikut (SE Bapepam, 2002):

1. Tanaman semusim Tanaman semusim dapat ditanam dan habis dipanen dalam satu siklus tanam. Termasuk dalam kategori tanaman semusim adalah tanaman pangan seperti: padi, kedelai, jagung, dan tebu.

2. Tanaman keras

Merupakan tanaman yang memerlukan waktu pemeliharaan lebih dari satu tahun sebelum dapat dipanen secara komersial pertama kali. Contoh tanaman keras antara lain: kelapa sawit, karet, dan coklat.

3. Tanaman yang dapat dipanen lebih dari satu kali tetapi bukan tanaman keras, seperti: cabe, tomat, semangka, mentimun, dan lain-lain.

4. Tanaman holtikultura Merupakan tanaman yang hasil panennya dapat dikonsumsi langsung seperti buah-buahan dan sayuran. Tanaman holtikultura dapat berupa:

a. tanaman semusim, misalnya wortel, kol, kentang, dan lain-lain.

b. tanaman yang dapat dipanen lebih dari satu kali panen tapi bukan tanaman keras, contoh: tomat, cabe, semangka, melon, timun, dan lain lain.

c. Tanaman keras, contoh: jeruk, apel, dan lain lain.

5. Tanaman non holtikultura Merupakan tanaman yang hasil panennya tidak dapat dikonsumsi secara langsung. Tanaman non holtikultura dapat berupa :

a. tanaman semusim, misalnya padi.

b. tanaman yang dapat dipanen lebih dari satu kali panen tapi bukan tanaman keras, contoh: bunga matahari.

c. tanaman keras, contoh: kopi, teh, kelapa sawit, dan lain-lain.

6. Tanaman belum menghasilkan Tanaman belum menghasilkan yang dapat berupa semua jenis tanaman, yang dapat dipanen lebih dari satu kali. Digunakan sebagai sebutan akun untuk menampung biaya-biaya yang terjadi sejak saat penanaman sampai saat tanaman tersebut siap untuk menghasilkan secara komersial.

7. Tanaman telah menghasilkan Merupakan tanaman keras yang dapat dipanen lebih dari satu kali yang telah menghasilkan secara komersial. Digunakan sebagai sebutan akun untuk biaya-biaya yang sudah harus dikapitalisas sebagai bagian aktiva tetap.

2.3 Standar Akuntansi

Pada sub bab ini disajikan mengenai pembahasan atas standar akuntansi. Penulis membahas pengertian standar akuntansi keuangan secara umum dan juga Pada sub bab ini disajikan mengenai pembahasan atas standar akuntansi. Penulis membahas pengertian standar akuntansi keuangan secara umum dan juga

2.3.1 Pengertian Standar Akuntansi Keuangan

Standar akuntansi keuangan merupakan kerangka acuan dalam prosedur yang berkaitan dengan penyajian laporan keuangan. Standar ini diperlukan untuk menyamakan prosedur dalam segala hal terkait dengan pelaporan keuangan agar laporan keuangan yang dihasilkan oleh entitas bisa diperbandingkan dan dianalisis untuk kepentingan para pengguna laporan keuangan. Implementasi dari standar akuntansi keuangan sifatnya mengikat supaya laporan keuangan tersebut terhindar dari penyajian yang bias.

Keberadaan standar akuntansi keuangan cukup banyak yang pada umumnya digunakan untuk wilayah-wilayah tertentu. Di Indonesia, standar akuntansi keuangan yang berlaku disebut dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang mulai dipergunakan sejak tahun 1994 . Wilayah Amerika Serikat menggunakan standar akuntansi keuangan yang dikenal dengan General Accepted Accounting Principles (GAAP) sedangkan standar akuntansi keuangan yang saat ini berlaku secara internasional adalah International Financial Reporting Standards (IFRS). Saat ini, Indonesia sudah mulai melakukan konvergensi SAK kepada IFRS. Entitas atau entitas yang sudah harus melakukan konvergensi IFRS di Indonesia adalah entitas yang sudah go pubslic , sedangkan untuk entitas yang belum go public diberikan pilihan untuk menerapkan SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) atau beralih menerapkan SAK Konvergensi IFRS, dengan catatan jika sudah memilih untuk menerapkan SAK yang konvergensi IFRS maka entitas tersebut harus konsisten dalam penerapannya dan tidak boleh kembali lagi menerapkan SAK ETAP.

