BAB I KONSEP DASAR PERENCANAAN PARTISIPATIF 1.1 Komptetensi Dasar - BAB I Konsep Dasar Perencanaan Partisipatif.pdf

BAB I
KONSEP DASAR PERENCANAAN PARTISIPATIF

1.1 Komptetensi Dasar
Setelah membaca modul ini, mahasiswa/praja akan dapat Menjelaskan konsep
dasar perencanaan partisipatif.

1.2

Sub Pokok Bahasan
 Pendahuluan
 Konsep Dasar Perencanaan Partisipatif
o Partisipasi
o Bentuk partisipasi
o Jenis-Jenis partisipasi
o Tipologi Partisipasi Masyarakat dan Individu
 Perencanaan Partisipatif
o

Definisi perencanaan


o Latar belakang munculnya perencanaan paritisipatif
o

Definisi dan konsep perencanaan partisipatif

o

Tujuan Perencanaan partisipatif

o

Beberapa Perspektif pembangunan paritisipatif

o

Permasalahan dan Hambatan dalam perencanaan partisipatif

1.3 Pendahuluan
Sejak tahun 2001 praktek penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia
berubah sangat radikal dari sentralistik otoriter ke desentralistik demokratis.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah memberi keleluasaan daerah
otonom (provinsi dan kabupaten/kota) untuk menyelenggarakan semua urusan
pemerintahan yang bersifat lokal. Undang-Undang Nomor 32/2004 menetapkan
bahwa

pemerintah

daerah

(provinsi

dan

kabupaten/kota)

mempunyai

kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemeintahan selain urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat : politik luar negeri,

keuangan, yudisial, hankam, agama dan urusan lain. Ini artinya pemerintah
daerah mempunyai kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
sangat luas dan utuh. Luas artinya pemerintah daerah dipersilahkan
menyelenggarakan semua urusan sesuai dengan potensi yang dimilikinya tanpa
campur tangan langsung dari pemerintah pusat. Utuh artinya daerah diberi
kepercayaan penuh untuk mengatur dan mengurus semua urusan yang menjadi
kewenangannya tersebut mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya.

Dengan sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang luas dan utuh
tersebut daerah dituntut mampu membuat perencanaan pembangunan secara
mandiri. Daerah harus mampu membuat perencanaan pembangunan yang sesuai
dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya, rasional, tepat sasaran, dapat
dilaksanakan, efisien dan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Disamping itu, sesuai dengan era demokratisasi pembuatan
perencanaan pembangunan juga tidak boleh mengabaikan prinsip demokrasi.
Karena itu, perencanaan tidak lagi menganut pendekatan top down atau dari atas
ke bawah tetapi menggunakan pendekatan bottom up atau dari bawah ke atas
yaitu dengan melibatkan partisipasi rakyat. Hal ini berangkat dari suatu fakta

bahwa rakyatlah yang terkena dampak langsung dari rencana pembangunan
tersebut. Perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat seperti ini dikenal
dengan perencanaan pembangunan partisipatif.

Dalam alam otonomi luas dan utuh tersebut, seharusnya pemerintah daerah
secara kreatif dan mandiri dapat membuat perencanaan pembangunan daerah.
Akan tetapi, karena selama ini pemerintah daerah tidak pernah mempunyai
pengalaman membuat perencanaan secara mandiri maka hamper semua daerah
belum mampu membuat perencanaan pembangunan daerahnya tanpa petunjuk
dari atas. Pemerintah daerah masih memerlukan petunjuk operasional dari
kerangka normative dan pedoman standar yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Mengingat adanya perbedaan karakteristik antara daerah kabupaten dengan
daerah kota tersebut maka dalam pembuatan perencanaan pembangunannya,
antara keduanya tidak bias disamakan. Sebagai wilayah yang bersifat pedesaan,
potensi inti kabupaten adalah sector pertanian/kehutanan/perikanan/perkebunan.
Oleh karena itu, perencanaan pembangunan kabupaten adalah bagaimana

mengembangkan sector-sektor tersebut secara terencana untuk menyejahterakan
masyarakatnya.


Sebaliknya,

perdagangan/industri/jasa

kota

maka

yang
rencana

basisnya

adalah

pembangunannya

sektor
adalah


pengembangan sector-sektor demi kesejahteraan masyarakatnya.

1.5 Konsep Dasar Perencanaan Partisipasi
A.

Partisipasi
Istilah Partisipasi menurut Mikkelsen biasanya digunakan di masyarakat dalam

berbagai makna umum, diantaranya: (2005, 53-54)
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek
(pembangunan), tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan.
2. Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam
rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.
3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun
kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai
otonomi untuk melakukan hal itu.
4. Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara komunitas lokal dan
pihak penyelenggara proyek dalam rangka persiapan, pengimplementasian,
pemantauan dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi tentang

konteks sosial maupun dampak sosial proyek terhadap masyarakat.
5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan
yang ditentukan sendiri oleh masyarakat.
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan
lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri.
Terdapat tiga unsur penting dalam partisipasi :
1. bahwa

partisipasi/keikutsertaan/keterlibatan/peran

serta,

sesungguhnya

merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada sematamata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah.
2. kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan
kelompok, ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk
membantu kelompok.

3. unsur tanggung jawab. Unsur tersebut merupakan segi yang menonjol dari

rasa menjadi anggota. Diakui sebagai anggota artinya ada rasa “sense of
belongingness”.
Sebelum masuk dalam pembahasan perencanaan partisipatif ada baiknya jika
kita menyimak model perencanaan yang ada, diantanranya model perencanaan
bersifat Top Down dan Bottom Up. Perencanaan dengan model Top Down ini
dilaksanakan oleh sekelompok elit politik, melibatkan lebih banyak teknokrat,
mengandalkan otoritas & diskresi. Adapun argumentasi top-down adalah:
1. Efisiensi
2. Penegakan aturan (enforcement)
3. Konsistensi input-target-output
4. Publik/masyarakat masih sulit dilibatkan
Perencanaan dengan model Bottom Up ini dilaksanakan secara kolektif,
melibatkan

unsur-unsurgovernance,mengandalkan

persuasi, co-production.

