Hukum pidana (5) Subjek hukum pidana

Tindak Pidana Keamanan dan Ketertiban
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstuktur pada mata kuliah Hukum
Pidana yang di ampu oleh
M. Irsan Nasution, S.H, M.H.

Disusun Oleh:
1163050005

Adellia Rahma Maharani

1163050022

Dhimas Fadillah Hermady

1163050033

Fatma Ayu Pratiwi

1163050040

Hasbi Idrus


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM III/A
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr.Wb.
Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji kehadirat Allah S.W.T yang Maha kuasa atas segala limpahan
rahmat sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk serta
isinya yang sangat sederhana. Solawat serta salam tak lupa kita haturkan
keharibaan junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dan
zaman kebodohan hingga zaman yang penuh dengan pengetahuan ini.
Penyusunan makalah ini di latar belakangi sebagai tugas terstruktur untuk
memberikan informasi seputar Tindak Pidana Keamanan dan ketertiban. dalam
penyusunan makalah ini, kami selaku penulis mengucapkan terima kasih yang tak

terhingga kepada M. Irsan Nasution, S.H, M.H. sebagai pembimbing mata kuliah
Hukum Pidana.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu kami berharap adanya
kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang akan kami susun
selanjutnya, karena tidak ada saran yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat dan menjadi pedoman
bagi pembaca dalam mata kuliah Hukum Pidana. Sebelummnya kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Akhirul kalam,
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bandung, 25 Desember 2017

Penyusun

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A.
B.
C.
D.

Latar Belakang Masalah.....................................................................1
Tujuan Penulisan.................................................................................1
Kegunaan Penulisan............................................................................2
Kerangka Pemikiran............................................................................2

BAB II RUMUSAN MASALAH.........................................................................18
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................19
A.

Bentuk Kejahatan Ketertiban Umum..................................19

B.

Hukum Bagi Pelaksana Demonstrasi Tanpa Pemberitahuan di Depan

Kantor Pemerintahan........................................................................20

BAB IV SIMPULAN............................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA

29

3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan rasa aman,
tenteram dan terlindungi. Terutama segala yang berkaitan dengan hubungan atau
interaksi terhadap sesama, sekitar dan komunitasnya. Setiap manusia memiliki
kepentingan namun jika kepentingan itu salah sasaran maka dapat merugikan atau
bahkan membahayakan orang lain. Negara sebagai payung tempat masyarakat
berteduh wajib memberikan solusi dan melindungi segala kepentingan masyarakat
agar tidak mengganggu dan saling merugikan antara yang satu dengan yang
lainnya.

Hukum pidana di Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
atau disebut sebagai KUHP telah memuat beberapa pasal mengenai sanksi bagi
para pelaku kejahatan maupun pelanggar terhadap ketertiban umum. Ini semua
tentu demi tercapainya masyarakat yang sejahtera dan merdeka, dalam arti bebas
melaksanakan segala kepentingan namun tetap dalam koridor Undang-undang
atau dengan kata lain tidak salah jalan. Oleh karena itu, makalah ini yang berjudul
“Kejahatan Dan Pelanggaran Terhadap Ketertiban Umum” kiranya dapat memberi
dan berbagi pengetahuan dari beberapa ulasan yang akan dipaparkan.
B.

Tujuan Penulisan
A. Untuk menegetahui pengertian mengenai kejahatan dan pelanggaran
terhadap ketertiban umum.
B. Untuk mengetahui bentuk – bentuk kejahatan ketertiban umum beserta
unsurnya.
C. Untuk mengetahui perbuatan pelanggaran kejahatan ketertiban umum.

1

2


C.

Kegunaan Penelitian
1. Secara teoritis
Hasil makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, juga
dapat

menambah

wawasan

pengetahuan

dan

memberikan

sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum

pidana.
2. Secara Praktis
Secara praktis makalah ini ditunjukan kepada masyarakat umum,
agar lebih mengetahui dan memahami tentang Keamanan dan
ketertiban.
D. Kerangka Pemikiran
Sebelum pembahasan sampai pada pembahasan inti alangkah baiknya
apabila pada bab ini penulis paparkan mengenai pengertian dari kejahatan dan
pelanggaran terhadap kepentingan umum dengan harapan agar memudahkan kita
semua di dalam mengkaji makalah selanjutnya.
1.

Pengertian Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum

Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan kata-kata yang dipakai
oleh pembentuk undang-undang sebagai nama kumpulan bagi kejahatan-kejahatan
yang di dalam undang-undang diatur dalam buku II bab V KUHP.
Menurut prof. Simons kata-kata kejahatan terhadap ketertiban umum ini
merupakan kata yang sifatnya kurang jelas (vaag), sehingga susah untuk
didefinisikan.1 Kurang jelas (vaag) di sini dikarenakan kejahatan-kejahatan yang

terletak pada buku II bab V KUHP sebenarnya mempunyai sifat yang berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya.
Bahkan dengan jelas prof. Simons mengatakan hubungan antara kejahatan
yang satu dengan kejahatan yang lain di dalam buku II bab V KUHP itu bersifat
1 Noyon Langemeijer, Het wetboek I. hlm.596

3

“uiterst gering” atau hampir tidak ada hubungannya sama sekali antara kejahatan
yang satu dengan kejahatan yang lainnya.
Dari pendapat yang dikemukakan oleh prof. Simon yang mengatakan
bahwa kata-kata kejahatan terhadap ketertiban umum itu sifatnya adalah vaag
menurut profesor-profesor van BEMMELEN-van HATTUM adalah benar, karena
menurut penjelasan yang terdapat di dalam memorie van toelichting, kejahatankejahatan yang diatur dalam buku II bab V itu bukanlah kejahatan-kejahatan yang
secara langsung ditujukan:2
·