2.3.2 Standar Akuntansi Keuangan untuk Industri Perkebunan

Standar akuntansi keuangan lain yang relevan dengan perlakuan akuntansi aset biologis pada industri perkebunan dapat berupa pedoman teknis dalam berbagai bentuk, yaitu: Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN Berbasis IFRS yang dikeluarkan oleh PT. Perkebunan Nusantara I-IV dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tahun 2011, PSAK No.14 Revisi 2008 tentang Persediaan, PSAK No. 16 Revisi 2011 tentang Aset Tetap, IAS 41 tentang Agricultural Asset , PSAK No. 23 Revisi 2010 tentang Pendapatan, dan PSAK No. 48 Revisi 2009 tentang Penurunan Nilai Aset.

2.3.2.1 Standar Akuntansi Keuangan untuk Industri Perkebunan-Kehutanan

Di dalam Standar Akuntansi Keuangan yang digunakan di Indonesia, belum ada pernyataan yang spesifik yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi khusus bagi industri perkebunan. Selama ini hanya ada PSAK 32 yang mengatur mengenai akuntansi kehutanan, yang juga ikut diterapkan dalam industri perkebunan. PSAK 32 ini sudah dicabut oleh IAI dan tidak dipergunakan lagi sebagai suatu standar akuntansi di Indonesia. Standar yang khusus mengenai pengungkapan atau pelaporan aset biologis belum ada. Dengan demikian, penyusunan laporan keuangan bagi entitas perkebunan dilakukan berdasarkan penyesuaian terhadap konsep dan prinsip umum mengenai pelaporan keuangan seperti yang dijelaskan pada PSAK No. 1 dan Peraturan Bapepam tentang industri perkebunan, dan pedoman akuntansi lain yang sesuai. Secara umum, metode akuntansi yang dapat diterapkan oleh manajemen entitas perkebunan adalah metode pencatatan dengan biaya historis ( historical cost method ).

2.3.2.2 Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN Tahun 2011

Kebutuhan akan adanya pedoman akuntansi yang secara detail membahas mengenai akuntansi perkebunan dan juga tuntutan keadaan global yang mengharuskan adopsi terhadap IFRS membuat PTPN I-IV bersama IAI menyusun sebuah pedoman akuntansi perkebunan BUMN berbasis IFRS. Pedoman akuntansi ini memang bukan merupakan produk langsung dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan dari IAI (DSAK- IAI) karena produk langsung dari DSAK-IAI adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Pedoman akuntansi ini merupakan produk dari regulator dan asosiasi industri yang bersangkutan. Isi dari pedoman akuntansi perkebunan BUMN ini dibuat secara lengkap dan terinci untuk semua komponen laporan keuangan yang dibutuhkan.

Terkait dengan perlakuan akuntansi atas aset biologis, dalam pedoman ini yang dapat dijadikan acuan adalah penjelasan pada bagian aset persediaan dan aset tanaman tahunan. Persediaan adalah (Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011:47):

1. Aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal.

2. Aset dalam proses produksi atau dalam perjalanan.

3. Aset yang tersedia dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam pemberian pelayanan, proses produksi, dan mendukung kegiatan administratif.

Dasar pengaturan yang digunakan terkait dengan persediaan ini menggunakan PSAK 14. Akun persediaan menampung beberapa jenis persediaan yaitu hasil tanaman, barang dalam proses, bahan baku, bahan pelengkap (Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011:47). Persediaan hasil tanaman yang dimaksud dapat berupa buah atau inti kelapa sawit, hasil sadapan karet, teh, dan lain-lain. Persediaan bahan pelengkap meliputi pupuk, obat-obatan tanaman atau pestisida, bahan bakar untuk memproduksi, dan lain-lain.

