Prospek Usaha Penggemukan Daging Kambing

NAMA : ROBY SEPTIANTO
NIM

: 23010113140150

KELAS : D S1 PETERNAKAN

Prospek Usaha Penggemukan Daging
Kambing, Domba dan Sapi Potong
Daging merupakan salah satu penyumbang protein hewani, di samping susu dan telur.
Produksi daging sapi dalam negeri baru memenuhi 24% dari kebutuhan daging nasional.
Kebutuhan daging sapi nasional saat ini sekitar 385,03 ton/tahun, sedangkan produksi daging
nasional baru sekitar 249,92 ton/tahun. Artinya, masih terjadi kekurangan pasokan daging
sapi sebesar 35,1%. Hal itu yang menyebabkan pemerintah sering melakukan impor daging
sapi baik dalam bentuk ternak hidup, maupun daging beku.
Dalam jangka pendek, impor sapi memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
daging dalam negeri. Namun, dalam jangka panjang alangkah lebih baik jika industri sapi
potong dikembangkan dalam negeri. Jika industri sapi potong di Indonesia bisa
dikembangkan lagi banyak tenaga kerja yang bisa terserap. Bahkan bisa menciptakan peluang
usaha yang baru.
Usaha penggemukan ternak potong merupakan salah satu yang paling mudah

dilakukan oleh peternak pemula. Jenis ternak yang dapat digemukkan antara lain domba,
kambing, dan sapi. Ketiga hewan tersebut merupakan sumber pedaging utama di Indonesia.
Jumlah peternak yang menggeluti usaha penggemukan memang masih sedikit. Hal ini
terkait beberapa kendala yang dihadapi oleh peternak, seperti kecilnya keuntungan dari hasil
penggemukkan. Hal ini disebabkan, biaya penggemukan yang relatif tinggi dibandingkan
dengan keuntungan penjualannya.
Hal yang perlu diperhatikan agar peternak mendapatkan harga yang bagus adalah
harus memahami kondisi pasar dan menghasilkan ternak potong yang berkualitas untuk
dijual. Peternak harus jeli melihat pasar aman yang akan dibidik. Pada saat Hari Raya Idul
Fitri dan Idul Adha adalah saat yang baik untuk menjual sapi, kambing atau domba. Saat

tersebut harga melambung tinggi. Di luar pasar tersebut, usaha jasa akikah juga merupakan
pasar yang bagus.
Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70%, sedangkan
faktor genetik sekitar 30%. Pakan memengaruhi sekitar 60% dari keberhasilan usaha
penggemukan. Jadi, jika bakalan yang digunakan berkualitas baik, tetapi pakan yang
diberikan kurang tepat dapat mengakibatkan produksi yang optimal tidak akan tercapai.
Pakan juga menyumbang biaya produksi yang paling besar dalam usaha peternakan, yaitu
sekitar 60-80% dari keseluruhan biaya produksi.
Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan, sekitar 60-70%. Namun, ketersediaan

pakan hijauan sangat terbatas. Karena itu, pengembangan peternakan perlu diintergrasikan
dengan usaha pertanian sebagai strategi dalam penyediaan pakan ternak melalui optimalisasi
pemanfaatan limbah pertanian.
Tidak ada satu jenis dan formulasi pakan terhebat yang dapat diterapkan pada semua
usaha ternak potong yang tersebar di berbagai lokasi usaha. Yang ada adalah strategi untuk
mencari dan mengolah bahan pakan potensial setempat menjadi produk ekonomis yang aman,
sehat, utuh, halal, dan berkualitas. Dengan cara ini, peternak pemula ataupun berpengalaman
bisa menerapkan teknik pemberian pakan secara praktis, murah, dan berkualitas.
Sejarah industri penggemukan sapi potong berawal dari kondisi yang terjadi di
Indonesia yaitu makin terkurasnya sapi lokal yang ada. Seperti kita ketahui, ternak sapi
khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa
daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan
masyarakat. Dengan makin terkurasnya sapi lokal kita, maka mulai dicari solusi untuk
menanggulanginya yaitu salah satunya dengan mengoptimalkan berat potong sapi di
Indonesia melalui program penggemukan.
Pada pertengahan tahun 1980an Indonesia mulai mengembangkan penggemukan sapi
potong menggunakan sapi FH jantan. Seiring dengan perkembangannya pada awal tahun
1990an mulai berkembang industri penggemukan sapi potong ini dengan menggunakan sapi
bakalan import dari Australia.
Bersama itu pula berkembang penggunaan pakan sapi potong dengan bahan baku

limbah industri pertanian seperti onggok, gaplek, dedak, pollard, bungkil sawit dll yang

