PENGGUNAAN USE OF FORCE PENERAPAN KONSEP
PENGGUNAAN USE OF FORCE: PENERAPAN KONSEP DETERRENCE
OLEH SUATU AKTOR HUBUNGAN INTERNASIONAL DILIHAT DARI
JENISNYA PRIMARY DETERRENCE DAN EXTENDED DETERRENCE
disusun dalam rangka memenuhi nilai tugas mata kuliah strategi dan
keamanan
Disusun oleh:
Dimas Agustini 1242500286
Iqbal Maulana 1242500740
Sri Maria Alkibthiah 1242500864
Qorienza R. A 1242500831
Anggi Hermawan 1242501136
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan internasional pada hakikatnya merupakan suatu proses
perkembangan hubungan antar negara yang dibentuk oleh negara-negara
baik yang memiliki kedekatan secara geografis ataupun antar kontinen yang
kemudian dengan banyak negara melalui utusan masing-masing negara,
negara dengan individu, atau negara dengan organisasi-organisasi
internasional lainnya dan juga antar sesama subjek hukum lainnya yang diakui
oleh hukum internasional tidak selamanya terjalin dengan baik. Sering terjadi
bahwa hubungan tersebut menimbulkan konflik yang dapat bermula dari
berbagai potensi konflik, yang bisa disebabkan oleh beberapa hal yang
dianggap sensitif. Tidak ada satu masyarakat pun dalam suatu negara ini yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya. Terdapat suatu pandangan yang ekstrem, manusia
adalah makhluk sosial, beragama, memiliki intelejensi, tidaklah keliru apabila
dikatakan bahwa konflik internasional merupakan suatu atribut yang tidak
lepas dari masyarakat dunia. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri. Demikian halnya juga dalam pergaulan
antar negara di dunia, dimana tiap-tiap negara memiliki kepentingan berbeda
dalam mencapai tujuannya masing-masing yang dapat menjadi pemicu
terjadinya konflik internasional. Tidak tanggung-tanggung konflik internasional
tersebut diwujudkan dengan perang (use of force).
Penggunaan use of force terklasifikasi kedalam beberapa konsep yaitu,
deterrence, defense, compellence, offense, dan swaggering. Masing-masing
penggunaan use of force itu sendiri memiliki tujuan yang tidak lain untuk
menjaga kedaulatan melalui berbagai bentuk tindakan sesuai dengan bentukbentuk dari use of force. Konsep deterrence salah satunya yang akhir-akhir ini
banyak diterapkan oleh aktor-aktor hubungan internasional. Seiring dengan
berkembangnya teknologi maka tiap aktor-aktor hubungan internasional akan
berusaha untuk melindungi dirinya dengan mengembangkan persenjataan
dengan teknologi mutakhir dan saling menyaingi satu sama lain, hal ini bisa
menjadi suatu bentuk penerapan konsep deterrence. Adapun, konsep
deterrence terbagi menjadi dua jenis yaitu, primary deterrence dan extended
deterrence Selain itu, keadaan dunia saat ini memang sangat kompleks
dimana bagi aktor/negara tertentu perlu menggunakan konsep deterrence
sebagai suatu strategi untuk survive. Oleh karena itu, kami merasa tertarik
untuk memberikan suatu bentuk penerapan penggunaan use of force, yaitu
konsep deterrence serta mencoba menganalisa masing-masing fenomena
tersebut berdasarkan jenisnya, primary deterrence dan extended deterrence.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana contoh penerapan use of force oleh aktor hubungan
internasional
(defense,
offense,
compellence,
swaggering,
serta
deterrence)?
Bagaimana penerapan konsep deterrence oleh suatu aktor hubungan
internasional dilihat dari jenisnya primary deterrence serta extended
deterrence?
1.3 Batasan Masalah
Adapun, kami mencoba memberikan contoh penerapan use of force
(defense, offense, compellence, swaggering, serta deterrence) oleh aktoraktor
hubungan
internasional
serta
lebih
memfokuskan
pada
konsep
deterrence dalam menganalisa penerapan use of force tersebut.
1.4 Tujuan Penulisan
Untuk mendeskripsikan berbagai contoh penerapan penerapan use of
force
oleh
aktor
hubungan
internasional
(defense,
offense,
compellence, swaggering, serta deterrence)
Untuk menganalisa penerapan konsep deterrence oleh suatu aktor
hubungan internasional dilihat dari jenisnya primary deterrence serta
extended deterrence
1.5 Kerangka Pemikiran
Menurut H.J.Morgenthau kepentingan nasional sama dengan usaha
negara untuk mengejar power, di mana power adalah segala sesuatu yang
bisa mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara
lain. Morgenthau juga mengatakan bahwa konsep kepentingan nasional
serupa dengan ‘konsep umum’ konstitusi Amerika Serikat dalam dua hal yaitu
kesejahteraan umum (general welfare) dan hak perlindungan hukum. Konsep
tersebut memuat arti minimum yang inheren di dalam konsep itu sendiri,
tetapi di luar arti minimum konsep tersebut bisa diartikan dengan berbagai
macam hal yang secara logis berpadanan dengannya sesuai dengan tradisi
politik dan konteks kultural keseluruhan di mana suatu negara memutuskan
politik luar negerinya.
Arti
minimum yang inheren di
dalam
konsep
kepentingan nasional sebuah negara adalah melindungi identitas fisik, politik
dan kulturalnya dari gangguan negara-bangsa lain. 1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penggunaan Use of Force
Dalam strategi keamanan terdapat beberapa konsep, antara lain :
A. Defense
Konsep defense merupakan konsep yang umum, dimana baik
ketika terdapat konflik ataupun tidak, pertahanan militer merupakan
suatu kebutuhan yang dimiliki oleh setiap negara. Defense dapat
disebut juga sebagai usaha negara atau aktor untuk melindungi diri
mereka dari serangan musuh, menjaga keamanan dan kedaulatan
negaranya dari negara lain, serta mengurangi kemampuan pihak
musuh untuk menghancurkan atau menguasai sesuatu dari pihak
defender. Tujuan utama dari defense adalah untuk melawan pihak
musuh atau penyerang demi meminimalkan kerugian setelah proses
deterrence mengalami kegagalan.
