Pembangunan itu untuk siapa yang

Pembangunan Untuk
Siapa?
27 Feb 2015

Ruddy Agusyanto
Direktur Operasional di Pusat Analisa Jaringan Sosial (PAJS) dan Institut Antropologi Indonesia (IAI)

Kawasan Kumuh (ANTARAFOTO)
Paradigma pembangunan hampir selalu berorientasi ekonomi atau menempatkan indikator ekonomi sebagai indikator yang utama
untuk menentukan layak atau tidak, berhasil atau tidak nya sebuah program pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan sering
diidentikan dengan pembangunan menuju masyarakat industri (ekonomi dan perdagangan), sehingga sering pula negara menyerahkan
kepada investor termasuk pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Konsekuensinya, program-program pembangunan baik yang berlabel

berkelanjutan atau pun tidak sering berdampak pada

kerusakan lingkungan baik lingkungan biotik maupun abiotik, sebab untuk menjadi proyek pembangunan yang layak secara ekonomi
tidak mungkin hanya mengeksploitasi secukupnya. Akhirnya semua ini bermuara pada terganggunyamasalah keberlangsungan
ketersediaan sumberdaya energi dan pangan.


Dampak pembangunan tersebut (kerusakan lingkungan dan krisis sumberdaya energi atau pangan), kini sudah melanda dunia.
Indonesia juga sudah mulai merasakannya. Oleh karenanya dunia sering menyebut Indonesia sebagai paru-paru dunia, yang harus
dijaga demi eksistensi umat manusia.

Seiring berjalannya kerusakan lingkungan dan krisis energi atau pangan, lahirlah konsep pembangunan berwawasan lingkungan
belakangan ini. Pembangunan berwawasan lingkungan, yang sedang digalakan adalah yang mempertimbangkan kelestarian
lingkungan

biotik

dan

abiotik.

Namun,

jika

diperhatikan


dengan

seksama, paradigma

pembangunan

berwawasan

lingkungan inipun sesungguhnya tidak berubah. Manusia masih dipahami sebagai mahkluk ekonomi. Manusia juga diposisikan terpisah
dari lingkungannya (biotik dan abiotik) dan sosial-budayanya – bukan sebagai satu kesatuan yang utuh.

Konsekuensi lainnya, para perancang pembangunan akhirnya juga salah memahami masyarakat yang masih menjalankanpola hidup
subsisten, yaitu masyarakat-masyarakat non-industri. Pola hidup subsisten adalah sebuah way of life (Lee and Daly 1999). Masyarakat

yang mampu hidup subsisten hanyalah masyarakat yang mempunyai daya dukung lingkungan di tempat mereka hidup dan tinggal
yang memadai. Sebaliknya, masyarakat yang mempunyai teritori geografis dengan sumberdaya energy atau pangan yang terbatas,
tidak mungkin mampu menerapkan pola hidup subsisten.

Teritori masyarakat subsisten, yaitu tempat mereka tinggal dan hidup adalah gudang pangan atau energi. Mereka tidak memproduksi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan orientasi surplus (orientasi ekonomi). Alasannya, gudang pangan atau energi mereka sudah

lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh wargan. Kehidupan mereka sudah surplus sehingga mereka lebih berorientasi
pada menjaga kelangsungan sumber energi dan pangan mereka agar selalu tersedia cukup di sepanjang waktu (etnokonservasi).

Artinya, mereka lebih memikirkan eksistensi (manusia) untuk sepanjang masa. Bukan sebaliknya, seperti pemikiran pembangunan
yang hanya berorientasi puluhan tahun ke depan, setelah itu bingung dengan krisis energy dan pangan. Dengan demikian, pola hidup
subsisten haruslah dipahami sebagai prinsip hidup mandiri, bukan sebagai sistem ekonomi atau pekerjaan mereka yang
mengumpulkan pangan dan energi sebagai mata pencaharian hidup subsisten.

Berbeda dengan kita semua yang sudah hidup dalam masyarakat industri atau sudah menganut budaya industri. Kita tidak mungkin
mampu hidup subsisten, sebab teritori lingkungan hidup kita tak mempunyai daya dukung yang memadai. Masing-masing keluarga
sudah tidak memiliki gudang energi atau pangan.

