BAB II LANDASAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Praktik Kerja Lapangan (PKL) Berdasarkan Stake Countenance Model Jurusan Akuntansi SMK Negeri 1 Salatiga

BAB II LANDASAN TEORI Kajian teori ini akan membahas beberapa bagian

  sebagai berikut: a) Teori Belajar terkait Program Praktik Kerja Lapangan (PKL), b) Program PKL, c) Evaluasi Program, d) Model Evaluasi Stake Countenance, e) Hasil Penelitian Relevan, f) Kerangka Berfikir.

2.1 Teori Belajar terkait Program PKL

  Terdapat dua teori belajar di tempat kerja yang pokok, terkait Program PKL, yaitu work-based learning dan situated learning.

2.1.1 Work-Based Learning (Pembelajaran Berbasis

  Kerja) Work-Based Learning (WBL) atau Pembelajaran

  Berbasis Kerja sebagai pendekatan pembelajaran memainkan peran dalam meningkatkan pengembangan program pendidikan di SMK. Belajar berbasis kerja adalah suatu strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pembelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa. (Depdiknas, 2003:11).

  WBL menjadi tren dalam pendidikan SMK, karena mempengaruhi kepuasan pembelajar dan meningkatkan peran tutor dalam pembelajaran (Woltering, Herrler, Spitzer, & Spreckelsen, 2009:1131). “Credit for Work-based learning may begained in work

  

related context within a module or programme of study

offered or recognised by the university and its patners.

  (Birmingham University, 2008:2). Bern dan Erikson (2001:8) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis kerja terintegrasi dengan materi di kelas untuk kepentingan para siswa dalam memahami dunia kerja. Raelin (2008:2) menyatakan bahwa, WBL secara ekspresif menggabungkan antara teori dengan praktik, pengetahuan dengan keterampilan. WBL mengakui bahwa tempat kerja menawarkan kesempatan yang banyak untuk belajar seperti di ruang kelas. Sistem magang/PKL merupakan salah satu bentuk WBL.

  Dalam sistem ini siswa belajar dengan seorang ahli atau maestro melalui pengamatan dan imitasi perilaku dan cara kerjanya dengan intens sehingga bisa mendapatkan pengalaman spesifik.

  Dari beberapa pendapat di atas, Work-Based

  

Learning (WBL) atau Pembelajaran Berbasis Kerja merupakan pendekatan pembelajaran yang menggabungkan antara teori dengan praktik, pengetahuan dengan dunia nyata, muncul karena adanya tuntutan untuk mencapai mutu pendidikan yang lebih tinggi, efisiensi dan keterkaitan pendidikan dengan pekerjaan. Teori WBL juga diperlukan karena menyediakan ketrampilan profesional untuk membantu peserta didik membuat transisi dari sekolah ke bekerja, dalam program pendidikan praktik yang dilaksanakan di industri.

2.1.2 Situated Learning ( Pembelajaran Situasional)

  Situated Learning adalah merupakan teori belajar

  yang mempelajari gabungan pengetahuan dan keterampilan yang digunakan di dunia kerja (Brown, 1998). Stein (1998:1) mengidentifikasi empat prinsip terkait dengan situated learning, yaitu: (1) belajar berakar pada kegiatan sehari-hari (everyday cognition), (2) pengetahuan diperoleh secara situasional dan transfer berlangsung hanya pada situasi serupa (context), (3) di samping pengetahuan deklaratif dan prosedural, belajar merupakan hasil dari proses sosial yang mencakup cara-cara berpikir, memandang sesuatu, pemecahan masalah, dan berinteraksi (4) belajar merupakan hal yang tidak terpisahkan dari dunia tindakan tetapi eksis di dalam lingkungan sosial yang sehat dan komplek, yang meningkatkan aktor, aksi, dan situasi. Dari keempat prinsip ini, prinsip yang kedua yaitu lingkungan yang serupa dengan dunia kerja yang sebenarnya diperlukan oleh sekolah. Lingkungan belajar yang memberikan pengalaman siswa yang mendukung kerja di industri adalah lingkungan industri sendiri.

2.2 Praktik Kerja Lapangan (PKL)

2.2.1 Pengertian Praktik Kerja Lapangan (PKL)

  Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan syarat mutlak penyelenggaraan pendidikan vokasi di SMK. Hal inilah yang menjadi dasar utama bagi sebagian besar SMK dalam melaksanakan PKL. Program PKL bagi siswa SMK mulai dilaksanakan sejak dicanangkannya kurikulum 1994 dengan konsep magang. Seiring dengan beberapa kali pergantian kurikulum SMK maka istilah untuk program praktik bagi siswa SMK ini pun berubah-ubah disesuaikan dengan standar dari kurikulum yang berlaku pada saat itu. Mulai dari istilah Magang, PKL (Praktik Kerja Lapangan), Prakerin (Praktik Kerja Industri), OJT (On the Job Training), PSG (Pendidikan Sistem Ganda), dan saat ini istilah yang dipakai kembali menjadi PKL (Praktik Kerja Lapangan) sesuai dengan Pedoman Praktik Kerja Lapangan (PKL) dari Direktorat Pembinaan SMK Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Direktorat Pembinaan SMK, 2017).

  Praktik kerja lapangan yang merupakan bagian dari kegiatan penerapan Program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) adalah program wajib yang harus diselenggarakan oleh sekolah, khususnya SMK dan pendidikan luar sekolah serta wajib diikuti oleh siswa/ warga belajar (Dikmenjur: 2008).

  Dipandang dari sudut pandang pendidikan, Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan salah satu muatan (content) kurikulum suatu lembaga pendidikan kejuruan. PKL tersebut dimaksudkan untuk memberikan wawasan praktis berdasarkan teori-teori yang dipelajari di SMK. (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 36 ayat [3] huruf f jo Pasal 37 ayat [1]).