Military defense menjadi pilihan negara jika terjadi suatu konflik,
akan tetapi ketika tidak ada konflik sekalipun, tetap dipilih karena
terkait dengan pertahanan sebuah negara. Salah satu contohnya juga
pembentukan NATO dimana terdapat satu poin perjanjian yang
menyebutkan bahwa ketika satu negara anggota diserang maka
serangan tersebut dianggap sebagai serangan pada seluruh negara
anggota. Sebuah bentuk collective defense yang mana bentuk ini
merupakan salah satu bentuk perwujudan defense. Bentuk contoh
yang lain yaitu dapat terlihat saat ini ketika Amerika Serikat mulai
menyadari bahwa China mulai menjadi negara super power yang baru
dari sisi ekonomi dan sebagainya. Sehingga Amerika Serikat melakukan
1 Mas’oed, Mohtar. (1990). Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi,
Jakarta: LP3ES. hal
upaya-upaya untuk menghadapi China agar tidak melampau ke-super
power-an Amerika Serikat.
Defense pada dasarnya, dilakukan oleh negara untuk mencegah
agar negara lain tidak memiliki power yang seimbang atau bahkan
melebihi power yang dimilikinya, dengan cara menaikkan power
negaranya. Kekhawatiran ini akan berujung pada munculnya ketakutan
akan kebangkitan lawan sebagai suatu negara hegemon yang dapat
megalahkan hegemoni negaranya. Perbedaan yang dapat dilihat
antara deterrence dan defense adalah saat dimana sebuah negara
sadar terhadap power yang dimiliki oleh negara lain, deterrence yaitu
saat mereka sadar bahwa power lawan akan menjadi sebuah kekuatan
baru yang mengancam mereka sehingga terjadi pencegahan terhadap
terjadinya hal itu dan defense saat sebuah negara sadar bahwa power
lawan telah mengancam mereka sehingga yang dilakukan adalah
mencegah power tersebut bertambah besar.
a.
Deterrence
Dalam sebuah konsep strategi, deterrence selalu kontras
dengan
defense.
Deterrence
dan
defense
lebih
fokus
kepada
kemampuan militer. Konsep deterrence secara umum adalah strategi
defensif yang dikembangkan setelah Perang Dunia I dan digunakan
selama Perang Dingin. Hal ini terutama relevan berkaitan dengan
penggunaan senjata nuklir, dan juga terkait dengan War on Terrorism.2
Menurut Robert Jervis, teori deterrence atau pencegahan adalah
sebuah teori yang muncul pada masa Perang Dingin dan dapat
menjelaskan fenomena yang terjadi pada masa tersebut. Di dalam
teori ini, aktor berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan
kekuatannya untuk menangkal serangan dari lawan, atau setidaknya
menekan dan memaksa lawan untuk berpikir kembali untuk melakukan
serangan. Teori penangkalan dimanifestasikan kedalam sebuah strategi
militer yang juga bertujuan untuk menangkal serangan negara lain
atau pihak musuh dengan meningkatkan kemampuan militer baik fisik
seperti alat utama sistem pertahanan (alutsista) maupun non fisik
2 Baylis, John & dkk. 2002. Strategy in the Contemporary World. Oxford University
Press. Hal 161-170
seperti doktrin militer. Tujuan dari penggunaan militer tersebut agar
pihak lawan sadar akan resiko yang mereka hadapi apabila melakukan
serangan. Contohnya adalah penggunaan strategi senjata nuklir
Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan oleh Amerika Serikat dengan
meningkatkan jumlah senjata nuklir mereka dalam skala yang besar
untuk melawan senjata nuklir yang dimiliki Uni Soviet pada saat perang
dingin antara kedua negara superpower ini. Sebaliknya pun begitu,
selama perang dingin Uni Soviet lebih mendekat ke arah strategi
pelebaran pencegahan dalam menghadapi Amerika Serikat. Tidak
hanya menempatkan pasukan di pusat pemerintahan Uni Soviet saja,
tapi Uni Soviet juga berusaha melakukan pencegahan diseluruh
wilayah Uni Soviet dari ancaman nuklir Amerika Serikat.
Deterrence juga bisa diartikan sebagai bentuk penolakan untuk
mempercayai pihak lain dengan asumsi pihak lain tersebut justru akan
memberikan kerugian yang lebih besar. Sarana yang dipergunakan
untuk menjalankan kebijakan deterrence bisa berupa penggunaan
senjata pemusnah massal (WMDs), kekuatan senjata konvensional,
peningkatan kapabilitas militer secara umum, membentuk aliansi,
sanksi ekonomi atau embargo, dan ancaman melakukan pembalasan.
Dalam pandangan lain, deterrence juga diartikan sebagai dialektika
yang digunakan oleh Griffiths dan O’Callaghan
“Do not attack me
because if you do, something unacceptably horrible will happen to
you” atau dapat diartikan sebagai “jangan menyerang saya, atau akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepadamu.”3
Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk pencegahan
meningkatnya sebuah negara memiliki potensi untuk menjadi negara
super
power
baru.
Terdapat
usaha
untuk
mencegah
lawan
menggunakan apa yang ingin dilakukan pihak yang lain, maksudnya
adalah mencegah agar pihak lain tidak ikut-ikutan dan usaha strategi
ini bertujuan untuk mencegah terjadinya permusuhan secara terbuka
serta terdapat
usaha untuk mengatasi
ancaman-ancaman yang
3 Baylis, John & dkk. 2002. Strategy in the Contemporary World. Oxford
University Press. Hal 161-170
didapat dari negara lain. Strategi ini juga merupakan sebuah strategi
perlindungan.
Deterrence sendiri mengalami beberapa fase, diantaranya
adalah dengan adanya diplomasi koersif pada tahun 1945-1962.
Diplomasi koersif adalah suatu diplomasi yang dilakukan dengan cara
memaksa dengan tujuan agar orang lain atau pihak lain mau
melakukan sesuatu untuk dirinya. Ketika itu, negara-negara yang
menikmati superioritas militer terhadap lawannya sering berpikir
bahwa senjata adalah instrumen diplomasi untuk tujuan mengubah
perilaku negara lain. Amerika Serikat yang merupakan negara nuklir
pertama menikmati kekuatan senjata ini sampai 1949 saat Uni Soviet
meledakkan
percobaan
nuklirnya.
