Integrasi Ilmu dan Agama interpretasi

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN; AGENDA TANTANGAN
BAGI PENGEMBANGAN DAN PEMBARUAN PEMIKIRAN
ISLAM1
Oleh : Muhammad Aflah al-Humaidi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam salah satu diskursus mengenai "pembaruan" pemikiran Islam,
yang menyoroti mengenai kemunduran ummat Islam dibanding dengan kaum
Barat, menyatakan bahwa salah satu faktor kemunduran dalam berfikir di
kalangan Islam, adalah karena ketidakmampuan atau tidak adanya kemauan
untuk melihat dan memperhatikan persoalan metodologis 2. Sebaliknya, sejak
pertengahan abad ke-12, setelah al-Ghozali menyerang filsafat, hampir semua
khazanah intelektual islam selalu memojokkan filsafat, tanpa memperdulikan
posisinya, apakah sebagai produk ataukah metodologi. Padahal al-Ghozali
tidak

menyalahkan

filsafat


secara

keseluruhan.

Hanya

pada

aspek

metafisiknya, yang merupakan produk pemikiran. Dimana hal tersebut
diyakininya berpotensi menyeret ummat Islam ke dalam kekufuran3.
Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghozali mengkaji persoalan filsafat
secara rinci dan membaginya menjadi 20 kelompok. Kemudian menyatakan
bahwa 3 diantaranya dapat menyebabkan kekufuran. Yaitu qidam al-'alam,
kebangkitan rohani, dan pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal juz'iyyah
(partikular). Serangan ini diulangi lagi dalam al-Munqidz min al-Dlolal serta
memasukkan al-Farabi (tokoh pencetus teori emanasi dalam Islam) dan ibn
Sina dalam kelompok orang yang terlibat dalam pencetusan ketiga hal tadi4.
1 Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat Ilmu Integratif Islam dan Sains

dan disampaikan pada 24 Desember 2013 di Sekolah Pascasarjana UIN MALIKI Malang
2 A. Khudori Soleh (2013, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer), hal. 10
3 A. Khudori Soleh (ter & Pengantar, Skeptisisme al-Ghozali), hal. 63
4 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hal. 49

0

Namun dalam serangan ini, hal yang perlu dicermati adalah beliau
hanya menyerang persoalan metafisis, dimana al-Farabi dan ibn Sina
berpaham Neoplatonisme. Dan di sisi lain al-Ghozali tetap mengakui
pentingnya logika atau epistemologi, yang merupakan inti filsafat, sebagai
sesuatu yang penting bagi upaya pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran
agama. Bahkan dalam al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul kitabnya yang
membahas Ilmu Fiqih beliau menggunakan metodologi filosofis5.
Artinya disini terjadi kesalahpahaman atau perbedaan pengertian
antara filosof muslim dan al-ghozali sebagai teolog. Pada kenyataannya,
metode-metode analisis yang diberikan atas masalah agama (Teologi, Fiqih,
dll.) tidak berbeda dengan "model" filsafat Yunani. Perbedaan antara keduanya
hanya terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya
tata ara penyusunan teori. Yaitu bahwa pemikiran islam didasarkan atas teks

suci, sedangkan filsafat yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti, dan
baku.
Pergulatan pemikiran semacam itu, yakni antara pendapat yang
menyatakan perlunya mengambil sesuatu dari luar khazanah Islam untuk
digunakan dengan tujuan Islami dan pendapat yang menyatakan bahwa justru
yang perlu digali adalah khazanah dari dalam Islam itu sendiri dan harus bisa
lepas dari bayang-bayang dari luar Islam itulah yang pada akhirnya
menimbulkan berbagai konsep. Dan salah satunya adalah konsep Islamisasi
Ilmu.
Embrio konsep ini sebenarnya sudah ada sejak abad ke-19, dan terus
menjalar hingga saat ini, termasuk di Indonesia. Yang menjadi menarik adalah
konsep ini, sebagaimana konsep pemikiran Islam lainnya, merupakan
"pembaruan" atau "penyegaran" pemikiran Islam. Dan sebagaimana konsep
pembaruan yang lazimnya, konsep Islamisasi Ilmu merupakan tanggapan atas
fenomena atau konsep yang sebelumnya telah berkembang dan ternyata dinilai
tidak menyelesaikan krisis seperti yang diharapkan. Lalu bagaimanakah
konsep ini dalam menanggapi Krisis?
5 Ibid, hal. 50

