Menghadapi Sejarah yang hilang Berulang

Menghadapi Sejarah yang Berulang

Oleh: Zulfikhar*
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural
“Those who cannot learn from history are condemned to repeat It”*
-George Santayana, Filsuf Spanyol-

Dalam periodisasi sejarah klasik sampai modern, umat manusia sering
berjumpa dengan siklus kebangkitan dan kematian peradaban. Sejarah
selalu berulang, sejak peradaban Lemuria (75.000 SM – 11.000 SM)
[1] sampai dengan negara bangsa di zaman modern. Perjumpaan
manusia dengannya kebanyakan terjadi karena alasan kemajuan
peradaban tersebut dan kontribusinya untuk kebangkitan peradaban
manusia. Atas alasan itulah banyak para sejarawan, antropolog dan
arkeolog menyelidiki situasi dan keadaan peradaban masa lampau
(history/sejarah).
Keberadaan manusia dalam peradaban-peradaban tersebut menjadi
prasyarat untuk membangun sejarah manusia sampai era modern.
Manusia mengonstruksinya sedemikian rupa sehingga memenuhi obsesi
material kemanusiaan. Sejarah masa lalu ternyata membuat manusia
menambah referensi hikmah untuk membangun masa depan.

Upaya untuk mengetahui kondisi masa lalu terkadang membuat manusia
tidak cepat puas. Apalagi fakta sejarah itu tak mendukung atau
membenarkan tindakan dan obsesi manusia yang ingin tahu
terhadapnya. Oleh sebab itu, banyak manusia melakukan manipulasi
terhadap fakta-fakta sejarah, lantas mengolahnya (baca: manipulasi)
sedimikian rupa sehingga menjadi sebuah kisah sejarah yang seolah-olah
benar. Terutama untuk mendukung tindakan manusia yang
memanipulasinya.
Sejarah yang dibangun oleh manusia dijumpai tidak jauh dari akar
filosofis manusia-manusia tersebut. Betapa pun sulitnya bangunan
sejarah yang sedang diarsitekinya itu secara gradual akan bangkit dari

kekosongannya juga. Kecerdasan sebagai modal sosial manusia acapkali
berperan banyak mendukung obsesi itu.
Belajar dari Sejarah Klasik
Bangsa Mesir dahulu 30 abad sebelum Masehi terpecah menjadi dua
kerajaan di hulu dan hilir sungai Nil. Yaitu Mesir Hulu dan Mesir Hilir.
Dua kerajaan ini sering berperang antara satu dengan lain. Sampai
kepada suatu momentum ketika Menes dari salah satu kerajaan
memenangkan peperangan atas yang lain dan mempersatukan kedua

kerajaan pada tahun 3200 SM[2].
Lantas, terjadi peledakan peradaban. Mesir menjadi salah satu bangsa di
dunia yang menguasai bidang matematika, sastra, seni, militer,
pertanian, perdagangan dan lain-lain. Daerah delta sungai Nil menjadi
pemasok pangan seperti gandum untuk membuat roti dan bir.[3]
Sedangkan, daerah padang pasir disulap menjadi kota-kota layaknya
Roma dan Athena. Raja Ramses membangun Piramid sebagai makamnya
di kemudian hari. Mulai tahun 47 SM perlahan Mesir mulai mengalami
kemunduran.
Sejarah peradaban Islam yang dapat bertahan selama 15 abad –terhitung
sejak perluasan Islam sampai runtuhnya Kerajaan Turki Ustmani tahun
1924- banyak memberikan sumbangan bagi kemajuan peradaban dunia,
khususnya Barat. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di dunia
Islam pada waktu itu terbukti dengan adanya dengan proses transferensi
dan anotasi (pencatatan) ilmu pengetahuan dari Yunani ke Arab oleh
para sarjana-sarjana muslim. Saat itu Barat sedang memasuki periode
Skolastisisme (abad ke-8 M – Abad ke-14 M)[4].
Dengan menggunakan periodisasi peradaban Islam, masa skolastik
dalam filsafat Kristen yang terjadi dari abad ke-8 hingga abad ke-14 M
adalah masa keemasan kita (Islam) yang terjadi pada abad ke-2 hingga