Terhadap keamanan negara;

·


Terhadap tindakan-tindakan dari alat-alat perlengkapan negara, atau;

·

Terhadap tubuh atau harta kekayaan dari seseorang tertentu.
Melainkan suatu kejahatan yang dapat mendatangkan bahaya bagi

kehidupan masyarakat atau bagi “maatschappelijke leven” dan yang dapat
menimbulkan gangguan dari ketertiban alamiah atau bagi “de natuurlijke orde der
maattschappij”.
Selain itu kejahatan terhadap ketertiban umum juga dapat didefinisikan
sebagai tindak pidana terhadap segala pernyataan di muka umum tentang perasaan
permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah Indonesia atau
terhadap golongan penduduk.3
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian
kejahatan terhadap ketertiban umum secara garis besarnya adalah sekumpulan
kejahatan-kejahatan yang menurut sifatnya dapat menimbulkan bahaya terhadap
keberlangsungan kehidupan masyarakat dan yang dapat menimbulkan gangguangangguan terhadap ketertiban alamiah di dalam masyarakat.
2.


Pengertian Pelanggaran Terhadap Ketertiban Umum

2 -Van Bemmelen_Van Hattum , Hand-en Leerboek II, hlm.103
3 -Simons, Leerboek II , hlm.242

4

Mengenai definisi dari pelanggaran terhadap ketertiban umum, dari
beberapa literatur tidak dapat ditemukan secara jelas, akan tetapi bila dilihat dari
buku III bab II KUHP dapat disimpulkan bahwa pelanggaran terhadap ketertiban
umum adalah suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang yang
menurut sifatnya dapat menimbulkan bahaya terhadap keberlangsungan
kehidupan masyarakat dan dapat menimbulkan gangguan-gangguan terhadap
ketertiban dan kenyamanan di dalam masyarakat.
Perbedaan antara kejahatan terhadap ketertiban umum dan ketertiban
umum adalah sebagai berikut:
Kejahatan :



Buku II



Pidana Penjara



Hukuman lebih berat



Percobaan dan membantu dipidana



Pemeriksaan Biasa



Perampasan barang tertentu



ada delik pengaduan

Pelanggaran :


Buku III



Pidana Kurungan



Hukuman ringan



Percobaan tidak dipidana



Pemeriksaan Sumir

5



Tanpa perampasan barang



Tidak perlu

d. Unsur-unsur yang terkandung adalah:
1. Unsur Obyektif: Menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka,
menempelkan secara terbuka, suatu tulisan, suatu gambar.4
2. Unsur Subyektif: Dengan maksud agar tulisan atau gambar itu isinya diketahui
oleh orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak.
Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan
pencariannya, dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak adanya pemidanaan
tetap, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. (Pasal 155 ayat 2).
3. Menyatakan Perasaan Tak Baik Terhadap Golongan Tertentu
Sebagaimana dimuat dalam pasal 156, yang menyatakan di muka umum
dengan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap sesuatu atau
golongan penduduk Indonesia.5
Yang dimaksud dengan golongan dalam pasal ini dan berikutnya adalah,
setiap dari bagian penduduk Indonesia yang mempunyai perbedaan dengan satu
atau beberapa bagian lainnya dari penduduk berdasarkan suku, daerah (afkomst),
agama (goldsdienst), asal-usul (herkomst), keturunan (afstamming), kebangsaan
(nationaliteit) atau kedudukan menurut hukum ketatanegaraan (staatsrechttelijken
toestand).
Unsur-unsurnya hanya terdiri dari unsur-unsur Obyektif, yaitu:
1. di depan umum;
4 Wirjono Projodikoro, Tindak Pidana-pidan tertentu Di Indonesia, (Bandung:
Refika Aditama, 2003) hlm.156
5 Ibid hlm.158

6

2. menyatakan atau memberikan pernyataan;
3. mengenai perasaan permusuhan, kebencian (undang-undang tidak menjelaskan
mengenai perasaan yang dimaksud, dan agaknya telah diberikan kepada para
hakim untuk memberikan interpretasi mengenai hal itu secara bebas);
4. merendahkan; terhadap satu atau lebih dari satu golongan penduduk Indonesia.
Walaupun Undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur
kesengajaan (opzet), kiranya sudah cukup jelas kalau tindak-tindak pidana
tersebut harus dilakukan dengan sengaja.
Sedangkan ketentuan yang pidana yang diatur dalam pasal 156 ini pada dasarnya
melarang orang:
1. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan, yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
Yang mempunyai unsur:
a. Subyektif : dengan sengaja
b. Obyektif: di depan umum, mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di
Indonesia.
2. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan di depan umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, dengan maksud supaya orang
tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha
Esa.
Pasal 157 merupakan lanjutan dari pasal 156, seperti pasal 155 yang merupakan
lanjutan dari pasal 154.