Selain pada unsur akun persediaan, bagian lain dari pedoman ini yang relevan dengan masalah penuliasan ini adalah mengenai aset tanaman tahunan. Aset tanaman tahunan adalah aset tanaman perkebunan yang terdiri dari tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman telah menghasilkan (TM) (Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011:94). Dasar pengaturan untuk aset tanaman tahunan adalah PSAK 16 mengenai aset tetap dan PSAK 48 mengenai penurunan nilai aset.

Proses yang dilalui menjadi untuk aset tanaman tahunan adalah dari pembibitan sampai dengan menjadi tanaman telah menghasilkan (proses dari TBM hingga menjad TM) dan dari tanaman telah menghasilkan sampai dengan dihentikan pengakuannya, misalnya ditebang atau diganti dengan tanaman lain (Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011:94).

Terkait dengan pengakuan biaya perolehan aset biologis berupa tanaman tahunan, maka hal ini dapat diklasifikasikan atas biaya TBM, biaya TM, dan biaya untuk penyulaman atas tanaman yang rusak.

Menurut Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN (2011:93), biaya yang diakui sebagai bagian dari TBM (biaya perolehan awal) yaitu:

1. Biaya input, yaitu harga perolehan bibit dan biaya lainnya yang dikeluarkan entitas sampai dengan bibit siap tanam.

2. Biaya proses, yaitu biaya yang dikeluarkan setelah biaya input sampai menjadi bibit tanaman berikutnya yang terdiri dari biaya tenaga kerja langsung di unit atau di kebun untuk pemeliharaan TBM dan biaya lainnya yang terjadi seperti: biaya penyiapan lahan (land clearing) biaya handling dan pengangkutan bibit tanaman, biaya penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan, biaya pengujian aset tanaman tahunan, dan biaya komisi profesional yang menangani aset tanaman.

Terkait dengan biaya penyulaman atau penyisipan, dapat dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan areal dan pendekatan per pohon. Dalam metode pendekatan areal biaya penyisipan suatu aset tanaman dalam areal TBM diakui sebagai penambah jumlah tercatat aset TBM dan biaya penyisipan suatu aset dalam areal TM diakui sebagai beban periode terjadinya. Dalam metode pendekatan per pohon, jumlah tercatat aset TM yang diganti diakui sebagai beban periode terjadinya dan biaya aset tanaman baru diukur sebagai biaya perolehan aset tanaman tahunan (Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011: 94-95)

Topik selanjutnya dalam pedoman akuntansi perkebunan ini adalah mengenai reklasifikasi dari TBM ke TM. Menurut Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN (2011:96), TBM direklasifikasi ke TM pada saat tanaman sudah menghasilkan. Penentuan waktu tanaman dapat menghasilkan ditentukan oleh pertumbuhan vegetatif dan berdasarkan taksiran manajemen. Nilai TBM yang direklasifikasi ke TM adalah total biaya perolehannya yang dikurangi dengan akumulasi rugi penurunan nilai.

Perlakuan biaya setelah reklasifikasi dari TM ke TBM diatur sebagai berikut (Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011:96):

1. Biaya perolehan TM sebesar nilai tercatat TBM yang direklasifikasi ke TM.

2. Biaya-biaya yang terjadi setelah TM diakui sebagai beban periode terjadinya, kecuali biaya-biaya yang memenuhi syarat untuk dikapitalisasi ke aset.

3. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memelihara aset tanaman yang tidak menambah manfaat ekonomis aset tanaman, atau biaya-biaya yang mengembalikan aset tanaman ke kondisi normalnya, maka biaya-biaya tersebut dibebankan pada periode terjadinya. Misalnya, biaya pemupukan rutin.