Dan


argumentasi bottom-up adalah:
1. Efektivitas
2. Kinerja (performance, outcome),bukan sekadar hasil seketika
3. Social virtue (kearifan sosial)
4. Masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka
butuhkan.
B.

Bentuk Partisipasi

Tiga bentuk partisipasi (Chambers dalam Mikkelsen, 2005, 54):
1.

Cosmetic Label
Sering digunakan agar proyek yang diusulkan terlihat lebih cantik sehinga

lembaga donor maupun pihak pemerintah akan mau membiayai proyek tersebut.
2.

Coopting Practice

Digunakan untuk memobilisasi tenaga-tenaga di tingkat lokal dan mengurangi

pembiayaan pryek.
3.

Empowering Process
Dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan masyarakat lokal untuk

melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya,
mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri
tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka pilih.
C.

Jenis-Jenis Partisipasi

1. Pikiran (psychological participation)
2. Tenaga (physical participation)
3. Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation)
4. Keahlian (participation with skill)
5. Barang (material participation)

6. Uang (money participation)

D.

Tipologi Partisipasi Masyarakat Atau Individu
1. Passive

Participation,

masyarakat

berpartisipasi

karena

memang

diharuskan untuk ikut serta dalam proses pembangunan, tanpa ada kemampuan untuk
merubah.
2. Participation in information giving, partisipasi masyarakat hanya sebatas
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh perencana pembangunan dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Namun masyarakat tidak punya
kemampuan untuk mempengaruhi mempengaruhi dalam pembuatan pertanyaan, dan
tidak ada kesempatan untuk mencek ketepatan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan.
3. Participation by consultation, partisipasi masyarakat dilakukan dalam
bentuk konsultasi, ada pihak luar sebagai pendengar yang berusaha mendefinisikan
permasalahan yang dihadapi masyarakat dan merumuskan solusinya. Dalam proses
konsultasi ini tidak ada pembagian dalam penentuan keputusan, semua dikerjakan
oleh pihak luar yang diberi mandat untuk mngerjakan ini.
4. Participation for material incentives, partisipasi ini lebih pada masyarakat
memberikan sumber daya yang mereka punya seperti tenaga dan tanah, kemudian
akan diganti dalam bentuk makanan, uang, atau penggantian dalam bentuk materi
lainnya.
5. Functional participation, partisipasi masyarakat terjadi dengan membentuk
kelompok-kelompok atau kepanitiaan yang diprakarsai/ didorong oleh pihak luar.
6. Interactive participation, masyarakat dilibatkan dalam menganalisis dan
perencanaan pembangunan. Dalam tipe partisipasi ini, kelompok mungkin saja dapat
dibentuk bersama-sama dengan lembaga donor dan mempunyai tugas untuk
mengendalikan dan memutuskan semua permasalahan yang terjadi di tingkat lokal.
7. Self-mobilization, masyarakat secara mandiri berinisiatif untuk melakukan
pembangunan tanpa ada campur tangan dari pihak luar, kalau pun ada, peran pihak

luar hanya sebatas membantu dalam penyusunan kerangka kerja. Mereka mempunyai
fungsi kontrol penuh terhadap sumber daya yang akan digunakan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakatnya.
8. Catalysing change, Partisipasi dengan membentuk agen perubah dalam
masyarakat yang nantinya dapat mengajak atau mempengaruhi masyarakatnya untuk
melakukan perubahan.
9. Optimum Participation, lebih memfokuskan pada konteks dan tujuan dari
pembangunan dan itu akan turut menetukan bentuk dari partisipasi yang akan
dipergunakan. Partisipasi akan optimal jika turut memperhatikan secara detail pada
siapa yang akan berpartisipasi karena tidak semua orang dapat berpartisipasi, dan
dengan metode ini pula dapat membantu menentukan strategi yang optimal dalam
pembangunan.
10. Manipulation, ada sejumlah partisipasi namun tidak memiliki kekuasaan
yang nyata, masyarakat membentuk suatu kelompok atau kepanitiaan namun tidak
memiliki kekuasaan untuk menentukan arah pembangunan.
Persyaratan untuk dapat melaksanakan partisipasi secara efektif adalah sebagai
berikut :
1. Waktu
Untuk dapat berpartisipasi diperlukan waktu. Waktu yang dimaksud adalah
untuk memahami pesan yang disampaikan oleh pemrakarsa atau pimpinan.
Pesan tersebut mengandung informasi mengenai apadan bagaimana serta
mengapa diperlukan peran serta. Pesan-pesan itu disampaikan melalui
komunikasi yaitu usaha dan kegiatan untuk menumbuhkan pengertian yang
sama antara pemrakarsa/pimpinan yang disebut “komunikator” dan
penerima pesan “komunikan”. Pesan itu disampaikan dengan menggunakan
lambang-lambang yang mengandung arti, lambang itu harus dapat saling
dimengerti dan dipahami. Penyebaran pesan dilakukan melalui sarana atau
media tertentu seperti udara, radio, televise, surat kabar, surat dan
sebagainya sehingga komunikasi dapat menerima dan menafsirkannya serta
memahami apa yang dimaksud oleh komunikator.
2. Bilamana dalam kegiatan partisipasi ini diperlukan dana perangsang,
hendaknya

dibatasi

seperlunya

agar

tidak

“memanjakan”, yang akan menimbulkan efek negatif.

