Mempertahankan Jawa sebagai Jawa Dwipa.

Mempertahankan Jawa sebagai Jawa Dwipa.
Sebuah Analisis tentang Persoalan Penolakan Masyarakat atas Rencana
Industriaslisasi Semen di Jawa Tengah dari Perspektif Hukum Adat1
oleh:
Joeni A. Kurniawan
(Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya)
Pendahuluan:
Pulau Jawa adalah pulau yang terpadat penduduknya di antara seluruh pulau yang ada di
Indonesia. Jakarta, ibu kota negara Indonesia pun ada di pulau ini. Hal ini adalah fakta-fakta
yang sangat erat terkait dengan fakta yang lain yakni bahwa segala macam kegiatan
pembangunan selalu diawali dan cenderung dikonsentrasikan di pulau Jawa.
Sejak masa Orde Baru, Indonesia adalah negara yang menitik beratkan pembangunan
ekonominya pada industrialisasi. Sebagai sentral pembangunan di Indonesia, pulau Jawa pun
kemudian secara otomatis menjadi pusat industrialisasi di negeri ini. Keberadaan pulau Jawa
sebagai sentral industri dan perekonomian secara historis bahkan bisa dilacak ke belakang
hingga ke era kolonial Hindia Belanda. Hal ini bisa dilihat dari adanya kebijakan tanam paksa
(cultuurstelsel) yang intinya memberikan kewajiban bagi para petani khususnya petani di
Jawa untuk mengalokasikan sebagian tanah sawahnya untuk ditanami tanaman-tanaman
perkebunan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial untuk nantinya dijadikan bahan
perdagangan dan diekspor ke Eropa.
Industrialisasi di Jawa yang bahkan terjadi sejak masa kolonial inilah yang kemudian

mungkin sedikit banyak membuat karakteristik sosio-kultural masyarakat Jawa menjadi
berbeda dari masyarakat Indonesia di luar Jawa. Masyarakat Jawa cenderung lebih bersifat
heterogen dibandingkan masyarakat lain di luar Jawa. Hal ini tentu bisa dipahami mengingat
industrialisasi selalu memicu terjadinya migrasi. Pulau Jawa pun kemudian menjadi pemikat
masyarakat lain di luar Jawa untuk hijrah ke Jawa. Dinamika sosio-kultural pun menjadi
terjadi lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lain di luar Jawa sehingga tidak berlebihan
kiranya jika disebutkan bahwa pulau Jawa adalah pulau yang paling banyak memiliki
keberagaman budaya dibanding wilayah-wilayah yang lain.
Namun, hal tersebut tidak menghalangi sebagian masyarakat Jawa untuk terus
mempertahankan nilai-nilai adat dan tradisi mereka, khususnya masyarakat Jawa yang masih
menekuni diri sebagai petani pemilik sawah. Berada di tengah-tengah himpitan industrialisasi
yang begitu masif yang terjadi sejak dulu kala secara niscaya menekan keberadaan
masyarakat Jawa yang masih bertahan sebagai masyarakat petani berikut dengan nilai-nilai
tradisi petani mereka ini. Adanya tekanan inilah yang kemudian membuat masyarakat ini
melakukan perlawanan atas berbagai rencana industrialisasi yang dilakukan di Jawa. Salah
satunya adalah rencana pendirian pabrik semen di Provinsi Jawa Tengah seperti halnya yang
1

Tulisan ini dibuat dalam rangka sebagai analysis paper untuk kegiatan “Uji Publik Putusan PTUN Semarang
terkait Kasus Semen Gresik di Rembang”, FISIP Unair, Surabaya, 12 Juni 2015.