1


2

B. Rumusan Masalah
Mengingat luasnya masalah yang menjadi cakupan pembahasan ini, kami
membatasi ruang lingkup permasalahan seputar Islamisasi Ilmu dan Posisinya
dalam dunia pemikiran, baik pemikiran dari Islam sendiri maupn dari luar
Islam. Oleh karena itu, rumusan masalah yang kami bahas dalam makalah ini
antaralain :
1. Apakah maksud dari istilah Islamisasi Ilmu itu?
2. Bagaimanakah konsep Islamisasi Ilmu dalam memandang Perkembangan
3.

dan Pembaruan Pemikiran Islam ?
Perlukah Islamisasi Ilmu dan bagaimana posisinya di tengah Krisis
Pemikiran Islam ?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan di ata, maka tujuan pembahasan
ini adalah untuk :

1. Mengetahui istilah dan konsep Islamisasi Ilmu
2. Mengetahui bagaimana perspektif Konsep Islamisasi Ilmu Terhadap
3.

Perkembangan dan Pembaruan Pemikiran Islam
Menelaah keberadaan, peran dan nilainya dalam Pembaruan dan
Pemikiran Islam

3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam bahasa arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat
al-Ma’rifah” bermakna segala disiplin ilmu (baik kontemporer maupun tradisi
Islam) mesti ‘diislamkan’. dan dalam bahasa inggris disebut dengan
“Islamization of

Knowledge”. Islamisasi berarti sebuah usaha untuk


menjadikan Islam atau bersifat Islami. Sains berasal dari kata Science yang
berarti pengetahuan6. Sedangkan menurut Mulyadhi Kartanegara, Islamisasi
ilmu pengetahuan merupakan naturalisasi sains (ilmu pengetahauan) untuk
meminimalisasikan

dampak

negatif

sains

sekuler

terhadap

system

kepercayaan agama dan dengan begitu agama menjadi terlindungi.
Secara substantif ide Islamisasi Ilmu telah muncul abad ke-19, yaitu
ketika Syah Waliyallah dan Sir Sayyid Ahmad Khan yang mendirikan

Universitan Aligarth. Kedua tokoh ini mempelopori kebangkitan pemikiran
dan pengetahuan yang berorientasi kepada Islam dan sekaligus bercorak
modern7.
Namun nomanklatur Islamisasi Ilmu sendiri baru ada pada abad ke-20
dan mulai secara serius dirumuskan ketika adanya konferensi The
International Isntitue of Islamic Tought (IIIT), oleh Ismail Raji al-Faruqi8.
Beliau memulai pokok pikirannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan
dengan mengaitkan pertama kali dengan kekalahan dan keterbelakangan umat
Islam dalam menghadapi dominasi dan kemajuan dunia Barat. Kekalahankekalahan

itu

mengakibatkan

kaum

muslimin

dibantai,


dirampas

kekayaannya, dirampas hak-hak dan kehidupannya. Mereka disekulerkan,
diwesternisasikan, dijauhkan dari agamanya oleh agen-agen musuh mereka.
Sebagai kelanjutan dari kemalangan itu, umat Islam dijelek-jelekkan, difitnah,
6 Budi Handrianto, (2010, Islamisasi Sains.), hal.85
7 Mohammad Muchlis Sholihin (2008, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam
Pendidikan Islam). hal. 15-16
8 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hal. 296

4

dalam pandangan bangsa-bangsa di dunia, sehingga pada masa itu umat Islam
menjadi umat yang mempunyai citra terjelek.
Sebagai jawaban atas persoalan-persoalan umat Islam sebagaimana di
atas, penting adanya langkah-langah perbaikan. Al-Faruqi merekomendasikan
pentingnya pemaduan pendidikan yang bersifat profan dengan pendidikan
Islam. Dualisme pendidikan yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat ini
harus ditiadakan setuntasnya. Kedua sistem pendidikan tersebut harus
dipadukan dan diintegrasikan, sehingga dapat melengkapi dan menutupi

kekurangan masing-masing. Integrasi pendidikan sekuler dan pendidikan
Islam harus menghasilkan sebuah sistem pendidikan yang sesuai dengan visi
agama Islam.
Secara terinci al Faruqi memberikan langkah-langkah teknis dalam
upaya Islamisasi pengetahuan, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Penguasan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris.
Survei disiplin ilmu
Penguasaan khazanah Islam: sebuah antologi.
Penguasaan khazanah ilmiah Islam : tahap analisa.
Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu
Penilaian kritis terhadap ilmu pengetahuan modern;

