TINJAUAN YURIDIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
TINJAUAN YURIDIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
Kamarudin
Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya
Abstract: In the post New-Order era, legislative function given to Indonesian House of Representatives seems more obvious after an Act Number 12 of 2011 juncto Act Number
10 of 2004 on Regulations Making has covered that public has the right to participate in law-making processes. Enactive regulations open opportunity for public to participate in a statute-making processes. Nevertheless, the given opportunity of participation is procedurally still limited and not in full and meaningful participation level. Existing public participation only covers consultation, not a real participation. Public should be able to participate in decision-making processes. Meanwhile, public participation level is substantially still depended on Parliament Members’ spirit of publicness to accommodate
public aspiration and to put it on as a norm of statute.
Keywords: public paticipation, statute-making process
Abstrak: Pada era pasca Orde Baru fungsi legislasi yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakat tampak semakin jelas, setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur hak masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Lebih-lebih, Undang-Undang tersebut memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat di dalam proses pembentukan undang-undang. Namun demikian, kesempatan masyarakat dalam berpartisipasi masih terbatas di tahap prosedural, belum di tingkat partisipasi yang sangat berarti. Partisipasi masyarakat masih hanya terbatas pada konsultasi, bukan suatu partisipasi yang nyata. Masyarakat seharusnya dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Di samping itu, tingkat partisipasi masyarakat secara substansial masih sangat bergantung pada semangat kemasyarakatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengakomudasi aspirasi masyarakat dan menjadikannya norma suatu undang-undang.
Kata kunci: partisipasi masyarakat, proses pembentukan undang-undang.
Kamarudin, Tinjauan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
Pendahuluan
geseran pemegang kekuasaan legislatif, Pergeseran konfigurasi politik
yang sebelum perubahan pemegang ke- dari otoritarianisme ke arah demokrasi te-
kuasaan condong kepada presiden ber- lah mengubah proses pembentukan un-
ubah menjadi condong kepada DPR (se- dang-undang (selanjutnya disebut UU).
belumnya DPR lebih dikenal sebagai Jika di era otoritarianisme didominasi
rubber stamp kehendak penguasa). Ken- oleh pemerintah, maka pada era demokra-
datipun demikian, menurut Muhammad si proses pembentukan UU dapat dipe-
A.S. Hikam pada dasarnya yang berubah ngaruhi oleh elemen-elemen di luar pe-
adalah fungsi pembentuk undang-undang merintah, utamanya dari interest groups
sedangkan organ pembentuk undang-un- di tengah masyarakat, selain Dewan
dang tetap sama yaitu DPR beserta Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut
Presiden. Hal ini dinyatakan secara tegas DPR) sebagai representasi suara rakyat 1 .
dalam Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun Pada era reformasi pusat-pusat
1945 bahwa setiap rancangan undang-un- pembentuk kebijakan publik telah berge-
dang dibahas oleh DPR dan Presiden ser kepada DPR. Hal ini tercermin dalam 2 untuk mendapat persetujuan bersama .
serangkaian kebijakan yang pada era se- Sebagai pengejawantahan dari pe- belum reformasi meru pakan “hak prero-
laksanaan fungsi legislasi DPR, dibentuk gatif” presiden. Setelah perubahan Un-
satu alat kelengkapan DPR yang disebut dang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945),
Badan Legislasi (Baleg). Pembentukan beberapa hak prerogatif presiden memer-
Baleg sudah dilakukan sejak DPR perio- lukan keterlibatan DPR. Sebagai contoh,
de 1999-2004 yang kemudian dikukuh- pengangkatan Panglima Tentara Nasional
kan dalam UU No. 22 Tahun 2003 ten- Indonesia (TNI), pengangkatan Duta
tang Susunan dan Kedudukan MPR, Besar dan penerimaan Duta Besar negara
DPR, DPD dan DPRD (Susduk) dan sahabat, dan pengangkatan pejabat publik
secara teknis diatur dalam Tata Tertib lainnya.
DPR. Posisi Baleg di DPR secara kelem- Berkaitan dengan pembentukan
bagaan adalah sebagai pusat pembentu- UU, kekuasaan DPR juga semakin kuat.
kan undang-undang/hukum nasional yang Hal ini dapat diperhatikan dalam Pasal 20
dibentuk oleh DPR sebagai alat keleng- ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
kapan DPR yang bersifat tetap. Salah satu Republik Indonesia (selanjutnya disebut
tugas Baleg yang terpenting adalah me- UUD NRI) Tahun 1945 yang menyata-
rencanakan dan menyusun Program kan, DPR memegang kekuasaan mem-
Legislasi nasional (Prolegnas) serta urut- bentuk undang-undang. Sebaliknya, da-
an pembahasan rancangan undang-un- lam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan presiden
dang.
berhak mengajukan rancangan undang- undang (selanjutnya disebut RUU) ke-
pada DPR. Dalam kedua pasal UUD NRI
2 Muhammad A.S. Hikam, “Politik Hukum Nasio-
Tahun 1945 itulah dasar terjadinya per-
nal 2005- 2009” dalam A. Patra M. Zen dan Sugiarto A. Santoso, 2005, Refleksi dan Penyu- sunan Strategi Mewujudkan Partisipasi Masya-
1 B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-Prinsip rakat dalam Penyusunan Peraturan Perundang- Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik,
Undangan, Jakarta: Sekretariat Nasional KKP, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, hal. 163.
hal. 47.
Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 2 November 2015 : 165-184
Optimalisasi fungsi legislasi yang kan penolakan yang keras dari masyara- dimiliki DPR juga diperkuat dengan dibe-
kat, misalnya Undang-undang Penang- rikannya ruang bagi masyarakat untuk
gulangan Keadaan Bahaya; dan 4) per- ikut berpartisipasi dalam proses pemben-
aturan tersebut bukannya memecahkan tukan peraturan perundang-undangan. Pa-
masalah sosial malah menimbulkan kesu- sal 53 Undang-undang No. 10 Tahun
litan baru di masyarakat, salah satunya 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Undang-undang Yayasan yang berlaku Perundang-undangan telah memberikan
pada bulan Agustus 2002. ruang bagi partisipasi masyarakat dalam
Di samping itu, terdapat pula be- penyiapan maupun pembahasan rancang-
berapa peraturan perundang-undangan an undang-undang dan rancangan per-
yang diperkarakan oleh beberapa kelom- aturan daerah. Pasal 139 Undang-undang
pok masyarakat ke Mahkamah Konstitu- No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
si. Beberapa UU yang diperkarakan ada- Daerah juga memberikan jaminan yang
lah UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ke- sama.