1

terjadi di Pati dan Rembang saat ini. Mengapa masyarakat petani Jawa khususnya di Jawa
Tengah ini begitu gigih melakukan perlawanan? Hal ini tiada lain karena adanya nilai-nilai
tradisi petani yang masih mereka pegang teguh, di mana nilai-nilai ini sangat bertentangan
dengan kegiatan industrialisasi itu sendiri. Pertentangan antara nilai-nilai tradisional
masyarakat petani di Jawa dengan kegiatan industrialisasi inilah yang akan menjadi fokus
analisis dalam tulisan singkat ini.
Sekilas tentang Kasus Penolakan Industri Semen di Jawa Tengah
Persoalan konflik sosial berupa penolakan masyarakat atas rencana industrialisasi pendirian
pabrik Semen di Jawa Tengah bermula dari adanya rencana P.T. Semen Gresik untuk
menjadikan areal karst di Pegunungan Kendeng Utara, tepatnya di Desa Sukolilo, Kabupaten
Pati, Jawa Tengah, sebagai areal baru penambangan bahan baku semen sekaligus areal
pendirian pabrik semen yang baru di tahun 2008. Rencana P.T. Semen Gresik ini
sesungguhnya mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Daerah setempat, baik itu
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang mengeluarkan Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6
Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2030
yang menetapkan Pegunungan Kendeng Utara di Desa Sukolilo Kabupaten Pati sebagai area
industri dan pertambangan, maupun Pemerintah Kabupaten Pati yang mengeluarkan Surat

Ijin Penambangan Daerah (SIPD) kepada P.T. Semen Gresik (Kristianto, 2009, p. 11).
Namun, walaupun mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Daerah yang ada, rencana P.T.
Semen Gresik ini pada akhirnya harus dibatalkan akibat adanya penolakan yang begitu keras
yang dilancarkan oleh warga Desa Sukolilo di Kabupaten Pati. Adanya penolakan yang
begitu gigih dilakukan oleh warga Sukolilo ini salah satu faktor penyebabnya adalah akibat
adanya komunitas tradisional Sedulur Sikep yang hidup dan tinggal di desa ini yang dalam
persoalan rencana pendirian pabrik semen ini menjadi motor utama penolakan warga
Sukolilo atas rencana tersebut. Gunretno, tokoh muda komunitas Sedulur Sikep di Desa
Sukolilo, adalah sosok yang memiliki peran penting dalam gerakan perlawanan warga
Sukolilo atas rencana pendirian pabrik semen di desa Sukolilo. Ia lah yang kemudian menjadi
koordinator sebuah wadah yang didirikan dalam rangka untuk memfasilitasi gerakan seluruh
warga (tidak hanya meliputi anggota komunitas Sedulur Sikep, melainkan juga termasuk
warga non Sedulur Sikep) untuk menyelematkan Pegunungan Kendeng Utara dari rencana
pertambangan yang dinamakan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).
Adanya gerakan penolakan yang gigih dari warga di Sukolilo Pati ini kemudian membuahkan
hasil. Gugatan Tata Usaha Negara (TUN) yang dilayangkan oleh warga Sukolilo dalam
mempersoalkan ijin penambangan yang diberikan kepada P.T. Semen Gresik dimenangkan di
tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Hal ini mengakibatkan P.T. Semen Gresik secara
hukum harus membatalkan rencananya untuk membangun pabrik dan areal penambangan
bahan baku semen yang baru di Desa Sukolilo Kabupaten Pati.

Namun, adanya pembatalan rencana P.T. Semen Gresik di Desa Sukolilo ini tidak berarti lalu
ancaman industrialisasi tambang khususnya industri semen di Pegunungan Kendeng Utara
menjadi berhenti. Tidak berselang terlalu lama setelah P.T. Semen Gresik menyatakan secara
2

resmi membatalkan rencananya untuk mendirikan pabrik dan areal pertambangan bahan baku
semen di Desa Sukolilo, di tahun 2010 muncul proposal baru pendirian pabrik dan arael
penambangan bahan baku semen yang lain yang kali ini disodorkan oleh perusahaan bernama
P.T. Sahabat Mulya Sakti (P.T. S.M.S.) yang konon adalah anak perusahaan dari P.T.
Indocement. Rencana ini tidak lagi diusulkan untuk dilaksanakan di Desa Sukolilo,
melainkan di desa lain yakni Desa Kayen dan Desa Tambakromo yang masih berada di
bawah wilayah administrasi Kabupaten Pati. Sampai tulisan ini dibuat, proses perlawanan
warga di Desa Kayen dan Desa Tambakromo yang diwujudkan dalam bentuk gugatan TUN
di PTUN Semarang atas ijin yang dikeluarkan Pemerintah Daerah setempat kepada P.T.
S.M.S. masih berlangsung.
Di sisi lain, pembatalan rencana P.T. Semen Gresik (yang kemudian berganti nama menjadi
P.T. Semen Indonesia) untuk mendirikan pabrik dan areal pertambangan bahan baku semen
di Kabupaten Pati tidak berarti menghentikan sama sekali rencana perusahaan ini. Beralih
dari Kabupaten Pati, kini P.T. Semen Gresik melirik Kabupaten Rembang sebagai area
pendirian pabrik dan area penambangan bahan baku semen mereka yang baru, yakni tepatnya