abad ke-7 Hijriyah[5]. Filsafat Kristen mulai muncul pada abad ke-9 di
tangan Johannes Scotus Eriugene (815-877 M) yang hidup semasa
dengan al-Kindi (801-873 M),[6] penemu filsafat Islam.
Karya Aristoteles –misalnya sebagai representasi karya-karya filsafat
Yunani saat itu- mendapat tempat yang khusus bagi sarjana-sarjana
muslim. Posisinya di hati sarjana muslim mengalahkan sosok Plato yang
notabene adalah guru Aristoteles. Al-Farabi dan Ibnu Rushd buktinya
banyak menganotasi karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab.
Sebab, di dalam aliran pemikiran Aristoteles telah terjadi sinkronisasi
melalui jalan transedensi yang didalamnya ditemukan seluruh aspek
subjektivitasnya, yaitu penelitian yang direpresentasikan oleh konsepsi
Islam di dalam keutamaan moderasi tanpa ifrath maupun tafrith.[7]
Demikian pula bahwa aliran Aristotelian, sebagaimana diketahui dalam
sejarah pemikiran, didominasi oleh ruh realisme dan berpegang pada
pengalaman empirik, padahal di balik setiap gelombang empiris itu

terdapat realitas ilmiah tenang pemikiran humanistik. Ini adalah elemen
Islam yang lahir secara khusus berkaitan dengan landasan kaum
muslimin tentang penelitian (induksi) dan investigasi mereka terhadap
paradigma-paradigma argumentasi, serta tentang pendapat mereka

terhadap al-mashalih al-murshalah.[8]
Fenomena peristiwa sejarah diatas menunjukkan siklus periodisasi majumundurnya peradaban. Bahwa setiap peradaban akan mengalami pasang
dan surut, kehidupan dan kematian, kejayaan dan kemunduran.
Betatapun sebuah peradaban (baca: kerajaan) bertahan sedemikian kuat
terhadap zaman yang akan menggilasnya –tanpa proses adaptatif. Jika itu
sudah merupakan tabiat zaman maka kerajaan itu akan pasti berakhir.
Ibnu Khaldun di dalam masterpiece-nya, Muqaddimah, jauh-jauh hari
sudah menuliskan siklus peradaban itu. Kondisi kerajaan dan fase-fase
yang harus dilaluinya biasanya tidak lebih dari empat fase.
Pertama, fase pemantapan kekuasaan dengan cara penggulingan dan
penguasaan terhadap para pembela dan pendukungnya, serta merebut
kekuasaan dari tangan penguasa sebelumnya. Kedua, fase otoriter dan
kesewenang-wenangan terhadap kaumnya dan bersikap individual dalam
menjalankan pemerintahan dengan cara mengekang, mengebiri,
membungkam, dan membatasi peran mereka dalam urusan
pemerintahan.
Ketiga, fase stabilitas dan ketenangan karena manfaat dari kekuasaan
telah berhasil diperoleh, dimana karakter manusia memang cenderung
demikian: mengumpulkan kekayaan, melanggengkan pengaruh, dan
melebarkan popularitas. Keempat, fase kepuasan dan mudah menyerah

dan pasrah dan kelima, fase pemborosan dan hidup berlebih-lebihan.[9]
Dinasti Umayyah berperan besar dalam menyebarkan agama Islam ke
pelosok bumi tengah sampai ke timur jauh (Indonesia, China). Di bawah
pemerintahan Umayyah, doktrin Islam diuraikan, dituliskan, dan
disahkan ke dalam kitab-kitab hukum.[10] Proyek besar itu berdampak
kepada kestabilan dunia yang beradab. Umayyah bersinar dalam
kodifikasi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Proses transferensi dari
pengetahuan Yunani ke Arab terus dilakukan dan berkembang pesat.
Akibatnya, Umayyah mengalami masa keemasan mulai abad ke 7 sampai
10 Masehi –atau 2 sampai 5 Hijriah.
Tiga abad bertahan dalam pusaran kompetisi peradaban-peradaban
mutakhir menjelang abad pertengahan. Umayyah lambat laun mengalami
kemunduran. Heterogenitas bangsa-bangsa yang memeluk Islam mulai
memunculkan masalah baru dan semakin membesar. Konsep ummah
yang menempatkan kedudukan umat Islam egaliter –baik Arab maupun
non Arab- kontras dilakukan pada praksisnya –bangsa Arab tetap masih
diistimewakan. Etnosentrisme terjadi di dalam kerajaan. Akhirnya,
kerajaan (dinasti) yang didominasi orang Arab tidak bisa memenuhi
janjinya –untuk netral kepada semua suku bangsa di dalam kerajaantersebut[11].