menimbulkan

kesan

3. Subyek partisipasi hendaklah relevan atau berkaitan dengan organisasi
dimana individu yang bersangkutan itu tergabung atau sesuatu yang menjadi
perhatiannya/interesnya.
4. Partisipasi harus memiliki kemampuan untuk berpartisipasi, dalam arti kata
yang bersangkutan memiliki ruang lingkup pemikiran dan pengalaman yang
sama dengan komunikator dan kalaupun belum ada, maka unsure-unsur itu
ditumbuhkan oleh komunikator.
5. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi timbal
balik, misalnya menggunakan bahasa yang sama atau yang sama-sama
dipahami, sehingga tercipta pertukaran pikiran yang efektif/berhasil.
6. Para pihak yang bersangkutan bebas didalam melaksanakan peran serta
tersebut sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
7. Bila partisipasi diadakan untuk menentukan suatu kegiatan hendaknya
didasarkan kepada kebebasan dalam kelompok, artinya tidak dilakukan
pemaksaan atau penekanan yang dapat menimbulkan ketegangan atau
gangguan dalam pikiran atau jiwa pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini
didasarkan kepada prinsip bahwa partisipasi adalah bersifat persuasif.

1.6. Perencanaan Partisipatif
A. Perencanaan
Pengertian perencanaan memiliki banyak makna sesuai dengan pandangan
masing-masing ahli dan belum terdapat batasan yang dapat diterima secara umum.
Pengertian atau batasan perencanaan tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatankegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu
pada hakekatnya terdapat pada setiap jenis usaha manusia (Khairuddin, 1992 :
47).
2. Perencanaan adalah merupakan suatu upaya penyusunan program baik
program yang sifatnya umum maupun yang spesifik, baik jangka pendek
maupun jangka panjang (Sa’id & Intan, 2001 : 44 ).
3. Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan (Planning as Policy Analysis) yaitu,
merupakan tradisi yang diilhami oleh logika-logika berpikir ilmu manajemen,
administrasi publik, kebangkitan kembali ekonomi neoklasik, dan teknologi
informasi yang disebut sibernetika (Aristo, 2004).

Perencanaan, meskipun mengandung pengertian masa depan, bukanlah hipotesis
yang dibuat tanpa perhitungan. Hipotesis dalam perencanaan selalu didasarkan atas
data-data dan perkiraan yang telah tercapai, dan juga memperhitungkan sumber daya
yang ada dan akan dapat dihimpun. Dengan demikian, perencanaan berfungsi sebagai
pedoman sekaligus ukuran untuk menentukan perencanaan berikutnya. Mosher (1965
: 191) menyatakan bahwa, seringkali perencanaan hanya meliputi kegiatan-kegiatan
baru, atau alokasi keuangan untuk kegiatan-kegiatan lama, tanpa menilai kembali
kualitasnya secara kritis. Acapkali lebih banyak sumbangan dapat diberikan kepada
pembangunan dengan memperbaiki kualitas kegiatan yang sedang dalam pelaksanaan
daripada memulai yang baru.
Perencanaan pada dasarnya adalah penetapan alternatif, yaitu menentukan
bidang-bidang dan langkah-langkah perencanaan yang akan diambil dari berbagai
kemungkinan bidang dan langkah yang ada. Bidang dan langkah yang diambil ini
tentu saja dipandang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sumber daya yang
tersedia dan mempunyai resiko yang sekecil-kecilnya. Oleh sebab itu, dalam
penentuannya timbul berbagai bentuk perencanaan yang merupakan alternatifalternatif ditinjau dari berbagai sudut, seperti yang dijelaskan oleh Westra (1980)
dalam Khairuddin (1992 : 48), antara lain :
1. Dari segi jangka waktu, perencanaan dapat dibedakan : (a) perencanaan jangka
pendek (1 tahun), dan (b) perencanaan jangka panjang (lebih dari 1 tahun).
2. Dari segi luas lingkupnya, perencanaan dapat dibedakan : (a) perencanaan
nasional (umumnya untuk mengejar keterbelakangan suatu bangsa dalam
berbagai bidang), (b) perencanaan regional (untuk menggali potensi suatu
wilayah dan mengembangkan kehidupan masyarakat wilayah itu), dan (c)
perencanaan lokal, misalnya; perencanaan kota (untuk mengatur pertumbuhan
kota, menertibkan penggunaan tempat dan memperindah corak kota) dan
perencanaan desa (untuk menggali potensi suatu desa serta mengembangkan
masyarakat desa tersebut).
3. Dari segi bidang kerja yang dicakup, dapat dikemukakan antara lain :
industrialisasi, agraria (pertanahan), pendidikan, kesehatan, pertanian,
pertahanan dan keamanan, dan lain sebagainya.
4. Dari segi tata jenjang organisasi dan tingkat kedudukan menejer, perencanaan
dapat dibedakan : (a) perencanaan haluan policy planning, (b) perencanaan

program (program planning) dan (c) perencanaan langkah operational
planning.
B.

Latar Belakang Munculnya Perencanaan Partisipatif
Perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode

partisipatif yang biasa disebut Participatory Rural Appraisal. Metode ini menekankan
adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan
(penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifkasian masalah
sampai pada penentuan skala prioritas.
Perencanaan partisipatif saat ini mulai merambah ke tingkat makro atau lebih
pada pengembangan kebijakan, biasanya kegiatan ini lebih banyak dilakukan oleh
Lembaga Non Pemerintah (NGO’s). Selain itu perencanaan partisipatif banyak
dilakukan di tingkat mikro seperti pada tingkat masyarakat maupun di tingkat
individu.
Secara garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya
keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari
melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya,
mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri
tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.
Tiga alasan utama mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu
(Conyers, 1991, 154-155)
1. Alasan pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh
informasi mengenai kondisi, kebutuhandan sikap masyarakat setempat yang
tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
2. Alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau
proram pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan
perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program
tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut.
3. Alasan ketiga adalah karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak
demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan.
Alasan lainnya dikemukakan oleh Amartya Sen dimana Ia mengemukana ada 3
alasan mengapa harus ada demokasi dan Perencanaan Partisipatif (Amartya Sen,
1999:148)
1. Demokrasi dan partisipasi sangat penting peranannya dalam pengembangan
kemampuan dasar.