mempunyai harga relatif murah. Disamping itu juga permintaan daging yang terus meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar.
Pada saat ini sebagian besar produksi, konsumsi dan perdagangan produk peternakan
terkonsentrasi di beberapa negara / kawasan. Misal untuk beef, Amerika adalah negara
produsen yang sekaligus konsumen utama di dunia, karena 55% daging sapi dihasilkan dan
dikonsumsi di negara tsb. Jepang dan Korea produsen daging yang sangat kecil, tetapi
mengkonsumsi cukup tinggi (13%). Selain itu daging sapi memiliki kelompok konsumen
tertentu (menengah ke atas), sementara daging unggas konsumennya menengah ke bawah.
Harga daging sapi juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daging unggas.
Perkembangan populasi sapi (sapi potong dan sapi perah) di Indonesia dalam delapan
tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan. Berdasarkan data hasil Sensus Pertanian
tahun 2003 (ST03) populasi sapi di Indonesia tercatat 10,2 juta ekor. Jika populasi tahun
2003 ini dibandingkan dengan hasil awal PSPK2011 dimana populasi sapi di Indonesia
mencapai 15,4 juta ekor, maka rata-rata pertambahan per tahun populasi sapi selama 2003–
2011 sekitar 653,1 ribu ekor dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 5,32 persen per
tahun.
Secara regional/pulau rata-rata pertumbuhan per tahun populasi sapi yang tertinggi di
pulau Sumatera sebesar 9,66 persen. Pulau Jawa yang memiliki populasi sapi terbanyak di

Indonesia, mencatat pertumbuhan hanya 3,85 persen per tahun. Angka pertumbuhan sapi di
Pulau Jawa ini terendah jika dibandingkan dengan regional/pulau lainnya di Indonesia.
Namun demikian, meskipun pertumbuhannya rendah, secara absolut penambahan populasi
sapi di Pulau Jawa masih yang terbanyak, yakni rata-rata 264,3 ribu ekor per tahun.
Perkembangan populasi kerbau di Indonesia selama periode 2003-2011 berdasarkan
hasil Sensus Pertanian 2003 (ST03) dan PSPK2011 menunjukkan adanya tren penurunan
dengan tingkat penurunan rata-rata 0,58 persen per tahun. Dalam jumlah absolut, penurunan
populasi kerbau ini mencapai 7,8 ribu ekor per tahunnya.
Dirinci wilayah regional/pulau, pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara mencatat
populasi kerbau mengalami penurunan masing-masing 2,61 persen, dan 1,76 persen per
tahun, sedangkan di regional/pulau lainnya masih mengalami peningkatan. Populasi kerbau
di Maluku dan Papua mencatat pertumbuhan populasi tertinggi, yakni 4,61 persen per tahun
sedangkan daerah lainnya kurang dari 2 persen.

Secara absolut pulau Sumatera mencatat rata-rata peningkatan jumlah populasi kerbau
terbesar, yakni 6,1 ribu ekor per tahun sedangkan daerah lain kurang dari seribu ekor per
tahun. Sebaliknya di pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara mencatat penurunan populasi
kerbau cukup banyak, yakni masing-masing 10,7 ribu, dan 4,9 ribu per tahunnya
Menurut data statistik peternakan, populasi sapi tahun 2003 sebesar 10,5 juta ekor
yang bertahan hingga tahun 2005. Pada tahun 2006 meningkat menjadi 10,8 juta ekor.

Sementara kebutuhan daging sapi dalam negeri terus meningkat dari 303,3 ribu ton pada
tahun 2002 menjadi 378,93 ribu ton pada tahun 2005 dan 389,3 ribu ton pada tahun 2006.
Diasumsikan pada tahun 2010 akan terjadi peningkatan kebutuhan daging 115,67 juta ton dari
angka kebutuhan tahun 2005. Menurut perhitungan Deptan pada Rencana Aksi Pemantapan
Ketahanan Pangan menuju swasembada daging (sapi) 2010, setidaknya populasi sapi saat itu
harus mendekati 16,7 juta ekor!!! Sementara itu pertumbuhan sapi potong lokal hanya 3% per
tahun. Praktis angka populasi sebesar itu tidak akan pernah dicapai oleh pertumbuhan sapi
potong lokal tanpa penambahan induk dari luar. Ini merupakan peluang untuk
menggemukkan sapi potong.
Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 yang
dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30 Juni 2011, populasi sapi potong
mencapai 14,8 juta ekor; sapi perah 597,1 ribu ekor dan kerbau 1,3 juta ekor. Dirinci
menurut daerah, provinsi yang memiliki populasi sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturut
turut adalah Jawa Timur 4,7 juta ekor; Jawa Tengah 1,9 juta; Sulawesi Selatan 984 ribu
ekor; NTT 778,2 ribu ekor; Lampung 742,8 ribu ekor; NTB 685,8 ribu ekor; Bali 637,5 ribu
ekor; dan Sumatera Utara 541,7 ribu ekor. Sementara itu untuk sapi perah populasi terbanyak
di Jawa Timur 296,3 ribu ekor sedangkan kerbau di NTT sebanyak 150 ribu ekor.
Secara regional/pulau populasi sapi potong terbesar terdapat di Pulau Jawa 7,5 juta
ekor atau 50,74 persen dari populasi sapi potong nasional. Regional/pulau Sumatera
memiliki populasi terbesar kedua setelah Jawa dengan populasi 2,7 juta ekor (18,40 persen)