Setelah
diplomasi
koersif,
fasedeterrence selanjutnya adalah Mutual Deterrence pada tahun
1962-1983. Pada saat superioritas nuklir AS mengalami erosi, para
pembuat kebijakan di AS mulai mempertanyakan asumsi mereka
tentang penggunaan senjata nuklir untuk instrumen politik luar negeri.
Setelah krisis rudal Kuba tahun 1962 yang nyaris mendorong AS dan
Uni Soviet ke arah perang nuklir, Washington memikirkan kembali
penggunaan senjata berbahaya ini. Oleh sebab itulah kemudian
berkembang pemikiran di
Washington bahwa senjata nuklir ini
dialihkan dari berpotensi dipergunakan sebagai senjata strategis
menjadi senjata pencegah serangan.
Deterrence dianggap berhasil, jika strategi yang dilakukan oleh
negara tersebut berhasil membuat pihak lain percaya bahwa biaya
yang akan dikeluarkan jika negara tersebut menyerang akan jauh lebih
besar daripada keuntungan yang akan didapat.
b.
Compellence
Konsep compellence yang secara harfiah dapat diartikan
sebagai memaksa, namun secara esensi dapat diartikan sebagai
bentuk usaha persuasif dalam level yang cenderung koersif suatu
negara untuk memaksa negara lawan untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan
hal
yang
menjadi
kepentingan
pihak
pemberi
compellence. Compellence adalah tindakan penggunaan kekuatan
secara besar-besaran dengan maksud untuk memaksa lawan agar
melakukan sesuatu atau menghentikan suatu tindakan yang sudah
sedang dijalankan. Compellence ini dilakukan manakala deterrence
sudah gagal.
Compellence sendiri merupakan sub-bidang dari deterrence
yang dikembangkan oleh Scheeling (1966). Contoh compellence yang
sukses adalah apa yang dilakukan oleh Presiden Kennedy terhadap
Pemimpin Uni Soviet, N. Khrushchev dalam kasus Teluk Babi, Cuba
tahun 1962. Berawal dari peristiwa Krisis Misil Kuba pada tahun 1962,
ketika itu Krisis misil Kuba dimulai saat pesawat tanpa awak AS
menemukan sejumlah misil nuklir Sovyet ditempatkan di Kuba.
Seminggu kemudian, Presiden John F. Kennedy mengutuk aksi Sovyet
tersebut di televisi. Kennedy juga melancarkan blokade laut atas Kuba
dan
mengancam
akan
menyerang
Sovyet
jika
misil
tersebut
diluncurkan ke AS. Sebagai imbalan penarikan misil tersebut, AS setuju
untuk tidak menginvasi Kuba dan akan menarik misilnya dari Turki.
Namun, keputusan Khrushchev ditentang dua sekutu utamanya, Cina
dan Kuba. Presiden Kuba Fidel Castro bereaksi dengan mengusir warga
Amerika dari markas militer Guantanamo. Pada 20 November 1962, AS
mulai mencabut blokade laut atas Kuba. Lalu, pada akhir tahun,
seluruh misil nuklir Sovyet ditarik dari Kuba dan AS menarik misilnya
dari Turki pada 1963. Krisis Misil Kuba bukan hanya menyelematkan
dunia dari tragedi perang atom, tapi bahkan membuat AS menahan diri
untuk melancarkan agresi militer di Kuba. Peristiwa krisis misil Kuba
tersebut merupakan cotoh kasus compellence yang berhasil dilakukan
oleh presiden John.F.Kennedy terhadap pemimpin Sovyet pada saat itu.
Dapat dikatakan bahwa konsep compellence ini adalah ranah
yang dikuasai oleh negar-negara super power, dalam arti hanya
negara-negara kuat yang mampu meng-compel negara-negara yang
memiliki power di bawah mereka. Konsep ini juga memasukkan
hitungan matematis dalam aplikasinya, karena jika suatu negara akan
meng-compel negara lain maka harus diklasifikasikan dulu dimana
letak hierarki power negara lawan dibanding negaranya. Dari konsep
deterrence dan compellence ini kemudian muncul suatu konsep
perilaku yang disebut compliance. Secara harfiah compliance berarti
pemenuhan. Pemenuhan disini berarti keadaan dimana suatu negara
patuh dan mau melaksanakan kepentingan dari negara yang mengcompelnya maka keadaa tersebut dinamakan compliance.
c.
Offense
Konsep ini digunakan oleh negara untuk menyerang negara lain.
Konsep ini biasanya dilakukan oleh negara yang sudah memiliki
perlengkapan militer yang sudah maju dan mapan. Kebanyakan negara
tidak memilih untuk menerapkan strategi ini dan lebih memilih untuk
menerapkan strategi defense. Dalam Cooperation Under Security
Dilemma,
Robert
menguntungkan
Jervis
daripada
mengatakan,”jika
ofensif,
maka
defensive
lebih
mudah
lebih
untuk
mempertahankan daripada maju, menghancurkan dan mengambil.”
Lebih lanjut menurut Jervis, “When the defense has the advantage…
The state that fears attack does not pre‐empt‐since that would be a
wasteful use of its military resources‐but rather prepares to receive an
attack.” Artinya ketika strategi defense menguntungkan negara, maka
negara tersebut tidak akan lebih dulu menyerang karena menganggap
bahwa penggunaan militer akan bersifat sia-sia dan lebih memilih
untuk menunggu diserang.
d.
Swaggering
Swaggering merupakan salah satu strategi keamanan yang
dilakukan oleh suatu negara dimana negara tersebut berusaha untuk
menunjukkan fasilitas militer yang mereka miliki kepada negara lain.
Kegunaan dari fungsi kapabilitas militer ini berbeda dengan kegunaan
dari strategi yang lain. Swaggering lebih banyak dilakukan pada situasi
damai yakni dapat digunakan untuk kepentingan latihan militer,
demonstrasi senjata, atau melakukan pembelian atau membangun
senjata yang bermakna prestisius dengan tujuan penunjukkan egoistic.