Ketidakpuasan pun bermunculan diantara kaum muslimin non Arab. Dan
berujung kepada manuver politik Abu Muslim (Abu al-Abbas)
menghancurkan sendi-sendi pilar Umayyah, Dinasti Abbasyiah pun lahir.
Abbasyiah yang melakukan program-program pembersihan orang-orang
Umayyah berhasil membangun dinastinya tanpa fasilitasi dari kelompok
lain. Ashobiyah (fanatisme) yang diinternalisasikan oleh imperium baru
ini berhasil membangun kerajaan yang hegemoninya menghujam kuat.
Sehingga, perluasan Islam terus massif menjorok ke barat dan timur.
Wilayahnya memanjang mencapai perbatasan Cina di sebelah timur dan
Perancis Selatan di sebelah barat, termasuk Andalus (Spanyol).[12]
Pesatnya peradaban Abbasyiah mulai surut ketika khalifah Mu’tashim
memimpin. Pada masa kepemimpinannya, ia memasukkan orang-orang
Turki ke istananya.[13] Kebijakan yang banyak tidak disetujui orangorang Arab –karena pengaruh etnosentrisme- itu tidak digubris
Mu’tashim. Akibatnya, orang-orang Turki semakin berani dan klimaksnya
mereka membunuh khalifah Mutawakkil, anak Mu’tashim.
Di sinilah awal kemunduran Abbasiyah bermula. Mulai muncul kerajaankerajaan kecil yang dipimpin oleh para Gubernur khalifah yang
membangkang. Puncak kemunduran Abbasyiah terjadi pada saat
serangan tentara Salib dan bangsa Tartar. Pada tahun 1219 M tentara
Tartar melakukan invasi ke kerajaan-kerajaan Islam. Pada tahun 1220
M/617 H bangsa Tartar berhasil menguasai seluruh kerajaan Islam.[14]

Tartar pada akhirnya memasuki ibukota, Baghdad, dan memusnahkan
ribuan penduduk termasuk ribuan buku di perpustakaan-perpustakaan.
Akibat invasi besar itu Abbasyiah perlahan mundur dan berakhir.
Belajar dari Sejarah Modern
Periode bangkit mundurnya peradaban Islam dan pagan di zaman klasik
juga terjadi di zaman modern[15]. Kerajaan/kekaisaran (monarki) yang
bertahan berabad-abad lamanya mundur perlahan karena perubahan
zaman. Tampaknya zaman kebangkitan (renaissance) pada abad 5 dan
pencerahan (aufklarung) pada abad 17 menjadi penyebab diakronis.
Sinkronisnya adalah kebosanan para sarjana dan intelektual zaman itu
terhadap dominasi raja yang membonceng gereja untuk menindas upaya
pengembangan dan pembaharuan (tajdid) ilmu pengetahuan.
Zaman modern (baca: modernisme) untuk selanjutnya membawa Barat
ke periode kemajuan zaman yang liberal dan mengakomodasi
kepentingan individual. Kapitalisme sebagai produk sejarah modernisme
membawa kebangkitan bagi Barat.
Sebagai sebuah proyek, modernisme tidak bisa dilepaskan dari asumsiasumsi filosofis yang membentuk padanagan-dunia dan menjadi fondasi
dasar dari seluruh bangunan epistemologisnya. Antara lain, asumsi
bahwa pengetahuan senantiasa bersifat objektif, netral, bebas-nilai (freevalued); bahwa manusia merupakan subjek, sementara alam menjadi
objek; bahwa pengetahuan kita terhadap realitas adalah positif,


gambling, dan jelas (distinctive); bahwa rasio dan akal budi merupakan
sumber dan satu-satunya otoritas yang memiliki kebenaran tak tergugat;
bahwa manusia adalah pelaku dan penggerak sejarah dan karenanya
memegang kendali (dan monopoli) atas berbagai perubahan social,
politik, ekonomi, dan aspek kehidupan lainnya.[18]
Transformasi struktural dari negara monarki ke demokrasi yang sarat terjadi di Eropa,
Timur Tengah dan Asia tidak saja mewakili pergantian sejarah. Yang terjadi ternyata
tidak saja pada perubahan bentuk negara, Akan tetapi, terjadi pula perubahan pada
aspek kebudayaan masyarakat, khususnya persoalan Teologi di Eropa. Artinya, di sana
terjadi juga sebuah proses transformasi kultural yang beroperasi melalui jalur-jalur
kebudayaan.