tenagalistrikan, UU No. 32 Tahun 2002 Keikutsertaan masyarakat dalam
tentang Penyiaran, UU No. 11 Tahun proses pembentukan undang-undang dan
2003 tentang Pemekaran Wilayah Provin- peraturan perundang-undangan lainnya
si Riau, UU No. 13 Tahun 2003 tentang memiliki arti penting bagi lahirnya pro-
Ketenagakerjaan, UU No. 16 Tahun 2003 duk hukum yang berkualitas. Apabila
tentang Anti Terorisme, UU No. 18 peraturan perundang-undangan yang di-
Tahun 2003 tentang Advokat, UU No. 45 hasilkan oleh lembaga yang berwenang
Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi tidak melibatkan masyarakat dalam
Papua, bahkan pengesahan UU Sumber proses pembentukannya, menurut Erni
Daya Air yang baru saja disahkan oleh Styowati dkk. 3 , sedikitnya ada empat
DPR serta masih banyak lagi undang- dampak buruk yang timbul, yaitu: 1) per-
undang yang dimohonkan judicial review aturan tersebut tidak efektif, dalam arti 4 ke Mahkamah Konstitusi .
tidak dapat mencapai tujuan yang di- Banyaknya dampak buruk atau harapkan, misalnya UU No. 22 Tahun
permasalahan yang muncul setelah per- 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 2)
aturan perundang-undangan lahir menun- peraturan tersebut tidak implementatif,
jukkan tingkat partisipasi masyarakat di dalam arti tidak dapat dijalankan sejak
dalam proses pembentukannya masih di- diundangkan atau gagal sejak dini, misal-
pertanyakan, meskipun di atas kertas ke- nya Undang-undang No. 31 Tahun 1999
tentuan mengenai partisipasi masyarakat tentang Pemberantasan Korupsi yang
sudah diatur pertama kali dalam undang- harus segera diubah kurang dari satu
undang, yaitu UU No. 10 Tahun 2004 tahun sejak diundangkan; 3) peraturan
dan peraturan pelaksananya. Tidak ter- tersebut tidak responsif, yang sejak di-
kecuali, tujuh tahun kemudian sejak rancang sampai diundangkan mendapat-
diundangkan, UU No. 10 Tahun 2004
4 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Pernyataan
3 Erni Styowati, dkk., DRAFT I: Konsep Paper Sikap Ganti Kata "Dapat" Menjadi "Berhak", Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kebijakan
atau Tolak Pengesahan RUU PPP , dalam Partisipatif, dalam www.parlemen.net, diakses
www.parlemen.net, diakses pada tanggal 27 pada tanggal 27 Maret 2012. Maret 2012.
Kamarudin, Tinjauan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
pun diganti. Daya laku dari undang- rintah, Peraturan Presiden/Kepala Dae- undang ini yang tergolong pendek bisa
rah, Keputusan Kepala Daerah tidak saja juga disebabkan oleh rendahnya ke-
memberikan peluang bagi adanya partisi- terlibatan masyarakat di dalam proses
pasi masyarakat dalam pembentukannya pembentukannya. Namun yang pasti,
yang disebabkan oleh alasan-alasan penggantiannya antara lain dilatarbela- 5 sebagai berikut :
kangi oleh adanya kekurangan dalam UU
1. Jenis peraturan perundang-undangan No. 10 Tahun 2004 dan dipandang belum
tersebut, selain UU dan Perda pada dapat menampung perkembangan kebu-
umumnya dibentuk oleh pemerintah. tuhan masyarakat mengenai aturan pem-
Pemerintah sebagai organ pelaksana bentukan peraturan perundang-undangan
UU dan Perda sudahlah cukup mela- yang baik.
kukan penjabaran sendiri tanpa me- Lahirnya UU No. 12 Tahun 2011
libatkan partisipasi masyarakat. Apa- pada tanggal 12 Agustus 2011 dinyatakan
lagi UU dan Perda dibentuk oleh lem- sebagai penyempurnaan terhadap kele-
baga perwakilan yang merepresen- mahan-kelemahan yang terdapat dalam
tasikan suara rakyat. UU No. 10 Tahun 2004. Dalam kaitan
2. Pembentukan peraturan perundang- ini, penting untuk diperhatikan apakah
undangan selain UU dan Perda, seper- penyempurnaan itu juga menyangkut mo-
ti Peratuan Pemerintah, Peraturan del partisipasi masyarakat dalam proses
Presiden, Keputusan Presiden, Per- pembentukan peraturan perundang-un-
aturan Gubernur, Peraturan Bupati/ dangan. Lebih dari itu, hingga saat ini
Walikota, dan Keputusan Gubernur apakah tingkat partisipasi masyarakat
serta Keputusan Bupati/Walikota pa- yang diberikan oleh peraturan yang ber-
da dasarnya merupakan peraturan pe- laku sudah cukup luas dan tinggi atau
laksana yang sifatnya sangat teknis dapat dipahami hanya merupakan pembe-
dan tidak menciptakan kaidah atau rian yang setengah hati. Berdasarkan per-
norma hukum baru. Dalam persoalan- aturan yang berlaku (tidak kalah penting
persoalan teknis itu, pemerintahlah berdasarkan prakteknya), tingkat partisi-
yang lebih mengetahui, sehingga ke- pasi itu akan tercermin dari keterlibatan
terlibatan masyarakat di dalam pem- dan dilibatkannya masyarakat dalam ta-
bentukan peraturan perundang-un- hapan-tahapan pembentukan peraturan
dangan tersebut jarang diperlukan. perundang-undangan, dalam hal ini un-
3. Dalam pembentukan peraturan per- dang-undang.
undang-undangan seperti Peraturan Kajian ini sengaja dibatasi khusus
Pemerintah Pengganti Undang-Un- pada masalah partisipasi masyarakat da-
dang (Perppu), jelaslah partisipasi lam pembentukan UU, tidak dalam pem-
masyarakat tidak dibutuhkan oleh ka- bentukan peraturan perundang-undangan
rena hal ikhwal kegentiangan yang secara umum. Pembatasan ini didasarkan
memaksa yang harus secara cepat pada pendapat B. Hestu Cipto Handoyo
ditangani.
bahwa jenis peraturan perundang-
4. Pada umumnya UU dan Perda me- undangan selain UU dan Peraturan
ngandung materi yang berkaitan Daerah (Perda), seperti Peraturan Peme-
5 B. Hestu Cipto Handoyo, op.cit., hal. 165-166.
Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 2 November 2015 : 165-184
dengan hak-hak dan kewajiban, mem- peraturan). Dalam Pasal 96 ayat (3) UU batasi kebebasan, dan memberikan
No. 12 Tahun 2011, yang dimaksud beban kepada masyarakat. Oleh ka-
dengan masyarakat adalah orang perse- rena itu dalam proses pembentukan-
orangan atau kelompok orang yang mem- nya partisipasi masyarakat sangat di-
punyai kepentingan atas substansi ran- butuhkan.