di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Seperti halnya yang terjadi di
Kabupaten Pati, dukungan penuh dari Pemerintah Daerah setempat juga diberikan atas
rencana P.T. Semen Gresik ini, yakni dengan dikeluarkannya berbagai ijin yang diperlukan
oleh P.T. Semen Gresik untuk merealisasikan rencana pembangunannya. Salah satu ijin
tersebut adalah ijin lingkungan kegiatan penambangan yang dituangkan dalam Surat
Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tertanggal 7 Juni 2012. Di sisi lain,
sebagaimana yang juga terjadi pada kasus di Kabupaten Pati, rencana P.T. Semen Gresik di
Kabupaten Rembang ini juga mendapatkan perlawanan berupa penolakan keras dari warga
beberapa desa di Kabupaten Rembang yang berpotensi terkena dampak dari pendirian pabrik
semen oleh P.T. Semen Gresik (yang sudah mulai dilaksanakan berbekal ijin lingkungan
penambangan) tersebut. Perlawanan secara hukum pun juga dilakukan oleh para warga
Rembang yang menolak industri semen di wilayah mereka ini dengan melakukan gugatan
TUN atas dikeluarkannya ijin lingkungan penambangan sebagaimana di atas di PTUN
Semarang. Pada tingkat pertama, warga Rembang yang melayangkan gugatan tersebut kalah,
dan kini hingga tulisan ini dibuat proses hukum yang dilakukan masih dalam rangka banding
di PT TUN Jawa Timur.
Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa adanya rencana industrialisasi semen yang tidak
kunjung padam digulirkan atas wilayah Pegunungan Kendeng Utara di Jawa Tengah ternyata
linier dengan penolakan dan perlawanan yang juga tidak kunjung padam digulirkan warga
masyarakat di sekitar area rencana industrialisasi tersebut. Hal ini tentu tidak mengherankan

mengingat aktivitas penambangan adalah aktivitas yang sangat berpotensi menimbulkan
kerusakan lingkungan akibat sifat dari aktivitas ini yang secara niscaya akan mengubah
bentang geografis dari wilayah yang dieksploitasi, terlebih jika hal ini dilakukan pada
wilayah Pegunungan Kendeng Utara yang merupakan wilayah pegunungan karst yang karena
sifat geologisnya yang khas seharusnya menjadi wilayah yang dilindungi sebab berkait erat
dengan keberlangsungan keberadaan sumber-sumber mata air yang biasanya banyak terdapat
di wilayah pegunungan karst. Namun, di samping persoalan ekologis, berdasarkan penelitian
3

penulis atas kasus penolakan rencana industrialisasi semen di Desa Sukolilo Kabupaten Pati
yang dimotori oleh komunitas Sedulur Sikep yang ada di sana, ditemukan fakta penting
bahwa penolakan atas rencana industrialisasi semen ini juga karena dipengaruhi faktor sosiokultural masyarakat yakni nilai-nilai tradisional masyarakat agraris (masyarakat petani) yang
dimiliki dan dipegang teguh oleh warga yang melakukan penolakan industrialisasi semen atas
Pegunungan Kendeng Utara ini.
“Tanah adalah Ibu”. Nilai-Nilai Masyarakat Tradisional-Agraris atas Tanah
Secara tradisional, basis ekonomi-sosial-budaya masyarakat Jawa adalah bidang agraria alias
bidang pertanian. Inilah yang membuat istilah “Jawa” itu sendiri adalah istilah yang diambil
dari bahasa Sanskrit yakni yava yang artinya adalah tanaman padi-padian (Anonymous).
Sehingga, tidak mengherankan jika ada masyarkat Jawa yang berusaha mempertahankan
nilai-nilai tradisionalnya, maka mereka biasanya adalah masyarakat yang berusaha keras