7

4. Menghasut di muka Umum
Barang siapa di depan umum, dengan lisan atau denga tulisan menghasut
orang untuk melakukan sesuatu tindak pidana, untuk melakukan kekerasan
terhadap kekuasaan umum atau untuk melakukan sesuatu ketidaktaatan lainnya,
baik terhadap suatu peraturan undang-undang, maupun perintah jabatan yang telah
diberikan berdasarkan suatu peraturan undang-undang. (Pasal 160).
Unsur-unsurnya hanya terdiri dari unsur-unsur obyektif, yaitu: mengahsut,
dengan lisan atau tulisan, di depan umum, untuk melakukan sesuatu tindak
pidana, untuk melakukan tindak kekerasan terhadap kekauasaan umum,
melakukan suatu ketidaktaan terhadap peraturan undang-undang maupun suatu
perintah jabatan sesuai dengan undang-undang.6
5. Menawarkan Bantuan untuk Melakukan Tindak Pidana
Barang siapa di depan umum menawarkan, baik dengan lisan maupun
dengan tulisan, pemberian keterangan-keterangan, kesempatan atau sarana-sarana
untuk melakukan sesuatu tindak pidana. (Ps. 162).
Unsur-unsurnya

hanya

terdiri

dari

unsur-unsur

obyektif,

yaitu:

menawarkan dengan lisan atau dengan tulisan, memberikan keteranganketerangan, kesempatan atau sarana-sarana untuk melakukan suatu tindak pidana,
di depan umum.
Perbuatan menawarkan dengan lisan atau tulisan di depan umum tidak
berarti selalu dilakukan di suatu tempat umum, melainkan cukup dengan tawaran
yang diucapkan dengan lisan itu dapat di dengar oleh publik, atau tawaran dengan
tulisan telah dilakukan dengan sedemikan rupa, hingga setiap orang yang ingin
membaca tulisan tersebut dapat membacanya.

6 Ibid hlm.159

8

6. Pembujukan (Uitlokking) yang gagal
Pasal 163 bisa memuat suatu tindak pidana yang dimaksudkan membujuk
untuk melakukan tindakan pidana, tetapi tindakan pembujukan ini gagal, karena
tindak pidana itu kemudian tidak terjadi. Diancam dengan hukuman maksimum
penjara enam tahun, dengan pngertian, bahwasanya tidak akan dijatuhi hukuman
lebih berat daripada percobaan untuk pidana yang bersangkutan, atau apabila
percobaan (poging) ini tidak dikenai hukuman, tidak akan lebih berat daripada
hukuman yang diancamkan kepada tindak pidana yang bersangkutan. Menurut
ayat 2, peraturan ayat 1 tidak berlaku, jika tindak pidana itu atau percobaan yang
dapat dihukum tidak terjadi karena hal yang bergantung pada kemauan si pelaku.

7. Tidak melaporkan akan adanya tindak pidana tertentu
Hal ini telah ditentukan pasal 164 dan 165
pasal 164:
“barang siapa mengetahui tentang adanya suatu pemufakatan untuk
melakukan salah satu kejahatan, seperti yang dimaksudkan dalam pasal
104,107,108,113,115,124,187, dan 187bis KUHP, sedang dilakukannya kejahatan
tersebut pada waktu itu masih dapat dicegah, dengan sengaja tidak
memberitahukan secukupnya tentang hal tersebut kepada pejabat–pejabat
kejaksaan atau kepolisian, ataupun kepada orang yang terancam, maka jika
kejahatan itu kemudian benar-benar terjadi, dipidana dengan penjara paling
selama-lamanya satu tahun dan empat minggu atau dengan pidana denda setinggitingginya empat ribu lima ratus rupiah”
Unsur pasal 164:
a. Subyektif: mengetahui adanya pemufakatan untuk melakukan salah satu
kejahatan yang dimaksud dalam pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187,dan
187bis, dan sengaja

9

b. Obyektif: tidak memberitahukan tentang hal tersebut pada waktunya dengan
cukup kepada pejabat–pejabat kejaksaan atau kepolisian, ataupun kepada orang
yang terancam.
Unsur pasal 165 (1)
a. Subyektif: sengaja dan mengetahui tentang maksud untuk melakukan salah satu
kejahatan yang diatur dalam pasal 104, 106,107, 108, 110-113, 115-129, dan pasal
131, disertai dalam keadaan perang, pengkhianatan secara militer (yang hanya
dapat dilakukan oleh seorang militer menurut KUHPMiliter), pembunuhan
dengan direncanakan terlebih dahulu, penculikan, pemerkosaan, kejahatan yang
diatur dalam Bab VII sejauh kejahatan itu menimbulkan bahaya bagi nyawa, salah
satu kejahatan dalam pasal 224-228,dan 250, dan salah satu kejahatan yang diatur
dalam pasal 264 dan 275.
b. Obyektif tidak memberitahukan tentang hal tersbut pada waktunya dengan
cukup kepada pejabat–pejabat kejaksaan atau kepolisian ataupun kepada orang
yang terancam, dan pada saat di mana pelaksanaan dari kejahatan tersebut masih
dapat dicegah.
Unsur pasal 165 (2)
a. Subyektif: sengaja dan mengetahui tentang telah dilakukannya suatu kejahatan
dalam pasal (1).
b. Tidak melakukan pemberitahuan yang sama, pada saat dimana akibat-akibatnya
masih dapat dicegah.
Mengenai kata “ kejahatan yang telah dilakukan”, harus dihubungkan
dengan jenis kejahatan yang bersangkutan, apakah kejahatan itu merupakan
“kejahatan formal” atau “kejahatan materiil” keamudian dihubungkan dengan
kehendak undang-undang yang mengatakan bahwa pemberitahuan itu harus
dilakukan “pada saat dimana akibatnya masih dapat dicegah”7
7 Noyon Langemeijer, Het wetboek I. hlm. 637.