  Menurut Direktorat Pembinaan SMK, pembelajaran di Dunia Usaha/ Dunia Industri (Institusi Pasangan) adalah program PKL yaitu kegiatan pembelajaran praktik untuk menerapkan, memantapkan, dan meningkatkan kompetensi peserta didik. (Kemdikbud, 2017:2).

  Sedangkan dari sudut pandang ketenagakerjaan, PKL adalah salah satu wujud pelatihan di tempat kerja (on the job training) atau OJT karena PKL hanya merupakan (salah satu) muatan kurikulum SMK maka ketentuan mengenai hak-hak/kewajiban-kewajiban siswa PKL dengan Institusi Pasangan (IP) diatur dan disepakati diantara para pihak. (Undang-undang Nomor

  13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 13 ayat [2]).

  Menurut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 03/M-IND/PER/1/2017 tentang “Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan Berbasis Kompetensi yang Link and match dengan Industri” dijelaskan bahwa praktik kerja lapangan adalah praktik kerja pada industri atau perusahaan sebagai bagian kurikulum pendidikan kejuruan untuk meningkatkan kompetensi.

  Dari berbagai pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan penyelenggaraan praktek kerja di institusi kerja pasangan (perusahaan; jasa, dagang, industri), secara sinkron dan sistematis, bertujuan menghantarkan peserta didik pada penguasaan kemampuan kerja tertentu, sehingga menjadi lulusan yang berkemampuan relevan seperti yang diharapkan.

2.2.2 Tujuan Program Praktik Kerja Lapangan

  Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang diwujudkan dalam bentuk kerja di suatu perusahaan, dimaksudkan selain sebagai salah satu syarat tugas akhir bagi siswa SMK kelas XI atau kelas XII, PKL juga sebagai kegiatan siswa untuk mencari pengalaman kerja sebelum memasuki dunia kerja yang sesungguhnya.

  Pelaksanaan PKL juga dapat memberikan nilai tambah bagi SMK, seperti pemenuhan persyaratan akreditasi dan upaya pembangunan reputasi sekolah. Adapun tujuan diadakan pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan (PKL) antara lain :

1. Untuk memperkenalkan siswa pada dunia usaha 2.

  Menumbuhkan & meningkatkan sikap profesional yang diperlukan siswa untuk memasuki dunia usaha

  3. Meningkatkan daya kreasi dan produktifitas tehadap siswa sebagai persiapan dalam menghadapi atau memasuki dunia usaha yang sesungguhnya

  

4. Meluaskan wawasan dan pandangan siswa terhadap jenis-

jenis pekerjaan pada tempat kerja. (

  Depdiknas , 2003: 2-3)

  Menurut Pedoman Penilaian Hasil Belajar pada SMK penerapan kurikulum 2013 Edisi Revisi yang

  Praktik Kerja

  berlaku secara nasional, memuat tujuan

  Lapangan (PKL) antara lain sebagai berikut :

  1. Mengaktualisasikan model penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) antara SMK dan Institusi Pasangan (DU/DI) yang memadukan secara sistematis dan sistemik program pendidikan di sekolah (SMK) dan program latihan penguasaan keahlian di dunia kerja (DU/DI).

  2. Membagi topik-topik pembelajaran dari Kompetensi Dasar yang dapat dilaksanakan di sekolah (SMK) dan yang dapat dilaksanakan di Institusi Pasangan (DU/DI) sesuai dengan

sumber daya yang tersedia di masing-masing pihak.

  3. Memberikan pengalaman kerja langsung (real) kepada peserta didik dalam rangka menanamkan (internalize) iklim kerja positif yang berorientasi pada peduli mutu proses dan hasil kerja.

  4. Memberikan bekal etos kerja yang tinggi bagi peserta didik untuk memasuki dunia kerja dalam menghadapi tuntutan pasar kerja global. (

  Kemdikbud, 2015: 45 ). Sementara berdasarkan Pedoman Praktik Kerja

  Lapangan (PKL) tahun 2017 diuraikan tujuan PKL adalah:

  1. Memberikan pengalaman kerja langsung (real) kepada peserta didik dalam rangka menanamkan (internalize) iklim kerja positif yang berorientasi pada peduli mutu proses dan hasil kerja.

  2. Menanamkan etos kerja yang tinggi bagi peserta didik untuk memasuki dunia kerja dalam menghadapi tuntutan pasar kerja global.

3. Memenuhi hal-hal yang belum dipenuhi di sekolah agar mencapai keutuhan standar kompetensi lulusan.

  4. mengaktualisasikan salah satu bentuk aktivitas dalam penyelenggaraan Model Pendidikan Sistem Ganda (PSG) antara SMK dan Institusi Pasangan Du/Di yang memadukan secara sistematis dan sistemik. (Direktorat Pembinaan SMK, 2017: 4).

  Tujuan pembelajaran dengan Program PKL dalam perkembangannya dipengaruhi dinamika kehidupan masyarakat, dituntut untuk mampu mengantarkan peserta didik menjadi lulusan SMK yang memiliki pengetahuan, etos kerja, dan keterampilan yang memadai sebagai bekal untuk bersaing memasuki dunia kerja. (Surachim, 2016: 16).

  Dari uraian di atas, diketahui bahwa tujuan dari Program PKL adalah untuk memperkenalkan siswa pada Dunia Usaha/ Dunia Industri (DUDI) dengan praktik kerja langsung di perusahaan ataupun di suatu instansi guna menumbuhkan dan meningkatkan sikap profesional yang diperlukan siswa untuk memasuki dunia kerja.