Terjadi disposisi dari tren religius menuju tren sekular bahkan atheis
dalam masyarakat Eropa. Disposisi kultural ini menjadi semakin merata,
terutama pada beberapa negara seperti Rusia dan negara-negara Eropa
Timur yang mengalami pengeringan nilai-nilai agama oleh dominasi
sistem sekular-komunis. Tampaknya, atheisme telah bergerak dari
bentuk asosiasi (gesselschaft) menuju komunal (gemenschaft).
Pengaruh filsafat Eksistensialisme dan Nihilisme pada abad 19 berperan

cukup besar dalam transformasi ini. Ajaran sosialisme Marx yang
terpraksiskan dalam model negara komunis yang dicetuskan VI Lenin
dan kaum Bolshevik Rusia menjadi salah satu representasi untuk
mendongkrak proyek transformasi ini, setidaknya secara struktural.
Sedangkan peran filsuf-filsuf eksistensialisme seperti Sartre dan Camus
di Perancis barangkali mempengaruhi masyarakat pada lanskap filsafat,
kebudayaan dan sastra.
Peristiwa-peristiwa pada zaman klasik dan modern menunjukkan telah
terjadi pengulangan-pengulangan sejarah. Perubahan bentuk negara
monarki menjadi demokrasi atau monarki menjadi fasis dan demokrasi
menjadi sosialisme. Problemnya, apakah pengulangan tersebut
berdampak baik dengan terjadinya perubahan menuju kebaikan bersama,
stagnan atau sebaliknya involusi (kemunduran).
KAMMI dan Pengulangan Sejarah
Bagi KAMMI, sejarah tidak boleh terlupakan. Kata Soekarno, “jangan
sekali-kali melupakan sejarah,” (Jas Merah). Sejarah yang secara empiris
berputar mengisahkan kondisi dan tabiat zaman pada momentum
perubahan itu. Setidaknya fenomena itu menjadi fokus diskusi dan
analisis KAMMI sebagai gerakan Intelektual Profetik.
Perputaran sejarah yang terjadi begitu cepat itu merupakan sunnatullah

(hukum alam) zaman. Ia merupakan mekanisasi positif. Seharusnya
dipandang sebagai proses dinamika yang terus berlangsung tanpa akhir
yang bisa direbut dan dikapitalisasi menjadi instrumen-instrumen
kebaikan.
Fakta sejarah yang terus terjadi dan berulang-ulang itu harus

diperhatikan serius oleh KAMMI. Jika ingin meretas momentum pada
transisi sejarah itu. Betapa pun transisi itu sarat dengan turbulensi dan
friksi-friksi beresiko. Buktinya, dalam setiap momentum itu hampir selalu
mahasiswa bisa merebutnya. Pengulangan sejarah itu harus dipandang
positif dan dicari alat untuk mengubahnya menjadi kemanfaatan
komunal.
Revolusi (baca: kemerdekaan) 1945 yang merupakan momentum hasil
rebutan para revolusioner pada interval masa-masa transisi
kependudukan Jepang dan Belanda merupakan momentum sejarah yang
mungkin hanya satu-satunya terjadi di dunia. Sebab, para revolusionerrevolusioner itu bisa menghimpun semua suku bangsa –yang terpisah
oleh batas geografis (lautan), ras, bahasa dan budaya- untuk bernaung
dalam satu negara bangsa. Meskipun pada peristiwa selanjutnya
momentum revolusi ternyata tidak mudah dipertahankan.
Mimpi-mimpi untuk menikmati kemerdekaan tidak semudah