2. Instrumental role untuk memastikan bahwa rakyat bisa mengungkapkan dan
mendukung klaim atas hak-hak mereka, di bidang politik maupun ekonomi
3. Constructive role dalam merumuskan “kebutuhan” rakyat dalam konteks
sosial.
C.

Sejarah Partisipasi Dalam Pembangunan
Pada tahun 1960-an, yang dimaksud dengan partisipasi adalah adanya transfer

atau alih pengetahuan atau teknologi dari luar untuk menjadikan orang atau
masyarakat mampu menolong dirinya sendiri.
Pada tahun 1970-an Partisipasi lebih dikenal sebagai usaha untuk mengentaskan
kemiskinan dan berkaitan dengan kases terhadap sumber-sumber pembangunan. Ada
3 perspektif besar:
1. Masyarakat berpartisipasi sebagai pihak yang menerima manfaat dari
pembangunan. Partisipasi dilakukan untuk masyarakat, umumnya masyarakat
diundang untuk ditanyakan apa kebutuhan mereka yang nantinya akan
dimasukkan dalam program pembangunan.
2. Partisipasi dilihat sebagai suatu proses dan di kendalikan oleh orang-orang
yang mengenalikan pembangunan. Partisipasi ini berkaitan pula dengan
demokrasi dan keadilan.
3. Partisipasi melibatkan bekerja dengan masyarakat daripada bekerja untuk
mereka. Partisipasi bentuk ini lebih melihat hubungan antara pelaksana
pembangunan dan pemanfaan hasil pembangunan.
Pada tahun 1980-an Partisipasi dikenal dengan istilah Proyek dalam Masyarakat,
dan ini menyebabkan semakin dikenalnya partisipasi sebagai suatu pendekatan dalam
proyek-proyek dan program-program pembangunan. Terdapat 2 paradigma yang
berkembang saat ini, yaitu:
1. Metode yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga seperti Stakeholder
analysis, social analysis, beneficiary assessment, logical framework analysis.
Semua ini merupakan toolkits yang diterapkan oleh perencana sosial untuk
mempromosikan

partisipasi

ditingkat

pemangku

kepentingan

dalam

melakukan pengidentifikasian di tingkat awal.
2. Metode-metode yang dipromosikan oleh pengembang metode partisipatori
seperti PRA, Rapid Rural Appraisal, Partisipatory Learning and Action,
Partisipatory Appraisal and Learning Methods dan sebagainya yang
memungkina

masyarakat

untuk berbagi,

mengenal dan

menganalisa

pengetahuan yang mereka miliki serta kondisi mereka dan melakukan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Pada tahun 1990-an Partisipasi lebih dilihat sebagai kemitraan, koordinasi atau
kepemilikan dari program dan adanya fungsi kontrol/ kendali dari masyarakat itu
sendii terhadap sumber daya yang mereka miliki. Pada dekade ini mulai ada
perubahan paradigma mengenai apa yang disebut masyarakat, mulai ada perubahan
dari penerima manfaat dari pembangunan kepada pemangku kepentingan, dengan
asumsi kalau masyarakat disebut sebagai penerima manfaat sifatnya lebih pasif
dibandingkan dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan.
Pada tahun 2000-an Partisipasi mulai berubah yang dahulu hanya berkisar pada
lingkungan mikro saat ini mulai merambah ke tataran makro, dengan adanya
partisipasi dalam penentuan atau pembentukan kebijakan.
D.

Perencanaan Pembangunan Partisipatif
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program

pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi “lebel baru” yang
harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam
perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang
dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti
peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami,
menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota
masyarakat.
Asngari (2001: 29) menyatakan bahwa, penggalangan partisipasi itu dilandasi
adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara
orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang
peran serta semua pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau
demokratis, dan (2) terbinanya kebersamaan. Selanjutnya Slamet (2003: 8)
menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai ikut
sertanya

masyarakat

dalam

pembangunan,

ikut

dalam

kegiatan-kegiatan

pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
Gaventa dan Valderama (1999) dalam Arsito (2004), mencatat ada tiga tradisi konsep
partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis
yaitu: 1) partisipasi politik Political Participation, 2) partisipasi sosial Social
Participation dan 3) partisipasi warga Citizen Participation/Citizenship, ke tiga hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Partisipasi Politik, political participation lebih berorientasi pada ”mempengaruhi”
dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintahan ketimbang
partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.
2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan
masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar
proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam
semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai
penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya
dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan
kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada
kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan
publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.
3. Partisipasi Warga, citizen participation/citizenship menekankan pada partisipasi
langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses
kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “dari
sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke
suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan
kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang
mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda dengan partisipasi sosial,
partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan
publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai
wahana pembelajaran.
E.

Permasalahan Dalam Perencanaan Partisipatif
1. Keterlibatan masyarakat akan terjadi secara sukarela jika perencanaan
dilakukan secara desentralisasi, dan kegiatan pembangunan selalu diarahkan
pada keadaan atau kepentingan masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi maka
partisipasi masyarakat akan sulit terjadi karena masyarakat tidak akan
berpartisipasi jika kegiatan dirasa tidak menarik minat mereka atau partisipasi
mereka tidak berpengaruh pada rencana akhir.
2. Partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak
mengetahui atau tidak mempunyai gagasan mengenai rangkaian pilihan yang
seharusnya mereka pilih, maka tidak mengherankan apabila masyarakat,
terutama masyarakat pedesaan, sering meminta hal-hal yang tidak mungkin
atau hal lain yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan mereka. Jadi ada

