PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENE

PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Disusun Oleh :

SUNU DIPTA WIBIAKSO
NIM

: A.131.09.0100

FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG

2013
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama dan

teiliti, karena pelanggaran hak tersebut memberikan dampak yang sangat negatif terhadap diri
dan keselamatan konsumen. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak
bermunculan macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen, baik
melalui promosi, iklan, maupun penawaran secara langsung. Jika tidak hati-hati dalam memilih
produk barang/jasa yang diinginkan, Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa
tersebut. Perkembangan perekonomian, perdagangan dan perindustrian yang kian hari kian
meningkat

telah

memberikan

kebebasan

yang

luar

biasa


kepada

konsumen

utuk

menggunakannya karena ada beragam variasi produk barang/jasa yang bisa digunakan. Bahkan
perkembangan globalisasi dan perdagangan besar didukung oleh teknologi informasi dan
telekomunikasi yang memberikan ruang gerak yang sangat bebas dalam setiap transaksi
perdagangan, sehingga barang/jasa yang dipasarkan bisa dengan mudah didapatkan dan
digunakan. Realita tersebut bias menjadi tantangan yang positif dan negatif. Dikatakan positif
karena kondisi tersebut bisa memberikan manfaat bagi konsumen untuk bisa memilih secara
bebas barang/jasa yang dinginkannya yang sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi dibalik sisi
positifnya ada sisi negatifnya yaitu kondisi tersebut menyebabkan posisi konsumen menjadi
lemah dari pada pelaku usaha.
Secara normatif berdasarkan kondisi diatas, upaya perlindungan konsumen menjadi
sangat penting. Untuk mewujudkan perlindungan konsumen akan sulit jika kita mengharapkan
kesadaran dari pelaku usaha, maka dari itu dibutuhkanya suatu tanggap masalah / kesadaran dari
konsumen akan manfaat dan kelebihan produk barang/jasa yang mereka gunakan tetapi
kepercayaan pun tidak cukup maka diperlukannya suatu aturan yang mengikatnya agar palaku

usaha tidak semena-mena, dan hak-hak konsumenpun terlindungi.

Adanya Undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak dimaksudkan
untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-undang perlindungan konsumen bisa
mendorong iklim usaha yang sehat serta mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam
menghadapi persaingan yang ada dengan menyediakan barang / jasa yang berkualitas. Dalam
penjelasan Undang-undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa dalam pelaksanaan akan
tetap memperhatikan hak dan kepentingan pelaku usaha kecil maupun menengah.
Bahkan menurut penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, faktor yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen adalah
masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Jika dilihat lebih lanjut, konsumen
ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidak mengertian
mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Lebih dari itu konsumen ternyata tidak
mendapatkan penjelasan mengenai manfaat barang / jasa bahkan konsumen tidak memiliki posisi
tawar yang berimbang dengan pihak pelaku usaha. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa
masalah perlindungan konsumen merupakan masalah yang sangat pelik karena konsumen tidak
hanya dihadapkan pada keadaan untuk memilih apa yang yang diinginkannya (apa yang terbaik),
melainkan juga pada keadaan ketika dia tidak dapat menentukan pilihannya sendiri karena
pelaku usaha memonopolinya., dengan suatu alasan bahwa pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan semaksimal

mungkin dengan modal seminimal mungkin. Artinya dengan pemikiran umum seperti ini , sangat
mungkin konsumen akan dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
B.

Rumusan Masalah

1.

Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran hak konsumen dan perlindungan hukum
pengguna jasa penerbangan dalam kasus delay?

2.

