Kebijakan Desentralisasi Fiskal docx 1

TUGAS AKHIR
PEREKONOMIAN INDONESIA

POLICY REVIEW PAPER:
KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA TAHUN 2001-2015

OLEH:
DIENA QONITA
ILMU EKONOMI ISLAM
1406578760

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016

STATEMENT OF AUTHORSHIP

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tugas terlampir merupakan murni
pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa menyebutkan
sumbernya.

Materi ini belum pernah disajikan ataupun digunakan sebagai bahan tugas mata kuliah lain kecuali saya
mengatakan jelas bahwa saya menggunakannya.
Nama

: Diena Qonita

NPM

: 1406578760

Judul Tugas

: Policy Review Paper: Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia Tahun
2001-2015

Mata Kuliah

: Perekonomian Indonesia

Dosen Pengampu


: Maddaremmeng A. Panennungi

Tanda Tangan

:

13

PENDAHULUAN
Sebagai negara yang luas, terdiri atas ribuan pulau dan berpenduduk sekitar 250 juta orang, merupakan
hal yang cukup sulit bagi pemerintah Indonesia untuk mengatasi ketimpangan antardaerah, baik
ketimpangan dalam hal infrastruktur maupun pendapatan daerah. Ketimpangan ini salah satunya
disebabkan karena pemerintah pusat tidak dapat melakukan pengawasan dan pemahaman yang
komprehensif pada seluruh daerah di Indonesia, sehingga kebijakan yang dikeluarkan pun sering kali
kurang cocok sebab adanya kondisi yang berbeda. Lebih parahnya lagi, bisa jadi pemerintah pusat tidak
mengetahui masalah yang dihadapi oleh daerah.
Idealnya, pemerintah harus bisa memenuhi kebutuhan dasar bagi warganya, teutama fasilitas publik
yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat. Adanya perbedaan situasi dan kondisi yang berbeda
antardaerah berimplikasi kebijakan yang berbeda pula untuk tiap-tiap daerah. Untuk secara tepat dapat

memenuhi kebutuhan daerahnya, saat ini Indonesia telah menerapkan otonomi daerah. Adanya otonomi
daerah berarti ada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kewenangan yang
diberikan pada daerah meliputi hampir semua bidang, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan
dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan bidang agama. Salah satu arti pentingnya
otonomi daerah adalah pemberian kesempatan pada daerah untuk bisa mengatur sendiri bagaimana
perekonomian daerahnya dapat berkembang. Kemudian, adanya otonomi daerah berarti berlaku pula
desentralisasi fiskal untuk menunjang kebijakan daerah.
Desentralisasi fiskal memiliki konsekuensi berupa peluang dan tantangan bagi daerah mengenai
bagaimana daerah dapat mengelola anggaran yang telah diberikan untuk mengembangkan daerahnya.
Dengan berlakunya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah pusat berharap pemerintah
daerah dapat membuat kebijakan yang sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah. Namun,
di sisi lain, desentralisasi fiskal dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat antardaerah dan
pemerintah daerah yang kurang bijak dalam menggunakan anggaran yang diberikan.
Fokus kebijakan desentralisasi fiskal dalam pembahasan ini adalah kebijakan yang telah dilaksanakan
selama tahun anggaran 2001-2015. Makalah ini akan membahas mengenai dampak dari desentralisasi
fiskal dan tingkat efektivitas dan efisiensi kebijakan desentralisasi fiskal. Di awal makalah akan
dibahas mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia secara umum, kemudian beralih ke peluang dan
tantangan dari adanya desentralisasi fiskal dan pembahasan mengenai implementasi kebijakan. Pada
akhir makalah akan diberikan saran atau rekomendasi untuk kebijakan desentralisasi fiskal. Diharapkan


13

makalah ini dapat memberikan kontribusi untuk memperbaiki pelaksanaan kebijakan desentralisasi
fiskal dan turut meningkatkan pertumbuhan daerah.