kemungkinan skala prioritas akan berbeda antara pihak pemerintah dan
masyarakat.
3. Batasan dari wilayah kerja dapat menjadi permasalahan, hal ini berkaitan
dengan batas wilayah administratif atau batas wilayah komunitas (adat).
Terkadang masyarakat yang akan dibina dibatasi oleh wilayah administratif
(negara), namun pada kenyataannya masyarakat yang akan dibina mempunyai
suatu ikatan (batasan adat) lain yang turut menetukan luas wilayah mereka.
Hal ini berkaitan dengan penentuan wilayah kerja dan pelibatan partisipasi
masyarakat.
4. Permasalah lain adalah berkaitan dengan perwakilan yang ditunjuk, terkadang
wakil masyarakat yang ditunjuk sebagai penentu kebijakan atau dalam
pembuatan perencanaan sosial tidak mengakomodir elemen-elemen yang ada
di dalam masyarakat, perlu diingat bahwa masyarakat tidak selalu homogen.
Maka akan ada potensi konflik apabila perwakilan yang ditunjuk tidak
mengakomodir kepentingan masyarakat.
5. Adanya kesenjangan komunikasi antara perencana sosial dengan petugas
lapangan yang bertugas mengumpulkan informasi guna penyusunan
perencanaan sosial. Ada usaha untuk melibatkan masyarakay lokal dalam
pengumpulan informasi namun tingkat kemampuan masyarakat lokal beragam
dan terkadang tidak sesuai dengan harapan para perencana.
6. Tidak terpenuhinya harapan juga turut menghambat adanya partisipasi
msyarakat, seperti tidak berpengaruhnya partisipasi mereka terhadap hasil
pembangunan, adanya ekspektasi yang berlebih dari masyarakat yang tidak
terpenuhi, atau bahkan pelaksanaan tidak sesuai dengan perencanaan yang
telah disusun secara bersama.
7. Permasalah lain yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif adalah adanya
anggapan bahwa perencanaan partisipatif adalah suatu kegiatan yang tidak
efektif dan membuang-buang waktu. Memang perencanaan partisipatif
bukanlah suatu perkara yang mudah, karena melibatkan masyarakat dalam
proses perencanaan membutuhkan waktu, uang dan tenaga yang tidak sedikit.
Perencanaan partisipatif pun membutuhkan kapasitas organisasi yang tidak
kecil.
8. Ada konflik yang timbul antara kepentingan daerah atau lokal dengan
kepentingan nasional. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang,

disatu sisi pemerintah pusat memandang bahwa hal tertentu merupakan
prioritas utama, namun disatu sisi pemerintah daerah atau masyarakat hal
tersebut bukanlah prioritas utama.

F. Perencanaan Pembangunan Masyarakat
Soetomo (2006 : 56) Menjelaskan Bahwa, Pembangunan Masyarakat dilihat dari
mekanisme perubahan dalam rangka mencapai tujuannya, kegiatan pembangunan
masyarakat ada yang mengutamakan dan memberikan penekanan pada bagaimana
prosesnya sampai suatu hasil pembangunan dapat terwujud, dan adapula yang lebih
menekankan pada hasil material, dalam pengertian proses dan mekanisme perubahan
untuk mencapai suatu hasil material tidak begitu dipersoalkan, yang penting dalam
waktu relatif singkat dapat dilihat hasilnya secara fisik. Pendekatan yang pertama
seringkali disebut sebagai pendekatan yang mengutamakan proses dan lebih
menekankan pada aspek manusianya, sedangkan pendekatan yang kedua disebut
sebagai pendekatan yang mengutamakan hasil-hasil material dan lebih menekankan
pada target.
Secara umum community development adalah kegiatan pengembangan
masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk
memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas
kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan
berikutnya. Dengan dasar itulah maka pembangunan masyarakat secara umum ruang
lingkup program-programnya dapat dibagi berdasarkan kategori sebagai berikut : (1)
community service, (2) community empowering, dan (3) community relation (Rudito
& Budimanta, 2003 : 29, 33).
Solihin (2006), mengungkapkan tiga tahapan perencanaan pembangunan yaitu :
(1) perumusan dan penentuan tujuan, (2) pengujian atau analisis opsi atau pilihan
yang tersedia, dan (3) pemilihan rangkaian tindakan atau kegiatan untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan dan telah disepakati bersama. Dari ketiga tahapan
perencanaan tersebut dapat didefenisikan perencanaan pembangunan wilayah atau
dearah sebagai berikut yaitu : suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku (aktor)
baik umum (publik) atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat
stakeholder lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling
ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial, ekonomi dan aspek lingkungan
lainnya. Selanjutnya Adi (2003 : 81-82), pada perencanaan sosial tidak ada asumsi

yang pervasif mengenai tingkat intraktabilitas ataupun konflik kepentingan. Dalam
perencanaan sosial klien lebih dilihat sebagai konsumen dari suatu layanan (service),
dan mereka akan menerima serta memanfaatkan program dan layanan sebagai hasil
dari proses perencanaan.
Suzetta (2007) menjelaskan bahwa, Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, telah dijabarkan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39
dan No. 40 Tahun 2006. Sistem perencanaan ini diharapkan dapat mengkoordinasikan
seluruh upaya pembangunan yang dilaksanakan oleh berbagai pelaku pembangunan
sehingga menghasilkan sinergi yang optimal dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita
bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka Proses perubahan sosial (atau
“pembangunan”) tersebut perlu dilakukan secara terencana, terkoordinasi, konsisten,
dan berkelanjutan, melalui “peran pemerintah bersama masyarakat” dengan
memperhatikan kondisi ekonomi, perubahan-perubahan sosio-politik, perkembangan
sosial-budaya yang ada, perkembangan ilmu dan teknologi, dan perkembangan dunia
internasional atau globalisasi.

G.