Apa peran pemerintah dalam menanggapi masalah penerbangan yang delay?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui UU

khusus, memberikan harapan agar para palaku usaha tidak sewenang-wenang. Maka konsumen
memiliki hak dan posisi seimbang dengan para pelaku usaha. Berdasarkan UU Perlindungan
Konsumen pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen. Dari pengertian di
atas ada pokok-pokok dari perlindungan konsumen. Diantaranya kesamaan derajad antara
konsumen dan pelaku usaha, konsumen mempunyai hak, pelaku usaha mempunyai kewajiban,
Pemerintah perlu berperan aktif, keterbukaan dalm promosi barang, pengaturan tentang
perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional, masyarakat perlu berperan
serta. Disamping itu upaya perlindungan konsumen didasarkan pada asas dan tujuan.
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2 ada 5 asas perlindungan konsumen.
1. Asas manfaat,
2. Asas keadilan,
3. Asas keseimbangan,
4. Asas keselamatan dan keamanan konsumen,
5. Asas kepastian hukum.
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan dari perlindungan
konsumen adalah meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri, meningkatkan pemberdayaan konsumen, menciptakan unsur perlindungan
hukum yang mengandung kepastian hukum, menimbulkan atau menumbuhkan kesadaran pelaku
usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, meningkatkan kualitas barang / jasa yang

menjamin kelangsungan usaha. “Adapun tujuan umum perlindungan konsumen adalah secara
umum adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen” (Miru dkk, 2008 : 63)

Konsumen
Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi yang
haknya sering diabaikan oleh para pelaku usaha. Akibatnya hak-hak konsumen perlu dilindungi.
Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 2, konsumen adalah setiap orang pemakai
barang/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sebagai pemakai barang/jasa konsumen memiliki beberapa hak dan kewajiban.
Pengetahuan akan hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai pihak
konsumen yang mandiri dan paham akan hak-haknya. Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen
pasal 4, hak-hak konsumen.
1. Hak akan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang /
jasa.
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang / jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi dan jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang /
jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan.
5. Hak untuuk mendapatkan avokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Selain memiliki hak konsumen juga memiliki kewajiban yang tak kalah pentingnya yang
harus diperhatikan. Dalam UU Perlindungan Konsumen pasal 5 dikatakan bahwa kewajiban
konsumen.

1. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa.
Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa. Dengan itikad baik
kebutuhan konsumen akan terhadap barang/jasa yang diinginkan bisa terpenuhi dengan
penuh kepuasan.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Pelaku Usaha
Dalam hukum perlindungan konsumen selain konsumen terdapat juga pelaku usaha, dan
dalam UU Perlindungan Konsumen pasal 1 ayat 3 dijelaskan pelaku usaha adalah setiap orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegitan usaha dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelengaraan
kegitan uasha dalam berbagai bidang ekonomi.
Untuk memberikan kepastian hukum sebagai bagian dari tujuan hukum perlindungan
konsumen maka pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban. Adapun kewajiban dari pelaku usaha
berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 6 adalah:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuia dengan kesepakatan mengenai kondisi
nilai tukar barang/jasa yang diperdagangkan.
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik.
3. Hak untuk pembelaan sepatunya didalm penyelesaian perkara perlindungan konsumen.
Kewajiban pelaku usaha juga memiliki peranan yang penting selain hak, yang sesuai
dengan UU Perlindungan Konsumen pasal 7 kewajiban pelaku usaha adalah;
1.
2.
3.
4.

Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha.

Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai produk barang/jasa.
Melakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
Menjamin mutu produk barang/jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standart mutu barang yang berlaku.

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba produk barang/jasa
yang diproduksi, member garansi serta jaminan produk barang/jasa dibuat atau
diperdagangkan.
Selain memiliki hak dan kewajiban pelaku usaha juga memiliki tanggung jawab, menurut
UU Perlindungan Konsumen pasal 19 ayat 1 bahwa pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang diderita konsumen
akibat mempergunakan barang/jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

B.

Perlindungan Hukum Pengguna Jasa Penerbangan
Dibentuknya Undang-Undang, yaitu UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen. Maka artinya hak-hak konsumen tersebut sudah diakui keberadaannya dan memiliki
kepastian hukum yang diatur dalam Undang-Undang. Upaya hukum yang dilakukan oleh

konsumen yang merasa dirugikan bisa menggunakan pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999.
Bentuk perlindungan hukum bagi penumpang pengguna jasa transportasi udara, serta upaya
hukum bagi penumpang yang dirugikan oleh perusahaan transportasi udara. yaitu antara lain
Pengangkutan Udara 1939, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995. Materi perlindungan hukum yang
diatur meliputi:
1. Tanggung jawab perusahaan pengangkutan udara yang terdiri dari tanggung jawab
2.
3.
4.
5.