10

8. Merusak keamanan di rumah (Huisvrede-Breuk)
Tindak pidana memasuki sebuah rumah atau sebuah ruangan yang tertutup
atau yang dipakai oleh orang lain secara melawan hukum (dapat diartikan tanpa
wewenang dan tanpa hak) yang telah diatur dalam pasal 167. Hal yang diatur di
dalamnya sebenarnya hanya satu tindak pidana, yaitu gangguan terhadap
kebebasan bertempat tinggal (huisvredebruk). Karena gangguan yang diterapkan
dalam pasal tersebut, dapat dilakukan dengan cara yang berbeda, maka undangundang juga telah memberikan akibat-akibat hukum yang berbeda bagi pelakunya.
Tindak pidana yang diatur dalam pasal 167 (1), hanya terdiri dari unsur
obyektif, yaitu melawan hukum, memasuki dengan paksa, ke dalam suatu tempat
tinggal (tempat tinggal yang diperuntukkan dan disusun sebagai tempat tinggal,
hingga termasuk di dalamnya kendaraan yang dipakai atau diperuntukkan sebgai
tempat tinggal), ruangan atau halaman tertutup, yang dipakai orang lain, berada di
sana, tidak segera pergi setelah ada permintaan dari atau atas nama orang yang
berhak.
Namun tidak dapat disangkal bahwa kata “memasuki dengan paksa” harus
dilakukan dengan sengaja.
Sedangkan pasal 167 (2), menyebutkan beberapa peristiwa yang dapat
disamakan dengan perbuatan “memasuki dengan paksa” sebuah tempat tinggal,
ruangan, atau halaman tertutup yang dipakai oleh orang lain, yakni:
a. memasuki dengan melakukan pembongkaran atau pemanjatan
b. memasuki dengan kunci palsu
c. memasuki dengan memakai perintah atau seragam palsu
d. diketahui berada di sana pada malam hari, tanpa sepengetahuan terlebih dahulu
dari orang yang berhak, dan keberadaannya bukan sebagai akibat dari
kekeliruannya.

11

9. Memasuki ruangan dinas umum (Openbare Dienst)
Pasal 168, memuat suatu tindak pidana yang sama dengan pasal 167,
hanya dengan perbedaan pada perbuatan dalam terhadap suatu ruangan yang
dipakai untuk dinas umum, dan persamaan yang berhak pada pegawai negeri yang
berkuasa di situ.
Dijelaskan dalam pasal lain tentang memaksa masuk kantor pemerintah yaitu:
Pasal 304
a. Setiap orang yang secara melawan hukum memaksa masuk ke dalam kantor
pemerintah yang melayani kepentingan umum atau yang berada di dalamnya dan
atas permintaan pejabat yang berwenang tidak segera pergi meninggalkan tempat
tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori II.
b. Dianggap masuk dengan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap
orang yang masuk dengan merusak, memanjat, atau dengan menggunakan anak
kunci palsu, perintah palsu, pakaian dinas palsu, atau yang dengan tidak setahu
lebih dahulu pejabat yang berwenang serta bukan karena kekhilafan masuk dan
kedapatan di dalam tempat tersebut pada malam hari.
c. Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori II
10. Turut serta dalam perkumpulan terlarang
Pasal 169, memuat suatu tindak pidana:
Ke-1: turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan untuk melakukan kejahatan.
Perkumpulan dalam pengertian ini adalah, perkumpulan yang terlarang oleh suatu

12

peraturan umum, dan perkumpulan yang punya maksud untuk melakukan
kejahatan-kejahatan, seperti pencurian, pencopetan, atau penyelundupan barangbarang ekspor dan impor.
Ke-2: turut serta dalam suatu perkumpulan yang bertujuan untuk melakukan
pelanggaran.
Yang dimaksud turut serta, menurut Prof. Noyon-Langemeijer, yakni: masuk
sebagai anggota, memberi sumbangan, melakukan propaganda, dan atas
permintaaan berbicara dalam pertemuan (menghadiri saja tidak masuk dalam
pengertiannya) .
Ke-3: yang diatur dalam pasal 169 (3), merupakan keadaan yang memberatkan
pidana. Adapun keadaan yang dimaksud adalah, keadaan pribadi pelaku sebagai
pendiri dan pengurus perkumpulan yang dimaksudkan dalam pasal 169 KUHP.

11. Menggangu ketentraman
Pasal 172, menyebutkan, bahwa barang siapa dengan sengaja mengganggu
kesejahteraan dengan mengeluarkan teriakan-teriakan atau tanda-tanda palsu,
dapat mengakibatkan ancaman tindak pidana sesuai dengan yang diatur dalam
pasal ini.
12. Mengganggu dan merintangi rapat umum, upacara agama dan upacara
penguburan jenazah
Hal ini, sesuai dengan undang-undang yang telah diatur dalam pasal 173
(dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi rapat umum yang
diizinkan, 174 ( sengaja mengganggu rapat umum yang dizinkan dengan jalan
menimbulkan kekacauan atau suara gaduh), 175 (kekerasan atau ancaman
merintangi pertemuan agama yang bersifat umum, upacara agama dan jenazah),
176 (sengaja mengganggu agama yang bersifat umum, upacara agama dan
jenazah).