Pedoman ini juga mengatur mengenai penyusutan atas aset tanaman perkebunan. Penyusutan aset tanaman dimulai ketika TBM direklasifikasi ke TM. Penyusutan dilakukan menggunakan metode garis lurus. Penyusutan aset tanaman tahunan diakui sebagai beban produksi atau penambah biaya perolehan persediaan yang dihasilkannya. Akumulasi penyusutan aset tanaman disajikan sebagai pos pengurang jumlah tercatatnya (Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN, 2011:99).

Penurunan nilai aset tanaman tahunan dapat dialami oleh entitas pada masa aset berada dalam kualifikasi TBM, TM, maupun dalam bentuk hasil produk tanamannya. Menurut Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN (2011:99), penurunan Penurunan nilai aset tanaman tahunan dapat dialami oleh entitas pada masa aset berada dalam kualifikasi TBM, TM, maupun dalam bentuk hasil produk tanamannya. Menurut Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN (2011:99), penurunan

2.3.2.3 PSAK No. 14 Revisi 2008 tentang Persediaan

Dewan Standar Akuntansi Keuangan atau yang disingkat dengan DSAK di bawah organisasi IAI mengeluarkan pernyataan standar akuntansi keuangan yang membahas mengenai Persediaan dalam PSAK No.14 Revisi 2008. Tujuan dikeluarkannya PSAK ini adalah untuk mengatur hal-hal terkait dengan persediaan, yaitu: penentuan jumlah biaya yang diakui sebagai aset dan perlakuan akuntansi selanjutnya atas akun ini sampai pendapatan terkait persediaan dapat diakui, menyediakan panduan dalam menentukan biaya dan pengakuan selanjutnya sebagai beban, termasuk juga mengenai nilai realisasi neto persediaan, memberikan panduan rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya persediaan, dan panduan mengenai penurunan nilai persediaan.

Pengertian mengenai persediaan dalam PSAK ini sejalan dengan pengertian yang ada dalam Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN yang dikeluarkan oleh PTPN I-IV dan IAI, bahwa persediaan adalah aset yang tersedia untuk dijual, aset yang dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, dan aset yang dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa. Persediaan terkait dengan aset biologis dan kegiatan operasional bisnis dari industri perkebunan berupa: persediaan hasil panen dan persediaan bahan pelengkap (pupuk, obat tanaman, dan pestisida).

Pengukuran nilai persediaan dilakukan berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang lebih rendah (PSAK No.14, 2008: 4). Biaya persediaan harus meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang timbul sampai dengan persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini (PSAK No.14, 2008:4).

Teknik pengukuran biaya dalam persediaan menggunakan teknik pengukuran biaya standar atau metode eceran. Dalam kaitannya dengan aset biologis, maka teknik pengukuran biaya yang lebih mudah adalah menggunakan metode biaya standar dengan cara memperhitungkan tingkat normal penggunaan bahan, perlengkapan, tenaga kerja, efisiensi dan utilisasi kapasitas.

Persediaan akan dipindahbukukan dan diakui sebagai beban jika telah terjadi penjualan atas persediaan tersebut. Menurut PSAK No.14 (2008:11), jika persediaan dijual, maka nilai tercatat persediaan tersebut harus diakui sebagai beban pada periode diakuinya pendapatan atas penjualan tersebut. Setiap penurunan nilai persediaan di bawah biaya menjadi nilai realisasi neto dan seluruh kerugian persediaan harus diakui sebagai beban pada periode terjadinya penurunan atau kerugian tersebut. Setiap pemulihan kembali penurunan nilai persediaan karena peningkatan kembali nilai realisasi neto, harus diakui sebagai pengurangan terhadap jumlah beban persediaan pada periode terjadinya pemulihan tersebut. Di dalam kegiatan operasional entitas bisnis perkebunan, berkurangnya nilai persediaan dikarenakan persediaan berupa hasil, pemakaian bahan pelengkap, dan kerusakan yang terjadi pada stok hasil panen. Kerusakan atas persediaan harus dihapus dari akun persediaan dan dibebankan sebagai beban periodik pada tahun berjalan.