disusul kemudian oleh Bali dan Nusra 2,1 juta ekor (14,19 persen); Sulawesi 1,8 juta ekor
(11,97 persen); Kalimantan 437,3 ribu ekor (2,95 persen) serta Maluku dan Papua 258,1 ribu
ekor (1,74 persen). Untuk sapi perah regional/pulau Jawa mencatat populasi 592,4 ribu ekor
(99,21 persen) sedangkan kerbau terbanyak dijumpai di regional/pulau Sumatera 512,8 ribu
ekor (39,30 persen).

Komposisi jenis kelamin populasi sapi potong, sapi perah dan kerbau menunjukkan
pola relatif sama, yaitu jumlah terbesar adalah populasi betina. Untuk sapi potong betina
sekitar 68,15 persen, sapi perah betina 78,93 persen dan kerbau betina 68,76 persen dari total
populasi. Sementara itu berdasarkan komposisi umur, sebagian besar sapi potong, sapi perah
dan kerbau betina adalah berumur dewasa (>2 tahun), yakni untuk sapi potong 66,09 persen;
sapi perah 64,56 persen dan kerbau 72,40 persen dari total populasi betina. Sebaliknya untuk
sapi potong jantan terbanyak pada umur muda (1-2 tahun) sekitar 38,52 persen dan sapi
perah jantan pada umur anak (2 tahun) sekitar 42,34 persen
dari total populasi kerbau jantan.
Berdasarkan hasil awal PSPK2011 populasi sapi (sapi potong+sapi perah) di
Indonesia sebanyak 15,4 juta ekor. Jika dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003
sebanyak 10,2 juta ekor, maka rata-rata pertumbuhan populasi sapi selama 2003–2011
mencapai 5,32 persen per tahun atau rata-rata pertambahan 653,1 ribu ekor setiap tahunnya.
Sebaliknya untuk populasi kerbau tercatat pada tahun 2003 sebanyak 1,4 juta ekor sedangkan

pada tahun 2011 sebanyak 1,3 juta ekor sehingga rata-rata pertumbuhannya -0,58 persen
atau

berkurang

rata

rata

sekitar

7,8

ribu

ekor

setiap

tahunnya.


(http://yuari.wordpress.com/2011/08/18/rilis-data-populasi-sapi-potong-sapi-perah-dankerbau-di-indonesia-2011-2012/)
Profil Peternakan Sapi di Indonesia
Sapi merupakan komoditas yang menghadapi persoalan cukup serius, karena ada
kecenderungan yang sangat nyata bahwa impor daging, jeroan, bakalan dan sapi
potong masih sangat besar.
Impor daging dan sapi bakalan yang cenderung terus meningkat dalam dasa warsa
terakhir merupakan indikasi yang sangat baik bahwa produktivitas sapi dalam negeri
belum mampu merespon perkembangan lonjakan permintaan daging. Ada 3 prinsip
dalam pengaturan kebutuhan daging sapi yaitu kelestarian sumber daya ternak
nasional, keseimbangan suplai-demand dan mengurangi ketergantungan impor.
Lebih dari 90% usaha peternakan sapi potong di Indonesia merupakan usaha
peternakan rakyat yang perlu mendapat perhatian sebagai upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan peternak dan meningkatkan produktivitas ternaknya.

Kelangkaan pasokan daging sapi akan berdampak luas karena masih banyak
dilakukan pemotongan hewan betina produktif dan ternak muda yang ukurannya
kecil serta adanya pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab dengan
memanfaatkan situasi pasar, memasukkan daging ilegal / produk yang tidak ASUH
(Aman. Sehat, Utuh, Halal).

Hambatan dan Peluang Industri Penggemukan Sapi Potong
Hambatan :
Faktor ekonomi :
Nilai tukar rupiah yang masih fluktuatif
Belum berjalannya kredit perbankan sehingga berpengaruh terhadap modal
Masih tingginya country risk Indonesia yang akan berpengaruh terhadap biaya L/C
yang tinggi
Banyak perusahaan sapi potong yang terkena dampak krisis ekonomi.
Faktor politik
Hubungan luar negeri Indonesia dengan Australia (Australia hanya satu-satunya
negara yang secara teknis sangat kompetitif untuk mensuplai sapi potong ke
Indonesia)
Faktor lain
Daya beli masyarakat menurun
Jumlah dan kualitas sapi lokal belum siap untuk mensuplai bakalan
Peluang :
Prospek usaha sapi potong terbuka lebar dalam waktu yang lama karena permintaan
daging terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan
kesadaran gizi, peningkatan taraf ekonomi dan untuk status sosial.