Tingkat


perkembangannnya di masa kini.
7. Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam.
8. Survei permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia.
9. Analisa kreatif dan sintesa.
10. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam:
Buku-buku daras tingkat universitas.
11. Penyebarluasan ilmu yang telah di-Islamisasikan9
Sedangkan Al-Attas, yang juga dianggap sebagai pelopor Islamisasi
Ilmu,

mendefinisikan

proses

Islamisasi

ilmu

pengetahuan


sebagai

pembebasan manusia dari unsur magis, mitologi, animisme, dan tradisi
kebudayaan kebangsaan serta dari penguasaan sekuler atas akal dan
bahasanya. Ini berarti pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh
pandangan hidup yang diwarnai oleh kecenderungan sekuler, primordial, dan
mitologis.10
9 Ismael R. Al-Faruqi (1995, Islamisasi Pengetahuan. Terj. Anas Mahyudin), hal. 98
10 Naquib Al-Attas, (1981, Islam dan Sekularisasi. Terj. Karsidjo), hal. 44

5

Namun dalam sumber yang lain mengatakan bahwa Ide Islamisasi
sains pertama kali yang dicutuskan oleh Syed Husein Nasr dalam
bukunya The Encounter of Man and Nature tahun 196811. Sains Islami
menurut Nasr tidak akan dapat diperoleh kecuali dari intelek yang bersifat
Ilahiyah dan bukan akal manusia. Kedudukan intelek adalah di hati, bukan di
kepala, karena akal tidak lebih dari pantulan ruhaniyah. Selama hierarki
pengetahuan tetap dipertahankan dan tidak terganggu dalam Islam dan
scientia terus dibina dalam haribaan sapienta, beberapa pembatasan di bidang
fisik dapat diterima guna mempertahankan kebebasan pengembangan dan
keinsafan di bidang ruhani. Ilmu pengetahuan harus menjadi alat untuk
mengakses yang sakral dan ilmu pengetahuan sakral (scientiasacra) tetap
sebagai jalan kesatuan utama dengan realitas, dimana kebenaran dan
kebahagiaan disatukan.
Islamisasi Ilmu merupakan istilah yang mendiskripsikan berbagai
usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar etika Islam dengan berbagai
bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma’ (kesepakatan)
baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dengan metode
ilmiah dan tidak bertentangan dengan norma-norma Islam.
B. Perspektif

Konsep Islamisasi Ilmu Terhadap Perkembangan dan

Pembaruan Pemikiran Islam
Menurut Sabra, ketika membahas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan
maka terlebih dulu harus kita tahu bahwa konsep ilmu pengetahuan dalam
Islam berbeda dengan konsep ilmu dalam pandangan Barat. Diantara syarat
membahas Islamisasi ilmu pengetahuan adalah pandangan bahwa ilmu
pengetahuan itu bersifat tidak bebas nilai. Ilmu terikat dengan nilai tertentu
yang berupa paradigma, ideologi, atau pemahaman seseorang. Namun
kenyataannya sifat ilmu yang bisa dinaturalisasi 12, ilmu pengetahuan
kontemporer (sains) telah terbaratkan (westernized) atau telah disekularisasi.
11 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hal. 294
12 Menurut istilah A.E. Sabra, 1992 “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalm Islam,
Sebuah Pengantar". Dalam Jurnal Al-Hikmah. Edisi 6 Oktober.

6

Diskusi tentang apakah ilmu itu netral atau tidak memang sudah
berlangsung lama. Menurut Khairul Umam, sejak munculnya kembali paham
Teosentris, Ilmuan Rasionalisme yang bersikukuh dalam pendiriannya terus
berjuang untuk membebaskan diri dari mitos dan berusaha mengembalikan
citra rasionalisme nya. Ketika Rene Descartes (1596-1650) menyampaikan
diktunnya yang terkenal Co Gito Ergo Sum yang artinya “aku berpikir maka
aku ada. Mengisyaratkan bahwa rasiolah raja dari sumber pengetahuan. Yang
harus terbebas dari mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, Kredo, Nilai dan
lainnya. Masa inilah yang melahirkan Reneisans (yang berarti kelahiran
kembali) dalam ilmu pengetahuan yang diikuti Aufklarung (pencerahan) yang
menandakan

bangkitnya

ilmu

pengetahuan

dengan

prinsip

dasar

Rasionalisme, Netralisme, dan bebas nilai. Hal itulah yang menjadi
permasalahan tersendiri bagi Dunia Islam dan kaum muslimin. Sehingga
solusinya adalah dengan adanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan.13
Kemudian sains seperti apakah yang harus diislamkan? Cakupan
sains sangatlah luas. Bisa Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Ilmu Agama. Baik ilmu
pengetahuan yang berkembang di jaman dahulu maupun ilmu yang
termutakhir saat ini. Terutama di akhir abad ke-19 setelah terjadi revolusi
teknologi, telekomunikasi, dunia internet, teknologi digital, dan yang lainnya.
Misalnya Al-Faruqi, Ibrahim Ragab Dan Ausaf Ali membahas Islamisasi
Sains di bidang Ilmu Sosial, atau Sulayman di bidang Politik.
Dengan Islamisasi ilmu pengetahuan diharapkan nantinya akan
dihasilkan sebuah sains Islam yang didasarkan pada al-Qur’an al-Hadits
dimana sains Islam tersebut berbeda dengan sains barat yang telah
berkembang saat ini. Adapun perbandingan antara sains barat dan sains Islam,
yaitu :
No.
1
2