membalikkan telapak tangan. Rupanya momentum itu sudah disengaja
oleh Belanda untuk kembali menanamkan hegemoninya. Sebab toh
Belanda tidak perlu bermandi keringat untuk membersihkan dan
menyiapkan kepulangan serdadu Jepang.
Baik pihak Belanda maupun pihak revolusioner Indonesia sama-sama
menganggap Revolusi Indonesia sebagai suatu zaman yang merupakan
kelanjutan dari masa lampau[19]. Akan tetapi, Belanda melihat
momentum itu sebagai katalis untuk kembali menanamkan hegemoninya.
Sementara itu, pihak revolusioner memandangnya sebagai momentum
hasil dari kebangkitan dan kesadaran nasional.
Rencana Belanda itu pun gagal lima tahun berikutnya, tahun 1950. Pada
bulan Februari, Westerling[20] meninggalkan negeri ini dengan
menyamar yang sekaligus mengakhiri hegemoni bangsa itu untuk
selama-lamanya.
Momentum reformasi Mei 1998 adalah salah satu peristiwa revolusi yang
gagal. Sebab mahasiswa sebagai aktor utama dalam momentum itu
faktanya memberi kesempatan kepada aktor-aktor lama didikan Orde
Baru untuk menjalankan roda reformasi. Itu menunjukkan ketidaksiapan
mahasiswa untuk menjalankan hasil revolusi[21]. JJ Rizal mengatakan,
“Dia (generasi muda 1998) itu telah mengkhianati cita-citanya
sendiri.”[22]
Seharusnya kedua angkatan 1998 belajar dari revolusi Amerika oleh
koloni-koloni Inggris pada tahun 1776, revolusi Perancis pada tahun 1789
dan 1799, revolusi Cina tahun 1911, Rusia tahun 1917 dan revolusi Kuba
oleh gerilyawan Castro bersaudara beserta Guevara tahun 1959.
Revolusi-revolusi itu telah berhasil merubah bangsa mereka secara
holistik-sistemik menjadi bentuk yang baru. Begitu pun revolusi (baca:
proklamasi) 17 Agustus 1945.
Idealnya, reformasi dan revolusi itu harus berubah signifikan dari zaman

prarevolusi dengan termanifestasikannya peningkatan perbaikan dan
pengurangan ketidakadilan di segala aspek.
KAMMI harus belajar dari peristiwa-peristiwa itu. Sebab KAMMI juga
yang menurunkan Soeharto dalam aksi-aksi pra hari 21 Mei sampai
demonstrasi-demonstrasi itu mereda. Aksi-aksi KAMMI yang sudah
sedemikian massif sejak “Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat Indonesia”
di lapangan Masjid Al-Azhar, Jakarta pada 10 April 1998 yang dihadiri
sekitar 20 ribu massa aksi,[23] sampai pada tanggal 22 Mei 1998 harus
dievaluasi kembali.
Sampai sejauh mana pengawalan mahasiswa pasca jatuhnya rezim ke
tangan rakyat? Apakah mahasiswa hadir hanya untuk mengkritik dan
menurunkan rezim tanpa megawalnya?
Mahasiswa angkatan ’98 rupanya belum bisa mengambil pelajaran dari
kegagalan angkatan ’66 yang menggulingkan Soekarno. Revolusi yang
dimenangkan mahasiswa tersebut belakangan diserahkan kepada militer
–sebab saat revolusi banyak mahasiswa bekerja sama dengan militer
untuk menumbangkan Soekarno, Soe Hok Gie misalnya.
Saat terjadi perubahan parlemen tahun 1966 oleh Orde Baru. Belasan
eksponen mahasiswa mendapat kursi di dalam parlemen sebagai anggota
perwakilan mahasiswa. Mereka mampu membeli mobil gaji mereka itu
dan beberapa diantara mereka telah memperkaya diri. Idealisme mereka
di dalam kuasa baru itu luntur perlahan diganti pragmatisme seperti
politisi-politisi DPR-GR[24].
Soe Hok Gie mengkritik mereka dengan menulis di Kompas, “Akhir
daripada revolusi ini juga memperlihatkan kemampuan mereka sebagai
generasi. Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI[25] pada akhirnya
menjadi pencolong-pencoleng politik. Agen Opsus[26], makelar Pintu
Kecil atau paling politikus kelas tiga. Regu-regu KAPPI[27] yang kerjanya
memeras penduduk biasa atas nama perjuangan. Mereka adalah korbankorban daripada demoralisasi masyarakatnya.”[28]
Keresahan Soe Hok Gie secara implisit menjelaskan kepada kita bahwa
revolusi tahun 1966 telah gagal melakukan revolusi. Rezim Orde Lama
yang digulingkan kembali muncul dengan format berbeda tetapi secara
substansial sama –korupsi, tendensi diktator, rezim Orde Baru.
Apa yang Harus Dilakukan?
KAMMI dengan nalar profetiknya jelas menganggap fenomena-fenomena
itu adalah suatu kontradiksi. Bias proses-proses perjuangan seharusnya
dihilangkan. Idealisme mahasiswa seharusnya dijaga dan dipertahankan
dari awal sampai akhir. Maka tidak salah Milan Kundera, seorang
sastrawan Slovenia, mengatakan, “perjuangan manusia melawan
kekuasaan adalah melawan lupa.”
Sejarah perjuangan angakatan 98 dan 66 yang gagal itu harus terus
diingat. Kegagalan/kesalahan itu tidak boleh dilupakan. Sehingga dapat