2.2.3 Komponen Praktik Kerja Lapangan

  Menurut Surachim (2016: 57), Efektivitas PKL di SMK berkaitan dengan interaksi antara komponen- komponen yaitu; institusi pasangan, program pendidikan dan pelatihan bersama, kelembagaan kerjasama, nilai tambah dan jaminan keberlangsungan.

  Kontribusi yang sinkron dan dinamis dari setiap komponen pendukung diharapkan melahirkan pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan di SMK.

  a. Institusi Pasangan (IP) Institusi pasangan yaitu dunia usaha/ industri atau lembaga lainnya yang menjadi mitra SMK dalam Program PKL, yang terlibat langsung dalam kerjasama pelaksanaan PKL, meliputi; personil SDM, peralatan, bahan, waktu, penyusunan program, dan pendanaan, yang bertujuan agar peserta PKL dapat melaksanakan tugasnya sesuai keahlian yang diminatinya, memperoleh pengalaman kerja, serta menerapkan disiplin kerja sesuai dengan kebutuhan pasar.( Surachim, 2016: 24).

  b. Program Pendidikan dan Pelatihan Bersama PKL adalah program pendidikan dan pelatihan bersama antara SMK dan IP-nya, disusun dan disepakati bersama, dilaksanakan dan dievaluasi bersama berdasarkan standar keahlian tamatan (Standar Profesi), standar pendidikan dan pelatihan, sistem penilaian dan sertifikasi. (Surachim, 2016: 61).

  Program-program dalam kurikulum yang saat ini berlaku dan dikembangkan, disusun dengan mengacu pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengutamakan penyiapan tamatan agar dapat memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesional. Program pendidikan yang harus disepakati bersama tersebut paling tidak meliputi: 1) Standar profesi (standar kemampuan tamatan)

  PKL sebagai bagian integral pengembangan sumberdaya manusia bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Tujuan ini mengandung arti bahwa tamatan pendidikan sistem ganda harus memiliki kemampuan/ kompetensi yang dipersyaratkan oleh dunia usaha/ industri, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan perencanaan, penyelenggaraan dan penilaian pendidikan dan pelatihan harus mengacu pada pencapaian standar kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan profesi. Oleh karena itu standar profesi harus memuat ukuran kemampuan dan menggambarkan kewenangan pada kurikulum masing-masing program studi.

  2) Standar pendidikan dan pelatihan Diperlukan suatu proses pendidikan dan pelatihan yang terstandar dengan ukuran materi, waktu dan metode pola pelaksanaan untuk mencapai kewenangan dan penguasaan standar kemampuan tamatan yang telah ditetapkan. Komponen pendidikan dan pelatihan kejuruan meliputi; teori kejuruan, praktik dasar kejuruan, dan praktik keahlian kejuruan. Standar pendidikan dan pelatihan diperlukan mengingat keberhasilan pembelajaran dalam dinamikanya harus selaras dengan kebutuhan sektor-sektor pembangunan dan dunia kerja yang terus berkembang. 3) Standar penilaian dan sertifikasi

  Pengujian terhadap siswa diperlukan untuk mengetahui keberhasilan dalam mencapai kemampuan sesuai dengan profesi yang telah ditetapkan. Bagi siswa yang telah menguasai kemampuan yang dipersyaratkan dinyatakan lulus dan dibekali dengan sertifikat dari tim penguji yang berasal dari pihak SMK, dunia usaha/industri, asosiasi profesi, dimana terdapat dua jenis penilaian yaitu penilaian hasil belajar dan penilaian penguasaan keahlian.(Surachim, 2016: 61-65).

2.2.4 Pedoman Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan

  Program PKL dalam kurikulum 2013 Edisi Revisi yang berlaku secara nasional, yang saat ini berlaku disusun dengan mengacu pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengutamakan penyiapan tamatan agar dapat memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesional. Program PKL dalam penerapannya minimal menggunakan 4 standar dari 8 standar dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) sesuai Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2015 yaitu; a) Standar kompetensi Lulusan Pendidikan Menengah Kejuruan, b) Standar Isi Pendidikan Menengah Kejuruan, c) Standar Proses Pendidikan Menengah Kejuruan, d) Standar Penilaian Pendidikan Menengah Kejuruan. (Direktorat Pembinaan SMK, 2017:3).

  Pedoman PKL disusun dan dikembangkan untuk mendukung pola pengelolaan PKL yang akan atau sedang dijalankan agar lebih efektif. Pedoman berikut instrument didalamnya dapat digunakan sebagai SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam penyelenggaraan Program PKL. Program PKL di SMK dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

  2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor

  13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri.

  5. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI);

  6. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan dalam Rangka

  Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia.

  7. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 03/M-

  IND/PER/1/2017 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan Berbasis

Kompetensi yang Link and Match dengan Industri.

  8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemangangan di Dalam Negeri.

  9. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor .... Tahun 2017 tentang Standar Komptensi Lulusan Pendidikan Menengah Kejuruan.

  10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor .... Tahun 2017 tentang Standar Isi Pendidikan Menengah Kejuruan.

  11. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor .... Tahun 2017 tentang Standar Proses Pendidikan Menengah Kejuruan.

  12. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor .... Tahun 2017 tentang Standar Penilaian Pendidikan Menengah Kejuruan

  13. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor

  60 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan.

  14. Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud No. 4678/D/KEP/MK/2016 tentang Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan.

  15. Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud No. 130/D/KEP/KR/2017 tentang Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah Kejuruan. (Direktorat Pembinaan SMK, 2017: 2-4).