Contoh dari strategi Swaggering adalah latihan militer bersama yang
dilakukan oleh Indonesia dengan Amerika Serikat dimana satu sama
lain tujuannya untuk saling show off.
2.2
Penerapan Strategi Deterrence
Dalam strategi deterrence terdapat dua jenis, yakni:
A. Primary
Deterrence:
Mencegah
agar
potensial
agresor
tidak
menyerang Negara deterrer, atau mencegah negara sendiri agar tidak
diserang oleh potensial agresor.
Contoh penerapan dari primary deterrence adalah Pembelian 58 unit
lebih pesawat F-35 Joint Strike Fighters dengan harga AUD 12,4 miliar
(US$ 11,6 miliar) atau sekitar Rp 127 triliun oleh Pemerintah Australia.
Lewat pembelian ini, berarti Australia mempunyai 72 unit pesawat jenis
tersebut. Rencananya, pesawat yang dipesan ini akan tiba pertama
pada 2018, dan mulai dioperasikan 2020. Menurut Perdana Menteri
Tony
Abbott,
pertahanan
Pesawat
dan
F-35
ketahanan
akan
Ausralia.
meningkatkan
Generasi
kemampuan
kelima
F-35
ini
merupakan alat tempur yang paling kuat di dunia. Pembelian F-35 ini
dari perusahaan produsen pesawat asal AS, Lockheed Martin.
Adapun pesawat ini sudah termasuk persenjataan, suku cadang,
dan fasilitas perawatan. Lewat pembelian ini, maka Australia akan
mengeluarkan dana AUSD 1,6 miliar untuk meningkatkan kapasitas
basis pesawat tempurnya di Williamtown, New South Wales. Menurut
data, harga satu unit pesawat F-35 Joint Strike Fighters ini adalah US$
160 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun lebih. Pesawat ini mempunyai
sejumlah kelebihan teknologi canggih, termasuk menghindar dari
deteksi radar. Selain Australia, Korea Selatan juga membeli 40 unit F-35
dari Lockheed Martin tahun ini. Negara-negara yang mempunyai
pesawat ini adalah Britania Raya, Kanada, Denmark, Italia, Belanda,
Norwegia, dan Turki.
Australia sebagai sekutu AS dikawasan Asia Tenggara memang
harus meningkatkan kemampuan gempur serta pertahanan udaranya,
karena perkiraan perkembangan geopolitik dan geostrategi dikawasan
Laut China Selatan. Tiongkok pada masa depan akan menjadi negara
yang sangat diperhatikan oleh AS serta sekutunya termasuk Australia.
Sehingga Presiden Barack Obama melakukan perubahan kebijakan luar
negeri dengan "strategic rebalancing" dan menggeser kekuatan
tempurnya kekawasan Asia Pasifik yang disebut sebagai poros.
B. Extended Deterrence: Bukan saja mencegah agar negara sendiri
tidak diserang tetapi juga mencegah agar potensial agresor tidak
menyerang negara-negara sahabat, anggota aliansi atau negaranegara dibawah pengaruh deterrer.
Contoh dari extended deterrence adalah pembentukan aliansi nato.
North
Atlantic
Treaty
Organization
(NATO)
merupakan
pakta
pertahanan negara-negara Barat yang dibentuk pada 04 April 1949
(http://www.nato.int) di Washington DC oleh 12 negara yaitu Amerika
Serikat, Kanada, Belanda, Belgia, Inggris, Italia, Denmark, Islandia,
Luxemborg, Norwegia, Prancis, dan Portugal. Pembentukan NATO pada
masa Perang Dingin ini merupakan bentuk Kebijakan Pembendungan
Amerika Serikat terhadap penyebaran komunis Soviet di daratan
Eropa.
Badan tersebut didirikan dengan prinsip bahwa ancaman
terhadap satu negara anggotanya, berarti ancaman bagi keseluruhan
anggota NATO. Itu merupakan salah satu strategi Amerika Serikat
dalam menangkal ekspansi Uni Soviet di kawasan Eropa. Pada
dasarnya, nato didirikan untuk mencegah pihak “lawan” untuk
melakukan
serangan
kepada
negara-negara
anggotanya,
karena
apabila suatu negara menyerang anggota nato maka seluruh anggota
nato akan ikut membela negara yang diserang tersebut. Dengan
bergabung di NATO, membuat suatu negara akan merasa lebih aman
dari serangan karena pihak “lawan” pasti akan berpikir mengenai
kerugian yang akan ia alami jika menyerang negara anggota NATO.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari paparan penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa dalam konsep Use Of Force terdapat sub konsep
lainnya yaitu Defense, Deterrence, Compellence, Offense, dan Swaggering. Dalam
tulisan kali ini kami akan memfokuskan pembahasan tentang Penerapan Strategi
Deterrence. Dalam strategi deterrence terdapat dua jenis penerapan yaitu Primary
Deterrence dan Extended Deterrence. Pada Primary Deterrence memiliki pengertian
mencegah negara agresor agar tidak menyerang negara deterrer, atau mencegah negara
sendiri (deterrer) agar tidak diserang oleh negara agresor. Contoh penerapan Primary
Deterrence terdapat pada Australia yang membeli 58 unit lebih pesawat F-35 Joint Strike
Fighters untuk memperkuat pertahanan negaranya. Sedangkan pada Extended
Deterrence memiliki pengertian tidak hanya mencegah agar negara sendiri tidak diserang
tetapi juga mencegah agar potensial agresor tidak menyerang negara-negara sahabat,
anggota aliansi atau negara-negara dibawah pengaruh deterrer. Contoh penerapan
Extended Deterrence adalah pembetukan aliansi North Atlantic Treaty Organization
(NATO) yang merupakan bentuk pencegahan negara agresor untuk menyerang negara
detterer anggota NATO.
DAFTAR PUSTAKA
Baylis, John & dkk. 2002. Strategy in the Contemporary World. Oxford
University Press
Evan,
Graham
&
Jeffrey
Newnham.1998.
The
Penguin
Dictionary
of
International Relations. England : ClaysLtd, St Lves plc.
Goodpaster, Andrew J & dkk. 1997. Post Cold War: Conflict Deterrence.
Washington D.C : National Academy Press.