Hambatan-Hambatan Dalam Perencanaan Partisipatif
Pemerintah Indonesia Telah Meyakini Bahwa Partisipasi Rakyat Dalam

Pembangunan Nasional Merupakan Salah Satu Prasyarat Utama Untuk Keberhasilan
Proses Pembangunan di Indonesia. Kemauan pemerintah untuk memahami
pentingnya partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan langkah maju. Namun
walaupun ada kemauan pemerintah, pelaksanaan konsep ini dilapangan masih cukup
banyak mengalami hambatan.
Hambatan pertama yang kita hadapi di lapangan dalam usaha melaksanakan
proses pembangunan yang partisipatif adalah belum dipahaminya makna sebenarnya
dan konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan. Definisi
partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencana dan pelaksana
pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak programprogram pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.
Definisi seperti ini mengasumsikan adanya subordinasi subsistem oleh suprasistem
dan bahwa subsistem adalah suatu bagian yang pasif dari system pembangunan
nasional. Di lapangan para perencana dan pelaksana menggunakan suatu konsep
hirarkis

dalam

menyeleksi

proyek

pembangunan

pedesaan.

Proyek-proyek

pembangunan pedesaan yang berasal dari pemerintah diistilahkan sebagai proyek

pembangunan yang dibutuhkan oleh rakyat, sedang proyek pembangunan yang
diusulkan oleh rakyat desa dianggap sebagai keinginan. Karena merupakan
“kebutuhan” maka proyek pemerintah itu harus dilaksanakan. Sedangkan karena
proyek yang diusulkan oleh rakyat hanya berupa keinginan maka proyek itupun
memperoleh prioritas yang rendah. Definisi lain dari partisipasi adalah kerjasama
antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan
mengembangkan hasil pembangunan. Karena partisipasi merupakan suatu kerjasama
maka dalam definisi ini tidak diasumsikan bahwa subsistem disubordinasikan oleh
suprasistem dan subsistem adalah sesuatu yang pasif dari suatu system pembangunan.
Subsistem dalam konteks definisi partisipasi yang kedua diasumsikan mempunyai
aspirasi, nilai budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan
pelaksanaan suatu program pembangunan. Definisi inilah yang berlaku secara
universal tentang partisipasi.
Hambatan kedua yang ditemukan di lapangan adalah reaksi balik yang dating
dari masyarakat sebagai akibat dari diberlakukannya pembangunan sebagai ideology
baru di Negara kita. Sebagai suatu ideologi maka pembangunan harus diamankan dan
dijaga dengan ketat. Persepsi seperti ini mendukung asumsi bahwa subsistem adalah
suatu subordinate dari suprasistem dan membuat subsistem menjadi bagian yang
benar-benar pasif. Pengamanan yang ketat terhadap pembangunan menimbulkan
reaksi balik dari masyarakat yang merugikan usaha membangkitkan kemauan rakyat
untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Reaksi balik itu berupa berbagai budaya
baru yang saat ini tumbuh dalam masyarakat. Di kalangan masyarakat, umpamanya
muncul budaya diam yang salah satu manifestasinya adalah keengganan anggota
masyarakat untuk mengevaluasi proses pembangunan secara kritis dan terbuka,
terlebih-lebih apabila kritik itu diucapkan di muka pejabat. Di kalangan aparat
pemerintah sendiri muncul budaya mencari selamat dalam artian ketakutan
kehilangan jabatan karena “dianggap gagal” melaksanakan pembangunan. Budaya
mencari selamat ini sering menimbulkan sikap otoriter dalam melaksanakan program
pembangunan dan tidak terbuka terhadap dinamika pembangunan yang hidup dalam
masyarakat. Ini dapat kita lihat dari berbagai “jargon” yang digunakan oleh para
pejabat dalam menghadapi dinamika pembangunan, seperti sebutan kata waton
suloyo, liberalistik dan sebagainya bagi mereka yang ingin mengucapkan kritik atau
aspirasi mereka perihal pembangunan. Semua ini menyebabkan lemahnya keinginan
rakyat untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan.

Disamping kedua hambatan tersebut, lemahnya kemauan rakyat untuk
berpartisipasi salam pembangunan berakar pada banyaknya peraturan/perundangundangan yang meredam keinginan rakyat untuk berpartisipasi. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 merupakan contoh dalam hal ini. Undang-Undang ini membuat
kekuasaan kepala desa dan pemerintah desa menjadi sedemikian kuatnya, yang
menyebabkan menonjolnya sifat aparat pemerintah yang hanya menjalankan perintah
dari atasan daripada seorang pengayom rakyatnya. Situasi seperti ini menjadi
bertambah kompleks sifatnya dengan masih adanya trauma G 30 S/PKI di kalangan
masyarakat pedesaan. Trauma yang membuat rakyat desa enggan untuk mengutarakan
pendapat atau kritik yang menyangkut pembangunan di desa mereka. Yang menarik
adalah bahwa trauma ini sering dipakai, yang seharusnya justru harus dihilangkan,
untuk meredam dinamika pembangunan yang hidup dalam masyarakat pedesaan.
Dari uraian di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan, Pertama, bahwa
partisipasi

rakyat

dalam

pembangunan

bukanlah

mobilisasi

rakyat

dalam

pembangunan. Partisipasi rakyat dalam pembangunan adalah kerjasama natara rakyat
dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan dan membiayai pembangunan.
Kedua, untuk mengembangkan dan melembagakan partisipasi rakyat dalam
pembangunan harus diciptakan suatu perubahan dalam persepsi pemerintah terhadap
pembangunan. Pembangunan haruslah dianggap sebagai suatu kewajiban moral dari
seluruh bangsa ini, bukan suatu ideology baru yang harus diamankan. Ketiga, untuk
membangkitkan partisipasi rakyat dalam pembangunan diperlukan sikap toleransi dari
aparat pemerintah terhadap kritik, pikiran alternatif yang muncul dalam masyarakat
sebagai akibat dari dinamika pembangunan itu sendiri, karena kritik dan pikiran
alternatif itu merupakan satu bentuk dari partisipasi rakyat dalam pembangunan.
Pemerintah dan aparatnya harus mau menghargai anak bangsa Indonesia yang mau
menunjukkan sedini mungkin kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah dan
aparatnya dalam melakukan pembangunan, bukan justru meredamnya sebelum
kesalahan itu menumbuhkan permasalahan baru yang menghambat laju pembangunan
itu sendiri.