Harga sapi impor yang melonjak sangat tinggi saat ini mengakibatkan sebagian
usaha penggemukan (feedloter) mulai mengalihkan usaha dengan memanfaatkan
bakalan dari dalam negeri. Bahkan sebuah usaha feedloter di Jabar memanfaatkan
kerbau lokal sebagai bakalan untuk memasok kebutuhan daging untuk pasar
tradisional. Hal inilah yang menjadi pertimbangan bahwa usaha penggemukan sapi
dapat dilakukan dengan memanfaatkan sapi potong lokal, bakalan yang berasal dari
sapi perah, kerbau muda atau sapi bakalan impor.
Peluang Usaha Budidaya Sapi Potong : Jumlah penduduk Indonesia yang besar
sangat potensial bagi permintaan produk peternakan. Peningkatan konsumsi daging per
kapita sedikit saja dapat menyebabkan kebutuhan terhadap ternak potong yang sangat besar.
Meningkatnya konsumsi daging karena meningkatnya taraf hidup dan tingkat ekonomi
masyarakat merupakan faktor pendorong bagi berkembangnya industri daging, sehingga
membuka peluang usaha penggemukan sapi potong di Indonesia.
Meningkatnya harga daging sapi dan kerbau menyebabkan pemotongan ternak
melampaui batas kemampuan perkembangbiakannya, sehingga pertumbuhan populasi
terganggu. Selama Pelita I dan II, populasi sapi daging turun 0,19% per tahun dan selama
Pelita I, II dan III, populasi kerbau turun 5,84%, 1,4% dan 0,32%. Peningkatan populasi
dalam tahun berikutnya sebagian besar disebabkan oleh impor ternak. Sepuluh tahun terakhir
peningkatan populasi sapi sangat lambat walaupun telah dibantu dengan impor ternak dan
daging. Pertumbuhan populasi sapi menurun dari 9,62% per tahun pada pelita III menjadi 12% per tahun pada pelita IV dan V dan pertumbuhan populasi kerbau menurun dari 4,30%

per tahun pada Pelita IV menjadi 2,09% per tahun pada Pelita V.
Industri penggemukan sapi potong mulai berkembang dengan pesat pada tahun 1992
yang ditandai dengan berdirinya beberapa perusahaan penggemukan sapi feedlot. Jumlah ini
berkembang terus hingga mencapai lebih dari 40 perusahaan pada tahun 1997 yang tersebar
terutama di pulau Jawa dan Lampung dengan total impor sapi bakalan berkisar antara
300.000-400.000 ekor per tahun. Beberapa perusahaan penggemukan sapi diantaranya
adalah PT. Tipperary Indonesia, PT. Great Giant Livestock Co., PT. Suntoryfood Co., PT.
Karyana Gita Utama dan PT. Lembu Jantan Perkasa.

Industri sapi potong masih mengandalkan bakalan impor dari Australia yang
memiliki harga yang lebih murah daripada sapi lokal. Impor sapi bakalan tersebut
dimaksudkan untuk menutupi kekurangan sapi bakalan lokal. Pada tahun 1999, harga sapi
Brahman Cross jantan kebiri sebagai sapi bakalan di Australia adalah US$ 0,98/kg bobot
hidup dan sampai di Indonesia dengan diperhitungkan biaya pemasaran menjadi sebesar US$
1,03/kg bobot hidup. Sementara itu, harga sapi lokal sebelum krisis pada tahun 1997 adalah
Rp 3.800 – 4.000/kg bobot hidup atau US$ 1,4 – 1,6/kg bobot hidup.
Krisis ekonomi dan moneter yang mulai terjadi sejak pertengahan tahun 1997
menyebabkan banyak perusahaan yang tutup karena daya beli masyarakat menurun drastis
dari US$ 1.200 menjadi US$ 300/kapita/tahun. Disamping itu, harga sapi bakalan impor
dalam rupiah menjadi sangat mahal karena nilai tukar rupiah yang merosot drastis.
Masalah pokok peternakan yang dihadapi dewasa ini adalah sebagai berikut.
Populasi ternak yang ada terlalu sedikit untuk dapat mengimbangi permintaan yang
semakin meningkat.
Kemampuan berproduksi ternak yang ada belum dapat mengimbangi peningkatan
permintaan tanpa terganggu kelestarian populasi.
Fluktuasi kurs rupiah mempengaruhi harga sapi bakalan impor.

Bisnis ternak sapi potong tetap menguntungkan
Usaha peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya,
permintaan pasar terus memperlihatkan peningkatan. Termasuk di pasar ekspor seperti
ke Malaysia. Di negara jiran itu permintaan cenderung meningkat yang dipicu oleh
bergesernya tradisi memotong kambing ke tradisi memotong sapi atau kerbau pada
saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.

Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 220 juta jiwa membutuhkan pasok
daging yang besar. Peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging
dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan permintaan, ternyata masih tinggi.
Tidak mengherankan, lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal pertanian
termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha sapi potong di
Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya.
Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu
diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong dan pada gilirannya memaksa
Indonesai selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan
jeroan sapi.
Menurut data Susenas (2002) yang dikeluarkan BPS, memperlihatkan konsumsi
daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kap/tahun. Konsumsi
tersebut sudah memperhiutngkan konsumsi daging dalam bentuk olahan seperti sosis,
daging kaleng dan dendeng.
Asumsi
*

Penduduk tahun sebesar 206,3 juta dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,49%
per tahun

*

Populasi sapi lokal sebesar 11,6 juta ekor dengan tingkat pertumbuhan sebesar
14% per tahun.

*

Konsumsi daging sebesar 1,72 kg/kapita/tahun dengan peningkatan sebesar 0,1
kg/kapita/tahun.

* Produksi daging sapi sebesar 350,7 ribu ton.
Proyeksi kebutuhan daging
* Th 2000

- Penduduk 206 juta orang

- Konsumsi 1,72 kg/kapita/tahun
- Produksi daging 350,7 ribu ton/tahun
- Pemotongan sapi 1,75 juta ekor/tahun
* Th 2010

- Penduduk 242, 4 juta orang
- Konsumsi 2,72 kg/kapita/tahun
- Produksi daging 654,4 ribu ton/tahun
- Pemotongan sapi 3,3 juta ekor/tahun (naik 88,6%)

* Th 2020

- Penduduk 281 juta orang
- Konsumsi 3,72 kg/kapita/tahun
- Produksi dagiing 1,04 juta ton/tahun
- Pemotongan sapi 5,2 juta ekor/tahun (naik 197%)

Sumber : Apfindo
Dengan kondisi tersebut diperkirakan keadaan populasi 2009 hanya mampu
memasok 80% dari total kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut tentu sangat
menghawatirkan karena suatu saat akan terjadi dimana kebutuhan daging sapi dalam
negeri sangat tergantung kepada impor. Dengan demikian ketergantungan tersebut
tentu akan mempengaruhi harga sapi lokal.
Konono, menurut analisa Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia
(Apfindo), populasi sapi lokal Indonesoia, cenderung semakin menurun tanpa ada
subtitusi dari impor sapi bakalan. Contoh pada 1997, populasi sapi lokal sebesar 11,9
juta ekor menjadi 11 juta ekor (8,2%) pada 2000 dikarenakan impor sapi bakalan
terganggu krisis.

Semakin sulitnya sapi lokal memenuhi kebutuhan daging pada hari-hari besar
keagamaan (Idul Fitri, Natal, dan tahun baru), tanpa dibantu oleh sapi impor (kasus
2001). Dan tiap provinsi sumber ternak mulai khawatir terhadap pupolasi sapi di
daerahnya (Sulawesi Selatan, NTT, NTB, Jateng dan Jatim).
Kemudian adanya pemotongan sapi betina produktif. Pemerintah tidak mempunyai
kewenangan apapun untuk mencegah sapi betina produktif untuk dipotong. Disinyalir
20%-30% dari jumlah sapi lokal yang dipotong adalah betia produktif.
Belum lagi akibat soal kualitas sapi lokal. Semakin menurun dengan terjadinya inbreeding diantara sapi lokal sehingga berat hidu psapi lokal semakin menurun (ratarata 300 kg). Program cross breeding yang dilakukan selama ini tidak mengakibatkan
peningkatan kualitas sapi lokal karena keterunannya (F-1) terus dipotong, bukan
untuk dikembangbiakan kembali.
Kondisi itu, dengan sendirinya, membuat Indonesia harus mampu mendorong
pertumbuhan produksi sapi sekaligus daging sapi. Arena kebutuhan daging sapi yang
semakin meningkat, jika tidak disertai pertumbuhan populasi, mengakibatkan semakin
banyaknya sapi lokal yang diptong termasuk sapi betina, sehingga jika tidak waspada
Indonesia akan masuk dalam food trap. Di mana ketergantungan akan impor akan
semakin besar dan pada akhirnya akan 100% tergantung impor.
Itu sebabnya, bisnis ternak sapi potong, menjadi salah satu lahan usaha yang
prospektif. Salah satu contoh kasus di Provinsi Sumatra Barat. Saat ini, di provinsi itu,
diyakini pertumbuhan konsumsi atas daging ternak sapi terus memperlihatkan trend
meningkat namun belum mampu dipenuhi oleh produksi daging nasional.
Apalagi, produksi daging dari ternak sapi potong di Sumbar, berpotensi untuk
diekspor ke sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan
Singapura karena permintaan daging di kedua negara tersebut cenderung meningkat.