  Sesuai dengan perkembangan jaman, aturan penyelenggaraan PKL diperbarui dengan penerapan Kurikulum 2013 Edisi Revisi yang berlaku secara nasional dengan penetapan pedoman penilaian PKL yang memuat aturan lebih teknis penyelenggaraan PKL yang meliputi; a) pencarian DUDI (Benchmark), b) perencanaan, c) seleksi, d) manajemen PKL, e) monitoring dan evaluasi, dan f) penilaian, laporan dan penutupan program. (Kemdikbud, 2016: 18-22).

  Penyempurnaan aturan PKL oleh pemerintah terus dilakukan dengan diterbitkannya aturan terbaru yaitu Pedoman Praktik Kerja Lapangan (PKL) tahun 2017 yang meliputi; a) pendahuluan, b) konsep dan pola praktik kerja lapangan, c) deskripsi program PKL yang memuat antara lain; (1) alur pelaksanaan PKL, (2) perencanaan program PKL, (3) pelaksanaan program PKL, (4) penilaian PKL. (Direktorat Pembinaan SMK, 2017). Pedoman PKL sebagai Juknis PKL disusun dengan tujuan antara lain untuk; a) menyediakan rujukan yang jelas dan sederhana tentang Program PKL yang dapat digunakan untuk jangka panjang, b) sarana untuk untuk menyamakan pemahaman, mengakomodasi harapan dan kepentingan semua pihak yang terkait Program PKL, c) sarana untuk dapat melakukan monitoring, evaluasi dan perbaikan program, d) menyajikan instrumen-instrumen untuk penyelenggaraan PKL, e) bahan pembelajaran dan model untuk direplikasi (Good Practice Sharing). (Kemdikbud, 2016: 8).

  Pedoman PKL 2017 tersebut mengacu pada aturan kurikulum 2013 Edisi Revisi yang berlaku secara nasional yang tertuang dalam Panduan Penilaian Hasil Belajar pada SMK yang berbunyi:

  “Memperhatikan Permendikbud Nomor 60 Tahun 2014, waktu pelaksanaan pembelajaran di Institusi Pasangan/Industri dapat dilakukan pada kelas XI atau kelas

  XII. Untuk menjamin keterlaksanaan program PKL maka

dapat dilakukan alternatif pengaturan sebagai berikut:

1) Jika program PKL akan dilaksanakan pada semester 4 kelas XI, sekolah harus menata ulang topik-topik pembelajaran pada semester 4 dan semester 5, agar pelaksanaan PKL tidak mengurangi waktu untuk pembelajaran materi pada semester 4 sehingga sebagian materi pada semester 4 tersebut dapat ditarik ke semester 5. 2) Demikian juga sebagaimana pada butir 1) di atas, jika program PKL akan dilaksanakan pada semester 5 kelas XII, sekolah harus melakukan pengaturan yang sama untuk materi pembelajaran pada kedua semester tersebut. 3) Mengingat kebijakan UN yang tidak lagi menjadi salah satu faktor penentu kelulusan, maka program PKL dapat dilaksanakan sebelum UN pada semester 7 secara blok penuh selama 3 bulan (12 minggu) bagi SMK Program 4 Tahun.” (Direktorat Pembinaan SMK, 2015: 46).

  Dalam pelaksanaan Program PKL mencakup serangkaian fase yang membantu mengartikulasikan peran guru pengajar, guru pembimbing, peserta didik, dan pembimbing industri. Fase pembelajaran dalam Program PKL tersebut dilaksanakan dalam ruang lingkup PKL yang meliputi:

  1. Tahap I: Pengamatan. Peserta didik mengamati

kinerja dari suatu kegiatan di tempat PKL

kemudian merencanakan mengartikulasikannya

dalam suatu kegiatan nyata/riil.

  

2. Tahap II: Meniru tindakan (approximating). Peserta

didik meniru tindakan yang dilakukan oleh staf

Du/Di/ pembimbing industri. Peserta didik

mencoba melakukan kegiatan seperti yang

dilakukan oleh ahli dan membandingkannya

  3. Tahap III: Kerja dalam bantuan dan pengawasan.

  

Peserta didik mulai bekerja secara lebih rinci

dibawah pengawasan dan bantuan pembimbing

industri. Mereka bekerja sesuai dengan standar

tempat kerja. Kemampuan peserta didik

meningkat melalui bantuan ahli atau pembimbing

industri.

  4. Tahap IV: Bekerja Mandiri (Self-directed Learning).

  

Peserta didik hanya minta bantuan jika

diperlukan. Peserta didik mencoba tindakan nyata

di dunia kerja Du/Di, namun tetap membatasi

dirinya untuk lingkup tindakan di lapangan yang

dipahami. Peserta didik melakukan tugas yang

sebenarnya dan hanya mencari bantuan bila

diperlukan dari ahli.

  5. Tahap V: Aktualisasi dan eksplorasi. Peserta didik

melakukan aktualisasi dan eksplorasi dalam

penerapan pengetahuan dan keterampilan yang

sudah dimiliki. Dalam tahap ini peserta didik

memberikan tanggapan terhadap pengembangan

metode kerja, prosedur kerja, formula dan hal lain

yang digunakan di Du/Di. (Hansman, 2001: 47)

  Guna merealisasikan pembelajaran dalam Program PKL yang efektif dan efisien, setiap sekolah melakukan penyusunan program pembelajaran yang dilakukan di sekolah dan di Institusi Pasangan/ DUDI. Sekolah menyusun program PKL yang memuat sejumlah Kompetensi Dasar yang akan dipelajari peserta didik di dunia kerja. KD yang tidak dapat dilakukan pembelajarannya di industri wajib dilaksanakan di sekolah. (Direktorat Pembinaan SMK, 2017:20).