Sains Barat
Percaya pada rasionalitas
Sains untuk sains

Sains Islam
Percaya pada wahyu
Sains adalah sarana

3

mendapatkan keridhoan Allah
Satu-satunya metode atau cara Banyak metode berlandaskan akal

13 Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hal. 65

7

untuk

untuk mengetahui realitas
4

Netralitas

emosional

prasyarat

kunci

dan wahyu baik secara objektif
dan subjektif
sebagai Komitment emosional

menggapai penting untuk mengangkat usaha-

rasionalitas
5

usaha

sains

peduli pada produk pengetahuan ilmuan
dan

akibat

ilmuan

kebenaran

harus

peduli

penemuannya

secara

moral

sebagai bentuk ibadah
Tidak adanya bias, validitas suatu Adanya subjektif validitas sains
sains

hanya

bukti

penerapannya

bukan
7

pada

maupun

–akibat terhadap hasil-hasil dan akibat

penggunaannya
6

spiritual

social
Tidak memihak, ilmuan hanya Pemihakan
baru

sangat

bergantung

pada tergantung pada bukti penerapan

(objektif) juga pada tujuan dan pandangan

ilmuan

yang ilmuan yang menjalankannya

menjalankannya (subjektif)
Penggantungan pendapat sains Menguji pendapat sains dibuat
hanya dibuat atas dasar bukti atas

dasar

bukti

yang

tidak

8

yang meyakinkan
meyakinkan
Reduksionis cara yang dominan Sintesis cara yang dominan untuk

9

untuk mencapai kemajuan sains
meningkatkan kemajuan sains
Fragmentasi pembagian sains Holistic pembagian sains kedalam
kedalam disiplin dan subdisiplin

lapissan yang lebih kecil yaitu
pemahaman interdisipliner dan

10

holistic
walaupun Universalisme, buah sains bagi

Universalisme

universal namun buah sains hanya seluruh umat manusia dan tidak
bagi
11

mereka

membelinya
Individualism,
menjaga

12

yang
ilmuan
jarak

mampu diperjualbelikan
harus Orientasi
dengan memiliki

masyarakat,
hak

dan

ilmuwan
kewajiban

permasalahan social politik dan adanya interdependensi dengan
masyarakat
ideologis
Orientai nilai, sains adalah sarat
Netralitas sains adalah netral

8

nilai berupa baik atau buruk juga
halal atau haram
hasil Loyalitas pada Tuhan dan makhlukpengetahuan baru adalah aktifitas Nya, hasil pengetahuan baru adalah
terpenting dan perlu dijunjung cara memahami ayat-ayat Tuhan
dan harus diarahkan untuk
tinggi
meningkatkan kualitas ciptaan-Nya

13

Loyalitas

14

Kebebasan

kelompok,

absolute,

pengekangan

atau

tidak

ada Manajemen sains adalah sumber

penguasaan yang tidak terhingga nilainya, sains

penelitian sains

dikelola dan direncanakan dengan
baik dan harus dipaksa oleh nilai

15

Tujuan membenarkan sarana, setiap
sarana dibenarkan demi penelitian
sains

etika dan moral
Tujuan tidak membenarkan sarana,
tujuan sarana diperbolehkan dalam
batas-batas etika dan moralitas

Islamisasi Ilmu dalam Memandang dan Mengatasi Krisis Masyarakat
Konsep Islamisasi Ilmu, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh
Ismael Raji al-Faruqi di atas, juga menawarkan suatu rancangan kerja
sistematis yang menyeluruh untuk program islamisasi ilmu pengrtahuannya
yang merupakan hasil dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan
perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar
internasional yang diselenggarakan14. Rencana kerja al-Faruqi untuk program
islamisasi mempunyai lima tujuan yaitu:pertama, menguasai disiplin-disiplin
modern. Kedua, menguasai khazanah Islam.Ketiga, menentukan relevansi
Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat.
mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam
dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima, mengarahkan pemikiran
Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan
Allah.
14 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hal. 331-339

9

Menurut al-Faruqi, tujuan di atas bisa dicapai melalui 12 langkah
sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan,
yaitu: pertama,

Penguasaan

terhadap

disiplin-disiplin

modern. Kedua,

Peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga, Penguasaan ilmu warisan Islam
yang berupa antologi. Keempat, Penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa
analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin
ilmu. Relevansi ini, kata al-Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga
persoalan yaitu: a). Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari alQur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan
masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin modern; b). Seberapa besar
sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh
disiplin-disiplin tersebut; c) Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit
diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh ilmu warisan
Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi
kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas
visi disiplin tersebut. Kemudian yang keenam, Penilaian kritis terhadap
disiplin

modern.