terhadap penumpang,
Tanggung jawab terhadap barang, tanggung jawab terhadap keterlambatan (delay)
Tanggung jawab asuransi.
Penentuan nilai ganti rugi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan pengangkutan udara.
Menentukan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh penumpang yang
mengalami kerugian, yaitu upaya hukum melalaui jalur pengadilan (litigation) dan upaya
hukum di luar pengadilan (non litigation).
Bahkan dalam UU penerbangan soal kompensasi bagi penumpang yang dirugikan oleh


servis maskapai. Dalam aturannya wajib memberi kompensasi dan informasi yang jelas jika
jadwal keberangkatan tertunda. Untuk keterlambatan 30 menit-90 menit, maskapai wajib
memberikan makanan dan minuman ringan. Untuk keterlambatan 90 menit hingga 180 menit,

kompensasinya makan besar, dan memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya bila
diminta.
Sedangkan jika delay di atas 180 menit, maskapai wajib memberikan fasilitas akomodasi
hingga penumpang diangkut penerbangan pada hari berikutnya. Untuk pembatalan penerbangan
karena kesalahan pihak maskapai, penumpang dimungkinkan mengambil akomodasi hingga hari
berikutnya atau meminta kembali biaya tiket secara penuh (refund). Dasar hukum yang
menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan melalui dasar ;
1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal
27 , dan Pasal 33.
2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
3. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3821,
4. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Usaha Tidak Sehat.
5. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian
Sengketa.
6. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen,
7. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang
Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag
Prop/Kab/Kota,
8. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005
tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.

BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISIS

A. Kasus
Seorang warga Ciputat hendak pergi ke Surabaya dan rencananya menggunakan jasa
penerbangan X dengan nomor penerbangan Y pada pukul 20.30 wib. Pada saat ceck-in tanggal
keberangkatan, ternyata pemberangkatan di-delay dan perkirakan akan terbang pukul 04.00 wib

keesokan harinya, dan ternyata kasus tersebut juga terjadi pada rute penerbangan yang lainnya.
Diinformasikan bahwa alasan delay tersebut karena kerusakan pesawat, sementara pesawat
bantuan belum bisa diterbangkan ke Surabaya karena alasan cuaca. Dan pada pukul 23.30 wib,
diinformasikan bahwa penerbangan ke Surabaya dengan no penerbangan Y dibatalkan, alasan
bandara Juanda disurabaya belum buka jam 5 pagi, ahirnya para penumpang dengan jasa
penerbangan X dan no penerbangan Y akan diberangkatkan keesokan hari pada pukul 07.00
dengan kapasitas penumpang 14/seat/ atau kursi, dan sisanya akan diberangkatkan pada siang
hari. (Sindo, 17 September 2009)

B. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen
Meskipun telah dibentuknya UU yang mengatur masalah pelanggaran hak konsumen
masih banyak juga kasus- kasus pelanggaran konsumen, seperti halnya kasus pelanggaran
konsumen pengguna jasa penerbangan salah satunya. Tak sedikit pelanggaran tersebut terjadi
karena suatu hal yang mengenai prosedur pelayanan konsumen. Yang lebih parahnya lagi
pelanggaran tersebut bukan terjadi sekali saja bahkan terjadi berulang-ulang hal ini diperkuat
dengan beberapa pengaduan yang diterima Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
yang langsung dibawah komando Presiden SBY pada tahun 2007, mencatat 7 maskapai
penerbangan yang paling banyak dikeluhkan konsumen. Ketujuh maskapai tersebut adalah
AirAsia, Lion Air, Garuda, Adam Air, Sriwijaya Air, Wing Air dan Batavia Air. Terdapat 25
keluhan yang masuk BPKN. Keluhan tersebut adalah masalah penundaan jadwal penerbangan
tanpa pemberitahuan 7 pengaduan. Kehilangan barang di bagasi 5 pengaduan, tiket hangus 4
pengaduan, tempat duduk tidak sesuai tiket 3 pengaduan, menolak booking lewat telepon 2
pengaduan. Serta sikap pramugari, keamanan, kebersihan dan bagasi ditelantarkan 4 pengaduan.
Demikian diungkapkan oleh Teddy Setiadi Kepala BPKN, yang juga Irjen Departemen
Perdagangan (Depdag), dalam acara Forum dialog / trust building / dengan jasa penerbangan di
Gedung Depdag, Jalan R Jakarta, (Kompas, kamis 26/4/2007).