  Penyusunan Program PKL melibatkan praktisi ahli yang berpengalaman di bidangnya untuk memperkuat pembelajaran dengan cara pembimbingan. PKL disusun bersama antara sekolah dan industri yang menjadi Institusi Pasangan dalam rangka memenuhi kebutuhan peserta didik, sekaligus merupakan wahana bagi DUDI untuk berkontribusi dalam upaya pengembangan sumber daya manusia. Rancangan Program PKL sebagai bagian integral dari program pembelajaran perlu memperhatikan kesiapan Institusi Pasangan. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan, penempatan peserta didik tepat sasaran.

2.3 Evaluasi Program

2.3.1 Pengertian Evaluasi Program

  Menurut Arikunto dan Jabar (2014:7), evaluasi program merupakan penelitian evaluatif yang dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari sebuah program kebijakan, yaitu mengetahui hasil akhir dari adanya kebijakan dalam rangka menentukan rekomendasi kebijakan atas kebijakan yang lalu dengan tujuan untuk menentukan kebijakan selanjutnya.

  Evaluasi program adalah metode sistematik untuk mengumpulkan, menganalisis, dan memakai informasi untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai program. Semua program perlu dievaluasi untuk menentukan apakah layanan atau intervensinya telah mencapai tujuan yang ditetapkan. (Wirawan, 2011: 17).

  Menurut Gall, Gall and Borg (2007:559) “educational evaluation is the process of making

  

judgments about the merit, value, or worth of educational

programs”. Dapat diartikan bahwa evaluasi pendidikan

  adalah proses membuat penilaian tentang prestasi, nilai, atau nilai program pendidikan Lebih lanjut Stufflebeam, Madaus dan Kellaghan

  (2002:280) menerangkan bahwa evaluasi program merupakan:

  “...the process ofdelineating, obtaining, reporting, and applying descriptive and judgmental information about some object’s meritand worth in order to guide decision making, support accountability, disseminate effective practices, and increase understanding of the involved phenomena”.

  Proses menggambarkan, pelaporan dan menerapkan informasi deskriptif dan mempertimbangkan beberapa obyek prestasi dan layak untuk dasar pengambilan keputusan, mendukung akuntabilitas, menyebarkan praktek-praktek yang efektif, dan meningkatkan pemahaman fenomena program.

  Dari beberapa pengertian evaluasi program di atas dapat dipahami bahwa evaluasi program adalah rangkaian kegiatan pengumpulan informasi tentang keterlaksanaan suatu program sehingga diperoleh fakta pelaksanaan, sehingga dapat digunakan sebagai masukan dalam menentukan pilihan dalam pengambilan sebuah keputusan.

2.3.2 Tujuan Evaluasi Program

  Secara umum kita kenal ada dua macam tujuan evaluasi, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen. Menurut Arikunto dan Jafar (2010:19) tujuan evaluasi program adalah untuk mengetahui seberapa efektif program yang sudah dilaksanakan, sedang tujuan kususnya adalah mengetahui seberapa tinggi kinerja masing-masing komponen sebagai faktor penting yang mendukung kelancaran proses dan pencapaian tujuan.

  Tujuan diadakannya evaluasi program adalah untuk mengetahui pencapaian tujuan program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator program ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan komponen dan subkomponen program, dan apa sebabnya jika belum terlaksana. (Arikunto dan Jabar, 2014:18).

  Kirkpatrick (2006:17) menambahkan ada tiga alasan mengapa diperlukan evaluasi program, yaitu; a) untuk menunjukan eksistensi dan dana yang dikeluarkan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran program yang dilakukan, b) untuk memutuskan apakah kegiatan yang dilakukan akan diteruskan atau dihentikan, c) untuk mengumpulkan informasi bagaimana cara untuk mengembangkan program di masa mendatang.

  Ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil evaluasi sebuah program, yaitu; a) menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan, b) merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit, c) melanjutkan program, karena pelaksanaan program sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat, d) menyebarluaskan program, karena program berhasil dengan baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain. (Arikunto dan Jabar, 2014:22).

  Dalam merancang dan mendesain evaluasi, evaluator harus menentukan model evaluasi apa yang akan dipergunakan. Menurut Wirawan (2011: 80-124) terdapat berbagai model evaluasi program yaitu: a) model evaluasi berbasis tujuan, b) model evaluasi bebas tujuan, c) model evaluasi formatif, d) model evaluasi sumatif, e) model evaluasi CIPP, f) model evaluasi adversari, g) model evaluasi stake countenance, h) model evaluasi ketimpangan, i) model evaluasi sistem analisis, j) model evaluasi bangku ukur, k) model evaluasi kotak hitam, l) model evaluasi konosursip dan kritikisme, m) model evaluasi terfokus utilisasi, n) akreditasi, o) theory-driven evaluation model, dan p) model evaluasi semu.

  Selanjutnya, dalam penelitian ini lebih fokus pada salah satu dari model-model evaluasi di atas, yaitu model evaluasi stake countenance (Countenance Evaluation Model).

2.4 Model Evaluasi Program Stake Countenance

  (Countenance Evaluation Model)

2.4.1 Pengertian Evaluasi Model Stake Countenance

  Menurut Arikunto dan Jabar (2014:43), evaluasi

  

stake countenance merupakan jenis evaluasi program

  yang dianggap cukup memadai dalam menilai program secara kompleks. Model ini dikembangkan oleh Robert Stake. Kata Countenance berasal dari kata bahasa Inggris yang berarti menyetujui atau persetujuan. Sedangkan secara istilah evaluasi countenance berarti evaluasi yang menekankan pelaksanaan deskripsi dan penilaian. Kaitan arti dengan asal kata tersebut adalah pada pertimbangan yang diperoleh dari evaluator sehingga menimbulkan keputusan atau persetujuan tentang suatu hal.