Griffiths, Martin & Terry O’Callaghan. 2007. International Relations : The Key
Concepts. New York : Routledge.
OLEH SUATU AKTOR HUBUNGAN INTERNASIONAL DILIHAT DARI
JENISNYA PRIMARY DETERRENCE DAN EXTENDED DETERRENCE
disusun dalam rangka memenuhi nilai tugas mata kuliah strategi dan
keamanan
Disusun oleh:
Dimas Agustini 1242500286
Iqbal Maulana 1242500740
Sri Maria Alkibthiah 1242500864
Qorienza R. A 1242500831
Anggi Hermawan 1242501136
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan internasional pada hakikatnya merupakan suatu proses
perkembangan hubungan antar negara yang dibentuk oleh negara-negara
baik yang memiliki kedekatan secara geografis ataupun antar kontinen yang
kemudian dengan banyak negara melalui utusan masing-masing negara,
negara dengan individu, atau negara dengan organisasi-organisasi
internasional lainnya dan juga antar sesama subjek hukum lainnya yang diakui
oleh hukum internasional tidak selamanya terjalin dengan baik. Sering terjadi
bahwa hubungan tersebut menimbulkan konflik yang dapat bermula dari
berbagai potensi konflik, yang bisa disebabkan oleh beberapa hal yang
dianggap sensitif. Tidak ada satu masyarakat pun dalam suatu negara ini yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya. Terdapat suatu pandangan yang ekstrem, manusia
adalah makhluk sosial, beragama, memiliki intelejensi, tidaklah keliru apabila
dikatakan bahwa konflik internasional merupakan suatu atribut yang tidak
lepas dari masyarakat dunia. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri. Demikian halnya juga dalam pergaulan
antar negara di dunia, dimana tiap-tiap negara memiliki kepentingan berbeda
dalam mencapai tujuannya masing-masing yang dapat menjadi pemicu
terjadinya konflik internasional. Tidak tanggung-tanggung konflik internasional
tersebut diwujudkan dengan perang (use of force).
Penggunaan use of force terklasifikasi kedalam beberapa konsep yaitu,
deterrence, defense, compellence, offense, dan swaggering. Masing-masing
penggunaan use of force itu sendiri memiliki tujuan yang tidak lain untuk
menjaga kedaulatan melalui berbagai bentuk tindakan sesuai dengan bentukbentuk dari use of force. Konsep deterrence salah satunya yang akhir-akhir ini
banyak diterapkan oleh aktor-aktor hubungan internasional. Seiring dengan
berkembangnya teknologi maka tiap aktor-aktor hubungan internasional akan
berusaha untuk melindungi dirinya dengan mengembangkan persenjataan
dengan teknologi mutakhir dan saling menyaingi satu sama lain, hal ini bisa
menjadi suatu bentuk penerapan konsep deterrence. Adapun, konsep
deterrence terbagi menjadi dua jenis yaitu, primary deterrence dan extended
deterrence Selain itu, keadaan dunia saat ini memang sangat kompleks
dimana bagi aktor/negara tertentu perlu menggunakan konsep deterrence
sebagai suatu strategi untuk survive. Oleh karena itu, kami merasa tertarik
untuk memberikan suatu bentuk penerapan penggunaan use of force, yaitu
konsep deterrence serta mencoba menganalisa masing-masing fenomena
tersebut berdasarkan jenisnya, primary deterrence dan extended deterrence.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana contoh penerapan use of force oleh aktor hubungan
internasional
(defense,
offense,
compellence,
swaggering,
serta
deterrence)?
Bagaimana penerapan konsep deterrence oleh suatu aktor hubungan
internasional dilihat dari jenisnya primary deterrence serta extended
deterrence?
1.3 Batasan Masalah
Adapun, kami mencoba memberikan contoh penerapan use of force
(defense, offense, compellence, swaggering, serta deterrence) oleh aktoraktor
hubungan
internasional
serta
lebih
memfokuskan
pada
konsep
deterrence dalam menganalisa penerapan use of force tersebut.
1.4 Tujuan Penulisan
Untuk mendeskripsikan berbagai contoh penerapan penerapan use of
force
oleh
aktor
hubungan
internasional
(defense,
offense,
compellence, swaggering, serta deterrence)
Untuk menganalisa penerapan konsep deterrence oleh suatu aktor
hubungan internasional dilihat dari jenisnya primary deterrence serta
extended deterrence
1.5 Kerangka Pemikiran
Menurut H.J.Morgenthau kepentingan nasional sama dengan usaha
negara untuk mengejar power, di mana power adalah segala sesuatu yang
bisa mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara
lain. Morgenthau juga mengatakan bahwa konsep kepentingan nasional
serupa dengan ‘konsep umum’ konstitusi Amerika Serikat dalam dua hal yaitu
kesejahteraan umum (general welfare) dan hak perlindungan hukum. Konsep
tersebut memuat arti minimum yang inheren di dalam konsep itu sendiri,
tetapi di luar arti minimum konsep tersebut bisa diartikan dengan berbagai
macam hal yang secara logis berpadanan dengannya sesuai dengan tradisi
politik dan konteks kultural keseluruhan di mana suatu negara memutuskan
politik luar negerinya.
Arti
minimum yang inheren di
dalam
konsep
kepentingan nasional sebuah negara adalah melindungi identitas fisik, politik
dan kulturalnya dari gangguan negara-bangsa lain. 1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penggunaan Use of Force
Dalam strategi keamanan terdapat beberapa konsep, antara lain :
A. Defense
Konsep defense merupakan konsep yang umum, dimana baik
ketika terdapat konflik ataupun tidak, pertahanan militer merupakan
suatu kebutuhan yang dimiliki oleh setiap negara. Defense dapat
disebut juga sebagai usaha negara atau aktor untuk melindungi diri
mereka dari serangan musuh, menjaga keamanan dan kedaulatan
negaranya dari negara lain, serta mengurangi kemampuan pihak
musuh untuk menghancurkan atau menguasai sesuatu dari pihak
defender. Tujuan utama dari defense adalah untuk melawan pihak
musuh atau penyerang demi meminimalkan kerugian setelah proses
deterrence mengalami kegagalan.