mempertahankan diri untuk berprofesi sebagai petani (yang menggarap lahan milik mereka
sendiri). Hal ini disebabkan karena menjadi petani adalah bagian dari nilai-nilai tradisional
masyarakat Jawa itu sendiri. Ini bisa dibuktikan dari adanya sebuah norma yang masih
dipegang teguh oleh komunitas Sedulur Sikep, sebagai salah satu komunitas tradisional di
Jawa seperti halnya yang hidup dan tinggal di Desa Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah,
yang mewajibkan mereka untuk hanya bekerja sebagai petani saja dan melarang diri mereka
untuk bekerja pada bidang pekerjaan di luar bertani (Kurniawan, 2014, p. 96).
Bertani adalah sebuah pekerjaan yang secara niscaya sangat membutuhkan keberadaan tanah.
Oleh karena itu, secara tradisional dalam masyarakat agraris tanah memiliki nilai yang sangat
penting dan bahkan sakral. Menurut nilai-nilai dan norma tradisional khususnya hukum adat,
tanah bukanlah befungsi sebagai suatu aset ekonomi, melainkan lebih dari itu tanah
dipandang secara metafisik sebagai sosok “ibu” bagi semua makhluk hidup yang hidup dan
tinggal di atasnya. Pandangan filosofis tentang tanah atau bumi sebagai ibu ini adalah nilai
paling fundamental dalam kaidah-kaidah hukum adat tentang tanah dalam masyarakat
tradisional khususnya masyarakat tradisional-agraris. Hal ini terkait dengan adanya
pandangan filosofis-metafisis yang meyakini bahwa semua makhluk yang hidup dan tinggal
di atas suatu tanah lingkungan tertentu adalah “anak-anak” yang dilahirkan dari hasil
perkawinan langit sebagai bapak dan tanah atau bumi sebagai ibu (Koesnoe, 2000, p. 6).
Sebagaimana yang juga diyakini oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Jawa
Tengah, tanah dipandang sebagai sosok “ibu” karena tanah memiliki fungsi yang hampir

sama dengan fungsi dari seorang ibu, yakni melahirkan anak-anaknya dalam hal ini sebagai
tempat lahir manusia dan makhluk hidup yang hidup dan tinggal di wilayah tanah lingkungan
yang bersangkutan, memberi makan anak-anaknya dalam hal ini semua makhluk hidup yang
di atas tanah tersebut yang mengambil sumber penghidupan dari tanah tersebut, maupun
memberikan anak-anak tersebut perlindungan yakni sebagai tempat hidup dan tinggal
manusia dan semua makhluk yang ada di wilayah tanah lingkungan tersebut (Kurniawan,
2014, p. 100). Berdasarkan adanya pandangan filosofis tanah sebagai ibu ini, maka hubungan
antara manusia dengan tanahnya dalam hukum adat adalah bersifat sangat intim dan ada
tanggung jawab secara normatif yang muncul dari hubungan antara manusia dengan
tanahnya, yakni layaknya tanggung jawab seorang anak kepada ibunya. Tanggung jawab ini
4

tiada lain adalah tanggung jawab untuk senantiasa menjaga dan melindungi keselamatan
tanah/bumi sebagai ibu mereka (Koesnoe, 2000, p. 11). Oleh karena itu, segala perbuatan
yang sifatnya merusak tanah atau bumi akan dipandang sebagai kegiatan yang “memperkosa
sang ibu” dan oleh karenanya masyarakat yang tinggal di wilayah itu yang berperan sebagai
“anak-anak dari sang ibu” akan memiliki kewajiban untuk melakukan segala hal yang
diperlukan guna mencegah dan menghentikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya dapat merusak
tanah atau bumi tersebut.
Lebih jauh lagi, berdasarkan adanya nilai filosofis tanah sebagai ibu sebagaimana di atas,