Bentuk-bentuk dari pelanggaran hak konsumen pengguna jasa penerbangan adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pencatatan identitas
Penundaan penerbangan delay dengan alih / alasan faktor cuaca dan teknis operasional
Penundaan jadwal penerbangan delay tanpa pemberitahuan
Menjual tarif tiket dengan batas atas
Letak atau posisi kursi tidak sesuai dengan tiket
Kehilangan barang dibagasi ( Pasal 144 Undang – Undang nomor 1 tahun 2009 ).
Tiket hangus

C. Peran Pemerintah Dalam Menangani Masalah Penerbangan

Pemerintah memiliki peran dalam mewujudkan perlindungan konsumen dengan
mewajibkan seluruh maskapai penerbangan untuk memberikan kompensasi kepada para
penumpang bila terjadi keterlambatan/delay/penerbangan lebih dari 30 menit. Penumpang juga
dapat melakukan gugatan ke pengadilan bila hak-haknya itu diabaikan. Dengan adanya regulasi
itu, maskapai penerbangan tidak bisa lagi lepas tanggung jawab dan membiarkan para
penumpangnya terlantar di bandara bila pesawat tersebut mengalami keterlambatan. Peran
pemerintah dalam menyikapi pelanggaran hak perlindungan konsumen adalah dengan
melalukukan pembinaan sesuai dengan Pasal 10 UU Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan
yaitu ;
1. Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah.
2. Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud meliputi aspek pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan,
3. Pengaturan sebagaimana dimaksud meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis yang
terdiri atas penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur
termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan.
4. Pengendalian sebagaimana dimaksud meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan,
perizinan, sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.
5. Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi kegiatan pengawasan pembangunan dan
pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk melakukan
tindakan korektif dan penegakan hukum,
6. Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan memperhatikan
seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk,
7. Pembinaan sebagaimana dimaksud dilakukan secara terkoordinasi dan didukung oleh
instansi terkait yang bertanggung jawab di bidang industri pesawat udara, lingkungan
hidup,

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi,

serta

keuangan

dan

perbankan,

Pemerintah daerah melakukan pembinaan penerbangan sebagaimana dimaksud sesuai
dengan kewenangannya.

D. Analisis
Apabila faktor teknis kerap dijadikan alasan, pengawas di bandara mestinya melakukan
penelusuran lebih lanjut terhadap operator maskapai. Sebab itu merupakan suatu keganjilan. Jadi,

harus ada penjelasan secara detil kepada penanggung jawab pengawasan di lapangan yang
khusus menangani pelaporan dari maskapai. Jangan sampai faktor keterlambatan itu akibat pihak
maskapai mencari-cari pembenaran sepihak. Bukan mustahil maskapai beralasan terlambat
karena faktor teknis. Padahal yang sebenarnya, karena mereka masih menunggu penumpang
yang belum datang.
Alasan diatas cukup membuktikan bahwa pihak maskapai telah merugikan konsumen,
UU Penerbangan 2008 mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab hukum para penyedia jasa
dan pengguna jasa penerbangan, serta tanggung jawab hukum penyedia jasa penerbangan
terhadap kerugian pihak ketiga. Dalam konteks perlindungan penumpang itu pula, UU
Penerbangan 2008 melihat penyelenggaraan penerbangan dalam kerangka perlindungan
konsumen. Perlindungan konsumen secara tegas dijelaskan pada batang tubuh maupun
penjelasan UU Penerbangan Konsumen. Untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian
hukum Pasal yang semakin mempertegas perlindungan konsumen dalam UU ini seperti;
1. Pasal 1 angka 23 menjabarkan bahwa tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban
perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh: penumpang,
pengirim barang, atau pihak ketiga.
2. Pasal 146 menegaskan: Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo, kecuali apabila
pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor
cuaca dan teknis operasional.
3. Pasal 147 ayat (1) menambahkan: Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya
penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat
udara.
Sebenarnya, tanggung jawab pengangkut juga disinggung sekilas dalam UU Penerbangan
1992. Bahkan Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara sudah
menentukan besaran ganti rugi maksimal satu juta rupiah. Namun kedua peraturan ini dianggap
kurang memadai, apalagi besaran ganti rugi maksimal. Tetapi yang lebih menggembirakan bukan
hanya perubahan besaran ganti rugi. UU Penerbangan 2008 juga merumuskan apa saja yang
masuk kategori “faktor cuaca” dan “teknis operasional”. Kedua alasan ini sering dipakai sebagai
alasan dasar penundaan penerbangan, padahal penumpang tak memiliki kemampuan untuk