Military defense menjadi pilihan negara jika terjadi suatu konflik,
akan tetapi ketika tidak ada konflik sekalipun, tetap dipilih karena
terkait dengan pertahanan sebuah negara. Salah satu contohnya juga
pembentukan NATO dimana terdapat satu poin perjanjian yang
menyebutkan bahwa ketika satu negara anggota diserang maka
serangan tersebut dianggap sebagai serangan pada seluruh negara
anggota. Sebuah bentuk collective defense yang mana bentuk ini
merupakan salah satu bentuk perwujudan defense. Bentuk contoh
yang lain yaitu dapat terlihat saat ini ketika Amerika Serikat mulai
menyadari bahwa China mulai menjadi negara super power yang baru
dari sisi ekonomi dan sebagainya. Sehingga Amerika Serikat melakukan
1 Mas’oed, Mohtar. (1990). Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi,
Jakarta: LP3ES. hal
upaya-upaya untuk menghadapi China agar tidak melampau ke-super
power-an Amerika Serikat.
Defense pada dasarnya, dilakukan oleh negara untuk mencegah
agar negara lain tidak memiliki power yang seimbang atau bahkan
melebihi power yang dimilikinya, dengan cara menaikkan power
negaranya. Kekhawatiran ini akan berujung pada munculnya ketakutan
akan kebangkitan lawan sebagai suatu negara hegemon yang dapat
megalahkan hegemoni negaranya. Perbedaan yang dapat dilihat
antara deterrence dan defense adalah saat dimana sebuah negara
sadar terhadap power yang dimiliki oleh negara lain, deterrence yaitu
saat mereka sadar bahwa power lawan akan menjadi sebuah kekuatan
baru yang mengancam mereka sehingga terjadi pencegahan terhadap
terjadinya hal itu dan defense saat sebuah negara sadar bahwa power
lawan telah mengancam mereka sehingga yang dilakukan adalah
mencegah power tersebut bertambah besar.
a.
Deterrence
Dalam sebuah konsep strategi, deterrence selalu kontras
dengan
defense.
Deterrence
dan
defense
lebih
fokus
kepada
kemampuan militer. Konsep deterrence secara umum adalah strategi
defensif yang dikembangkan setelah Perang Dunia I dan digunakan
selama Perang Dingin. Hal ini terutama relevan berkaitan dengan
penggunaan senjata nuklir, dan juga terkait dengan War on Terrorism.2
Menurut Robert Jervis, teori deterrence atau pencegahan adalah
sebuah teori yang muncul pada masa Perang Dingin dan dapat
menjelaskan fenomena yang terjadi pada masa tersebut. Di dalam
teori ini, aktor berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan
kekuatannya untuk menangkal serangan dari lawan, atau setidaknya
menekan dan memaksa lawan untuk berpikir kembali untuk melakukan
serangan. Teori penangkalan dimanifestasikan kedalam sebuah strategi
militer yang juga bertujuan untuk menangkal serangan negara lain
atau pihak musuh dengan meningkatkan kemampuan militer baik fisik
seperti alat utama sistem pertahanan (alutsista) maupun non fisik
2 Baylis, John & dkk. 2002. Strategy in the Contemporary World. Oxford University
Press. Hal 161-170
seperti doktrin militer. Tujuan dari penggunaan militer tersebut agar
pihak lawan sadar akan resiko yang mereka hadapi apabila melakukan
serangan. Contohnya adalah penggunaan strategi senjata nuklir
Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan oleh Amerika Serikat dengan
meningkatkan jumlah senjata nuklir mereka dalam skala yang besar
untuk melawan senjata nuklir yang dimiliki Uni Soviet pada saat perang
dingin antara kedua negara superpower ini. Sebaliknya pun begitu,
selama perang dingin Uni Soviet lebih mendekat ke arah strategi
pelebaran pencegahan dalam menghadapi Amerika Serikat. Tidak
hanya menempatkan pasukan di pusat pemerintahan Uni Soviet saja,
tapi Uni Soviet juga berusaha melakukan pencegahan diseluruh
wilayah Uni Soviet dari ancaman nuklir Amerika Serikat.
Deterrence juga bisa diartikan sebagai bentuk penolakan untuk
mempercayai pihak lain dengan asumsi pihak lain tersebut justru akan
memberikan kerugian yang lebih besar. Sarana yang dipergunakan
untuk menjalankan kebijakan deterrence bisa berupa penggunaan
senjata pemusnah massal (WMDs), kekuatan senjata konvensional,
peningkatan kapabilitas militer secara umum, membentuk aliansi,
sanksi ekonomi atau embargo, dan ancaman melakukan pembalasan.
Dalam pandangan lain, deterrence juga diartikan sebagai dialektika
yang digunakan oleh Griffiths dan O’Callaghan
“Do not attack me
because if you do, something unacceptably horrible will happen to
you” atau dapat diartikan sebagai “jangan menyerang saya, atau akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepadamu.”3
Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk pencegahan
meningkatnya sebuah negara memiliki potensi untuk menjadi negara
super
power
baru.
Terdapat
usaha
untuk
mencegah
lawan
menggunakan apa yang ingin dilakukan pihak yang lain, maksudnya
adalah mencegah agar pihak lain tidak ikut-ikutan dan usaha strategi
ini bertujuan untuk mencegah terjadinya permusuhan secara terbuka
serta terdapat
usaha untuk mengatasi
ancaman-ancaman yang
3 Baylis, John & dkk. 2002. Strategy in the Contemporary World. Oxford
University Press. Hal 161-170
didapat dari negara lain. Strategi ini juga merupakan sebuah strategi
perlindungan.
Deterrence sendiri mengalami beberapa fase, diantaranya
adalah dengan adanya diplomasi koersif pada tahun 1945-1962.
Diplomasi koersif adalah suatu diplomasi yang dilakukan dengan cara
memaksa dengan tujuan agar orang lain atau pihak lain mau
melakukan sesuatu untuk dirinya. Ketika itu, negara-negara yang
menikmati superioritas militer terhadap lawannya sering berpikir
bahwa senjata adalah instrumen diplomasi untuk tujuan mengubah
perilaku negara lain. Amerika Serikat yang merupakan negara nuklir
pertama menikmati kekuatan senjata ini sampai 1949 saat Uni Soviet
meledakkan
percobaan
nuklirnya.