TINJAUAN KEBIJAKAN PUBLIK
Melalui sektor publik, pemerintah berperan untuk mendorong terjadinya efisiensi pasar, mengatasi
kegagalan pasar yang disebabkan oleh ketidakmampuan sektor swasta, dan masalah distribusi.
Intervensi pemerintah secara umum meliputi penyelesaian masalah pemenuhan kebutuhan dasar,
mengurangi tingkat kemiskinan, kurangnya infrastruktur, dan distribusi yang tidak merata pada faktorfaktor produksi, infrastruktur, konektivitas, dan ketersediaan sumber daya alam. Kebijakan fiskal
adalah salah satu bahasan dalam kebijakan publik di mana pemerintah berfungsi dalam pengelolaan
anggaran yang meliputi pengeluaran, pendapatan, dan utang untuk menjalankan penyelenggaraan
pemerintahan agar pemerintah dapat menyelesaikan berbagai permasalah di atas.
Secara umum, biasanya kebijakan publik memiliki salah satu sifat antara mementingkan equity
(pemerataan) atau efficiency (tepat guna). Equity berarti setiap target kebijakan mendapatkan hak yang
sama dari kebijakan tersebut, sementara efficiency berarti ada pemilihan target kebijakan agar kebijakan
bisa menjadi efisien (low cost, high benefit).

GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA
Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan kebijakan yang bersifat turunan dari adanya otonomi daerah.

Di Indonesia, kebijakan ini merupakan kebijakan untuk pengeluaran (expenditure assignments) dan
hingga 2015, bersifat money follows function, yaitu pendanaan dilakukan sesuai dengan
penyelenggaraan suatu kebijakan yang dalam hal ini adalah otonomi daerah, sehingga cenderung
menjadi kebijakan top-down. Kebijakan ini diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Selain
itu, peraturan mengenai pendanaan untuk daerah juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Tujuan dari pemberlakukan kebijakan desentralisasi
fiskal sendiri antara lain sebagai bagian dari sistem fiscal sustainability secara makro, memperbaiki
ketimpangan antara pusat dan daerah serta antardaerah, serta meningkatkan peranan daerah di berbagai
bidang pelayanan publik melalui sumber pendanaan yang lebih luas.
13

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia pada umumnya berkaitan dengan pembagian fungsi
pemerintah, yaitu fungsi distribusi, stabilisasi, dan alokasi. Fungsi stabilisasi dan distribusi dilakukan
oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi dilakukan oleh pemerintah daerah yang mengerti
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, daerah berhak menerima transfer dana dari pemerintah pusat
sebagai sekaligus menerima pendapatan asli daerah sesuai potensi daerahnya masing-masing. Daerah
bisa mendapatkan penghasilan dari pajak dan retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan

keuntungan-keuntungan yang didapatkan pemerintah daerah dalam pengelolaan fiskalnya, seperti
pendapatan bunga dan keuntungan penjualan aset daerah.
Komponen pengeluaran untuk daerah terdiri dari tiga bagian, yaitu Dana Perimbangan, Dana Otonomi
Khusus, dan Dana Desa. Pemerintah pusat memberikan dana dengan tujuan untuk mengurangi
kesenjangan fiskal antara daerah dan pusat, kesenjangan antardaerah, serta untuk meningkatkan
pertumbuhan nasional yang dimulai dari pertumbuhan daerah/desa. Dana Perimbangan terdiri dari dana
bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK) yang jumlahnya diatur
tiap tahunnya melalui APBN. Sementara itu, Dana Otsus hanya diberikan untuk provinsi tertentu.
Apabila daerah mengalami kekurangan pembiayaan, daerah diperbolehkan untuk melakukan pinjaman
daerah untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam berbagai bentuk seperti
pinjaman bank maupun obligasi daerah. Namun, sesuai dengan batasan otonomi daerah poin hubungan
luar negeri, pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung luar negeri.
Dana transfer ke daerah merupakan anggaran pemerintah pusat yang diberikan untuk mengurangi
ketimpangan melalui berbagai pembangunan di daerah agar terjadi pertumbuhan ekonomi di mana ratarata anggaran untuk daerah hingga 2015 telah mencapai lebih dari 30% APBN. Di Indonesia, jumlah
dana transfer ke daerah selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan menjadi bentuk
usaha pemerintah memberi dukungan pada perekonomian daerah. Berikut merupakan grafik yang
menunjukkan pertumbuhan dana transfer ke daerah setiap tahunnya dari 2007 hingga 2015.

13


Pengeluaran Daerah dan APBN 2007-2015
(miliar rupiah)
3,000,000
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
-

2007

2008

2009

2010
Total APBN

2011


2012

2013

2014

2015

Pengeluaran untuk Daerah

Sumber: Kementerian Keuangan
Di tahun 2016, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk transfer ke daerah yang lebih besar lagi dari
sebelumnya dan bahkan lebih besar dari anggaran yang dikeluarkan untuk Kementerian atau Lembaga
untuk anggaran tahun 2017 yaitu sebesar Rp764,9 triliun. Anggaran ini ditetapkan oleh Menteri
Keuangan dengan tujuan memperluas wewenang pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan
daerah.