bagi masyarakat agraris-tradisional yang hidup dengan mengandalkan sumber penghidupan
dari tanah, adanya hak untuk mengambil sumber penghidupan dari tanah akan berbanding
lurus dengan tanggung jawab yang diberikan oleh alam untuk menjaga dan melindungi
kelestarian tanah atau bumi dan lingkungan hidup (Koesnoe, 2000, p. 22). Selain itu, adanya
pandangan filosofis tanah sebagai ibu ini juga membawa konsekuensi tentang sifat
eksklusifitas hak atas tanah dan sumber daya alam. Ibu akan selalu dimiliki secara ekslusif
oleh anak-anaknya saja. Begitu pula dengan tanah. Tanah dalam pandangan adat akan selalu
bersifat ekslusif dalam arti bahwa kekuasaan atas tanah dan sumber daya alam yang ada di
dalamnya secara ekslusif hanya dimiliki oleh komunitas masyarakat yang hidup dan tinggal
di wilayah tersebut. Inilah yang dalam teori hukum adat disebut sebagai hak ulayat atau yang
dalam bahasa Belanda disebut sebagai beschikkingsrecht (Koesnoe, 2000, p. 22) (Sudiyat,
1981, p. 2) (Wignjodipuro, 1979, p. 248). Berdasarkan sifat ekslusifitas penguasaan tanah
sebagai konsekuensi normatif dari adanya hak ulayat ini, maka menurut hukum adat tanah
hanya boleh dinikmati hasilnya oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebagai
pemegang hak ulayat atas tanah dan lingkungan yang bersangkutan, dan pada saat yang sama,
tanah menjadi bersifat terlarang bagi siapapun yang bukan anggota komunitas adat
masyarakat pemegang hak ulayat tersebut (Koesnoe, 2000, p. 39) (Wignjodipuro, 1979, p.
250). Berdasarkan adanya ketentuan normatif inilah maka secara hukum adat, menjual tanah
kepada orang asing dalam artian kepada orang yang bukan anggota komunitas pemegang hak
ulayat atas tanah yang bersangkutan adalah hal yang terlarang (Wignjodipuro, 1979, p. 250).

Nilai-nilai normatif di atas adalah nilai-nilai normatif tentang tanah menurut hukum adat
yang secara antropologis dikembangkan di lingkungan masyarakat yang hidup berdasarkan
basis ekonomi-sosial-budaya sebagai masyarakat agraris atau masyarakat petani. Sehingga
bisa dikatakan bahwa nilai-nilai normatif tentang tanah di atas adalah nilai-nilai agraria
menurut hukum adat atau nilai-nilai agraria tradisional. Oleh karena itu secara teoretis akan
ada kecenderungan di mana setiap masyarakat tradisional-agraris dalam usahanya
mempertahankan identitas mereka sebagai masyarakat petani akan selalu berusaha
mempertahankan dan mengartikulasikan nilai-nilai normatif di atas. Di dalam pandangan
penulis, penolakan dan perlawanan masyarakat petani baik di Pati maupun di Rembang atas
industrialisasi semen di Pegunungan Kendeng Utara di Jawa Tengah adalah atau paling tidak
sebagian di antaranya dipengaruhi oleh motivasi untuk mempertahankan dan
mengartikulasikan nilai-nilai normatif agrarian tradisional sebagaimana dipaparkan di atas.

5

Refleksi
Dalam paradigma moderenitas yang serba bersifat positif (serba bersifat material) sebagai
narasi besar paradigma masyarakat industrialis, nilai-nilai agraria tradisional sebagaimana
yang dipaparkan di atas, yang menjadi salah satu latar belakang penolakan warga petani di
Pegunungan Kendeng Utara atas industrialisasi yang dilaksanakan di wilayah ini, mungkin