membuktikan kebenaran alasan tersebut. UU Penerbangan 2008 juga menegaskan faktor apa saja
yang tidak termasuk pengertian teknis operasional. Setiap maskapai tidak boleh menggunakan
dalih ini untuk delay keberangkatan: (i) Keterlambatan pilot, co-pilot, dan awak kabin; (ii)
Keterlambatan jasa boga; (iii) Keterlambatan penanganan di darat; (iv) Menunggu penumpang,
baik yang baru melapor, pindah pesawat, atau penerbangan lanjutan; dan (vi) Ketidaksiapan
pesawat udara.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 memberikan pengertian dan tanggung jawab
pengangkut dan penanganan secara terpisah antara bagasi tercatat dan bagasi kabin beserta.
Upaya tanggung jawab pengusaha angkutan udara jika penumpang tidak mendapatkan pelayanan
berupa keterlambatan jadwal dan tanggung jawab terhadap kerusakan dan kehilangan barang
dalam angkutan udara angkutan udara. Proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi pihak
yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung tanpa perantara pihak ketiga,
negosiasi bersifat informal dan tidak berstruktur serta waktunya tidak tentu. efesiensi dan
efektifitas kelangsungan negosiasi tergantung sepenuhnya pada para pihak. Bentuk-bentuk dari
pelanggaran hak konsumen pengguna jasa penerbangan adalah kurang ketelitian dalam
pencatatan identitas, penundaan penerbangan/delay/ dengan alasan faktor cuaca dan teknis
operasional, penundaan jadwal penerbangan delay tanpa pemberitahuan, menjual tarif tiket
dengan batas atas, letak atau posisi kursi tidak sesuai demgam tiket, kehilangan barang di bagasi
( Pasal 144 Undang – Undang nomor 1 tahun 2009 ), tiket hangus.
Pemerintah mempunyai peran yang penting dalam memujudkan perlindungan konsumen
dengan mewajibkan seluruh maskapai penerbangan untuk memberikan informasi kepada para
penumpang bila terjadi keterlambatan (delay) penerbangan lebih dari 30 menit. Peran pemerintah
dalam meyikapi pelanngaran hak perlindunga konsumen adalah dengan melalukukan pembinaan
sesuai dengan pasal 10 UU no 1 tahun 2009 tentang penerbangan diantaranya penerbangan

dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah, Pembinaan Penerbangan
sebagaimana dimaksud meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, Pengaturan
sebagaimana dimaksud meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas
penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan
keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan.
B. Saran
Dalam tahap pembinaan, pihak pemerintah selaku pembuat regulasi kepada publik
khususnya perusahaan angkutan udara niaga berjadwal untuk segera mengubah beberapa
ketentuan- ketentuan yang masih mengandung klausula baku yang berasal dari kebijakan
perusahaan dapat menyesuaikan dengan Peraturan Perundang - Undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan berbagai persoalan terhadap kurangnya pelayanan dan kompensasi ganti
rugi.
Sepatutnya pihak calon penumpang atau calon konsumen membaca dan memahami
klausula baku yang ditawarkan perusahaan angkutan udara niaga berjadwal. Dengan harapan
adanya pemahaman lebih lanjut terhadap hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Mengingat ada beberapa bagian klausula baku yang ada dalam tiket penerbangan yang
belum sesuai dan belum jelas terhadap tingkat kelayakan masyarakat Indonesia dan ketentuan
peraturan perundang - undangan. Maka perlunya Pemerintah dan Perusahaan angkutan udara
niaga berjadwal untuk mengubah sebagian klausula baku yang masih mengandung unsur
pembatasan tanggung jawab.
Berkaitan dengan klausula baku yang ada dalam tiket penerbangan, maka sepatutnya
pihak konsumen mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan hukum berupa adanya
klausula baku secara tertulis dengan penekanan pada prinsip tanggung jawab perusahaan
angkutan udara yang terwujud dalam hak dan kewajiban antara perusahaan angkutan udara dan
penumpang atau konsumen. Dan perlindungan hukum, perlindungan hukum berupa adanya
ketentuan secara tertulis yang disediakan kepada penumpang atau konsumen untuk mengajukan
klaim atau tuntutan terhadap perselisihan yang berkaitan dengan kompensasi terhadap kurangnya
pelayanan selama penerbangan.