  Perhatian utama Stake (2004:376) adalah orientasi sekitar program pendidikan bukan pada produk pendidikan karena nilai produk tergantung pada penggunaan program. Stake memperkenalkan konsep evaluasi yang berorientasi pada sifat dinamis dan kompleks pendidikan, yang efektif untuk tujuan beragam dan penilaian dari praktisi.

  Model Countenance adalah model pertama evaluasi kurilulum. Tujuan dari model Stake

  

Countenance adalah melengkapi kerangka untuk

pengembangan suatu rencana penilaian kurikulum.

  Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi formal, suatu kegiatan evaluasi yang sangat tergantung pada pemakaian “checklist, structured visitation by peers,

  

controlled comparisons, and standardized testing of

students” (Hasan, 2008:207). Dalam hal checklist

  disebutkan bahwa terdapat lima ketegori yaitu; a) obyektivitas atau tujuan evaluasi, b) spesifikasi program meliputi filsafat pendidikan yang dianut pada mata pelajaran, tujuan pembelajaran, dan lain sebagainya, c) outcome program, seperti pengalaman belajar, pencapaian hasil siswa, d) hubungan dan indikator mencakup kongruensi kenyataan dan harapan, kontingensi meliputi sebab akibat, e) judgment nilai. Oleh karena itu model stake countenance bersifat arbitraty dan tidak perlu dianggap sebagai suatu yang mutlak. (Hasan, 2008:201)

  Menurut Arikunto dan Jabar, 2014:43, evaluasi model stake countenance terdiri dari tiga tahapan yaitu; masukan (antecedents), proses (transactions), dan dampak/hasil (outputs/outcomes). Penekanan model ini adalah bahwa suatu evaluasi menekankan adanya pelaksanaan dua hal pokok, yaitu melakukan penggambaran (description) dan pertimbangan (judgement) mengenai sesuatu yang dievaluasi. Anteseden merujuk pada kondisi yang ada (persyaratan awal) sebelum implementasi program dan yang terkait dengan outcome. Transaksi adalah pergantian aktivitas yang membentuk proses (dengan kata lain, proses pembelajaran atau aspek pendidikan pada program). Outcome, merujuk pada hasil belajar siswa. Outcome mencakup hasil-hasil langsung, jangka panjang, di bidang kognitif maupun afektif, baik yang bersifat individual maupun sosial.

  Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa model evaluasi Stake Countenance adalah model penelitian yang menekankan tiga komponen utama yaitu; masukan (antecedens), proses (transaction) dan dampak

  (outcomes) dengan memperhatikan kesesuaian dan ketergantungan antar komponen, dengan cara melakukan langkah pekerjaan evaluasi yaitu deskripsi, kemudian berdasarkan hasil deskripsi evaluator melakukan pertimbangan, membandingkannya dengan kondisi yang diharapkan. (Arikunto dan Jabar, 2014:54).

  Berikut ilustrasi model evaluasi Stake Countenance

  MAKSUD PENG- STAN- PENI- AMAT- DAR LAI- AN AN ANTESEDEN TRANSAKSI RASIONAL DAMPAK MATRIK MATRIK

  DESKRIPSI PERTIMBANG- AN Gambar 1

   Representasi grafis model Stake Countenance (Sumber: Arikunto & Jabar, 2014: 43).

2.4.2 Manfaat Evaluasi Model Stake Countenance

  Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan evaluasi model countenance adalah; a) memberikan gambaran yang menyeluruh tentang suatu program, mulai dari konteks awal hingga hasil yang dicapai, b) lebih komprehensif, lebih lengkap dalam menyaring informasi, c) adanya pertimbangan terhadap standar, evaluasi tidak hanya mengukur keterlaksanaan program sesuai rencana, akan tetapi juga dapat mengetahui ketercapaian standar yang telah ditentukan, d) adanya pertimbangan dari sekelompok orang yang berkualifikasi di bidangnya, evaluator dapat mengetahui hambatan atau faktor- faktor yang mempengaruhi ketercapaian program (Hasan, 2008: 208).

  Model Stake Countenance dimaksudkan guna memastikan bahwa semua data yang dikumpulkan, diolah untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan oleh stakeholder sehingga penilai harus mengumpulkan data deskriptif yang lengkap, antara lain tentang hasil belajar siswa dan data pelaksanaan PKL, dan hubungan antara kedua faktor tersebut. Di samping itu penilai harus mengumpulkan data pertimbangan- pertimbangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam Program PKL sehingga diketahui hambatan-hambatan Program PKL yang sudah berjalan dan alternatif pemecahannya.

  

2.4.3 Langkah-langkah Evaluasi Model Stake

Countenance

  Menurut Stake, evaluator harus melakukan dua perbandingan, yaitu; a) membandingkan kondisi hasil evaluasi program tertentu dengan yang terjadi di program lain, dengan objek sasaran yang sama, b) membandingkan kondisi hasil pelaksanaan program dengan standar yang diperuntukkan bagi program yang bersangkutan, didasarkan pada tujuan yang akan dicapai. (Arikunto dan Jabar, 2014:44).