13

13. Penguasaan dan Memasukkan atau Mengeluarkan ke atau dari Indonesia
Senjata Api, Amunisi, Bahan Peledak, dan Senjata Lain
Setiap orang yang tanpa hak memasukkan ke wilayah negara Republik Indonesia,
membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan,

menguasai,

menyimpan,

mengangkut,

membawa,

mempunyai

`menyembunyikan,

persediaan,

memiliki,

mempergunakan,

atau

mengeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia senjata api, amunisi
dan/atau bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya, gas air mata,
dan peluru karet, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 294
Setiap orang yang tanpa hak memasukkan ke wilayah negara Republik Indonesia,
membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan,

menguasai,

membawa,

mempunyai

persediaan,

memiliki,

menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan
dari wilayah negara Republik Indonesia senjata pemukul, penikam, atau penusuk,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9
(sembilan) tahun. Pasal 295
14. Penyadapan
Setiap orang yang secara melawan hukum dengan alat bantu teknis mendengar
pembicaraan yang berlangsung di dalam atau di luar rumah, ruangan atau halaman
tertutup, atau yang berlangsung melalui telepon padahal bukan menjadi peserta
pembicaraan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau pidana denda paling banyak Kategori II. Pasal 300
Setiap orang yang secara melawan hukum memasang alat bantu teknis pada suatu
tempat tertentu dengan tujuan agar dengan alat tersebut dapat mendengar atau
merekam statu pembicaraan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. Pasal 301

14

Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki barang yang diketahui atau
patut diduga memuat hasil pembicaraan yang diperoleh dengan mendengar atau
merekam, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori II. Pasal 302
Pasal 303 menjelaskan, Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, setiap orang yang :
a. mempergunakan kesempatan yang diperoleh dengan tipu muslihat, merekam
gambar dengan mempergunakan alat bantu teknis seorang atau lebih yang berada
di dalam suatu rumah atau ruangan yang tidak terbuka untuk umum sehingga
merugikan kepentingan hukum orang tersebut;
b. memiliki gambar yang diketahui atau patut diduga diperoleh melalui perbuatan
sebagaimana dimaksud pada huruf a; atau
c. menyiarkan gambar sebagaimana dimaksud pada huruf b.

15. Gangguan terhadap Benih dan Tanaman
Setiap orang yang tanpa wewenang membiarkan unggas yang diternaknya
berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang
lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I. Pasal 3238
(1) Setiap orang yang tanpa wewenang, membiarkan ternaknya berjalan di kebun,
tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, tanah yang
disiapkan untuk ditaburi benih, ditanami, atau yang hasilnya belum diangkut,
milik orang lain atau yang oleh pemiliknya dengan secara jelas dinyatakan
dilarang untuk dimasuki, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.
(2) Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas. Pasal 324

8 Van Bemmelen_Van Hattum , Hand-en Leerboek II, hlm.115

15

Setiap orang yang tanpa wewenang, berjalan atau berkendaraan di atas
tanah pembenihan, penanaman atau yang disiapkan untuk itu, yang merupakan
milik orang lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I. Pasal
325
16. Tindak pidana mengenai kuburan atau mayat
Dalam hal ini, dijelaskan oleh pasal 178-181, disebutkan, bahwa:
1. seseorang sengaja menghalang-halangi atau merintangi jalan masuk ke dalam
kuburan (178)
2. dengan sengaja dan dengan melanggar hukum merusak suatu makam atau suatu
tanda peringatan di atas suatu kuburan
3. dengan sengaja dan dengan melanggar hukum mengeluarkan mayat dari
kuburan atau mengambil, memindahkan, atau mengangkut mayat yang sudah
dikeluarkan dari kuburan
4. mengubur, menyembunyikan, membawa pergi, atau meghilangkan mayat
dengan maksud akan menyembunyikan matinya atau lahirnya orang itu.
Menurut Noyon-Langermeyer, tidak lagi ada mayat apabila ada tubuh
seseorang yang meninggal sudah tidak berupa manusia, jadi sudah menjadi
kerangka (garaamte). Sedangkan mumi, terdapat perbedaan pendapat antara
Noyon dan Langermeyer. Menurut Noyon, mumi adalah mayat, seperti yang
dimaksudkan dalam pasal-pasal tersebut. Sedangkan Langermeyer membuka
kemungkinan bahwa mumi tidak merupakan mayat dalam pandangan suatu
masyarakat modern.9

f. Pelanggaran Mengenai Ketertiban Umum

9 Noyon Langemeijer, Het wetboek I. hlm. 659.

16

Pelanggaran terhadap ketertiban umum adalah tindak pidana yang
bermacam-macam sifatnya, dan yang tampaknya sukar dapat dimasukkan ke
dalam titel-titel lain dari KUHP.10
Bentuk-bentuk
a. Membuat ingar atau gaduh
Dalam pasal 503 adanya larangan:
1. Membuat ingar atau gaduh diantara orang-orang tetangga (rumoer of buren
geructh), yang mengakibatkan dapat terganggunya ketenteraman malam
(nachrust).
2. Membuat ingar di dekat rumah ibadat atau gedung pengadilan pada waktu
dilakukan ibadat atau pemeriksaan perkara.
Yang dimaksud dengan ingar adalah membuat ramai di dalam rumah,
sehingga orang-orang tetangga terdekat terganggu dalam ketentraman malam.
Sedangkan gaduh diantara tetangga adalah membuat geger diantara agak banyak
tetangga dalam suatu kelompok rumah. Akan tetapi ukuran jam berapa
ketentraman malam berlangsung, menurut keadaan setempat.11
b. Mengemis di tempat umum (Pasal 504),
c. Mengembara dengan tidak mempunyai pencaharian atau gelandangan (505)
d. Mengambil untuk dari perbuatan cabul seorang wanita sebagai pekerjaan
sehari-hari (ps. 506).
e. Memakai gelar palsu, tanda pengenal palsu, nama palsu, memakai pakaian
seragam tanpa hak. (507,508, dan 508bis)
f. Mengadakan akad gadai secara gelap untuk barang-barang di bawah harga
seratus rupiah itu dilarang (509).
10 Ibid
11 Ibid. hlm.357