Peluang ekspor daging sapi ke Malaysia sangat terbuka karena permintaan di negara
jiran itu cenderung meningkat. Hal itu dipicu oleh bergesernya tradisi memotong
kambing kepada tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau
perayaan lainnya.
Bahkan, kenadti kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi Sumbar sudah
terpenuhi, budi daya ternak sapi potong di daerah ini tetap membaik karena hanya
untuk memenuhi atau mengisi pangsa pasar daerah lainnya seperti Jambi, Riau dan
Riau Kepulauan.
Target produksi daging tersebut mengacu kepada target hasil kesepakatan Widya
Karya Pangan dan Gizi 10 KG per kapita per tahun (27,5% x daging sapi).
Skala rumah tangga
Banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong.
Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan
hukum resmi seperti koperasi. Sistem ini termasuk sistem berskala besar karena jumlah sapi
yang dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor, selain keuntungan yang diperoleh dari
aplikasi sistem ini jauh lebih besar.
Seperti yang dilakukan di Sumbar, saat ini di provinsi itu, mulai berkembang sistem
lain yakni ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional
sehingga memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini.
Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk usaha yang
dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga
tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah.
Ternak sapi potong berskala rumah tangga tersebut sangat ekonomis, baik dari sisi
biaya pemeliharaan maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan
kandang biasanya berbentuk tunggal. Tapi hal teknis lainnya seperti ukuran kandang untuk
seekor sapi tidak jauh berbeda dengan ukuran kandang untuk penggemukan sapi komersil
dalam skala besar. Ukuran kandang untuk seekor sapi jantan dewasa 1,5×2 meter atau 2,5×2

meter. Sedangkan untuk sapi betina dewasa 1,8×2 meter dan anak sapi 1,5×1 meter dengan
tinggi 2-2,5 meter.
Seperti yang lazim diketahui, jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat
ini merupakan sapi asli Indonesia dan sapi impor. Dari jenis sapi potong tersebut, masingmasing memiliki sifat dan ciri khas baik dilihat dari bentuk luarnya seperti ukuran tubuh,
warna bulu maupun genetiknya. Biasanya sapi-sapi asli Indonesia yang dijadikan sumber
daging para peternak sapi adalah sapi bali, sapi ongole, sapi po (peranakan ongole), sapi
madura dan sapi aceh.
Pengetahuan teknis lain yang juga harus dipegang peternak adalah bagaimana
mengenal tipe sapi potong saat membeli bibit. Misalnya dari sisi bentuk badan, bibit tipe sapi
potong memiliki bentuk badan persegi panjang atau berbentuk bulat silinder. Sedangkan
badan bagian muka, tengah dan belakang tumbuh sama kuat. Sedangkan garis badan atas dan
bawah sejajar.
Selain masalah bibit, peternak harus tahu tentang bagaimana memilih lokasi
penggemukan yang memenuhi syarat ideal. Lokasi ideal untuk membangun kandang adalah
daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk. Kandang harus terpisah dari
rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter. Sinar matahari harus dapat menembus
pelataran kandang dan dekat dengan lahan pertanian.
Pendapatan meningkat
Pola tersebut ternyata membuahkan hasil. Setelah sistem itu diterapkan setahun lalu
dengan bimbingan tim teknis hasilnya sangat mengejutkan. Selama satu tahun,
disamping Pemkot Sawahlunto telah membeli bibit sapi sedikitnya 650 ekor untuk
dibudidayakan oleh hampir 300 keluarga kurang mampu di daerah ini, keuntungan
yang diterima peternak berskala rumah tangga tersebut pun meningkat.
Dalam tempo enam bulan, satu ekor sapi potong bisa menghasilkan keuntungan
sekitar Rp4 juta-Rp5 juta.

Padahal, dalam satu rumah tangga, sapi potong yang dibudidayakan rata-rata dua
sampai tiga ekor.
“Harga bibit satu ekor berkisar antara Rp6 juta-Rp7 juta, sementara setelah
dipelihara selama enam bulan, harga sapi di pasaran meningkat antara Rp10 juta-Rp11
juta, sehingga peternak memperoleh keuntungan Rp4 juta-Rp5 juta per ekor atau
sekitar Rp12 juta-Rp15 juta per satu rumah tangga.
Besarnya keuntungan yang diterima peternak dengan cara konvensional tersebut ke
depan masih bisa berlipat ganda. Sebab pemerintah Provinsi Sumbar berencana akan
menggunakan dana dekonsentrasi untuk membangun pabrik konsentrat sapi dengan
menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Saat ini, minat masyarakat daerah ini untuk membudidayakan sapi potong mulai
tinggi. Sampai akhir Januari 2005, sekitar 300 keluarga telah mendaftar diri dan
menunggu mendapatkan total 700 ekor bibit sapi potong untuk dibudidayakan.
Sumber :
http://sahabat88.wordpress.com/