Rangkuman :
Istilah Partisipasi menurut Mikkelsen biasanya digunakan di masyarakat dalam
berbagai makna umum, diantaranya: (2005, 53-54)
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek
(pembangunan), tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan.
2. Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam
rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.
3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun
kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai
otonomi untuk melakukan hal itu.
4. Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara komunitas lokal dan
pihak penyelenggara proyek dalam rangka persiapan, pengimplementasian,
pemantauan dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi
tentang konteks sosial maupun dampak sosial proyek terhadap masyarakat.
5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan
yang ditentukan sendiri oleh masyarakat.
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan
lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri.

Terdapat tiga unsur penting dalam partisipasi :
1. bahwa partisipasi/keikutsertaan/keterlibatan/peran serta, sesungguhnya
merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada sematamata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah.
2. kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan
kelompok, ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk
membantu kelompok.
3. unsur tanggung jawab. Unsur tersebut merupakan segi yang menonjol dari
rasa menjadi anggota. Diakui sebagai anggota artinya ada rasa “sense of
belongingness”.

Tiga bentuk partisipasi (Chambers dalam Mikkelsen, 2005, 54):
1.

Cosmetic Label

Sering digunakan agar proyek yang diusulkan terlihat lebih cantik sehinga
lembaga donor maupun pihak pemerintah akan mau membiayai proyek tersebut.
2.

Coopting Practice
Digunakan untuk memobilisasi tenaga-tenaga di tingkat lokal dan mengurangi

pembiayaan pryek.
3.

Empowering Process
Dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan masyarakat lokal untuk

melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya,
mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri
tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka pilih.

Jenis-jenis Partisipasi
1. Pikiran (psychological participation)
2. Tenaga (physical participation)
3. Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation)
4. Keahlian (participation with skill)
5. Barang (material participation)
6. Uang (money participation)
Tipologi Partisipasi Masyarakat atau Individu
1. Passive

Participation,

masyarakat

berpartisipasi

karena

memang

diharuskan untuk ikut serta dalam proses pembangunan, tanpa ada kemampuan untuk
merubah.
2. Participation in information giving, partisipasi masyarakat hanya sebatas
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh perencana pembangunan dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Namun masyarakat tidak punya
kemampuan untuk mempengaruhi mempengaruhi dalam pembuatan pertanyaan, dan
tidak ada kesempatan untuk mencek ketepatan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan.
3. Participation by consultation, partisipasi masyarakat dilakukan dalam
bentuk konsultasi, ada pihak luar sebagai pendengar yang berusaha mendefinisikan
permasalahan yang dihadapi masyarakat dan merumuskan solusinya. Dalam proses
konsultasi ini tidak ada pembagian dalam penentuan keputusan, semua dikerjakan
oleh pihak luar yang diberi mandat untuk mngerjakan ini.

4. Participation for material incentives, partisipasi ini lebih pada masyarakat
memberikan sumber daya yang mereka punya seperti tenaga dan tanah, kemudian
akan diganti dalam bentuk makanan, uang, atau penggantian dalam bentuk materi
lainnya.
5. Functional participation, partisipasi masyarakat terjadi dengan membentuk
kelompok-kelompok atau kepanitiaan yang diprakarsai/ didorong oleh pihak luar.
6. Interactive participation, masyarakat dilibatkan dalam menganalisis dan
perencanaan pembangunan. Dalam tipe partisipasi ini, kelompok mungkin saja dapat
dibentuk bersama-sama dengan lembaga donor dan mempunyai tugas untuk
mengendalikan dan memutuskan semua permasalahan yang terjadi di tingkat lokal.
7. Self-mobilization, masyarakat secara mandiri berinisiatif untuk melakukan
pembangunan tanpa ada campur tangan dari pihak luar, kalau pun ada, peran pihak
luar hanya sebatas membantu dalam penyusunan kerangka kerja. Mereka mempunyai
fungsi kontrol penuh terhadap sumber daya yang akan digunakan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakatnya.
8. Catalysing change, Partisipasi dengan membentuk agen perubah dalam
masyarakat yang nantinya dapat mengajak atau mempengaruhi masyarakatnya untuk
melakukan perubahan.
9. Optimum Participation, lebih memfokuskan pada konteks dan tujuan dari
pembangunan dan itu akan turut menetukan bentuk dari partisipasi yang akan
dipergunakan. Partisipasi akan optimal jika turut memperhatikan secara detail pada
siapa yang akan berpartisipasi karena tidak semua orang dapat berpartisipasi, dan
dengan metode ini pula dapat membantu menentukan strategi yang optimal dalam
pembangunan.
10.Manipulation, ada sejumlah partisipasi namun tidak memiliki kekuasaan
yang nyata, masyarakat membentuk suatu kelompok atau kepanitiaan namun tidak
memiliki kekuasaan untuk menentukan arah pembangunan.
Persyaratan untuk dapat melaksanakan partisipasi secara efektif adalah sebagai
berikut :
1. Waktu
Untuk dapat berpartisipasi diperlukan waktu. Waktu yang dimaksud adalah
untuk memahami pesan yang disampaikan oleh pemrakarsa atau pimpinan.
Pesan tersebut mengandung informasi mengenai apadan bagaimana serta
mengapa diperlukan peran serta. Pesan-pesan itu disampaikan melalui