cangan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan paparan latar bela-
Menurut Yuliandri, partisipasi kang dan pembatasan masalah sebagai-
masyarakat dapat diartikan bahwa pada mana disebutkan di atas, permasalahan
pokoknya semua pihak, baik dalam struk- yang dikaji terkait partisipasi masyarakat
tur kenegaraan maupun di luar struktur dalam proses pembentukan undang-
kenegaraan dan pemerintahan, dapat undang adalah ruang partisipasi masya-
memprakarsai gagasan pembentukan un- rakat dalam tahapan pembentukan un-
dang-undang, walaupun ditentukan bah- dang-undang berdasarkan peraturan per-
wa inisiatif yang bersifat resmi harus undang-undangan yang berlaku, dan ting-
datang dari presiden, DPR, atau dari kat partisipasi masyarakat dalam proses
DPD. Konsekuensinya, inisiatif dari lem- pembentukan undang-undang.
baga lain atau pihak lain tetap harus diajukan melalui salah satu dari ketiga
Pembahasan
pintu tersebut, yakni presiden, DPR dan
Partisipasi Masyarakat dalam Proses
DPD 8 .
Pembentukan Peraturan Perundang-
Proses pembuatan peraturan per-
undangan
undang-undangan, setidak-tidaknya di Istilah partisipasi masyarakat da-
atas kertas, tidak lagi semata-mata men- pat dijumpai dalam berbagai terminologi.
jadi wilayah kekuasaan mutlak pemerin- Beberapa diantaranya menyebutkan, pe-
tah dan parlemen. Partisipasi dapat di- ran serta masyarakat, inspraak (Bahasa
artikan sebagai keikutsertaan masyarakat, Belanda), public participation (Inggris),
baik secara individual maupun kelompok, atau partisipasi publik 6 . Samuel P. secara aktif dalam penentuan kebijakan
Huntington dan Joan M. Nelson, seperti publik atau peraturan. Oleh karena itu, dikutip oleh Saifudin, mendefinisikan
dijelaskan bahwa:
partisipas i publik sebagai “Political ... tentu saja proses akomodasi ini
participation as activity by private citi- didasarkan pada tingkat kebutuh- zens designed to influence governmental
an dan kepentingan masyarakat. decision-
making” 7 (Partisipasi publik
Hal ini menjadi penting, karena mau tidak mau dan suka atau
menjadi salah satu alat dalam menuang- tidak suka, peraturan perundang- kan nilai-nilai yang berkembang di ma-
undangan menjadi alat yang oto- syarakat untuk dituangkan dalam suatu
ritatif untuk mengatur kehidupan masyarakat. Suatu peraturan yang
6 Yuliandri, 2009, Asas-asas Pembentukan
sudah mempunyai daya laku akan
Peraturan Perundang-undangan yang Baik:
mengikat masyarakat 9 .
Gagasan Pembentukan
Undang-undang
Berkelanjutan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
hal. 185. 7 Saifudin, 2009, Partisipasi Publik dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 8 Yuliandri, op.cit., hal. 156. Yogyakarta: FH UII Press, hal. 93.
9 Ibid., hal. 187.
Kamarudin, Tinjauan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
Dalam sebuah negara yang meng- (institutional groups) dan d) kelompok anut sistem perwakilan, timbul anggapan
asosiasional (associational groups) 11 . bahwa tidak ada keharusan untuk melak-
Kelompok anomi tidak mem- sanakan bentuk partisipasi masyarakat,
punyai organisasi, tetapi individu-indivi- karena wakil-wakil rakyat itu bertindak
du yang terlibat merasa mempunyai untuk kepentingan rakyat. Namun, ketika
perasaan frustasi dan ketidakpuasan yang wakil-wakil rakyat tidak dapat merasa,
sama. Ketidakpuasan ini diungkapkan berpikir dan bertindak sebagaimana ke-
melalui demonstrasi dan pemogokan hendak rakyat, maka dalam konteks per-
yang tak terkontrol, yang kadang-kadang wujudan demokrasi partisipatoris (bukan
berakhir dengan kekerasan. Jika keresah- demokrasi elit semata), partisipasi ma-
an itu tidak cepat diatasi, maka masya- syarakat di luar parlemen dan pemerintah
rakat dapat memasuki keadaan anomi, dalam proses pembentukan peraturan per-
yaitu situasi chaos dan lawlessness yang undang-undangan sangatlah penting dan
diakibatkan runtuhnya perangkat nilai menentukan.
dan norma yang sudah menjadi tradisi, Sehubungan dengan itu, Bagir
tanpa diganti nilai-nilai baru yang dapat Manan mengklasifikasi terdapat dua sum-
diterima secara umum. ber partisipasi, yang dalam tulisannya ter-
Kelompok nonasosiasional tum- kait dengan proses pembentukan per-
buh berdasarkan rasa solidaritas pada aturan daerah. Pertama, dari unsur peme-
sanak saudara, kerabat, agama, wilayah, rintahan di luar DPRD dan pemerintah
kelompok etnis, dan pekerjaan. Kelom- daerah seperti kepolisian, kejaksaan,
pok-kelompok ini biasanya tidak aktif pengadilan, perguruan tinggi dan lain-
secara politik dan tidak mempunyai orga- lain. Kedua, dari masyarakat, baik indivi-
nisasi ketat. Namun demikian, anggota- dual seperti ahli-ahli atau yang memiliki
anggotanya merasa mempunyai hubung- pengalaman atau dari kelompok seperti
an batin oleh karena hubungan ekonomi, Lembaga Swadaya Masyarakat (selanjut-
massa konsumen, kelompok etnis, dan nya disebut LSM) sesuai keahlian atau
kedaerahan.
pengalamannya 10 . Kelompok institusional adalah ke- Sebagai sumber partisipasi, ke-
lompok formal yang yang berada dalam lompok yang dimaksud adalah kelompok
atau bekerja sama secara erat dengan pe- kepentingan yang oleh Gabriel A.
merintahan seperti birokrasi dan kelom- Almond dan Bingham G. Powell sebagai-
pok militer. Sedangkan kelompok yang mana dikutip dalam buku Marian
terakhir, kelompok asosiasional terdiri Budiardjo “Dasar-Dasar Ilmu Politik”
atas serikat buruh, kamar dagang, asosiasi dibagi dalam empat kategori, yaitu a)
etnis dan agama. Organisasi-organisasi kelompok anomi (anomic groups), b)
ini dibentuk dengan suatu tujuan yang kelompok non-asosiasional (nonassocia-
eksplisit, mempunyai organisasi yang tional groups ), c) kelompok institusional
baik dengan staf yang bekerja penuh waktu.