http://sahabat88.wordpress.com/category/ekonomi/

http://sahabat88.wordpress.com/2008/04/07/bisnis-ternak-sapi-potong-tetapmenguntungkan/
Jalan Mulus Swasembada Sapi 2014
27 Agustus 2011 05:11:26
Sensus terbaru yang dilakukan BPS dan Kementerian Pertanian mencatat populasi
sapi lokal sekitar 16,2 juta ekor. Sebelum sensus dilakukan, banyak pihak berpegang pada

asumsi bahwa populasi sapi di Indonesia hanya berkisar 12 juta ekor lebih. Ada optimisme
baru akan terwujudnya swasembada sapi pada 2014.
Data yang valid merupakan senjata yang paling tajam untuk mengambil kebijakan.
Demikian halnya dalam soal ketersedian daging sapi nasional. Bulan Mei lalu, Info PDN
melaporkan ada beberapa pihak yang menilai kebijakan pemerintah terkait masalah daging
sapi masih terhambat oleh validitas data kebutuhan dan jumlah populasi sapi di dalam negeri.
Kegusaran itulah yang kemudian direspon secara cepat oleh pemerintah dengan kegiatan
sensus terhadap jumlah populasi sapi di seluruh Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian
Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Juni lalu. Hasilnya cukup melegakan
dan bisa menjadi acuan penentuan kebijakan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Terdata, jumlah populasi sapi lokal adalah sekitar 16,2 juta ekor, atau lebih banyak sekitar 4
jutaan dari asumsi yang menjadi pegangan banyak pihak sebelum sensus dilakukan. Karena,
sekedar catatan, data yang banyak dilansir sebelum sensus selalu menyebutkan bahwa
populasi sapi kisaran 12 juta ekor.
Berdasarkan data terbaru ini, pemerintah pun optimis swasembada sapi pada tahun
2014 nanti akan terwujud. Bahkan, menjadikan Kementerian Perdagangan yakin bahwa untuk
memenuhi kebutuhan daging sapi nasional jangka pendek maupun jangka menengah,
populasi sapi sudah sangat cukup, meski impor dari Australia memang jadi dihentikan.
Menurut Mendag, Mari Elka Pangestu, tanpa dibukanya kembali ekspor sapi Australia
ke Indonesia, pemerintah sudah menyiapkan stok daging sapi untuk dipasarkan terutama
menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Bahkan, kata Mendag, penyediaan stok
daging sapi juga sudah disiapkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi setelah
Hari Raya Idul Fitri. “Tidak ada masalah dengan stok daging sapi untuk ke depan, baik untuk
jangka pendek maupun jangka menengah. Kita sedang menyusun data-data baru, termasuk
karena sudah adanya sensus sapi dan kita sudah menyiapkan langkah-langkah sampai dengan
akhir tahun. Sudah pasti cukup,” tandas Mendag, kepada wartawan awal Juli lalu. Optimisme
tersebut didukung oleh keterangan Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan, di
kantor Presiden, Kamis, 7 Juli 2011. Menurutnya, jumlah daging sapi di Indonesia sudah
cukup.
Berdasarkan sensus sapi yang dilakukan lembaganya, untuk sapi potong saja, jumlah
populasinya ada sekitar 14,43 juta ekor sapi. Sementara itu, dari sisi kebutuhan, tercatat sapi
yang dibutuhkan adalah sebanyak 2,5-3 juta ekor sapi per tahun. Artinya, daging dari jumlah

lembu-lembu berdasarkan sensus terbaru itu bisa memenuhi 90 persen kebutuhan lokal,
sedangkan 10 persennya dapat dipenuhi sapi impor. Bahkan, Rusmawan berpendapat, yang
10 persen itu kalau tidak dipenuhi tidak menimbulkan turbulence pada konsumsi. “Angka 90
persen itu tingkat konsumsi yang aman, tidak akan terjadi chaos jika daging Sebagaimana
disampaikan oleh Menteri Pertanian, Suswono, bahwa angka konsumsi daging sapi di
Indonesia ini sebenarnya masih tergolong rendah, yaitu hanya sebesar 1,7 kilogram per kapita
per tahun, atau setara dengan 2,5-3 juta ekor sapi per tahun.
http://ditjenpdn.kemendag.go.id/index.php/public/information/articles-detail/berita/32
Sementara, sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik bulan lalu mencatat populasi
sapi potong di Indonesia ada 14,43 juta ekor sapi dan masih ada data sebesar 0,2 persen dari
sekitar 50 desa yang belum masuk dalam basis data lembaga tersebut. Dilaporkan juga,
bahwa selain 14,43 juta sapi potong, ada pula 574 ribu ekor sapi perah dan 1,27 ekor kerbau.
Mengacu pada data tersebut, BPS yakin bahwa kebutuhan konsumsi dalam negeri bisa
terpenuhi. Namun, kata Rusmawan, distribusinya harus dibenahi. Sebab, walaupun di atas
kertas pasokan daging itu memenuhi kebutuhan warga, daging itu kerap tak tersebar merata.
“Problemnya, bagaimana mempertemukan supply (pasokan) dan demand (permintaan),” ujar
nya. Karena itu, ia mengusulkan untuk menambah frekuensi pertemuan penjual dan pembeli
dengan memperbanyak pasar hewan.
Itulah fakta dan data yang menjadikan swasembada sapi yang ditargetkan selesai
tahun 2014 bukan suatu yang sulit untuk diwujudkan. Bahkan, jumlah impor pun sudah mulai
bisa ditekan prosentasenya. Yakni, seperti pernah disampaikan oleh Menteri Pertanian,
Suswono, pada tahun 2014 nanti Indonesia menargetkan impor daging sapi hanya 10 persen
dari total konsumsi nasional.
Perlu diketahui, bahwa saat ini kebutuhan daging sapi mencapai 430 ribu ton per
tahun. Dari jumlah ini, sebanyak 25 persen atau 100 ribu ton daging berasal dari impor. Dan
sampai saat ini, untuk mengamankan pasokan daging sapi dalam negeri, pemerintah masih
mengandalkan sentra-sentra sapi di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu,
khusus untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, biasanya kebutuhan dipenuhi dari daging beku
impor.