Adanya sosialisasi berkaitan dengan peran serta masyarakat selaku pengguna jasa
penerbangan yang dapat memberikan penilaian, masukan kepada pemerintah Republik Indonesia
dan Perusahaan Angkutan Udara Niaga berjadwal. Maka dari itu akan terciptanya asas
penerbangan yang sesuai pasal 2 UU no 1 tahun 2009 tentang penerbangan yaitu, Penerbangan
diselenggarakan berdasarkan asas. Manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata,
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, kepentingan umum, keterpaduan, tegaknya hukum,
kemandirian, keterbukaan dan anti monopoli, berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan Negara,
kebangsaan dan kenusantaraan. Tercapainya tujuan yang sesuai pasal 3 UU no 1 tahun 2009
tentang penerbangan yaitu. Penerbangan diselenggarakan dengan tujuan. Mewujudkan
penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang
wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat, memperlancar arus
perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi
angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, menciptakan daya
saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional menunjang dan
mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memperkukuh kesatuan dan persatuan
bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan ketahanan nasional,
mempererat hubungan antarbangsa.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Miru dan Yodo Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada. 2009.
Asito, Kamus Bahasa Indonesia. C.V. Pengarang. 1999.
Fuad. Hukum Kontrak. Bandung : Citra Adity Bakti. 2001.
Happy, Susanto. Hak-hak Konsumen Jika Dirugukan. Jakarta : Transmedia Pustaka. 2009.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Suatu Hukum Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Gramedia Widia Sarana Indonesia. 2006.

Peraturan Perundang – Undangan:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan,
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan
Udara.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KONFIMATORY FAKTOR PSIKOLOGIS KONSUMEN TERHADAP KEPUTUSAN MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS JEMBER DALAM MEMBELI PASTA GIGI PEPSODENT

3 47 17

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA PENGGUNA AKUN TWITTER TENTANG CYBERBULLY (Studi Resepsi Pada Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2010 Atas Kasus Pernyataan Pengacara Farhat Abbas Tentang Pemerintahan Jokowi - Ahok)

2 85 24

ANALISIS PENILAIAN TINGKAT KEPENTINGAN (IMPORTANCE ) DAN KINERJA (PERFORMANCE ) KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN KONSUMEN CAHAYA MULYA TRAVEL PACITAN

0 10 16

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELIAN JASA ASURANSI JIWA PADA PT. BUMI ASIH JAYA DISTRIK JEMBER

0 37 87

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI PEMASARAN TERPADU DENGAN ASOSIASI MEREK PADA KONSUMEN MINUMAN ISOTONIK POCARI SWEAT (STUDI PADA MAHASISWA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS JEMBER)

0 32 19

HUBUNGAN MOTIVASI KERJA DENGAN KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PERLINDUNGAN DIRI (APD) PADA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT PARU JEMBER

14 90 168

LEGALITAS UNDIAN BERHADIAH DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PESERTA UNDIAN SIGERMAS (Studi pada PT. Bank Lampung)

8 70 31

PENERAPAN PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA (STUDI KASUS PUTUSAN NO : 130/Pid.B/2011/PN.LW)

7 91 58

PENGARUH SUASANA TEMPAT DAN LOKASI TERHADAP LOYALITAS KONSUMEN CAFE D`ARTE DI BANDAR LAMPUNG

5 48 84