  Langkah-langkah evaluasi Stake Countenance dilakukan dengan acuan matriks Countenance Stake

  

Model, yang terdiri atas dua matriks. Matriks pertama

  dinamakan Matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan Matriks Pertimbangan. Matriks Pertimbangan baru dapat dikerjakan oleh evaluator setelah Matriks Deskripsi diselesaikan. Matriks Deskripsi terdiri atas kategori maksud (intent) dan observasi. Matriks Pertimbangan terdiri atas kategori standard dan penilaian. Matrik deskripsi diklasifikasikan menjadi intent (maksud) dan observasi (pengamatan). Maksud (intent) mencakup tujuan program – tidak hanya outcome yang diinginkan terjadi pada siswa, namun juga outcome yang direncanakan untuk kondisi lingkungan. Ada dua cara utama untuk memproses data evaluasi deskriptif yaitu a) dengan berusaha menemukan kontingensi/ ketergantungan di antara anteseden, transaksi, dan outcome; dan b) berusaha menemukan kongruensi/ kesesuaian antara maksud dan observasi. Data tentang program dianggap sesuai jika apa yang diinginkan benar-benar terjadi, meskipun Stake mengakui bahwa tidak mungkin semua antesenden, transaksi, dan outcome yang diinginkan akan terjadi seperti yang diinginkan. Dengan merujuk pada data transaksi, Stake menegaskan bahwa evaluator harus mengamati dan mencatat dengan cermat data yang berasal dari proses transaksi dan interaksi. Hubungan diantara variabel memiliki signifikansi khusus pada evaluator. Matrik pertimbangan mencakup standar yang digunakan untuk membuat penilaian maupun penilaian aktual itu sendiri. Perlu dicatat bahwa kotak terpisah yang berada di sebelah kiri disebut rationale (alasan). Menurut Stake, evaluasi tidak lengkap tanpa pernyataan tentang alasan program. Pernyataan ini menunjukkan latar belakang filosofis dan tujuan dasar program dan memberi dasar untuk mengevaluasi maksud dari program itu sendiri. Penilaian dan proses mendapatkan manfaat suatu program karena merupakan bagian integral dari model tersebut. Ada dua standar untuk menilai karakteristik program pada Countenance Model yaitu; (a) mengevaluasi program berdasarkan standar absolut yaitu standar yang mencerminkan pendapat pribadi yang terkait dengan rencana program atau (b) standar relatif yaitu standar yang mencerminkan program serupa lainnya. (Hasan, 2008: 208-212)

  Evaluator harus memberikan pertimbangan mengenai kongruen (kesesuaian) yang terjadi antara rencana dengan kenyataan di lapangan. Evaluator juga harus memperhatikan kontingensi/ ketergantungan yang terdiri atas kontingensi logis dan kontingensi empirik. Kontingensi logis adalah hasil pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan atau keselarasan logis antara kotak anteseden dengan transaksi dan hasil. Ini adalah pertimbangan pertama yang harus dilakukan evaluator. Sedangkan kontingensi empirik adalah hasil pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan atau keselarasan empirik antara kotak anteseden dengan transaksi dan hasil berdasarkan data lapangan. (Hasan, 2008: 208-212)

  Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan evaluasi countenance tercakup dalam empat langkah pasti berdasarkan matriks yang ada, yaitu; (a) sehubungan dengan kategori maksud, evaluator dapat melakukan studi dokumen atau wawancara kepada pengembang program, baik berhubungan dengan anteseden (persyaratan awal), transaksi (proses) serta hasil (dampak). Pada langkah ini evaluasi dalam hal pembelajaran dapat dilakukan dengan mempersiapkan rencana yang dituangkan dalam silabus dan RPP, (b) sehubungan dengan kategori pengamatan, evaluator harus mengadakan analisis kongruen (perbedaan), yaitu menganalisa implementasi dari rencana pada intent (maksud), apakah sesuai atau terjadi penyimpangan. Jika terjadi penyimpangan faktor-faktor apa yang menyebabkannya, (c) tugas evaluator berikutnya adalah memberikan pertimbangan mengenai program yang sedang dikaji, oleh karenanya perlu standar yang dapat diperoleh dari sekolah, (d) dan yang terakhir adalah memberi pertimbangan terhadap hasil dari analisis ketiga kategori sebelumnya. (Hasan, 2008: 208-212)

2.4.3 Kelebihan dan Kekurangan Evaluasi Model

  Stake Countenance

  Menurut Hamid Hasan, (2008:212) kelebihan dari evaluasi model countenance antara lain; a) memiliki pendekatan yang holistic yang bertujuan memberikan gambaran yang sangat detail atau luas terhadap suatu proyek, mulai dari konteknya hingga saat proses penerapannya b) upaya untuk mendeskripsikan kompleksitas program sebagai realita yang mungkin terjadi, lebih komprehensif atau lebih lengkap menyaring informasi, c) mampu memberikan dasar yang baik dalam mengambil keputusan dan kebijakan maupun penyusunan program selanjutnya, d) dengan adanya pertimbangan evaluasi dapat mengetahui ketercapaian standar yang telah ditentukan serta dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat ataupun mendukung keberhasilan program. Sedangkan menurut Robinson (2006) kelebihan model stake

  

countenance yaitu bahwa model tersebut memiliki

  kehati-hatian dalam memberikan judgment mengenai nilai aspek yang bervariasi. Model ini juga dapat memfasilitasi sebuah pemahaman yang mendalam mengenai semua aspek program pembelajaran, yang tidak hanya memungkinkan evaluator untuk menentukan out come pembelajaran, tetapi juga menunjukkan alasan dan konsekuensi dampaknya. Model ini memberikan dasar yang kuat untuk memberikan rekomendasi dan judgment yang menarik atas nilai sebuah pembelajaran

  Sedangkan beberapa kelemahan dari evaluasi model countenance adalah; a) terlalu mementingkan proses seharusnya daripada kenyataan di lapangan, b) cenderung fokus pada rasional/ alasan manajemen daripada mengakui kompleksitas realitas empiris, c) penerapan dalam bidang pembelajaran di kelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi. (Hamid Hasan, 2008:212).