PEMBAHASAN
Perkembangan desentralisasi fiskal di Indonesia dapat dikatakan cukup berhasil dilihat dari berbagai

indikator seperti pendapatan daerah, peningkatan tingkat pendidikan dan kesehatan. Meskipun
demikian, ada beberapa hal yang masih menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah pusat harus
memastikan peluang yang muncul dari kebijakan ini dapat mengimbangi tantangannya. Selain itu perlu
dirumuskan tujuan kebijakan publik ini untuk mencapai equity (keadilan) atau efficiency (digunakan
dengan tepat).
1. Peluang Desentralisasi Fiskal
Berbagai macam latar belakang historis, geografis, dan sosial dari ke-34 provinsi di Indonesia
menghasilkan keadaan perekonomian daerah yang berbeda-beda pula. Meskipun berada di pulau
yang sama, bukan berarti tidak ada ketimpangan antardaerah yang terjadi. Ekonomi suatu daerah
dipengaruhi oleh sumber pendanaan yang ia miliki, sehingga, adanya desentralisasi fiskal dengan
pemberian transfer dana ke daerah dan kewenangan pada daerah untuk mencari pemasukan dari
13

pajak dan retribusi daerah menjadi suatu keuntungan bagi daerah karena secara otomatis,
pendapatan daerah bertambah. Tidak hanya berpengaruh secara langsung meningkatkan sumber
pendapatan daerah, desentralisasi fiskal juga secara tidak langsung meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Hal ini karena desentralisasi memungkinkan daerah untuk menentukan basis pajak
dan retribusi di daerahnya sendiri, sehingga penyerapan pajak dan pendapatan daerah dari retribusi
di daerah menjadi lebih tinggi. Kemudian, longgarnya ruang fiskal daerah membawa daerah untuk
bisa mengembangkan usaha pemerintah daerah sehingga menghasilkan PAD yang juga lebih

tinggi. Berikut merupakan grafik yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal dan peningkatan
transfer berupa Dana Perimbangan berhubungan positif dengan pertumbuhan pendapatan asli
daerah yang bahkan pertumbuhan dari PAD lebih besar dari pertumbuhan transfer Dana
Perimbangan sejak 2007-2015.

Perbandingan Dana Perimbangan dan PAD Seluruh Provinsi
Tahun 2007-2015
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

2007


2008

2009

2010

2011

Pendapatan Asli Daerah

2012

2013

2014

2015

Dana Perimbangan

Sumber: Badan Pusat Statistika
Adanya peningkatan pemasukan daerah memiliki dampak positif dengan pertumbuhan ekonomi
daerah. Pertumbuhan ekonomi ini disebabkan karena meningkatnya pengeluaran pemerintah
daerah untuk berbagai pembiayaan operasional dan pembangunan infrastruktur. Pembiayaan
operasional yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah pengeluaran belanja
pegawai negeri. Anggaran belanja untuk pegawai sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi
daerah karena gaji yang diterima oleh pegawai tentunya digunakan untuk konsumsi. Kemudian,
pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan pendapatan daerah secara langsung dan tidak
langsung, dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Secara langsung dan dalam jangka
pendek, pembangunan infrastruktur berarti ada proyek yang dapat dikerjakan sehingga konsumsi
13

masyarakat meningkat seiring dengan adanya sumber pendapatan dari pembangunan. Infrastruktur
dapat secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah melalui penyediaan
sarana publik baik fisik seperti jalan maupun sosial seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Dalam jangka panjang, infrastruktur tentunya dipandanga sebagai investasi yang hasilnya akan
dipetik kemudian hari, contohnya penyediaan akses transportasi dapat memicu adanya aktivitas
ekonomi di sekitarnya yang akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Berikut
merupakan grafik yang menunjukkan pertumbuhan investasi infrastruktur oleh pemerintah setelah
berlakunya desentralisasi publik di tahun 2000 hingga 2004. Dari grafik ini, ditunjukkan bahwa
pemerintah daerah menunjukkan tren peningkatan investasi infrastruktur, sementara pemerintah
pusat menunjukkan tren yang semakin turun. Grafik di bawahnya menunjukkan porsi investasi
yang juga berkurang dari pemerintah pusat dan meningkatnya investasi pemerintah daerah untuk
pembangunan jalan dari tahun 1994 hingga 2004 di mana daerah baru mulai membangun jalan saat
desentralisasi mulai diterapkan, yaitu tahun 1999.