Latihan soal :

1. Jelaskan kendala dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan sapi potong!
2. Ada 3 prinsip dalam pengaturan kebutuhan daging sapi di Indonesia. Jelaskan masingmasing!
3. Jelaskan mengapa sapi lokal di Indonesia populasinya semakin menurun dari tahun ke
tahun!
RANGKUMAN SINGKAT
Menurut data statistik peternakan, populasi sapi tahun 2003 sebesar 10,5 juta ekor
yang bertahan hingga tahun 2005. Pada tahun 2006 meningkat menjadi 10,8 juta ekor.
Sementara kebutuhan daging sapi dalam negeri terus meningkat dari 303,3 ribu ton pada
tahun 2002 menjadi 389,3 ribu ton pada tahun 2006. Diasumsikan pada tahun 2010 akan
terjadi peningkatan kebutuhan daging 115,67 juta ton dari angka kebutuhan tahun 2005.
Menurut perhitungan Deptan pada Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan
menuju swasembada daging (sapi) 2010, setidaknya populasi sapi saat itu harus mendekati
16,7 juta ekor. Sementara itu pertumbuhan sapi potong lokal hanya 3% per tahun. Praktis
angka populasi sebesar itu tidak akan pernah dicapai oleh pertumbuhan sapi potong lokal
tanpa penambahan induk dari luar. Ini merupakan peluang untuk menggemukkan sapi potong.

Dokumen yang terkait

ANALISIS BIAYA DAN PENDAPATAN PENGOLAHAN KOPI LUWAK (Pada Usaha Bapak Efendi Ahmad Di Desa Way Mengaku Kecamatan Liwa Kabupeten Lampung Barat)

5 38 28

AKTIVITAS KEHUMASAN DALAM MENDUKUNG KOMUNIKASI PEMASARAN Studi pada PT. Mukti Usaha Maju Tour & Travel Organizer Malang

0 18 2

Analisis Cemaran Daging Babi pada Produk Bakso Sapi yang Beredar di Wilayah Ciputat Menggunakan Real- Time Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan Metode Hydrolysis Probe.

1 51 86

Strategi Meningkatkan Nasabah Pada Bmt Usaha Mulya Pondok Indah

10 95 68

Sistem Pendukung Keputusan Prioritas Kelayakan Kenaikan Pangkat Jabatan di Koperasi Serba Usaha Persada Madani Menggunakan Metode AHP

6 32 19

Implementasi Kebijakan Sistem Informasi Manajemen Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (SIMYANDU-PPTSP) (Studi Kasus Dalam Pembuatan Izin Usaha (ITU) Pada Kantor PPTSP Kabupaten Garut)

1 55 179

Sistem Informasi Pengolahan Data Pinjaman Pada Koperasi Serba Usaha Bersama di Ciroyom Provinsi Jawa Barat

4 39 117

Pengaruh Orientasi Kewirausahaan Dan Kreativitas Terhadap Kinerja Usaha (survei Pada Sentra UMKM Industri Keramik Kiaracondong Bandung)

5 86 62

Analisa Dampak Badan Operasional Terhadap Tingkat Profit Margin Pada Unit Usaha Susu Perah Koperasi Unit Desa (KUD) Sarwa Mukti Cisarua Bandung

0 16 1

Pengaruh Kemampuan Manajerial Dan Perilaku Kewirausahaan Terhadap Keberhasilan Usaha Di Unit Agro Bisnis Pada Yayasan Al-Anshor Bandung (survey pada petani unit Agro Bisnis Yayasan Al-Anshor Bandung)

5 61 1