10 Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar 11 Mariam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Otonomi Daerah, Yogyakarta: PSH FH UII, hal.
Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia Pustaka 85.
Utama, hal. 387.
Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 2 November 2015 : 165-184
Dari sekian jenis kelompok ke- Selain itu, partisipasi juga memberikan pentingan, kelompok yang paling banyak
legitimasi atau dukungan dari masyarakat berperan serta dalam proses pembentukan
terhadap pembentukan suatu peraturan UU maupun Perda adalah LSM, terutama 13 perundang-undangan .
LSM-LSM yang bersentuhan langsung Hal tersebut sejalan dengan salah dengan agenda perjuangan masyarakat
satu asas formal pembentukan peraturan kecil dan agenda controlling terhadap
perundang-undangan yang baik, yaitu proses pengambilan keputusan-keputusan
asas konsensus (het beginsel van consen- penting oleh DPR maupun DPRD. Seba-
sus ). Menurut I.C. van der Vlies, perlu gai contoh, terdapat LSM yang secara
diusahakan adanya konsensus antara khusus memperjuangkan pembuatan ke-
pihak-pihak yang berkepentingan dan bijakan-kebijakan publik yang partisipa-
pemerintah dalam hal pembuatan suatu tif, seperti dilakukan oleh Koalisi Ke- 14 peraturan serta isinya . Dengan kata lain,
bijakan Partisipatif, dan LSM yang lain. perlu adanya ‘kesepakatan’ rakyat untuk Di samping itu, komunitas kampus se-
melaksanakan kewajiban dan menang- perti gerakan mahasiswa juga banyak
gung akibat yang ditimbulkan oleh per- mewarnai dan berperan serta demi lahir-
aturan perundang-undangan yang ber- nya kebijakan partisipatif yang dibuat
sangkutan. Hal ini mengingat pembentu- oleh negara melalui demonstrasi dan lain-
kan peraturan perundang-undangan ha- lain.
ruslah dianggap sebagai langkah awal Pentingnya mengikutsertakan pi-
untuk mencapai tujuan-tu juan yang ‘di- hak-pihak di luar parlemen dan pemerin-
sepakati bersama’ oleh pemerintah dan tah dalam proses pembentukan peraturan 15 rakyat . Asas konsensus, menurut A.
perundang-undangan adalah: pertama, Hamid S. Attamimi, dapat diwujudkan untuk menjaring pengetahuan, keahlian,
dengan:
atau pengalaman masyarakat sehingga .... perencanaan yang baik, jelas, peraturan benar-benar memenuhi syarat
serta terbuka, diketahui rakyat peraturan perundang-undangan yang
mengenai akibat-akibat yang akan ditimbulkannya serta latar bela-
baik; kedua, untuk menjamin peraturan kang dan tujuan-tujuan yang hen- sesuai dengan kenyataan yang hidup
dak dicapainya. Hal itu dapat juga dalam masyarakat (politik, ekonomi, so-
dilakukan dengan menyebarkan sial dan lain-lain); ketiga, untuk menum-
rancangan peraturan perundang- buhkan rasa memiliki (sense of be-
undangan tersebut kepada masya- longing ), rasa bertanggungjawab atas per-
rakat sebelum penbentukannya. aturan tersebut. Berbagai faktor di atas
akan memudahkan penerimaan masyara- 13 Yuliandri, op.cit., hal. 188.
14 I.C. van der Vlies, 2005, Buku Pegangan
kat, dan memudahkan pula pelaksanaan
alih 12 Perancang Peraturan Perundang-undangan,
atau penegakannya . Dengan partisipasi
bahasa Linus
Doludjawa, Jakarta: Dirjen
atau keikutsertaan pihak-pihak luar di-
Peraturan
Perundang-undangan Departemen
Hukum dan HAM, hal. 280. harapkan peraturan perundang-undangan
15 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan
akan memiliki kelebihan dalam hal efek-
Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
tivitas keberlakuan di dalam masyarakat.
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Pengaturan dalam Kurun
Waktu PELITA I – PELITA IV, Jakarta: Fakultas
12 Bagir Manan, op.cit., hal. 85.
Pascasarjana, hal. 339.
Kamarudin, Tinjauan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
Tentu saja selain itu, apabila per- tulis kepada pemerintah atau parle- aturan perundang-undangan itu
men;
yang dimaksud adalah undang-
3. Pihak-pihak yang berkepentingan da- undang, pembahasannya di DPR
pat pula dipanggil untuk didengar dapat saja dilakukan dengan dalam rapat komisi atau dimintai
mengikutsertakan masyarakat se- banyak mungkin melalui lembaga
tanggapan tertulis; dengan pendapat yang sudah lama
4. Yang terpenting adalah kewajiban kita miliki 16 .
undang-undang bagi pemerintah un- tuk meminta saran-saran kepada orga-
Keikutsertaan atau partisipasi ma- nisasi pihak-pihak berkepentingan syarakat dalam proses pembentukan per-
atau kepada para ahli untuk suatu per- aturan perundang-undangan dapat dilaku-
aturan yang akan dibuat 18 . kan dengan berbagai cara, seperti dijelas-
Dengan istilah yang berbeda, W. kan oleh Bagir Manan dalah hal pem-
Riawan Tjandra dan Kresno Budi bentukan peraturan daerah:
Darsono, dengan mengutip pendapat
1. Mengikutsertakan masyarakat dalam Farhan dkk., menyebutkan dengan cara
tim atau kelompok kerja penyusunan konsultasi publik (KP) 19 . Elemen-elemen peraturan daerah;
yang terlibat dalam sebuah KP sekurang-
2. Melakukan public hearing atau meng- kurangnya terdiri atas:
undang dalam rapat-rapat penyusunan
1. Pelaku atau subyek: pemerintah – peraturan daerah;
warganegara;
3. Melakukan uji sahih kepada pihak-
2. Bahan konsultasi: informasi, ide, ran- pihak tertentu untuk mendapat tang-
cangan kebijakan, data-data dan lain- gapan;
nya;
4. Melakukan lokakarya (workshop) atas
3. Proses-proses: terbuka, deliberatif rancangan peraturan daerah sebelum
(berdasarkan musyawarah), partisipa- secara resmi dibahas oleh DPRD;
tif, komunikasi dialogis;
5. Mempublikasikan rancangan peratur-
4. Sifat relasi antar-pelaku: setara dan an daerah agar mendapat tanggapan
kooperatif;
publik 17 .