2.3.2.4 PSAK No. 16 Revisi 2011 tentang Aset Tetap

Penyusunan PSAK No.16 Revisi 2011 yang dilakukan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan-IAI ditujukan untuk mengatur mengenai perlakuan akuntansi aset tetap. Isu utama yang diangkat akuntansi untuk aset tetap adalah pengakuan aset tetap, penentuan jumlah tercatat, pembebanan penyusutan, dan rugi penurunan nilai atas aset tetap.

Menurut PSAK No.16 (2011:2) aset tetap adalah aset berwujud yang:

1. dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan

2. diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode. Di dalam PSAK ini, dijelaskan bahwa pengakuan aset tetap dilakukan sebesar biaya perolehannya jika kemungkinan besar entitas akan mendapatkan manfaat ekonomi di masa depan atas aset tersebut dan biaya perolehannya dapat diukur secara andal. Biaya perolehan aset tetap adalah setara dengan nilai tunai yang diakui pada saat terjadinya (PSAK No.16, 2011:9). Komponen dari biaya perolehan awal adalah harga pembelian aset, biaya pengiriman, estimasi biaya relokasi dan instalasi. Akumulasi atas biaya perolehan akan berhenti ketika aset tetap sudah siap untuk digunakan.

Topik pembahasan aset tetap selanjutnya adalah mengenai pengakuan atas biaya-biaya yang dikeluarkan setelah perolehan awal. Pengeluaran biaya pasca

perolehan ini bisa dalam jumlah yang kecil atau besar dan rutin dikeluarkan atau insidental. Menurut PSAK No.16 (2011:5), entitas tidak boleh mengakui biaya perawatan sehari-hari aset tetap sebagai bagian dari aset bersangkutan. Biaya-biaya ini diakui dalam laba rugi saat terjadinya. Biaya perawatan sehari-hari terutama terdiri atas biaya tenaga kerja dan bahan habis pakai ( consumables ) termasuk di dalamnya suku cadang kecil. Pengeluaran- pengeluaran untuk hal tersebut sering disebut “biaya pemeliharaan dan perbaikan” aset tetap. Untuk klasifikasi pengakuan atas pengeluaran setelah perolehan awal selanjutnya adalah dikapitalisasi menambah nilai aset tetap yang bersangkutan. Menurut PSAK No.16 (2011:6), entitas mengakui biaya penggantian komponen suatu aset dalam jumlah tercatat aset saat biaya itu terjadi jika pengeluaran tersebut memenuhi kriteria untuk diakui sebagai bagian dari aset. Jumlah tercatat komponen yang diganti tersebut tidak lagi diakui apabila telah memenuhi ketentuan penghentian pengakuan.

Pengukuran biaya setelah pengakuan awal dapat dilakukan dengan menggunakan metode biaya dan metode revaluasi. Apabila menggunakan metode biaya maka aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK No.16, 2011:11). Jika menggunakan metode revaluasi, maka aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup reguler untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada akhir periode pelaporan (PSAK No.16, 2011:11).

Dalam PSAK No.16 ini juga mengatur mengenai penyusutan aset tetap. Menurut PSAK No.16 (2011:14), entitas mengalokasikan jumlah pengakuan awal aset pada bagian aset tetap yang signifikan dan menyusutkan secara terpisah setiap bagian tersebut. Penyusutan merupakan alokasi harga perolehan dari sebuah aset tetap sepanjang umur ekonomis secara sistematis dan rasional. Alokasi penyusutan ini untuk memenuhi prinsip matching atas pendapatan dan beban dalam satu periode akuntansi yang sama. Beban penyusutan untuk setiap periode harus diakui dalam laba rugi kecuali jika beban tersebut dimasukkan dalam jumlah tercatat aset lainnya (PSAK No.16, 2011:15). Kebijakan manajemen berdasakan pertimbangan profesional yang logis, Dalam PSAK No.16 ini juga mengatur mengenai penyusutan aset tetap. Menurut PSAK No.16 (2011:14), entitas mengalokasikan jumlah pengakuan awal aset pada bagian aset tetap yang signifikan dan menyusutkan secara terpisah setiap bagian tersebut. Penyusutan merupakan alokasi harga perolehan dari sebuah aset tetap sepanjang umur ekonomis secara sistematis dan rasional. Alokasi penyusutan ini untuk memenuhi prinsip matching atas pendapatan dan beban dalam satu periode akuntansi yang sama. Beban penyusutan untuk setiap periode harus diakui dalam laba rugi kecuali jika beban tersebut dimasukkan dalam jumlah tercatat aset lainnya (PSAK No.16, 2011:15). Kebijakan manajemen berdasakan pertimbangan profesional yang logis,