Setelah
diplomasi
koersif,
fasedeterrence selanjutnya adalah Mutual Deterrence pada tahun
1962-1983. Pada saat superioritas nuklir AS mengalami erosi, para
pembuat kebijakan di AS mulai mempertanyakan asumsi mereka
tentang penggunaan senjata nuklir untuk instrumen politik luar negeri.
Setelah krisis rudal Kuba tahun 1962 yang nyaris mendorong AS dan
Uni Soviet ke arah perang nuklir, Washington memikirkan kembali
penggunaan senjata berbahaya ini. Oleh sebab itulah kemudian
berkembang pemikiran di
Washington bahwa senjata nuklir ini
dialihkan dari berpotensi dipergunakan sebagai senjata strategis
menjadi senjata pencegah serangan.
Deterrence dianggap berhasil, jika strategi yang dilakukan oleh
negara tersebut berhasil membuat pihak lain percaya bahwa biaya
yang akan dikeluarkan jika negara tersebut menyerang akan jauh lebih
besar daripada keuntungan yang akan didapat.
b.
Compellence
Konsep compellence yang secara harfiah dapat diartikan
sebagai memaksa, namun secara esensi dapat diartikan sebagai
bentuk usaha persuasif dalam level yang cenderung koersif suatu
negara untuk memaksa negara lawan untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan
hal
yang
menjadi
kepentingan
pihak
pemberi
compellence. Compellence adalah tindakan penggunaan kekuatan
secara besar-besaran dengan maksud untuk memaksa lawan agar
melakukan sesuatu atau menghentikan suatu tindakan yang sudah
sedang dijalankan. Compellence ini dilakukan manakala deterrence
sudah gagal.
Compellence sendiri merupakan sub-bidang dari deterrence
yang dikembangkan oleh Scheeling (1966). Contoh compellence yang
sukses adalah apa yang dilakukan oleh Presiden Kennedy terhadap
Pemimpin Uni Soviet, N. Khrushchev dalam kasus Teluk Babi, Cuba
tahun 1962. Berawal dari peristiwa Krisis Misil Kuba pada tahun 1962,
ketika itu Krisis misil Kuba dimulai saat pesawat tanpa awak AS
menemukan sejumlah misil nuklir Sovyet ditempatkan di Kuba.
Seminggu kemudian, Presiden John F. Kennedy mengutuk aksi Sovyet
tersebut di televisi. Kennedy juga melancarkan blokade laut atas Kuba
dan
mengancam
akan
menyerang
Sovyet
jika
misil
tersebut
diluncurkan ke AS. Sebagai imbalan penarikan misil tersebut, AS setuju
untuk tidak menginvasi Kuba dan akan menarik misilnya dari Turki.
Namun, keputusan Khrushchev ditentang dua sekutu utamanya, Cina
dan Kuba. Presiden Kuba Fidel Castro bereaksi dengan mengusir warga
Amerika dari markas militer Guantanamo. Pada 20 November 1962, AS
mulai mencabut blokade laut atas Kuba. Lalu, pada akhir tahun,
seluruh misil nuklir Sovyet ditarik dari Kuba dan AS menarik misilnya
dari Turki pada 1963. Krisis Misil Kuba bukan hanya menyelematkan
dunia dari tragedi perang atom, tapi bahkan membuat AS menahan diri
untuk melancarkan agresi militer di Kuba. Peristiwa krisis misil Kuba
tersebut merupakan cotoh kasus compellence yang berhasil dilakukan
oleh presiden John.F.Kennedy terhadap pemimpin Sovyet pada saat itu.
Dapat dikatakan bahwa konsep compellence ini adalah ranah
yang dikuasai oleh negar-negara super power, dalam arti hanya
negara-negara kuat yang mampu meng-compel negara-negara yang
memiliki power di bawah mereka. Konsep ini juga memasukkan
hitungan matematis dalam aplikasinya, karena jika suatu negara akan
meng-compel negara lain maka harus diklasifikasikan dulu dimana
letak hierarki power negara lawan dibanding negaranya. Dari konsep
deterrence dan compellence ini kemudian muncul suatu konsep
perilaku yang disebut compliance. Secara harfiah compliance berarti
pemenuhan. Pemenuhan disini berarti keadaan dimana suatu negara
patuh dan mau melaksanakan kepentingan dari negara yang mengcompelnya maka keadaa tersebut dinamakan compliance.
c.
Offense
Konsep ini digunakan oleh negara untuk menyerang negara lain.
Konsep ini biasanya dilakukan oleh negara yang sudah memiliki
perlengkapan militer yang sudah maju dan mapan. Kebanyakan negara
tidak memilih untuk menerapkan strategi ini dan lebih memilih untuk
menerapkan strategi defense. Dalam Cooperation Under Security
Dilemma,
Robert
menguntungkan
Jervis
daripada
mengatakan,”jika
ofensif,
maka
defensive
lebih
mudah
lebih
untuk
mempertahankan daripada maju, menghancurkan dan mengambil.”
Lebih lanjut menurut Jervis, “When the defense has the advantage…
The state that fears attack does not pre‐empt‐since that would be a
wasteful use of its military resources‐but rather prepares to receive an
attack.” Artinya ketika strategi defense menguntungkan negara, maka
negara tersebut tidak akan lebih dulu menyerang karena menganggap
bahwa penggunaan militer akan bersifat sia-sia dan lebih memilih
untuk menunggu diserang.
d.
Swaggering
Swaggering merupakan salah satu strategi keamanan yang
dilakukan oleh suatu negara dimana negara tersebut berusaha untuk
menunjukkan fasilitas militer yang mereka miliki kepada negara lain.
Kegunaan dari fungsi kapabilitas militer ini berbeda dengan kegunaan
dari strategi yang lain. Swaggering lebih banyak dilakukan pada situasi
damai yakni dapat digunakan untuk kepentingan latihan militer,
demonstrasi senjata, atau melakukan pembelian atau membangun
senjata yang bermakna prestisius dengan tujuan penunjukkan egoistic.
Contoh dari strategi Swaggering adalah latihan militer bersama yang
dilakukan oleh Indonesia dengan Amerika Serikat dimana satu sama
lain tujuannya untuk saling show off.