5. Hasil-hasil: umpan balik, koreksi, Hal yang hampir sama juga
perbaikan, perubahan-perubahan, dan dijelaskan oleh I.C. van der Vlies bahwa
kesepakatan bersama 20 . untuk mencapai konsensus dapat dilaku-
kan beberapa metode sebagai berikut:
1. Diadakan perdebatan secara terbuka
18 I.C. van der Vlies, op.cit., hal. 280-281.
19 Melalui konsultasi publik (KP), suatu produk
antara pemerintah dan parlemen, se-
peraturan perundang-undangan diharapkan mam-
hingga dapat diikuti oleh masyarakat
pu mengintegrasikan sistem demokrasi perwa- kilan dengan demokrasi deliberatif. KP juga bisa
melalui media massa;
diartikan sebagai metode atau teknik partisipatif
2. Pihak-pihak yang berkepentingan
dalam merancang dan menyusun sebuah ke-
dapat menyampaikan informasi ter- bijakan. Lihat: W. Riawan Tjandra dan Kresno
Budi Darsono, 2009, Legislative Drafting: Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, Yog- yakarta: Universitas Atma Jaya, hal. 69.
20 Farhan, dkk., 2007, Memfasilitasi Konsultasi
16 Ibid., hal. 340. Publik – Refleksi Pengalaman Penyusunan Ran- 17 Bagir Manan, op.cit., hal. 85.
cangan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan,
Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 2 November 2015 : 165-184
Hal terpenting dari cara-cara di minan dari negara. Pasal 28F UUD NRI atas adalah partisipasi masyarakat dalam
Tahun 1945 memberikan garansi bahwa forum pengambilan keputusan. Dalam fo-
setiap orang berhak untuk berkomunikasi rum ini, semua pihak yang memiliki ke-
dan memperoleh informasi untuk me- pentingan atas peraturan perundang-
ngembangkan pribadi dan lingkungan undangan yang hendak disahkan dapat
sosialnya, serta berhak untuk mencari, mengungkapkan semua kepentingannya
memperoleh, memiliki, menyimpan, dalam proses yang negosiatif. Pihak yang
mengolah dan menyampaikan informasi berkepentingan untuk bisnis, menang Pe-
dengan menggunakan segala jenis saluran milu, cari proyek, mempertahankan ling-
yang tersedia.
kungan hidup, dan sebagainya dipersilah- Hak partisipasi masyarakat dalam kan secara terbuka untuk mengemukakan
pembentukan peraturan perundang-un- pendapatnya, sampai pada akhirnya ke-
dangan juga dijamin dalam International putusan diambil atas dasar proses nego-
Convenant on Civil and Political Rights siasi terbuka tersebut. Masing-masing pi-
(ICCPR) yang disahkan PBB pada 16 hak dapat melihat bagaimana proses ar-
Desember 1966 dan diratifikasi oleh gumentasi mereka masuk dalam kon-
negara Indonesia pada 28 Oktober 2005 struksi keputusan yang diambil, atau se-
dalam UU No. 12 Tahun 2005. Di dalam baliknya, mereka menyaksikan dengan
Pasal 25 ICCPR dan UU tersebut dise- mata kepala mereka sendiri bagaimana
butkan bahwa setiap warga negara berhak proses argumentasi mereka ditolak dalam
untuk ikut serta dalam penyelenggaraan konstruksi keputusan yang diambil.
urusan publik, untuk memilih dan dipilih, Dengan demikian, keterlibatan mereka
serta mempunyai akses berdasarkan per- utuh sejak awal sampai akhir dari proses
syaratan umum yang sama pada jabatan pembentukan peraturan tersebut. Akhir
publik di negaranya.
dari semua fase tersebut, kemudian di- Hak politik semacam itu, menurut tuntut kedewasaan dari semua stake-
Hans Kelsen, merupakan suatu wewe- holder yang terlibat tadi untuk dapat
nang yang dimiliki setiap anggota masya- menerima keputusan yang telah diambil.
rakat untuk mempengaruhi penyusunan tujuan negara, baik melalui partisipasi
Partisipasi Masyarakat sebagai Hak
langsung maupun tidak langsung. Dengan
Sipil dan Politik
demikian, partisipasi dipandang sebagai Setiap anggota masyarakat berhak
salah satu unsur yang sangat penting memperoleh akses terhadap urusan-urus-
dalam pemerintahan demokrasi, berbeda an publik untuk pengembangan pribadi
dengan pemerintahan autokrasi di mana dan lingkungan sosialnya. Termasuk ba-
subyek tidak dilibatkan dalam penyusun- gian dari hak adalah partisipasi masyara- 21 an kehendak negara . Untuk pemben-
kat dalam pembentukan peraturan per- tukan peraturan perundang-undangan, undang-undangan yang memperoleh ja-
masyarakat memiliki hak untuk ikut serta, baik dengan cara ikut ambil bagian di
Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Daerah (RPP-T2CP2EPRD), Jakarta: Kerjasama 21 Hans Kelsen, 2008, Teori Hukum Murni: USAID, DRSP, Dirjen Bina Bangda Depdagri dan
Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung: BIGS, hal. 11. Nusa Media, hal. 157.
Kamarudin, Tinjauan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
dalam rapat-rapat parlemen dan peme- DPR, 4) pembahasan di DPR, dan 5) rintah maupun dengan cara mewakilkan-
pengesahan, pengundangan dan evaluasi. nya kepada para anggota parlemen yang
Berdasarkan gambaran singkat dipilihnya.
mengenai proses pembentukan UU di atas, dapat dijelaskan bahwa ruang par-
Ruang Partisipasi Masyarakat dalam
tisipasi masyarakat terdapat dalam tahap-
Tahapan Pembentukan
Undang-
tahap berikut: a) penyusunan program
Undang
legislasi nasional, b) penyusunan prakar- Pasal 20 hasil amandemen per-
sa rancangan undang-undang, c) proses tama UUD 1945, yang kemudian diturun-
perancangan UU di DPR, d) proses peng- kan dalam UU No. 27 Tahun 2009
usulan di DPR, dan e) tahap pembahasan tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
di DPR. Untuk lebih detilnya, akan dipa- serta lebih spesifik lagi Pasal 96 UU No.
parkan satu-persatu berikut ini.