Sumber: World Bank
13

Tidak hanya pertumbuhan ekonomi daerah, indeks pembangunan manusia semenjak masa
desentralisasi fiskal juga menunjukkan pertumbuhan. Faktor yang paling mendominasi
peningkatan IPM adalah pertumbuhan di sektor pendidikan dan kesehatan melalui berbagai
kebijakan pemerintah, seperti BOS, imunisasi, dan lebih baiknya kualitas pelayanan kesehatan
publik di Puskesmas. Berikut merupakan grafik dari pertumbuhan IPM Indonesia sejak sebelum
desentralisasi fiskal di tahun 1999 hingga tahun 2013.

Rata-Rata Indeks Pembangunan Manusia menurut Provinsi
Tahun 1999-2013
76
74
73.29

71.76

72.77

73.81

72.27

2009

2010

2011

2012

2013

72
70
68

68.7

69.57

70.1

70.59

2005

2006

2007

71.17

66
64
64.3
62

65.8

60
58
1999

2002

2004

2008

Sumber: Badan Pusat Statistika
2. Tantangan Desentralisasi Fiskal
Tantangan dari desentralisasi fiskal salah satunya adalah pejabat daerah rentan terhadap tindakan
korupsi dari transfer dana ke daerah. Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, hingga Desember
2014 ada 343 kepala daerah yang terseret kasus korupsi, baik di kejaksaan, kepolisian, maupun di
KPK. Sebagian besar kepala daerah itu tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah (Berita
Satu: 2016). Korupsi ini disebabkan karena masih kurangnya kemampuan daerah untuk mengelola
uang yang jumlahnya cukup besar dan masih kurangnya integritas dari pemimpin daerah yang
bersangkutan. Hal ini berhubungan juga dengan pengaruh politik, yaitu saat pemilihan umum,
calon kepala daerah memerlukan dana yang banyak untuk kampanye, sehingga mereka merasa
perlu ‘mengambil’ untuk mengembalikan dana kampanye mereka. Selain korupsi, permasalahan
kemampuan daerah masih berkaitan dengan kemampuan teknis dalam pengelolaan dana, seperti
perencanaan dan pelaporan anggaran. Ketakutan pejabat daerah dalam pengelolaan menyebabkan
tingginya dana daerah yang pada akhirnya dibiarkan idle di perbankan.
Tantangan lainnya dari desentralisasi fiskal adalah pemahaman dan penggunaan informasi
antardaerah yang tidak sama, sehingga menyebabkan penyerapan anggaran tiap daerah berbedabeda. Meskipun ada Dana Otsus yang diberikan untuk provinsi-provinsi tertentu dengan tingkat
13

urgensi pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi, namun pada kenyataannya, daerah masih belum
mampu mengoptimalkan anggarannya. Berikut merupakan peta yang menggambarkan kemampuan
keuangan provinsi dari sumber dana PAD berdasarkan metode kuadran.
Sumber: Bappenas

Dari kuadran di atas, kuadran I merupakan daerah dengan tingkat kemampuan mendayagunaan
PAD tinggi dan tingkat pertumbuhan yang tinggi pula. Sementara itu, kuadran II terdiri dari daerah
dengan kondisi sedang, yaitu tingkat dayaguna tinggi, namun pertumbuhannya masih relatif
rendah. Kuadran III adalah daerah dengan tingkat dayaguna anggaran rendah, namun memiliki
pertumbuhan yang tinggi. Lalu, kuadran IV menunjukkan daerah yang tingkat dayagunanya dan
pertumbuhannya rendah. Dari metode kuadran ini, dapat disimpulkan bahwa daerah dengan
potensi daerah yang tinggi dan pemasukan yang besar tidak berarti memiliki pertumbuhan
ekonomi yang besar pula. Tingkat pertumbuhan ekonomi memiliki juga berhubungan dengan
bagaimana pengelolaan anggaran oleh pemerintah daerahnya.
Terakhir, desentralisasi fiskal dapat menyebabkan adanya persaingan antardaerah di mana nantinya
akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang kurang tepat dan bijaksana oleh pejabat daerah.
Persaingan antardaerah dapat terjadi karena ketidakjelian pemerintah daerah dalam menilai potensi
daerahnya, sehingga potensi pertumbuhan daerah dari potensi tersebut menjadi sia-sia. Dampak
lainnya adalah target pembangunan nasional bisa jadi tidak terlaksana karena myopic view saat