menjadi bahan evaluasi untuk menciptakan masa depan. Dalam Al-Qur’an
Allah swt berfirman, “hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[29]
Prinsip gerakan yang menyematkan kebathilan adalah musuh abadi
KAMMI,[30] harus konsisten dilaksanakan secara komprehensif.
Adagium yang sangat idealis dan terlihat tampak sulit dilaksankan itu
harus diyakini oleh kader dan menjadi kesadaran reflektif untuk
diaktualisasikan.[31] Artinya, kesadaran yang sudah dipahami baik-baik,
harus pula melibatkan penggunaan nalar kritis.
Jangan sampai, kader hanya menerima adagium itu sebagai anasir elan
vital tanpa didahului oleh epoche (penangguhan fenomenologis) untuk
memeriksa struktur dan isi yang sebenarnya dari adagium tersebut
sebelum menerima interpretasi apapun.[32] Kader harus paham
mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan musuh abadi KAMMI itu?
Sehingga adagium itu menghujam dalam keyakinan kader untuk
diamalkan secara kolektif dalam gerakan-gerakan massa yang KAMMI
rancang.
KAMMI harus menyiapkan dirinya untuk menghadapi perubahan
momentum yang sewaktu-waktu bisa terjadi. ‘Momentum’ yang muncul
itu diambil, direkayasa dan dikawal dengan ‘nilai-nilai KAMMI’ menjadi
momentum yang mengakomodasi kepentingan semua orang, yaitu
‘demokrasi’ -visi kebangsaan kita. Seperti pada formula di bawah ini:
M+N=D
Keterangan:
M
= Momentum
N
= Nilai
D
= Demokrasi
Formula diatas menggambarkan tentang rekayasa KAMMI menghadapi
perubahan momentum. Momentum yang sudah terjadi direkayasa
dengan nilai-nilai visi perbaikan KAMMI. Nilai-nilai sebagai representasi
paradigma KAMMI sebagai gerakan politik ekstraparlementer,
selanjutnya mengejewantah dalam dua opsi tawaran KAMMI:
Pertama, momentum reformasi 1998 –sebagai contoh- ditindaklanjuti
dengan mengusulkan pendirian perwakilan mahasiswa -perwakilan BEM
yang bersifat ad hoc- di parlemen –seperti pasca revolusi tahun 1966
dengan format yang tetap menempatkan mahasiswa sebagai elemen
ekstraparlementer. Perwakilan ini berfungsi sebagai alat mahasiswa
untuk mengawali perjalanan pemerintahan.
Perwakilan ini harus secara berkala melaporkan perkembangan
kebijakan-kebijakan di parlemen ke mahasiswa dan menganalisisnya. Jika
kebijakan itu baik untuk demokratisasi maka direkonstruksi dan

didukung. Sebaliknya, jika merugikan dan mengkhianati reformasi maka
didekonstruksi dan dihentikan.
Kedua, mahasiswa bekerja sama dengan pemerintah membuat agenda
bersama. Mahasiswa bersama pemerintah sebagai konseptor juga
sebagai eksekutor. Seperti proyek-proyek pemberdayaan sosial.
Mahasiswa mengandalkan massa untuk bergerak sedangkan pemerintah
dengan kuasanya menggunakan anggaran memfasilitasi. Wallahu alam
bis shawab.