a. Dalam tahap penyusunan Program Peraturan Perundang-undangan, yang ke-
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Legislasi Nasional (Prolegnas) mudian dijabarkan secara teknis dalam
Terdapat lima tahap penyusunan Pasal 208, 209, 210 dan 211 Peraturan
Prolegnas, yaitu: tahap I, kompilasi Tata-Tertib DPR Periode 2009-2014
rencana legislasi nasional; tahap II, memberi mandat kepada DPR selaku
klasifikasi dan sinkronisasi; tahap III, lembaga perwakilan untuk tidak hanya
konsultasi dan komunikasi; tahap IV, membuka peluang bagi partisipasi masya-
penyusunan naskah Prolegnas; dan tahap rakat dalam proses pembentukan undang-
V , pengesahan. Dari kelima tahap itu undang, namun juga secara aktif mem-
hanya pada dua tahap masyarakat dapat fasilitasinya. Proses yang ditempuh dan
berpartisipasi dalam penyusunan Proleg- dokumen yang dihasilkan DPR harus
nas dan Repeta, yakni pada tahap kom- dibuat terbuka dan dapat diakses publik.
pilasi Rencana Legislasi Nasional (tahap Ruang partisipasi masyarakat
I) dan pada tahap konsultasi dan komu- dalam proses pembentukan undang-un-
nikasi (tahap III).
dang (UU) tentu tersedia dalam tahapan- Pada tahap I, masyarakat -dalam
tahapan yang ada. Sekedar untuk mem- hal ini LSM- dapat memberikan input
berikan gambaran singkat, terlebih dahu- langsung tentang daftar rencana legislasi
lu perlu disebutkan secara umum proses yang diinginkan untuk kemudian diinven-
atau tahapan pembentukan UU tersebut tarisasi. Sedangkan pada tahap III, ma-
sebagaimana disebutkan dalam pasal 20 syarakat -dalam hal ini wakil-wakil orga-
UUD NRI Tahun 1945, UU No. 12 nisasi profesi dan wakil-wakil organisasi
Tahun 2011, Perpres No. 68 Tahun 2005 kepemudaan- hadir dalam forum komuni-
dan Peraturan Tata Tertib DPR Periode kasi dalam rangka pemantapan kualitas
2009-2014. Tahapan-tahapan pembentuk- rencana legislasi nasional dan penyamaan
an UU adalah sebagai berikut: 1) peren- misi dan persepsi antara penyusun dan
canaan legislasi nasional, 2) pengusulan
stakeholders.
dan perancangan di tingkat Pemerintah, Pada tahap IV sebenarnya juga
3) pengusulan dan perancangan di tingkat dimungkinkan bagi masyarakat untuk
berperan serta di dalamnya, yaitu ketika
Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 2 November 2015 : 165-184
diselenggarakan lokakarya finalisasi kon- stansi sebuah rancangan undang-undang sep Prolegnas. Namun, tidak ada kejelas-
dan pada tahap ini pula, mulai dibuat an apakah yang dimaksud dengan wakil-
naskah akademik untuk mengidentifikasi wakil forum komunikasi yang merupakan
masalah sosial yang ingin diselesaikan, peserta lokakarya juga termasuk yang
cara penyelesaiannya, ruang lingkup berasal dari masyarakat.
undang-undang yang mampu menjadi Pada tahap penyusunan Prolegnas
media bagi solusi tersebut, dampak un- ini, khusus di lingkungan DPR dikoordi-
dang-undang nantinya bagi pemerintah nasikan oleh Badan Legislasi dengan juga
dan masyarakat luas (khususnya kelom- mempertimbangkan usulan dari masyara-
pok rentan), dan lain sebagainya, maka kat, selain dari fraksi, komisi, anggota
keterlibatan masyarakat di dalamnya DPR dan DPD.
menjadi sangat penting.
b. Dalam tahap penyusunan rancangan Dalam praktek, ruang yang cukup undang-undang prakarsa Presiden
luas bagi peran serta masyarakat adalah pada proses penyusunan naskah akade-
Dalam tahap penyusunan prakarsa mik. Namun tidak demikian halnya dalam
rancangan undang-undang, terlihat bahwa penyusunan konsepsi naskah prakarsanya
terdapat dua tahap di mana masyarakat itu sendiri. Walaupun konsepsi prakarsa
dapat turut berperan serta dalam penyu- hanyalah ringkasan pendek dari naskah
sunan konsepsi prakarsa. Pertama, dalam akademik dan lebih bersifat administratif
penyusunan naskah akademik dan kedua, namun masyarakat tetap perlu dilibatkan
dalam forum konsultasi. Keduanya hanya dalam penyusunannya karena justru nas-
bersifat fakultatif (mubah), artinya peran kah prakarsa ini yang akan diajukan ke
serta masyarakat tersebut tergantung mut-
Presiden.
lak pada kepentingan dan kebutuhan ang- Hasil persetujuan Presiden terha-
gota utama forum konsultasi, yakni pe- dap prakarsa rancangan undang-undang
merintah sendiri. Apabila pemerintah ini juga sangat penting untuk diketahui
menganggap perlu masukan dari masya- masyarakat luas, agar sebelum dan ketika
rakat, maka pemerintah akan mengikut- proses perancangan, masyarakat yang
sertakan masyarakat. Namun apabila ti- berkepentingan akan bisa terlibat aktif
dak dianggap perlu, maka masyarakat
secara optimal.
pun tidak akan diundang. Dengan demiki- an, dapat dikatakan bahwa secara nor-
c. Dalam tahap perancangan undang- matif, keberadaan ruang bagi peran serta
undang di DPR
masyarakat dalam proses penyusunan Oleh karena perancangan sebuah konsepsi prakarsa ini tergantung pada
undang-undang di DPR dimungkinkan niat baik pemerintah.
untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang Harus diakui bahwa proses penyu-
berbeda, maka tingkat dan bentuk peran sunan prakarsa adalah proses yang ber-
serta masyarakatnya pun berbeda-beda, sifat administratif internal pemerintahan
sebagai berikut:
dalam proses pembentukan undang-
1) Perancangan oleh Perguruan Tinggi undang. Namun, mengingat dalam tahap-
melalui Badan Legislasi an ini sudah mulai dibuat sebuah peren-
Dalam tahap ini, Badan Legislasi canaan kebijakan umum dan desain sub-
hanya memberikan informasi pada
Kamarudin, Tinjauan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
kalangan Perguruan Tinggi mengenai radio, penyebaran petisi dan masih materi rancangan undang-undang
banyak lagi. Pada tingkat peran- yang akan dibuat kemudian Perguru-
cangan, pola partisipasi publik seperti an Tinggi yang bersangkutan akan
ini sudah cukup memadai, walaupun membuat rancangan undang-undang
hasil akhirnya akan ditentukan juga berdasarkan informasi yang diterima-
oleh pola pembahasan di DPR. nya tersebut. Hasil rancangan dari
3) Perancangan oleh Pusat Pengkajian Perguruan Tinggi ini nantinya akan
dan Pelayanan Informasi (P3I) dan disosialisasikan kepada masyarakat,
Sekretariat Jenderal dalam bentuk penyampaian informasi
Sekretariat Jendral dan P3I melaku- bahwa sudah ada rancangan undang-
kan perancangan untuk membantu undang tertentu yang akan dibahas di
Komisi/Gabungan Komisi yang akan DPR. Tidak ada pelibatan masyarakat
mengusulkan suatu Rancangan Un- secara genuine dari masyarakat. Un-
dang-undang. Pola partisipasi yang sur-unsur masyarakat yang lain, ter-
mereka terapkan masih sangat semu, utama masyarakat yang akan terkena
yakni dengan hanya melibatkan bebe- dampak apabila undang-undang ini
rapa saja dari kalangan akademis atau diberlakukan nantinya, justru tidak
LSM untuk memberikan masukan da- diikutsertakan dalam penyusunannya.
lam proses perancangan.