13

pengambilan kebijakan dengan motivasi untuk bersaing dengan daerah lain sehingga pertumbuhan
ekonomi daerah kurang optimal.
Sebagai tambahan, kebijakan publik pada umumnya memiliki tujuan yang dicapai dengan pemerataan
atau memilih kebijakan dengan hasil yang paling efisien. Implementasi Nawa Cita terhadap kebijakan
desentralisasi fiskal yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa.
Sehingga, menurut penulis, tujuan desentralisasi fiskal diwujudkan dengan melakukan kebijakankebijakan transfer dana yang efisien. Model efisiensi ini khususnya ditunjukkan dari adanya dana
otonomi khusus untuk beberapa provinsi dan insentif untuk daerah berupa Dana Insentif Daerah (DID).
Model efisiensi juga sejalan dengan pandangan ekonom Amartya Kumar Sen (1981) bahwa kelaparan
dapat terjadi karena ketidaksetaraan dalam membangun mekanisme distribusi makanan. Beranalogi
dengan pemikiran Sen, desentralisasi fiskal ibaratnya adalah mekanisme distribusi pendapatan agar
ketimpangan antardaerah dapat berkurang. Selain itu, entitlement approach yang diperkenalkan Sen
yaitu bahwa seseorang lapar karena ia tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan makanan.
Sehingga di sini, pemerintah pusat berperan dalam pendistribusian pendapatan, terutama ke daerah
yang termasuk dalam 3T (tertinggal, terdepan, terluar), agar seluruh daerah di Indonesia bisa memiliki
pembangunan yang merata

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Desentralisasi fiskal merupakan kebijakan publik yang dijalankan sejak awal 2000-an dengan
memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk mengatur perekonomiannya sendiri.
Pemerintah pusat memberikan dukungan berupa transfer dana ke daerah untuk belanja daerah melalui
berbagai saluran, seperti DAU dan DAK. Desentralisasi fiskal dapat memberikan peluang pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan nasional yang merata dengan mengandalkan kebijakan daerah untuk
mengatur alokasi anggarannya. Data-data seperti indeks pembangunan manusia dan tingkat investasi
infrastruktur menunjukkan bahwa desentralisasi bersifat mendukung pertumbuhan daerah yang
berpengaruh pada pertumbuhna nasional. Namun, ada tantangan dari desentralisasi fiskal, yaitu
terdapat pengelolaan anggaran oleh daerah yang belum optimal, dana daerah yang idle, dan persaingan
daerah yang menyebabkan daerah kurang bijaksana dalam mengambil keputusan penggunaan
anggarannya. Untuk itu, diperlukan peningkatan sumber daya manusian untuk mengatasi tantangantantangan tersebut agar pertumbuhan dan pembangunan nasional dapat berjalan maksimal. Peningkatan

13

sumber daya manusia ini dapat dilakukan dengan mengirim putra-putri daerah untuk mengenyam
pendidikan tinggi supaya kembali ke daerah dan berkontribusi membangun daerahnya.

Catatan:
Untuk 2016 dan 2017, pemerintah RI telah melakukan beberapa rombakan untuk pelaksanaan
desentralisasi yang lebih baik, di antaranya perubahan struktur DAK yang pada tahun-tahun
sebelumnya hanya terdiri dari DAK Fisik, menjadi DAK Fisik dan DAK Non Fisik, pengalihan
beberapa Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang dikelola Kementerian/Lembaga menjadi
DAK, meningkatnya pagu DAK lebih dari 4 kali lipat dari pagu DAK tahun 2015, dan tata cara
pengalokasian DAK yang tahun-tahun sebelumnya bersifat top-down berubah menjadi bersifat bottomup dengan memperhatikan usulan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional.
Sumber: Kementerian Keuangan pada 30 Juni 2015

13

Referensi
Efektivitas Dana Transfer Daerah. (2015, Juni 5). Retrieved from Suara Pembaruan:
http://sp.beritasatu.com/tajukrencana/efektivitasdanatransferdaerah/
Falianty, T. A. (2016, Mei 13). Serapan Anggaran Rendah Masalah Klasik Berulang. Retrieved from Media
Indonesia: http://mediaindonesia.com/news/read/45034/serapan-anggaran-rendah-masalah-klasikberulang/2016-05-13#
(2007). Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007. Jakarta: World Bank. Retrieved from World Bank:
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/226271-1168333550999/PERFBAB5Infrastruktur.pdf
PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD,
dan Upaya yang Dilakukan Daerah. (n.d.). Retrieved from Bappenas:
http://www.bappenas.go.id/files/4613/5230/1470/15peta-kemampuan-keuangan-provinsi-dalam-eraotonomi-daerah-tinjauan-atas-kinerja-pad-dan-upaya-yang-dilakukandaerah__20081123002641__14.pdf
Sen, A. K. (1981). Poverty and Fanines: An Essay on Entitlement and Deprivation. Oxford: Clarendon Press.

13