17

g. Mengadakan pesta, keramaian umum, pawai tanpa izin yang berkuasa (510,
511).
h. Melakukan suatu pekerjaan tasnpa surat izin pemerintah (512, 512a)
i. Memakai barang orang lain tanpa hak (513)
j. Kewajiban pemberitahuan kepada yang berkuasa bagi orang yang pindah ke
daerah lain (515).
k. Melakukan perhotelan gelap (516)

BAB II
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Bentuk Kejahatan Ketertiban Umum?
2. Bagaimana Hukum Bagi Pelaksana Demonstrasi Tanpa Pemberitahuan di
Depan Kantor Pemerintahan?

18

BAB III
PEMBAHASAN
A. Bentuk Kejahatan Ketertiban Umum
Menyatakan Perasaan Tak Baik Terhadap Pemerintah
Hal ini sesuai yang telah tercantum dalam pasal 154 yang
menyatakan bahwasanya,“ Barang Siapa yang menyatakan di muka umum
perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun
atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah”
Dari rumusan tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur obyektif saja:
1. Di depan umum (in het openbaar) hal ini merupakan keadaan yang
membuat pelaku dipidana (strafbepalende omstandegheid), sehingga bila
si pelaku melakukannya tidak di depan umum, maka tidak terkena pidana.
Dengan adanya syarat “di depan umum”itu, kiranya perlu diketahui bahwa
perbuatan yang terlarang dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal
154 KUHP itu tidak perlu dilakukan oleh pelaku di tempat umum (tempat
yang didatangi oleh setiap orang) melainkan cukup jika perbuatan tersebut
dilakukan oleh pelaku dengan cara sedemikian rupa, hingga pernyataannya
didengar oleh publik.
Bila perbuatan tersebut dilakukan di tempat umum, akan tetapi
ternyata tidak di dengar oleh publik misalnya dilakukan dengan berbisik,
maka perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur “di depan umum”,
sehingga pelaku tidak dapat dipersalahkan telah melanggar larangan yang
diatur dalam pasal 154 KUHP tersebut.
2. Menyatakan perasaan (dapat diartikan sebagai memberitahukan,
menunjukkan

dan

menjelaskan

yang

dapat

dilakukan

dengan

mengucapkan lisan saja, melainkan juga dapat dilakukan dengan tindakantindakan) dengan:

19

20

a. permusuhan (vijandscahp);
b. kebencian (haat);
c. merendahkan (minachting).
3. Terhadap Pemerintah Indonesia (tegen de Regering van Indonesia).
Pasal 154a, merupakan lanjutan dari ketentuan pidana yang diatur dalam
pasal 154, oleh karena itu, perbuatan menodai bendera kebangsaan atau
lambang negara RI, dikenai pidana penjara paling lama empat tahun atau
denda tiga ribu rupiah.
Adapun Pasal 155 merupakan lanjutan dari Pasal 154 dengan
melarang: menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan, sehingga
kelihatan oleh umum, tulisan atau gambar yang isinya menyatakan
perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan tehadap Pemerintah
Indonesia. Adapun maksimum hukumannya lebih ringan, yaitu empat
tahun enam bulan atau denda tiga ratus rupiah. Sehingga mempunyai
akibat tidak leluasanya pers Indonesia mengkritik pemerintahan Indonesia.
B. Hukum Bagi Pelaksana Demonstrasi Tanpa Pemberitahuan di Depan
Kantor Pemerintahan
Hukum menurut John Austin bahwa sebagai perangkat perintah,
baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang bekuasa kepada
warga rakyatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, di
mana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi.
Hans Kelsen mengatakan bahwa Hukum adalah suatu perintah
terhadap tingh laku manusia dan hukum adalah kaidah primer yang
menetapkan sanksi-sanksi.
Dari pendapat yang dikemukakan oleh prof. Simon yang
mengatakan bahwa kata-kata kejahatan terhadap ketertiban umum itu

21

sifatnya adalah vaag menurut profesor-profesor van BEMMELEN-van
HATTUM adalah benar, karena menurut penjelasan yang terdapat di dalam
memorie van toelichting, kejahatan-kejahatan yang diatur dalam buku II
bab V itu bukanlah kejahatan-kejahatan yang secara langsung ditujukan:12
·

Terhadap keamanan negara;

·

Terhadap tindakan-tindakan dari alat-alat perlengkapan negara, atau;

·

Terhadap tubuh atau harta kekayaan dari seseorang tertentu.
Melainkan suatu kejahatan yang dapat mendatangkan bahaya bagi
kehidupan masyarakat atau bagi “maatschappelijke leven” dan yang dapat
menimbulkan gangguan dari ketertiban alamiah atau bagi “de natuurlijke orde
der maattschappij”.
Selain

itu

kejahatan

terhadap

ketertiban

umum

juga

dapat

didefinisikan sebagai tindak pidana terhadap segala pernyataan di muka
umum tentang perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap
pemerintah Indonesia atau terhadap golongan penduduk.13
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian
kejahatan terhadap ketertiban umum secara garis besarnya adalah sekumpulan
kejahatan-kejahatan yang menurut sifatnya dapat menimbulkan bahaya
terhadap

keberlangsungan

kehidupan

masyarakat

menimbulkan gangguan-gangguan terhadap

dan

yang

dapat

ketertiban alamiah di dalam

masyarakat.
Mengenai definisi dari pelanggaran terhadap ketertiban umum, dari
beberapa literatur tidak dapat ditemukan secara jelas, akan tetapi bila dilihat
dari buku III bab II KUHP dapat disimpulkan bahwa pelanggaran terhadap
ketertiban umum adalah suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh
seseorang yang menurut sifatnya dapat menimbulkan bahaya terhadap
12 -Van Bemmelen_Van Hattum , Hand-en Leerboek II, hlm.103
13 -Simons, Leerboek II , hlm.242