hanyalah narasi kecil yang seringkali terlewatkan begitu saja dalam diskursus yang
berkembang di masyarakat moderen-industrialis seperti sekarang ini.
Namun di sisi lain, ada semacam “fakta yang kurang menyenangkan” yang bersifat positif
(fakta yang bisa dipastikan) tentang masa depan suram yang dihadapi masyarakat industri
hari ini sebagai konsekuensi langsung dari industrialisasi itu sendiri, yakni adanya ancaman
pemanasan global (global warming).2 Bisa dikatakan bahwa dalam semua diskursus ilmiah
yang dilakukan para ahli menyangkut fenomena pemanasan global ini, hampir semua para
ilmuwan bersepakat bahwa ancaman pemanasan global ini bukan lagi ancaman yang akan
terjadi di masa yang akan datang tetapi sudah menjadi ancaman yang telah berlangsung saat
ini. Dampak dari fenomena pemanasan global ini adalah bencana yang luar biasa merusak
baik bagi lingkungan maupun manusia, yakni di antaranya adalah perubahan iklim dan
mencairnya es di kutub utara dan selatan yang akan membawa konsekuensi naiknya
ketinggian air laut yang –jika tidak dihentikan- akan mengubah kondisi geografis benuabenua yang ada di bumi ini di mana wilayah-wilayah yang secara geografis adalah dataran
rendah akan tenggelam.
Sebagai konsekuensi langsung dari industrialisasi, kajian-kajian ilmiah menunjukkan bahwa
salah satu faktor determinan dari munculnya fenomena pemanasan global adalah persoalan
gaya hidup, yakni apakah kita sebagai warga penghuni planet bumi terus melanjutkan gaya
hidup yang sifatnya eksploitatif pada alam (sebagai ciri khas dari gaya hidup industri) atau
sebaliknya kita mulai mengembangkan gaya hidup yang menjaga alam. Hampir semua pegiat
ekologi bersepakat bahwa hanya gaya hidup yang kedua inilah yang merupakan jalan satusatunya yang tersedia jika kita tidak ingin menjadi korban atas bencana ekologis yang kita
hasilkan sendiri.
Masyarakat tradisional, termasuk masyarakat tradisional-agraris di Pegunungan Kendeng
Jawa Tengah, adalah masyarakat petani yang menggantungkan hidupnya dari alam. Namun,
karena mereka hidup dari alam, maka mereka juga memiliki gaya hidup yang menjaga alam.
Gaya hidup ini dapat terjaga dan terus terlestarikan dari generasi ke generasi karena mereka
memandang alam (tanah, bumi, dan sumber daya alam) bukan sebagai obyek material,
melainkan sebagai subyek sakral yang harus senantiasa dihormati dan dijaga keselamatannya
sebagaimana kita menghormati dan menjaga keselamatan sesama manusia. Jika dilihat dari
sudut pandang ini, maka baru nampak bagi kita semua sebuah urgensi besar di balik narasi

2

Istilah “fakta yang kurang menyenangkan” di sini diambil dari sebuah judul fim documenter inspiratif berjudul
“The Inconvenient Truth” yang berisikan perjuangan mantan wapres AS yakni Al Gore, yang merupakan peraih
hadiah Nobel perdamaian atas kiprahnya di bidang lingkungan hidup, dalam usahanya mengkampanyekan
bahaya pemanasan global dan urgensi penyelamatan bumi dan lingkungan.

6

kecil nilai-nilai agraria tradisional yang terus dipertahankan dan diperjuangkan oleh
masyarakat petani di Pegunungan Kendeng ini.
Pertanyaannya sekarang bagi kita adalah, gaya hidup manakah yang kita pilih?
--------------------------Bibliografi
Anonymous. (n.d.). Malay Words of Sanskrit Origin. Retrieved 6 10, 2015, from Vedic
Knowledge Online: http://veda.wikidot.com/malay-words-sanskrit-origin
Koesnoe, M. (2000). Prinsip-Prinsip Hukum Adat tentang Tanah. Surabaya: Ubhara Press.
Kristianto, E. D. (2009). Menyelamatkan Lingkungan Berakhir di Penjara (Kriminalisasi 9
Warga Penolak Semen di Kabupaten Pati). Semarang: YLBH-Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Semarang.
Kurniawan, J. A. (2014). Contested Land Contesting Laws. A Context of Legal Pluralism and
Industrialization in Indonesia. Sortuz. Onati Journal of Emergent Socio-Legal Studies,
93-106.
Sudiyat, I. (1981). Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty.
Wignjodipuro, S. (1979). Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Bandung: Alumni.

7

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

EFEKTIVITAS siaran dialog interaktif di Radio Maraghita sebaga media komunikasi bagi pelanggan PT.PLN (persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten di Kelurahan Lebakgede Bandung

2 83 1

Strategi Public Relations Radio Cosmo 101.9 FM Bandung Joged Mania Dalam Mempertahankan Pendengar Melalui Pendekatan Sosial

1 78 1

Perancangan media katalog sebagai sarana meningkatkan penjualan Bananpaper : laporan kerja praktek

8 71 19

Prosedur Verifikasi Internal Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat

2 110 1

Peranan bunga kredit sebagai sumber dana bagi PT.Bank Jabar Cabang Soreang Bandung : laporan kerja praktek

2 62 68