Kita semua (masyarakat industri) dapat mempertahankan kehidupan tergantung pada akses terhadap sumberdaya energi atau pangan
di luar teritori kita, atau mengandalkan jasa (baik fisik ataupun ketrampilan atau keahlian) alias sebagai pekerja atau buruh industri.
Artinya, nasib kita tergantung pada pihak lain (ketergantungan) atau tidak mandiri.

Oleh karena itu, upaya kita untuk memperoleh atau mengumpulkan energi atau pangan (sebagai pekerja atau pedagang) dapat
dikategorikan sebagai mata pencaharian hidup. Berbeda dengan Orang Baduy Dalam misalnya. Ketika mereka lapar, tinggal pergi ke
gudang pangan mereka seperti kita pergi ke Warung Padang bukan seperti kita saat sedang bekerja. Jelas mereka lebih sejahtera
dibandingkan dengan kaum buruh pada masyarakat industri, sebab mereka mampu hidup mandiri. Bahkan, jika bersedia jujur maka

secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pola hidup subsisten adalah cita-cita umat manusia ibarat hidup di surga.

Dengan paradigma pembangunan yang demikian, dalam banyak kejadian, masyarakat yang tadinya sejahtera (masyarakat subsisten
seperti masyarakat Baduy Dalam, Anak Dalam, Wana dan seterusnya) justru menjadi tidak sejahtera karena imbas pembangunan.
Mereka menjadi salah satu target pembangunan, sebab teritori mereka adalah gudang pangan atau energi. Mereka harus patuh pada
kebijakan negara (apalagi mereka termasuk kategori golongan sosial yang lemah dalam konteks negara) seperti yang diungkapkan
oleh Kottak: "Each year, more and more foragers come under the control of nation-states and are influenced by forces of
globalization" (Kottak, 2011).

Banyak gudang pangan atau energi mereka dijadikan industri perkebunan, pertambangan, atau kawasan konservasi (hutan lindung)
oleh Negara. Dampak lainnya yang lebih tragis, tak jarang sebuah program pembangunan justru lebih mementingkan kelestarian flora
dan fauna, ketimbang kelestarian mereka sebagai umat manusia. Sebagai contoh, banyak hal dijadikan alasan untuk mengambil-alih
gudang pangan atau energi mereka - jenis binatang dan tumbuhan yang hampir punah harus dilindungi (dipayungi oleh hukum, bahkan
undang-undang) padahal mereka adalah konservator lingkungan yang patut menjadi contoh dunia sebab hingga kini gudang pangan
atau energi mereka tetap terpelihara dengan baik. Sebaliknya,ketika pembangunan telah mengambil-alih gudang energi atau pangan,
maka kerusakan lingkungan pasti terjadi dan kelangsungan hidup mereka menjadi terancam.

Akhir kata, kembali pada masalah pembangunan apapun labelnya, maka pertanyaan mendasar yang perlu digaris-bawahi adalah
apakah Negara sudah mampu menjamin keadilan subyektif semua warganya atau semua golongan sosial yang ada, dan sudah
mampu melindungi warga atau golongan sosial yang lemah. Jika hal ini belum dapat dipenuhi oleh Negara, maka pembangunan

tentunya akan dinikmati oleh mereka yang relatif kuat . Lalu, pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan
tersebut, sebenarnya untuk siapa?

https://www.selasar.com/politik/pembangunan-untuk-siapa

Dokumen yang terkait

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

IbM Pemanfaatan Biopestisida untuk Mengendalikan Hama Uret (Lepidiota stigma) Pada Tanaman Tebu

8 129 1

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

Aplikasi forecasting untuk memprediksi kepadatan penduduk di Dinas Kependudkan dan Catatan Sipil Kabupaten Aceh Timur

9 92 261

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46

Prosedur Verifikasi Internal Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat

2 110 1

Pengaruh Etika Profesi dan Pengalaman Auditor Terhadap Audit Judgment (Penelitian pada Kantor Akuntan Publik di Wilayah Bandung yang Terdaftar di BPK RI)

24 152 62