Dalam kaitannya dengan perlakuan akuntansi aset biologis di industri perkebunan, bagian aset biologis yang memenuhi kualifikasi sebagai aset tetap adalah akun Tanaman Menghasilkan (TM). Kelompok akun tanaman ,menghasilkan merupakan hasil reklasifikasi dari nilai bersih Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) yang sudah layak memasuki masa menghasilkan sesuai dengan taksiran manajemen. Setelah diakui sebagai tanaman menghasilkan, maka aset biologis yang ada di dalamnya akan disusutkan dengan metode penyusutan yang sesuai.

2.3.2.5 IAS 41 untuk Industri Agrikultur-Perkebunan

Berbeda dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), standar yang berlaku internasional, yaitu IFRS telah mengatur secara spesifik mengenai akuntansi untuk industri perkebunan. Peraturan tersebut disajikan dalam IAS 41 mengenai akuntansi untuk kegiatan agrikultur. Aset biologis dalam agrikultur berupa tanaman dan hewan (IAS 41:5). Jika dikaitkan dengan obyek tulisan ini, maka aset biologis yang dibahas hanya terkait dengan tanaman.

IAS 41 mengatur mengenai perlakuan akuntansi, penyajian, dan pengungkapan laporan keuangan terkait dengan aset biologis dan produk hasil pertanian pada saat masa panen sejauh ada kaitannya dengan kegiatan pertanian. Menurut IAS 41 (2008:10) terkait dengan pengakuan awal atas aset biologis adalah: “ An entity should recognise a biological asset or agriculture produce only when the

entity controls the asset as a result of past events, it is probable that future economic benefits will flow to the entity, and the fair value or cost of the asset can be measured reliably .”

Sesuai dengan rerangka konseptual yang diterapkan dalam IFRS, maka IAS 41 ini menggunakan metode akuntansi dengan menerapkan revaluation model atau dikenal dengan konsep fair value accounting . Penerapan revaluation model dalam pencatatan terhadap kelompok akun aset tetap, termasuk akun tanaman perkebunan (aset biologis), dilakukan berdasarkan nilai wajarnya. Menurut IAS 41 (2008:12), biological assets should be measured on initial recognition and at subsequent reporting dates at fair value less estimated costs to sell, unless fair value cannot be reliably measured .

Agricultural produce should be measured at fair value less estimated costs to sell at the point of harvest .

Terkait dengan hasil produk agrikultur, maka entitas harus mengukurnya pada saat panen sebesar nilai wajar dikurangi biaya penjualan. Tidak ada pengecualian terhadap nilai wajar atas bagian produk yang tidak dapat diukur dengan andal karena nilai wajar produk agrikultur selalu dapat diukur dengan andal. Persyaratan dalam pengukuran sesuai dengan IAS 41 adalah sebagai berikut:

1. A quoted market price in an active market for a biological asset or agricultural produce is the most reliable basis for determining the fair value of that asset. If an active market does not exist, IAS 41 provides guidance for choosing another measurement basis. First choice would be a market-determined price such as the most recent market price for that type of asset, or market prices for similar or related assets (IAS 41, 2008:17-19) .

2. If reliable market-based prices are not available, the present value of expected net cash flows from the asset should be used, discounted at a current market- determined rate (IAS 41, 2008:20) .