komunikasi yaitu usaha dan kegiatan untuk menumbuhkan pengertian yang
sama antara pemrakarsa/pimpinan yang disebut “komunikator” dan
penerima pesan “komunikan”. Pesan itu disampaikan dengan menggunakan
lambang-lambang yang mengandung arti, lambang itu harus dapat saling
dimengerti dan dipahami. Penyebaran pesan dilakukan melalui sarana atau
media tertentu seperti udara, radio, televise, surat kabar, surat dan
sebagainya sehingga komunikasi dapat menerima dan menafsirkannya serta
memahami apa yang dimaksud oleh komunikator.
2. Bilamana dalam kegiatan partisipasi ini diperlukan dana perangsang,
hendaknya

dibatasi

seperlunya

agar

tidak

menimbulkan

kesan

“memanjakan”, yang akan menimbulkan efek negatif.
3. Subyek partisipasi hendaklah relevan atau berkaitan dengan organisasi
dimana individu yang bersangkutan itu tergabung atau sesuatu yang menjadi
perhatiannya/interesnya.
4. Partisipasi harus memiliki kemampuan untuk berpartisipasi, dalam arti kata
yang bersangkutan memiliki ruang lingkup pemikiran dan pengalaman yang
sama dengan komunikator dan kalaupun belum ada, maka unsure-unsur itu
ditumbuhkan oleh komunikator.
5. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi timbal
balik, misalnya menggunakan bahasa yang sama atau yang sama-sama
dipahami, sehingga tercipta pertukaran pikiran yang efektif/berhasil.
6. Para pihak yang bersangkutan bebas didalam melaksanakan peran serta
tersebut sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
7. Bila partisipasi diadakan untuk menentukan suatu kegiatan hendaknya
didasarkan kepada kebebasan dalam kelompok, artinya tidak dilakukan
pemaksaan atau penekanan yang dapat menimbulkan ketegangan atau
gangguan dalam pikiran atau jiwa pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini
didasarkan kepada prinsip bahwa partisipasi adalah bersifat persuasif.

Definisi Perencanaan adalah sebagai berikut :
1. Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatankegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu
pada hakekatnya terdapat pada setiap jenis usaha manusia (Khairuddin, 1992 :
47).

2. Perencanaan adalah merupakan suatu upaya penyusunan program baik
program yang sifatnya umum maupun yang spesifik, baik jangka pendek
maupun jangka panjang (Sa’id & Intan, 2001 : 44 ).
3. Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan (Planning as Policy Analysis) yaitu,
merupakan tradisi yang diilhami oleh logika-logika berpikir ilmu manajemen,
administrasi publik, kebangkitan kembali ekonomi neoklasik, dan teknologi
informasi yang disebut sibernetika (Aristo, 2004).
Tiga alasan utama mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu
(Conyers, 1991, 154-155)
1. Alasan pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh
informasi mengenai kondisi, kebutuhandan sikap masyarakat setempat yang
tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
2. Alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau
proram pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan
perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program
tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut.
3. Alasan ketiga adalah karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak
demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan.
Alasan lainnya dikemukakan oleh Amartya Sen dimana Ia mengemukana ada 3
alasan mengapa harus ada demokasi dan Perencanaan Partisipatif (Amartya Sen,
1999:148)
1. Demokrasi dan partisipasi sangat penting peranannya dalam pengembangan
kemampuan dasar.
2. Instrumental role untuk memastikan bahwa rakyat bisa mengungkapkan dan
mendukung klaim atas hak-hak mereka, di bidang politik maupun ekonomi
3. Constructive role dalam merumuskan “kebutuhan” rakyat dalam konteks
sosial.
Terdapat tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan
pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik Political
Participation, 2) partisipasi sosial Social Participation dan 3) partisipasi warga
Citizen Participation/Citizenship, ke tiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.

Partisipasi

Politik,

political

participation

lebih

berorientasi

pada

”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga

pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan
itu sendiri.
2.

Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai
keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak
di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan
dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan
sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial
sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi
sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya
bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam
dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan
mobilisasi sosial.

3.

Partisipasi Warga, citizen participation/citizenship menekankan pada partisipasi
langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses
kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “dari
sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke
suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan
kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang
mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda dengan partisipasi sosial,
partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan
publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai
wahana pembelajaran.

Permasalahan Dalam Perencanaan Partisipatif :
1.

Keterlibatan masyarakat akan terjadi secara sukarela jika perencanaan dilakukan
secara desentralisasi, dan kegiatan pembangunan selalu diarahkan pada keadaan
atau kepentingan masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi maka partisipasi
masyarakat akan sulit terjadi karena masyarakat tidak akan berpartisipasi jika
kegiatan dirasa tidak menarik minat mereka atau partisipasi mereka tidak
berpengaruh pada rencana akhir.

2.

Partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak mengetahui
atau tidak mempunyai gagasan mengenai rangkaian pilihan yang seharusnya
mereka pilih, maka tidak mengherankan apabila masyarakat, terutama
masyarakat pedesaan, sering meminta hal-hal yang tidak mungkin atau hal lain

yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan mereka. Jadi ada kemungkinan
skala prioritas akan berbeda antara pihak pemerintah dan masyarakat.
3.

Batasan dari wilayah kerja dapat menjadi permasalahan, hal ini berkaitan
dengan batas wilayah administratif atau batas wilayah komunitas (adat).
Terkadang masyarakat yang akan dibina dibatasi oleh wilayah administratif
(negara), namun pada kenyataannya masyarakat yang akan dibina mempunyai
suatu ikatan (batasan adat) lain yang turut menetukan luas wilayah mereka. Hal
ini berkaitan dengan penentuan wilayah kerja dan pelibatan partisipasi
masyarakat.

4.

Permasalah lain adalah berkaitan dengan perwakilan yang ditunjuk, terkadang
wakil masyarakat yang ditunjuk sebagai penentu kebijakan atau dalam
pembuatan perencanaan sosial tidak mengakomodir elemen-elemen yang ada di
dalam masyarakat, perlu diingat bahwa masyarakat tidak selalu homogen. Maka
akan ada potensi konflik apabila perwakilan yang