22

keberlangsungan kehidupan masyarakat dan dapat menimbulkan gangguangangguan terhadap ketertiban dan kenyamanan di dalam masyarakat.
Menyatakan Perasaan Tak Baik Terhadap Pemerintah, Hal ini sesuai
yang telah tercantum dalam pasal 154 yang menyatakan bahwasanya,“
Barang Siapa yang menyatakan di muka umum perasaan permusuhan,
kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun atau dengan pidana denda
setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah”
Dari rumusan tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur obyektif saja:
1. Di depan umum (in het openbaar) hal ini merupakan keadaan yang
membuat pelaku dipidana (strafbepalende omstandegheid), sehingga bila si
pelaku melakukannya tidak di depan umum, maka tidak terkena pidana.
Dengan adanya syarat “di depan umum”itu, kiranya perlu diketahui bahwa
perbuatan yang terlarang dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 154
KUHP itu tidak perlu dilakukan oleh pelaku di tempat umum (tempat yang
didatangi oleh setiap orang) melainkan cukup jika perbuatan tersebut
dilakukan oleh pelaku dengan cara sedemikian rupa, hingga pernyataannya
didengar oleh publik.
Bila perbuatan tersebut dilakukan di tempat umum, akan tetapi
ternyata tidak di dengar oleh publik misalnya dilakukan dengan berbisik,
maka perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur “di depan umum”, sehingga
pelaku tidak dapat dipersalahkan telah melanggar larangan yang diatur dalam
pasal 154 KUHP tersebut.
2.

Menyatakan

perasaan

(dapat

diartikan

sebagai

memberitahukan,

menunjukkan dan menjelaskan yang dapat dilakukan dengan mengucapkan
lisan saja, melainkan juga dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan) dengan:
a. permusuhan (vijandscahp);
b. kebencian (haat);

23

c. merendahkan (minachting).
3. Terhadap Pemerintah Indonesia (tegen de Regering van Indonesia).
Pasal 154a, merupakan lanjutan dari ketentuan pidana yang diatur
dalam pasal 154, oleh karena itu, perbuatan menodai bendera kebangsaan
atau lambang negara RI, dikenai pidana penjara paling lama empat tahun atau
denda tiga ribu rupiah.
Adapun Pasal 155 merupakan lanjutan dari Pasal 154 dengan
melarang: menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan, sehingga
kelihatan oleh umum, tulisan atau gambar yang isinya menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan tehadap Pemerintah Indonesia.
Adapun maksimum hukumannya lebih ringan, yaitu empat tahun enam bulan
atau denda tiga ratus rupiah. Sehingga mempunyai akibat tidak leluasanya
pers Indonesia mengkritik pemerintahan Indonesia.
Memasuki ruangan dinas umum (Openbare Dienst), Pasal 168,
memuat suatu tindak pidana yang sama dengan pasal 167, hanya dengan
perbedaan pada perbuatan dalam terhadap suatu ruangan yang dipakai untuk
dinas umum, dan persamaan yang berhak pada pegawai negeri yang berkuasa
di situ.
Dijelaskan dalam pasal lain tentang memaksa masuk kantor pemerintah yaitu:
Pasal 304
a. Setiap orang yang secara melawan hukum memaksa masuk ke dalam kantor
pemerintah yang melayani kepentingan umum atau yang berada di dalamnya dan
atas permintaan pejabat yang berwenang tidak segera pergi meninggalkan tempat
tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori II.
b. Dianggap masuk dengan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap
orang yang masuk dengan merusak, memanjat, atau dengan menggunakan anak

24

kunci palsu, perintah palsu, pakaian dinas palsu, atau yang dengan tidak setahu
lebih dahulu pejabat yang berwenang serta bukan karena kekhilafan masuk dan
kedapatan di dalam tempat tersebut pada malam hari.
c. Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori II.
Demonstrasi adalah

sebuah

gerakan protes yang

dilakukan

sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan
untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan
yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah
upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok.
Pasal 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi: "Barangsiapa pada waktu orang-orang
berkerumun dengan sengaja tidak pergi dengan segera sesudah diperintahkan
tiga kali oleh atau atas nama kekuasaan yang berhak, dihukum karena turut
campur berkelompok-kelompok, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat
bulan dua minggi atau denda sebanyak-banyaknya Rp9.000".
Di samping itu, jaksa menilai ketiga terdakwa melanggar ketentuan pasal
10, pasal 16 dan pasal 17 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan
Menyatakan Pendapat di Muka Umum.
Namun dalam eksepsinya, tim penasehat hukum terdakwa menilai
dakwaan jaksa kabur dan tidak jelas. Penggunaan pasal 218 KUHP dinilai tidak
tepat. Pasal 218 dalam pandangan FKAO lebih mengatur "orang-orang yang
berkerumun", sementara jaksa menyebut terdakwa sebagai "pengunjuk rasa".
Kalaupun bisa diterapkan hanya kepada penonton unjuk rasa, bukan pengunjuk
rasa sendiri.