2) Perancangan oleh masyarakat melalui
d. Dalam tahap pengusulan di DPR Badan Legislasi Dapat dikatakan bahwa tidak ada Dalam penyusunan rancangan un-
peran serta masyarakat pada tahap ini. dang-undang, Badan Legislasi dapat
DPR hanya memberikan informasi dalam meminta masukan dari masyarakat
rapat paripurna bahwa ada suatu ran- sebagai bahan bagi panitia kerja
cangan undang-undang inisiatif yang ma- untuk menyempurnakan konsepsi ran-
22 suk ke pimpinan DPR. cangan undang-undang . Tingkat
e.
partisipasi pada bentuk ini sangat ter- Dalam tahap pembahasan di DPR
gantung pada bagaimana kalangan Peran serta masyarakat pada tahap civil society ini menjalankan proses
pembahasan ini adalah pada saat dilaku- perancangan. Dari beberapa peng-
kannya Rapat Dengar Pendapat Umum alaman yang ada, misalnya Ran-
(RDPU) antara alat kelengkapan DPR cangan Undang-undang tentang Ke-
yang membahas rancanagn undang-un- bebasan Memperoleh Informasi Pub-
dang dengan masyarakat. Dalam praktek, lik, proses perancangan dilakukan
mekanisme ini memiliki banyak kele- dengan melibatkan banyak stake-
mahan antara lain, kelompok masyarakat holder seperti wartawan, mahasiswa,
atau lembaga yang diundang dalam akademisi, pemerintah, DPR, DPRD
RDPU tidak selalu representatif karena dan lain-lain. Proses penyerapan as-
DPR lah yang menentukan pihak-pihak pirasi pun dilakukan dengan beberapa
yang akan diundang dan didengar pen- metode seperti diskusi, kampanye
dapatnya. Di samping itu, tidak ada ja- minan bahwa hasil RDPU tersebut akan
22 Pasal 114 Peraturan Tata Tertib DPR Periode
digunakan sebagai bahan pertimbangan
2009-2014.
Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 2 November 2015 : 165-184
oleh DPR dalam menyusun rancangan masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang.
undang-undang bisa beragam sesuai de- Kelemahan lainnya adalah sistem
ngan tingkat potensi dan kemampuan pendokumentasian hasil rapat yang tidak
yang dimilikinya.
menjadi suatu keharusan dengan proses Secara umum, bentuk partisipasi pembahasan sehingga ketika masyarakat
masyarakat dapat dilakukan pada 3 tahap ingin mengetahui proses pembahasan, do-
pembentukan undang-undang, yaitu pada kumennya tidak selalu ada.
tahap ante legislative, tahap legislative,
f. Hak untuk mengajukan keberatan ba- dan tahap post legislative. Pada tahap gi masyarakat
ante legislative terdapat empat bentuk Hak untuk mengajukan keberatan
partisipasi masyarakat yang dapat dilaku- bagi masyarakat atas kerugian yang di-
kan, yaitu: 1) penelitian; 2) diskusi, loka- timbulkan oleh suatu UU telah dimuat
karya dan seminar; 3) pengajuan usul ini- dalam Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2)
siatif; dan 4) perancangan RUU. Kemu- UUD NRI Tahun 1945 dan dalam
dian, pada tahap legislative terdapat enam Undang-undang tentang Mahkamah Kon-
bentuk partisipasi masyarakat yang dapat stitusi.
dilakukan dalam proses pembentukan un- Pada intinya, apabila masyarakat
dang-undang, yaitu: 1) audiensi atau RD- merasa keberatan atas substansi atau pro-
PU di DPR; 2) RUU alternatif; 3) ma- sedur pembuatan suatu undang-undang
sukan melalui media cetak; 4) masukan dan menganggap bahwa hal itu ber-
melalui media elektronik; 5) unjuk rasa; tentangan dengan Undang-undang Dasar,
dan 6) diskusi, lokakrya dan seminar. maka masyarakat dapat mengajukan per-
Sedangkan pada tahap post legislative mohonan kepada Mahkamah Konstitusi
terdapat tiga bentuk partisipasi masyara- untuk melakukan judicial review atas Un-
kat, berupa: 1) unjuk rasa terhadap RUU dang-undang tersebut terhadap Undang-
baru; 2) tuntutan judicial review terhadap undang Dasar. Permohonan ini tidak ha-
UU baru; dan 3) sosialisasi UU baru me- nya dapat diajukan oleh masyarakat, na-
lalui penyuluhan, diskusi, lokakarya dan
mun juga oleh lembaga negara yang ber-
seminar .
kepentingan dan DPR. Dalam kaitan ini, hasil penelitian yang dilakukan oleh Saifudin tentang
Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam
partisipasi masyarakat dalam proses pem-
Proses Pembentukan Undang-Undang
bentukan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Berdasarkan pasal 96 UU No. 12
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2011, partisipasi atau keikutserta-
menarik untuk diperhatikan. Dari 123 an masyarakat dalam proses pembentuk-
partisipasi yang dilakukan oleh masyara- an undang-undang berbentuk pemberian
kat secara umum, partisipasi masyarakat masukan, baik secara lisan maupun tulis-
dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk, an yang disalurkan melalui: a) rapat de-
berupa: penyampaian RUU alternatif se- ngar pendapat umum (RDPU); b) kun-
banyak 2 kali partisipasi; tanggapan ter- jungan kerja; c) sosialisasi; dan/atau d)
tulis berupa opini, kritik maupun masuk- seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Dari saluran yang ada, bentuk partisipasi