3. In limited circumstances, cost is an indicator of fair value, where little biological transformation has taken place or the impact of biological transformation on price is not expected to be material (IAS 41, 2008:24) .

4. The fair value of a biological asset is based on current quoted market prices and is not adjusted to reflect the actual price in a binding sale contract that provides for delivery at a future date (IAS 41, 2008:16)

2.3.2.6 PSAK No. 23 Revisi 2010 tentang Pendapatan

Pembahasan mengenai PSAK No. 23 Revisi 2010 ini ditampilkan karena dipandang ada keterkaitannya dengan pengakuan pendapatan pada entitas bisnis perkebunan yang mengelola aset biologis sebagai komoditas utama di dalam operasional bisnisnya. PSAK No. 23 Revisi 2010 ini membahas mengenai topik pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan akun pendapatan yang diterima oleh suatu entitas bisnis dari kejadian: penjualan barang, penjualan jasa, dan penggunaan aset entitas oleh pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti, dan deviden.

Di dalam PSAK No. 23 (2010:3) pendapatan adalah arus masuk bruto dari Di dalam PSAK No. 23 (2010:3) pendapatan adalah arus masuk bruto dari

Terkait dengan bidang usaha yang dijadikan obyek tulisan, maka pendapatan entitas bisnis yang menjalankan usaha agribisnis dengan komoditas utamanya adalah hasil dari aset biologis, yang akan dibahas dengan PSAK No.23 ini adalah pendapatan yang berasal dari transaksi penjualan barang berupa hasil panen dari tanaman yang berupa aset biologis. Kondisi yang disebut dengan penjualan barang dalam bentuk hasil panen adalah apabila telah memenuhi kulaifikasi sebagai berikut (PSAK No.23, 2010: 6):

1. Entitas telah memindahkan resiko dan manfaat kepemilikan barang secara signifikan kepada pembeli.

2. Entitas tidak lagi melanjutkan pengelolaan yang biasanya terkait dengan kepemilikan atas barang ataupun melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual.

3. Jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal.

4. Kemungkinan besar manfaat ekonomi yang terkait dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas.

5. Biaya yang terjadi atau akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan tersebut dapat diukur secara andal. Pengukuran mengenai nilai pendapatan atas barang yang dijual oleh entitas berupa persediaan hasil panen dari aset biologis. Biaya atas pendapatan ini dilakukan dengan mengukur nilai persediaan yang menjadi harga pokok penjualan atau beban pokok penjualannya.

2.3.2.7 PSAK No. 48 Revisi 2009 tentang Penurunan Nilai Aset

PSAK No. 48 Revisi 2009 merupakan standar akuntansi keuangan yang diadopsi dari IAS No. 36 tentang Penurunan Nilai Aset atau Impairment of Assets. Di dalam PSAK ini penurunan nilai aset yang tergolong dalam aset biologis merupakan salah satu bagian dari ruang lingkupnya. Tujuan dari diterbitkan PSAK No.48 Revisi 2009 ini adalah untuk menetapkan prosedur agar aset yang dicatat tidak melebihi jumlah terpulihkannya atau dikenal dengan istilah impairment (PSAK No.48, 2009:1). Jumlah aset terpulihkan bisa dilihat dari nilai apabila aset tersebut dijual atau digunakan, mana yang lebih tinggi.

Pembahasan mengenai standar akuntansi yang mengatur mengenai penurunan nilai aset ini dibutuhkan dalam tulisan karena terkait dengan aset biologis, ternyata aset ini sangat rentan mengalami penurunan nilai dalam berbagai tahapan perkembangan vegetatifnya. Penurunan nilai aset biologis biasanya dikarenakan ada sebagian bentuk aset biologis yang cacat atau rusak sehingga tidak bisa lagi digunakan dalam operasional bisnis entitas dan otomatis mengurangi keseluruhan nilai tercatat dari aset biologis, baik dalam akun tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman menghasilkan (TM), maupun persediaan hasil panennya.