Islam. Kedelapan,
Islam. Kesembilan,

Ketujuh,
Survei

Penilaian

mengenai

Survei

krisis

terhadap

problem-problem

mengenai

khazanah

terbesar

problem-problem

umat
umat

manusia. Kesepuluh, Analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, Merumuskan
kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam.
Dan keduabelas, Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.
Selain langkah tersebut, alat-alat bantu lain untuk mempercepat
islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan
seminar untuk melibatkan berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai
dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai antar
disiplin. Para ahli yang terlibat harus diberi kesempatan bertemu dengan para
staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki
persoalan metode yang diperlukan15.

15 Ismael R. Al-Faruqi (1995, Islamisasi Pengetahuan. Terj. Anas Mahyudin), hal. 102

10

Demikian langkah sistematis yang ditawarkan oleh al-Faruqi dalam
rangka

islamisasi

ilmu

pengetahuan.

Dari

kesemua

langkah

yang

diajukannya ini, tentunya dalam aplikasinya, membutuhkan energi ekstra dan
kerja sama berbagai belah pihak. Karena, islamisasi merupakan proyek besar
jangka panjang yang membutuhkan analisa tajam dan akurat, maka
dibutuhkan usaha besar pula dalam mengintegrasikan setiap disiplin keilmuan
yang digeluti oleh seluruh cendekiawan muslim.
Menurut Al Faruqi, inti semua perkembangan destruktif sains modern
berada dalam metode induktif ilmu alam. Data ilmu alam yang seharusnya
dapat diamati oleh pikiran sehat, terpisah satu sama lain dan dapat diukur
berdasarkan pikiran sehat, sekarang data itu “mati”, dalam pengertian bahwa
ia terbebas dari disposisi pengamatan. Data mencerminkan gambaran dan
perilaku yang sama sepanjang waktu selama kondisi data tersebut tidak
berubah dan selama faktor subyektif si pengamat tidak campur tangan dalam
ilmu pengetahuan tiada prinsip yang keramat dan segala sesuatu dapat
dipersoalkan. Bukti eksperimen adalah dasar buat hipotesi yang tetap shahih
sepanjang tidak terdapat eksperimen lain yang menyangkalnya. Hipotesis
merupakan hukum alam ketika eksperimen dan pengamatan berulang-ulang
memperkuat kesahihannya. Hal ini memungkinkan dan perekayasaan16.
C. Menelaah keberadaan, peran dan nilainya dalam Pembaruan dan
Pemikiran Islam : Agenda Tantangan Konsep Islamisasi Ilmu dalam
Pembaruan dan Pengembangan Pemikiran Islam
Diskursus seputar Islamisasi ilmu ini telah begitu lama menebarkan
perdebatan

penuh

kontroversi

di

kalangan

umat

Islam.

Semenjak

dicanangkannya sekitar 40 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro
maupun yang kontra terus bermunculan. Satu pihak dengan penuh antusias
dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal revivalisme
(kebangkitan) Islam. Namun di pihak lain menganggap bahwa gerakan
"Islamisasi" hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati "sakit hati"
16 Ibid, hal. 105