2.2
Penerapan Strategi Deterrence
Dalam strategi deterrence terdapat dua jenis, yakni:
A. Primary
Deterrence:
Mencegah
agar
potensial
agresor
tidak
menyerang Negara deterrer, atau mencegah negara sendiri agar tidak
diserang oleh potensial agresor.
Contoh penerapan dari primary deterrence adalah Pembelian 58 unit
lebih pesawat F-35 Joint Strike Fighters dengan harga AUD 12,4 miliar
(US$ 11,6 miliar) atau sekitar Rp 127 triliun oleh Pemerintah Australia.
Lewat pembelian ini, berarti Australia mempunyai 72 unit pesawat jenis
tersebut. Rencananya, pesawat yang dipesan ini akan tiba pertama
pada 2018, dan mulai dioperasikan 2020. Menurut Perdana Menteri
Tony
Abbott,
pertahanan
Pesawat
dan
F-35
ketahanan
akan
Ausralia.
meningkatkan
Generasi
kemampuan
kelima
F-35
ini
merupakan alat tempur yang paling kuat di dunia. Pembelian F-35 ini
dari perusahaan produsen pesawat asal AS, Lockheed Martin.
Adapun pesawat ini sudah termasuk persenjataan, suku cadang,
dan fasilitas perawatan. Lewat pembelian ini, maka Australia akan
mengeluarkan dana AUSD 1,6 miliar untuk meningkatkan kapasitas
basis pesawat tempurnya di Williamtown, New South Wales. Menurut
data, harga satu unit pesawat F-35 Joint Strike Fighters ini adalah US$
160 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun lebih. Pesawat ini mempunyai
sejumlah kelebihan teknologi canggih, termasuk menghindar dari
deteksi radar. Selain Australia, Korea Selatan juga membeli 40 unit F-35
dari Lockheed Martin tahun ini. Negara-negara yang mempunyai
pesawat ini adalah Britania Raya, Kanada, Denmark, Italia, Belanda,
Norwegia, dan Turki.
Australia sebagai sekutu AS dikawasan Asia Tenggara memang
harus meningkatkan kemampuan gempur serta pertahanan udaranya,
karena perkiraan perkembangan geopolitik dan geostrategi dikawasan
Laut China Selatan. Tiongkok pada masa depan akan menjadi negara
yang sangat diperhatikan oleh AS serta sekutunya termasuk Australia.
Sehingga Presiden Barack Obama melakukan perubahan kebijakan luar
negeri dengan "strategic rebalancing" dan menggeser kekuatan
tempurnya kekawasan Asia Pasifik yang disebut sebagai poros.
B. Extended Deterrence: Bukan saja mencegah agar negara sendiri
tidak diserang tetapi juga mencegah agar potensial agresor tidak
menyerang negara-negara sahabat, anggota aliansi atau negaranegara dibawah pengaruh deterrer.
Contoh dari extended deterrence adalah pembentukan aliansi nato.
North
Atlantic
Treaty
Organization
(NATO)
merupakan
pakta
pertahanan negara-negara Barat yang dibentuk pada 04 April 1949
(http://www.nato.int) di Washington DC oleh 12 negara yaitu Amerika
Serikat, Kanada, Belanda, Belgia, Inggris, Italia, Denmark, Islandia,
Luxemborg, Norwegia, Prancis, dan Portugal. Pembentukan NATO pada
masa Perang Dingin ini merupakan bentuk Kebijakan Pembendungan
Amerika Serikat terhadap penyebaran komunis Soviet di daratan
Eropa.
Badan tersebut didirikan dengan prinsip bahwa ancaman
terhadap satu negara anggotanya, berarti ancaman bagi keseluruhan
anggota NATO. Itu merupakan salah satu strategi Amerika Serikat
dalam menangkal ekspansi Uni Soviet di kawasan Eropa. Pada
dasarnya, nato didirikan untuk mencegah pihak “lawan” untuk
melakukan
serangan
kepada
negara-negara
anggotanya,
karena
apabila suatu negara menyerang anggota nato maka seluruh anggota
nato akan ikut membela negara yang diserang tersebut. Dengan
bergabung di NATO, membuat suatu negara akan merasa lebih aman
dari serangan karena pihak “lawan” pasti akan berpikir mengenai
kerugian yang akan ia alami jika menyerang negara anggota NATO.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari paparan penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa dalam konsep Use Of Force terdapat sub konsep
lainnya yaitu Defense, Deterrence, Compellence, Offense, dan Swaggering. Dalam
tulisan kali ini kami akan memfokuskan pembahasan tentang Penerapan Strategi
Deterrence. Dalam strategi deterrence terdapat dua jenis penerapan yaitu Primary
Deterrence dan Extended Deterrence. Pada Primary Deterrence memiliki pengertian
mencegah negara agresor agar tidak menyerang negara deterrer, atau mencegah negara
sendiri (deterrer) agar tidak diserang oleh negara agresor. Contoh penerapan Primary
Deterrence terdapat pada Australia yang membeli 58 unit lebih pesawat F-35 Joint Strike
Fighters untuk memperkuat pertahanan negaranya. Sedangkan pada Extended
Deterrence memiliki pengertian tidak hanya mencegah agar negara sendiri tidak diserang
tetapi juga mencegah agar potensial agresor tidak menyerang negara-negara sahabat,
anggota aliansi atau negara-negara dibawah pengaruh deterrer. Contoh penerapan
Extended Deterrence adalah pembetukan aliansi North Atlantic Treaty Organization
(NATO) yang merupakan bentuk pencegahan negara agresor untuk menyerang negara
detterer anggota NATO.
DAFTAR PUSTAKA
Baylis, John & dkk. 2002. Strategy in the Contemporary World. Oxford
University Press
Evan,
Graham
&
Jeffrey
Newnham.1998.
The
Penguin
Dictionary
of
International Relations. England : ClaysLtd, St Lves plc.
Goodpaster, Andrew J & dkk. 1997. Post Cold War: Conflict Deterrence.
Washington D.C : National Academy Press.
Griffiths, Martin & Terry O’Callaghan. 2007. International Relations : The Key
Concepts. New York : Routledge.