25

"Pasal 218 KUHP hanya bisa diterapkan untuk orang-orang berkerumum yang
mengacau (volksoploop), bukan untuk pengunjuk rasa seperti para terdakwa yang
dalam dakwaan JPU tidak dinyatakan sebagai pengacau," ujar Daniel Panjaitan,
anggota tim kuasa hukum terdakwa Ardy Purnawansani dalam eksepsinya.
Jaksa menilai para terdakwa melakukan demo menuju kediaman Presiden
Megawati pada 22 Januari lalu tanpa mengantongi izin dari kepolisian. Tetapi
dalam persidangan, Rico Marbun menyatakan sudah mendapat izin lisan.
Pasal 10 UU No. 9/1998 tegas menyatakan bahwa penyampaian pendapat
di muka umum wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Pasal 17
menambahkan, penanggung jawab atas pelaksanaan penyampaian pendapat di
muka umum bisa dipidana sesuai undang-undang (4 bulan) ditambah sepertiga.

BAB IV
KESIMPULAN
1. Pasal 154 yang menyatakan bahwasanya,“ Barang Siapa yang
menyatakan di muka umum perasaan permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya tujuh tahun atau dengan pidana denda setinggitingginya empat ribu lima ratus rupiah”
Dari rumusan tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur obyektif saja:
Di depan umum (in het openbaar) Menyatakan perasaan (dapat
diartikan sebagai memberitahukan, Terhadap Pemerintah Indonesia
(tegen de Regering van Indonesia).
2. Hukum menurut John Austin bahwa sebagai perangkat perintah, baik
langsung maupun tidak langsung dari pihak yang bekuasa kepada
warga rakyatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen,
di mana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas
tertinggi.
Hans Kelsen mengatakan bahwa Hukum adalah suatu perintah
terhadap tingh laku manusia dan hukum adalah kaidah primer yang
menetapkan sanksi-sanksi.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian
kejahatan terhadap ketertiban umum secara garis besarnya adalah
sekumpulan

kejahatan-kejahatan

yang

menurut

sifatnya

dapat

menimbulkan bahaya terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat
dan yang dapat menimbulkan gangguan-gangguan terhadap ketertiban
alamiah di dalam masyarakat.
Memasuki ruangan dinas umum (Openbare Dienst), Pasal 168,
memuat suatu tindak pidana yang sama dengan pasal 167, hanya
dengan perbedaan pada perbuatan dalam terhadap suatu ruangan yang

26

27

dipakai untuk dinas umum, dan persamaan yang berhak pada pegawai
negeri yang berkuasa di situ.
Dijelaskan dalam pasal lain tentang memaksa masuk kantor
pemerintah yaitu:
Pasal 304 “Setiap orang yang secara melawan hukum memaksa masuk
ke dalam kantor pemerintah yang melayani kepentingan umum atau
yang berada di dalamnya dan atas permintaan pejabat yang berwenang
tidak segera pergi meninggalkan tempat tersebut, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling
banyak Kategori II.
Demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan
orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk
menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan
yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai
sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok.
Pasal 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi: "Barangsiapa pada waktu
orang-orang berkerumun dengan sengaja tidak pergi dengan segera
sesudah diperintahkan tiga kali oleh atau atas nama kekuasaan yang
berhak, dihukum karena turut campur berkelompok-kelompok, dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggi atau
denda sebanyak-banyaknya Rp9.000".
Di samping itu, jaksa menilai ketiga terdakwa melanggar ketentuan
pasal 10, pasal 16 dan pasal 17 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998
tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat di Muka Umum.
"Pasal 218 KUHP hanya bisa diterapkan untuk orang-orang
berkerumum yang mengacau (volksoploop), bukan untuk pengunjuk
rasa seperti para terdakwa yang dalam dakwaan JPU tidak dinyatakan
sebagai pengacau," ujar Daniel Panjaitan, anggota tim kuasa hukum
terdakwa Ardy Purnawansani dalam eksepsinya.

28

Jaksa menilai para terdakwa melakukan demo menuju kediaman
Presiden Megawati pada 22 Januari lalu tanpa mengantongi izin dari
kepolisian. Tetapi dalam persidangan, Rico Marbun menyatakan sudah
mendapat izin lisan.
Pasal 10 UU No. 9/1998 tegas menyatakan bahwa penyampaian
pendapat di muka umum wajib diberitahukan secara tertulis kepada
Polri. Pasal 17 menambahkan, penanggung jawab atas pelaksanaan
penyampaian pendapat di muka umum bisa dipidana sesuai undangundang (4 bulan) ditambah sepertiga.

Daftar Pustaka

- Langeimeijer, Noyon,Prof,Mr.T.J-Prof Mr.G.E, Het Wetboek Van Strafrecht,
N.V. Uitgeversmaatschappij W.E.J Tjeenk (Willink: Zwolle, 1959)
- Lamintang, Delik-delik Khusus, (Bandung, Sinar baru ,1986)
- Moeljatno, KUHP, (Bumi Aksara,1996)
- Projodikoro, Wirjono, Tindak Pidana-pidan tertentu Di Indonesia, (Bandung:
Refika Aditama, 2003)
-Syamsuddin

Aziz,Tindal

Pidana

Khusus,Ed.

Grafika,2011)
- http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pidana

29

1.

Cet.

2,(Jakarta,Sinar