23 Saifudin, op.cit.,hal. 306-316.
Kamarudin, Tinjauan Yuridis Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
an terhadap RUU sebanyak 115 kali; dan penyampaian aspirasi atau permasalahan berkaitan dengan RUU sebanyak 6 kali. Selain itu, ada bentuk lain dari partisipasi masyarakat yang berlangsung dalam pro- ses pembahasan RUU. Misalnya, ada ju-
ga yang berbentuk usulan dibuatnya UU, penolakan atau dukungan terhadap RUU, dan poster-poster dalam unjuk rasa, baik dukungan maupun penolakan terhadap
RUU 24 . Dengan jumlah 115 kali untuk bentuk partisipasi yang berupa “tanggap-
an tertulis berupa opini, kritik maupun masukan terhadap RUU” dari total 123
kali partisipasi, maka hal ini memberikan gambaran bahwa masyarakat lebih memi- lih berpartisipasi melalui media cetak daripada berpartisipasi secara langsung datang ke DPR dengan mengikuti RDPU. Meskipun demikian, dari 3 bentuk partisi- pasi masyarakat dalam pembahasan RUU Pemilu terdapat 11 kali partisipasi dalam bentuk masyarakat datang langsung ke DPR untuk menyampaikan aspirasi mere- ka. Forum yang digunakan untuk me- nyampaikan aspirasi mereka paling ba- nyak adalah forum Pimpinan DPR de- ngan tanpa didampingi Komisi atau Pani- tia Kerja dan forum Rapat Paripurna yang masing-masing sebanyak 3 kali, disusul forum Fraksi dan Anggota DPR secara perorangan yang masing-masing berjum- lah 2 kali, dan diikuti forum Komisi atau Panitia Khusus sejumlah 1 kali. Sedang- kan forum Panitia Kerja sama sekali tidak
digunakan oleh masyarakat 25 .
Dari 123 kali partisipasi tersebut, ditemukan adanya berbagai elemen ma- syarakat baik secara individual maupun kelompok yang menyampaikan aspirasi-
24 Ibid., hal. 239. 25 Ibid., hal. 258.
nya guna mempengaruhi proses pengam- bilan kebijakan publik di parlemen. Se- dikitnya terdapat 7 elemen masyarakat yang sekaligus menjadi pelaku partisipasi masyarakat di dalam proses pembahasan RUU Pemilu. Paling banyak diduduki oleh kalangan pers sebanyak 67 kali, di- susul pengamat dan pakar sebanyak 40 kali, kemudian LSM sejumlah 8 kali, di- ikuti kalangan perguruan tinggi sebanyak
3 kali, organisasi politik dan perorangan atau tokoh masyarakat masing-masing sebanyak 2 kali, dan sekali dari kelompok
profesional 26 . Secara prosedural, terbukanya fo-
rum Rapat Paripurna DPR bagi pelaku partisipasi masyarakat dalam proses pem- bahasan RUU Pemilu memberikan nilai lebih terhadap tingkat partisipasi itu sen- diri, karena di dalam forum Rapat Pari- purna yang biasanya ada pengambilan keputusan atas materi RUU yang dibahas, masyarakat bisa terlibat secara langsung. Namun demikian, secara substansial, pe- nyaluran aspirasi yang diusung oleh ma- syarakat pada akhirnya sangat bergantung pada spirit of publicness anggota DPR dan Pemerintah sebagai pihak yang ber- wenang atas pengesahan RUU untuk mencantumkan materi-materi tuntutan menjadi norma suatu UU.
Pada kenyataannya, materi atau persoalan yang diperjuangkan melalui partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU Pemilu di atas juga banyak diserap oleh DPR meskipun tidak seluruhnya. Misalnya, terdapat persoalan pemisahan atau penggabungan Pemilu legislatif dan pemilihan Presiden, masalah sistem Pe- milu, peserta Pemilu, penaggung jawab dan penyelenggara Pemilu, pelaksanaan
26 Ibid., hal. 220.
Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 2 November 2015 : 165-184
Pemilu, pengawasan Pemilu, keterwakil- Tidak sedikit pula undang-undang an perempuan dalam parlemen, persoalan
yang proses pembentukannya dinilai ti- TNI/Polri dalam Pemilu, kampanye peja-
dak partisipatif, misalnya UU No. 34 bat publik, daerah pemilihan antara jum-
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional lah penduduk dan wilayah administratif,
Indonesia. Koalisi untuk Kebijakan Parti- persoalan Golput dalam Pemilu 27 . Selu-
sipatif melihat bahwa proses pemben- ruh persoalan tersebut terakomodasi men-
tukan undang-undang tersebut sejak dari jadi materi UU Pemilu, kecuali persoalan
perencanaan, perancangan dan pengusul- Golput dalam Pemilu.
an belum memenuhi empat kriteria ke- Contoh lain yang cukup me-
bijakan partisipatif berikut ini 29 : ngesankan adalah proses pembentukan
1. Transparansi
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Peme- Dinilai bahwa proses perancangan rintahan Aceh. Banyak kalangan menilai
Rancangan Undang-undang Tentara bahwa penyiapan dan pembahasan RUU
Nasional Indonesia (RUU TNI) dila- Pemerintahan Aceh ini dinilai paling ma-
kukan secara diam-diam dan tidak sif sejak era reformasi. Menurut Saldi
transparan terhadap masyarakat, se- Isra, partisipasi masyarakat tidak hanya
hingga menimbulkan polemik di ma- terjadi di sekitar gedung DPR, tetapi juga
syarakat saat RUU tersebut dibahas di di Aceh. Luasnya perhatian dari masya-
DPR. Akibatnya, masyarakat tidak rakat Aceh dinilai belum pernah terjadi
mempunyai informasi yang mencuku- sepanjang sejarah terhadap proses pem-
pi maupun memberikan masukan ter- bentukan undang-undang yang lain. Pada
hadap RUU tersebut. saat RUU diajukan ke DPR, terdapat tiga
2. Akuntabilitas
draf atau sumber yang mengajukan RUU, Koalisi untuk Kebijakan Partisipatif yaitu dari pihak pemerintah, pihak DPR,
melihat bahwa terbatasnya ruang bagi dan masyarakat. Selain itu, selama penyi-
masyarakat untuk mengetahui tahap- apan dan pembahasan, Jaringan Demok-
an dan besarnya anggaran dana yang rasi Aceh (JDA) melakukan upaya yang
dibutuhkan dalam pembuatan RUU cukup masif untuk menggalang partisipa-
TNI membuat akuntabilitasnya dira- si masyarakat dengan membuat sekretari-
gukan. Hal ini diperkuat oleh fakta at jaringan di Aceh dan Jakarta. Bahkan
bahwa RUU ini tidak dibuat dan selama proses ini, JDA membentuk tiga
diajukan oleh Kementerian Pertahan- bidang utama pengawalan, yaitu 1) sub-
an sebagai lembaga yang berwenang stansi dari RUUPA, 2) kampanye, dan 3)
atas nama pemerintah. lobbying. Lebih dari itu, sepanjang pem-
3. Kontrol