11

(inferiority complex), karena ketertinggalan mereka yang sangat jauh dari
peradaban Barat, sehingga gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan
tenaga dan akan semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan
sendirinya17.
Golongan pertama adalah para pelopor Islamisasi Ilmu dan yang
sependapat dengan gagasan ini, yang juga secara teori dan konsepnya dan
berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang sejalan dengan
maksud Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka. Aktivitas golongan pertama
mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka mengokohkan dan
memurnikan kembali konsep Islamisasi ilmu ini, walaupun mereka saling
mengkritik ide satu sama lain, tetapi hal itu untuk merekonstruksinya bukan
mendekontruksi.
Misalnya Ziauddîn Sardâr, pemikir muslim dari Inggris, ia berpendapat
bahwa Islamisasi ilmu akan menjadi issue populer dan berkembang di masa
depan, meski kini masih berada pada tahap “bulan sabit awal” seperti
tercermin dari buku Ziauddin Sardar, An Enly Crescent: The Future of
Knowledge and the Environment in Islam18.
Dukungan Islamisasi juga datang dari Ashraf-yang walaupun
melakukan kritik terhadap al-Faruqi yang “ingin penyelidikan dilakukan
terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya melalui subjek yang
terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkinkan.”- Menurutnya,
kompromi merupakan sesuatu yang mustahil terhadap dua pandangan yang
sama sekali berbeda. Tidak seharusnya bagi sarjana muslim memulai dengan
konsep Barat tetapi dengan konsep Islam yang dirumuskan berdasarkan
prinsip yang dinukil dari al-Qur-ân dan al-Sunnâh19. Namun dalam pandangan
Syed Hossein Nasr, integrasi antara Ilmu Barat dan Ilmu Islam bukan hanya
sesuatu yang mungkin tetapi perlu untuk dilakukan. Menurutnya, para pemikir
muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka
17 Naqiyah Mukhtar (2005, Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik), hal.
115
18 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hal. 299
19 Naqiyah Mukhtar, Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik, hal. 118

12

pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik dan
menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan
Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang
pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibn Khaldûn di masa lalu20.
Di Indonesia sendiri ada beberapa tokoh yang mendukung Islamisasi
ilmu pengetahuan, seperti A. M. Saifuddin. Menurutnya, Islamisasi adalah
suatu keharusan bagi kebangkitan Islam, karena sentral kemunduran umat
dewasa ini adalah keringnya ilmu pengetahuan dan tersingkirnya pada posisi
yang rendah. Hal senada diungkapkan Hanna Djumhana Bastaman, dosen
psikologi Universitas Islam Jakarta. Hanya saja beliau memperingatkan bahwa
gagasan ini merupakan proyek besar sehingga perlu kerjasama yang baik dan
terbuka di antara para pakar dari berbagai disiplin ilmu agar terwujud sebuah
sains yang berwajah Islami21.
Maraknya perkembangan pemikiran seiring dengan lahirnya gagasan
Islamisasi ilmu ini, bukan berarti semua umat Islam sepakat terhadap ide
tersebut. Mereka percaya bahwa semua ilmu itu sudah Islami, sebab yang
menjadi sumber utamanya adalah Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi
dengan pelabelan Islam atau bukan Islam pada segala ilmu. Golongan kedua
ini yang tidak sependapat dan menganggap bahwa Islamisasi Ilmu tidaklah
diperlukan.
Istilah Islamisasi sains atau sains Islam seringkali disalah pahami
bahkan oleh para ilmuan itu sendiri. Bagi sebagian orang sains adalah sains,
dan sebagaimana tidak ada sains Kristen atau sains Yahudi., begitu pula tidak
ada Sains Islam. Salah satu yang berkomentar seperti itu adalah ilmuan Islam
tersohor penerima hadiah Nobel Fisika Abdussalam. Dia berkata, ”hanya ada
satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah
internasional dan tidak ada sains Islam sebagaimana tidak ada sains hindu,
sains yahudi, atau sains Kristen”22.

20 Ibid, hal. 120
21 Ibid, hal. 123
22 Budi Handrianto, Islamisasi Sains, hal.121

13

Sedangkan menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak perlu
diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan.
Masalahnya

hanya

dalam

menyalahgunakannya23. Dan

bahkan

ia

berkesimpulan bahwa kita tidak perlu bersusah payah membuat rencana dan
bagan bagaimana menciptakan Ilmu Pengetahuan Islami, Lebih baik kita
manfaatkan waktu, energi dan uang untuk berkreasi 24. Bagi Fazlur Rahman,
ilmu pengetahuan itu memiliki dua kualitas, seperti senjata dua sisi yang harus
dipegang dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab, ia sangat penting
digunakan dan didapatkan secara benar. Baik dan buruknya ilmu pengetahuan
bergantung pada kualitas moral pemakainya.
Begitu juga Bassam Tibi, seorang Intelek Muslim di Jerman
berargumen dengan halus untuk memperjuangkan keserasian Islam dan
sekularisme. Bassam Tibi menganggap bahwa Islamisasi merupakan suatu
bentuk indegenisasi atau pribumisasi (indegenization) yang berhubungan
secara integral dengan strategi kultural fundamentalisme Islam. Islamisasi
dianggap sebagai penegasan kembali ilmu pengetahuan lokal untuk
menghadapi ilmu pengetahuan global dan invansi kebudayaan yang berkaitan
dengan itu, yakni “dewesternisasi25. Namun dalam pandangan Adnin Armas,
pemahaman Bassam tibi ini tidaklah tepat. Menurutnya, Islamisasi bukanlah
memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat.
Pandangan Bassam Tibi ini lebih bermuatan politis dan sosiologis dikarenakan
umat Islam hanya berada di dalam dunia berkembang, maka gagasannya pun
bersifat gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya
ide Islamisasi lebih disebabkan perbedaan worldview antara Islam dan agama
atau budaya lain yang berbeda. Islamisasi bukan sekedar melakukan kritik
terhadap budaya dan peradaban global Barat, tetapi juga mentransformasi
bentuk-bentuk lokal supaya sesuai dengan worldview Islam26.