  Berdasarkan kelebihan dan kelemahan dari model evaluasi stake countenance tersebut, khususnya untuk mengevaluasi program pendidikan sekolah di luar kelas seperti Program PKL dianggap lebih tepat jika menggunakan model stake countenance tersebut.

2.5 Hasil Penelitian yang Relevan

  Penelitian mengenai Program PKL dengan model evaluasi Stake Countenance jarang dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Muliati A.M.

  

(2005/2007) dalam promosi doktornya di UNJ;

Basically Dual System of Education of Vocational High

School is educational training system for vocational

competence that is conducted in vocational schools and

business work to produce middle level workers with

special skills. Pada dasarnya Pendidikan Sistem Ganda

pada SMK adalah sistem pendidikan dan pelatihan

untuk memperoleh kemampuan tertentu, pembelajaran

di SMK dan bekerja di perusahaan untuk menghasilkan

tenaga kerja tingkat menengah yang mempunyai

keahlian tertentu.

  Penelitian lain oleh Jumardin (2011: 14-15) yang berjudul

  Evaluasi Program Praktik Kerja Lapangan

Siswa SMK Kesehatan Persada Wajo pada Institusi

Pasangan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan

  Program Praktik Kerja Lapangan (PKL) SMK Kesehatan Persada Wajo, yang meliputi: 1) perencanaan, 2) pelaksanaan, 3) hasil ujian teori kejuruan, dan 4) hasil ujian praktik kejuruan siswa dengan standar objektif. Penelitian tersebut menggunakan model Countenance

  

Stake yang menunjukkan hasil bahwa (1) Perencanaan

  (anteseden) program berada pada kategori baik dan sesuai dengan standar objektif, (2) Proses (pelaksanaan) program berada pada kategori baik dan sesuai dengan standar objektif, (3) Dampak (hasil) ujian teori kejuruan dan praktik kejuruan berada pada kategori baik dan sesuai standar objektif.

  Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh

Sundoyo & Sumaryanto (2012) dengan judul Evaluasi

Program Pendidikan Sistem Ganda Berdasarkan Stake

Countenance Model.

  Penelitian tersebut menyatakan bahwa Program PKL dapat dilaksanakan khususnya pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dengan memperbaiki kekurangan yang telah teridentifikasi. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa perlunya evaluasi untuk sebuah program untuk menyempurnakan program yang akan datang.

  Persamaan penelitian ini dengan penelitian Muliati (2005/2007), Jumardin (2011) dan Sundoyo,H., & Sumaryanto, T.(2012) dalam hal model evaluasi yang digunakan yaitu model stake countenance.

  Perbedaan penelitian ini dengan ketiga penelitian tersebut adalah fokus penelitian yang mengevaluasi secara menyeluruh dan lengkap terhadap Program PKL di satu jurusan di SMK sehingga lebih memberikan gambaran dan pertimbangan yang tepat karena dikaji lebih mendalam hingga dampak penyelenggaraan program bersumber laporan akhir hasil prestasi belajar siswa.

  Penelitian lain dari Kurniawan, Djasmi & Jaya (2015) yang berjudul Evaluasi Pelaksanaan Praktek

  

Kerja Industri Jurusan Akuntansi memiliki kesamaan

  dalam hal obyek penelitian, yaitu Program PKL di jurusan akuntansi SMK sehingga dalam lingkup penelitian yang lebih sempit pada jurusan akuntansi, akan nampak ketercapaian program PKL terutama terhadap pencapaian hasil kegiatan PKL. Ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak yang dihasilkan dari kegiatan PKL. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode evaluasi yang digunakan yaitu model evaluasi CIPP yang meliputi evaluasi terhadap Context (C), Input (I), Process (P), dan Product (P).

Dokumen yang terkait

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Model Penyajian Hasil Belajar Berbasis Web dan Tindak Lanjutnya dalam Kelas Online untuk Membantu Siswa Belajar Mandiri

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Model Penyajian Hasil Belajar Berbasis Web dan Tindak Lanjutnya dalam Kelas Online untuk Membantu Siswa Belajar Mandiri

0 0 89

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN SOFT SKILLS PADA PENYIAPAN PESERTA DIDIK PROGRAM STUDI KEAHLIAN TEKNIK PEMESINAN SMK NEGERI 2 SALATIGA DALAM MEMASUKI DUNIA USAHA DAN DUNIA INDUSTRI TESIS Diajukan Kepada Program Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan untuk

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Luaran Perilaku Berbagi-Pengetahuan pada Insan Intelektual: Studi pada Dosen PTS di Wilayah Kopertis 6

0 1 23

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Luaran Perilaku Berbagi-Pengetahuan pada Insan Intelektual: Studi pada Dosen PTS di Wilayah Kopertis 6

0 1 64

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Luaran Perilaku Berbagi-Pengetahuan pada Insan Intelektual: Studi pada Dosen PTS di Wilayah Kopertis 6

0 0 20

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Luaran Perilaku Berbagi-Pengetahuan pada Insan Intelektual: Studi pada Dosen PTS di Wilayah Kopertis 6

0 0 74

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Luaran Perilaku Berbagi-Pengetahuan pada Insan Intelektual: Studi pada Dosen PTS di Wilayah Kopertis 6

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Luaran Perilaku Berbagi-Pengetahuan pada Insan Intelektual: Studi pada Dosen PTS di Wilayah Kopertis 6

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Praktik Kerja Lapangan (PKL) Berdasarkan Stake Countenance Model Jurusan Akuntansi SMK Negeri 1 Salatiga

0 0 10