* Ketua KAMMI Komisariat UMY 2010-2011, sekarang menjadi Ketua
Bidang Kaderisasi KAMMI Daerah Bantul. Penggiat diskusi KAMMI
Kultural
* Mereka yang tidak dapat belajar dari sejarah dikutuk untuk
mengulanginya
[1] Lemuria/mu merupakan peradaban kuno yang muncul terlebih dahulu
sebelum Atlantis. Para peneliti menempatkan era peradaban Lemuria/mu
disekitar 75.000 SM – 11.000 SM. Jika kita lihat dari periode itu, Bangsa
Atlantis dan Lemuria/mu seharusnya pernah hidup bersama selama
ribuan tahun lamanya.
Gagasan Benua Lemuria/mu seharusnya terlebih dahulu eksis dibanding
peradaban Atlantis dan Mesir Kuno dapat kita peroleh penjelasannya dari
sebuah karya Augustus Le Plongeon (1826-1908), seorang peneliti dan
penulis pada abad ke-19 mengadakan penelitian terhadap situs-situs
purbakala peninggalan bangsa Maya di Yucatan. Informasi tersebut
diperoleh setelah keberhasilan menerjemahkan beberapa lembaran
catatan kuno peninggalan bangsa Maya. Diakses dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Lumeria
[2] Shaw (2002) hal. 78–80. Dikutip dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno
[3] Nicholson (2000) hal. 510. Dikutip dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno
[4] Skolastisisme adalah nama sebuah periode di Abad Pertengahan yang
dimulai sejak abad ke-9 hingga abad ke-15.[1] Masa ini ditandai dengan
munculnya banyak sekolah (dalam bahasa Latin schola) dan banyak
pengajar ulung.[1] Selain itu, skolastik juga menunjuk pada metode
tertentu, yakni metode yang mempertanyakan dan menguji berbagai hal
secara kritis dan rasional, diperdebatkan, lalu diambil pemecahannya.[1]
Ciri dari metode skolastik adalah kerasionalan dari apa yang dihasilkan.
Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Skolastisisme.
[5] Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Terhadap Tradisi Barat,
(Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 221
[6] Ibid., hlm. 220
[7] Ifrath adalah melampaui batas dalam beribadah dan beramal tanpa
ilmu. Sedangkan tafrith adalah kebalikannya, yaitu melalaikan dan
meremehkan ibadah bahkan menentang Kebenaran yang telah diketahui.

Dikutip dari http://quranpetunjukjalan.blogspot.com/2008/09/tafrith-danifrath.html
[8] Hassan Hanafi, Islamologi 2: Dari Rasionalisme ke Empirisme,
(Yogyakarta: LKis, 2007), hlm. 63-64
[9] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 2011, hlm.
301
[10] Tamim Anshari, Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam,
(Jakarta: Zaman, 2009), hlm. 146
[11] Ibid., hlm. 149
[12] Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam: Dari Bani Umayyah
hingga Imperialisme Modern, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hlm.
62
[13] Ibid., hlm. 72
[14] Al-Wakil, Op.cit, hlm. 237
[15] Hassan Hanafi mengklasifikasikan zaman modern sebagai periode
peradaban manusia yang dimulai sejak abad 17 (pencerahan) sampai
abad 20. Lihat Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Terhadap Tradisi
Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 40
[17] Lihat Buletin Mocopat Syafaat, 17 Februari 2013
[18] Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: Lkis, 2012), hlm. 9-10
[19] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), hlm. 351
[20] Raymond Westerling adalah komandan pasukan Belanda yang
terkenal karena memimpin Pembantaian Westerling (1946-1947) di
Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat.
Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Raymond_Westerling
[21] JJ Rizal dalam Swara Indonesia Bersama Irma Hutabarat di
TVRI, 13 Februari 2013
[22] Tribun Jambi, 27 Oktober 2012
[23] Mahfudz Sidiq, KAMMI dan Pergulatan Reformasi: Kiprah Politik
Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah
Gelombang Krisis Nasional Multidimensi, (Solo: Era Intermedia, 2003),
hlm. 122
[24] Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong.
[25] Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
[26] Operasi Khusus
[27] Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
[28] Soe Hok Gie, Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima”,
Kompas, 17 Agustus 1969. Dalam Soe Hok Gie, Catatan Seorang
Demonstran, (Jakarta: LP3ES, 2008), hlm. 19
[29] Al-Qur’an, Surah Al-Hasyr (59) ayat 18
[30] Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO), Pasal 5, ayat 2
[31] Donald D. Palmer, Sartre untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius,
2003), hlm. 38
[32] Ibid., hlm. 35 dan 149