23 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, hal. 300
24 Mohammad Muchlis Sholihin (2008, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam
Pendidikan Islam). hal. 67
25 Ibid, hal. 78
26 Naqiyah Mukhtar, Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik, hal. 129

14

Kritik terhadap Islamisasi ini juga diajukan oleh Abdul Karim Soroush,
ia menyimpulkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan tidak logis atau tidak
mungkin. Alasannya, realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Oleh
sebab itu, sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau bukan pula
tidak Islami. Untuk itu secara ringkas Soroush mengargumentasikan bahwa; 1)
Metode metafisis, empiris atau logis adalah independen dari Islam atau agama
apa pun. Metode tidak bisa diislamkan; 2) Jawaban-jawaban yang benar tidak
bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa
diislamkan; 3) Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan
adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh non-muslim; 4) Metode
yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan. Dari keempat
argumentasi ini terlihat Soroush memandang realitas sebagai sebuah
perubahan dan ilmu pengetahuan dibatasi hanya terhadap fenomena yang
berubah27.
Gagasan Islamisasi ini juga mendapat tantangan dari Usep Fahrudin,
karena menurutnya Islamisasi ilmu bukan termasuk kerja kreatif. Islamisasi
ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap karya orang
lain. Sampai pada tingkat tertentu, Islamisasi tidak ubahnya kerja seorang
tukang, jika ada seorang saintis berhasil menciptakan atau mengembangkan
suatu ilmu, maka seorang Islam menangkap dan mengislamkannya28.
Terlepas dari pro-kontra di atas yang menjadi tantangan besar bagi
kelanjutan proses Islamisasi dan merupakan the real challenge adalah
komitmen sarjana dan institusi pendidikan tinggi Islam sendiri. Tantangan
globalisasi yang terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi semakin membingungkan. Ilmu dianggap sebagai
komoditi yang bisa diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. Akibatnya,
orientasinya pun ikut berubah, tidak lagi untuk meraih “keridhaan Allah”
tetapi untuk kepentingan diri sendiri. Universitas pun hanya berorientasi untuk
memenuhi kebutuhan pragmatis, menjadi pabrik industri tenaga kerja dan
27 Mohammad Muchlis Sholihin, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam
Pendidikan Islam, hal. 80-82
28 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hal. 299

15

bukan lagi merupakan pusat pengembangan ide-ide ilmu pengetahuan.
Sehingga merupakan hal yang wajar jika al-Attas mengungkapkan bahwa
tantangan

terbesar

terhadap

perkembangan

gagasan

Islamisasi

ilmu

pengetahuan muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri. Dan tantangan yang
tak kalah besarnya adalah akibat kedangkalan pengetahuan umat Islam
terhadap agamanya sendiri. Hal ini, menurutnya, bisa dilihat dari karya tulis
yang mereka hasilkan yang mencerminkan bahwa mereka belum memahami
Islam dengan baik.
Peran dan Nilai Penting Islamisasi Ilmu dalam Menghadapi Krisis
Kemasyarakatan
Lahirnya gagasan Islamisasi Ilmu, rupanya didorong oleh keinginan
sebagian besar Ilmuwan Muslim untuk melepaskan diri dari ketergantungan
dan hegemoni Barat atas Kaum Muslim, disamping semangat untuk
mengembalikan kejayaan Islam dimasa mendatang. Menurut para Ilmuwan
Muslim ini, ketergantungan Islam akan Barat ini tidak bisadiputus dan
kejayaan Islam tidak akan bisa dicapai, kecuali jika Kaum Muslim memiliki
paradigma sendiri tentang keilmuannya, yang kemudian mendorong untuk
melakukan penemuan-penemuan dan menggunakannya sesuai dengan ajaran
Islam. Walaupun gagasan ideal tersebut ternyata tidak secara otomatis
didukung oleh semua pihak. Banyak tantangan yang dihadapi konsep
Islamisasi Ilmu, terbukti dari kritik sebagian Ilmuan Muslim yang diantaranya
mengkritik pola pemikiran ini, ataupun menkritik kematangan konsep ini29.
Namun demikian, menurut para penggagas Islamisasi Ilmu, nilai
penting konsep Islamisasi Ilmu tidak bisa diabaikan. Mengingat telah terjadi
dikotomi besar-besaran dalam pemikiran Masyarakat Muslim mengenai Ilmu,
yang Islami (Ilmu Agama) dan yang Sekuler (Ilmu Umum). Hal ini
menimbulkan kepribadian ganda, dimana salah satu sisi pikirannya
membutuhkan konsepsi Agama yang suci dari keburukan, yang selalu
memiliki nilai "benar" dan di sisi lain begitu mendewa-dewakan rasionalitas
29 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hal. 301

16

dalam kehidupan, karena memang rasio ini yang benar-benar nampak dalam
kondisi riil kehidupan dan pikiran. Di sinilah letak nilai Islamisasi Ilmu untuk
mengatasi krisis Masyarakat Muslim yang terjebak dalam dikotomi sehingga
melahirkan kepribadian ganda, atau lebih tepatnya kebingungan tersebut.
Namun memang perlu diakui, bahwa adanya kritik dari sebagian
kalangan intelektual Islam itu, menunjukkan kekurangan dalam konsep
Islamisasi Ilmu. Dari beberapa pemaparan para kritikus Islamisasi Ilmu, bisa
kita ambil inti pokok permasalahan yang dipertanyakan, yaitu Aksiologi
Islamisasi Ilmu. Dimana para penggagas Islamisasi Ilmu mengkonspsikan
Islamisasi Ilmu yang berlandaskan dari segi Ontologis dan Epistemologis,
namun menurut para kritikus Islamisasi Ilmu, bila hanya demikian, maka akan
terjadi kehampaan dan Ilmu akan tetap liar, dan tak bertuan karena kosong
dari dasar Aksiologis. Oleh karena itu, perlu kita pandang sebagai kritik yang
membangun, yang pada akhirnya nanti akan melengkapi konsep Islamisasi
Ilmu sehingga benar-benar mampu menjadi solusi krisis yang terjadi dalam
Masyarakat Muslim dewasa ini.

17

BAB III
KESIMPULAN

1. Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendiskripsikan berbagai usaha dan
pendekatan untuk mensitesakan antar etika Islam dengan berbagai bidang
pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma’ (kesepakatan) baru
bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dengan metode ilmiah
dan tidak bertentangan dengan norma-norma Islam
2. Dengan Islamisasi ilmu pengetahuan diharapkan nantinya akan dihasilkan
Ilmu yang Islami yang didasarkan pada al-Qur’an al-Hadits dimana Ilmu
Islami tersebut berbeda dengan sains barat dari semua segi filosofisnya, baik
dari segi Ontologis, Epistemologis, maupun Aksiologis
3. Sebagai sebuah produk pemikiran, Islamisasi Ilmu tidak lepas dari kritik dan
Sanggahan dari pihak oposisinya. Diantaranya dari kalangan Neomodernisme
yang menyatakan tidak perlu adanya Islamisasi Ilmu, dalam arti bahwasannya
Ilmu itu sudah merupakan bagian dari Sunnatullah sehingga tanpa Islamisasi
(pada ranah Ontologis dan Epistemologis) sekalipun Ilmu sudah bisa
menunjukkan kebenaran Wahyu Ilahi. Sedangkan yang perlu diperhatikan
adalah aspek Aksiologisnya, agar Fungsi dan Nilai Ilmu tidak bergeser dari
nilai-nilai Keislaman.

18

DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Naquib. 1981. Islam dan Sekularisasi. Terj. Karsidjo. Bandung: Pustaka.
Al-Faruqi, Ismael R. 1995. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Terj. Anas Mahyudin.
Bandung: Pustaka.
Hendrianto, Budi. 2010. Islamisasi Sains. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Mukhtar, Naqiyah. 2005. "Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa
Klasik". Dalam Jurnal P3M STAIN Purwokerto Vol. III No. 1 Jan-Jun.
Sabra, A.E. 1992 “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalm Islam,
Sebuah Pengantar". Dalam Jurnal Al-Hikmah. Edisi 6 Oktober.
Sholihin, Mohammad Muchlis. 2008. Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan
Aplikasinya dalam Pendidikan Islam. Dalam Jurnal Tadris Vol. III No.1
. 2013, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogja:
Arruzz Media.
Soleh, A. Khudori. 2009, Skeptisisme al-Ghozali, Terjemahan dan Pengantar.
Malang: UIN Press.
Tafsir, Ahmad. 2002. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya.

19

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2