Relasi Antara Ilmu Pengetahuan Ideologi

Relasi Antara Ilmu Pengetahuan, Ideologi, dan Kepentingan Dalam Perspektif
Teori Kritis Jurgen Habermas1
Oleh : Rizki Baiquni Pratama, 1106061365
Pendahuluan
Dalam zaman yang ditandai oleh kemajuan besar-besaran di khazanah ilmu pengetahuan
dan teknologi seperti saat ini. Ilmu pengetahuan mengklaim dirinya sebagai ilmu yang bebas
nilai sehingga dengan demikian ilmu pengetahuan dikembangkan untuk ilmu pengetahuan itu
sendiri tanpa melibatkan diri dengan permasalahan etis-praktis kemanusiaan. Hal ini dapat terjadi
karena ilmu pengtahuan sangat terpengaruh dan mendapatkan legitimasi bebas nilai dari paham
filsafat Positivisme yang pada akhirnya dikembangkan sedemikian rupa menjadi Positivisme
Logis oleh lingkaran wina (vyne circle). Kondisi seperti inilah yang menarik perhatian seorang
filsuf Jerman yang bernama Jurgen Habermas. Ia dalam hal ini menegaskan bahwa ilmu
pengetahuan adalah tidak bebas nilai karena selalu terdapat ideologi dan kepentingan yang
bercokol didalamnya.
Akan tetapai ketika membicarakan relasi antara pengetahuan, ideologi, dan kepentingan
dari pandangan Habermas tersebut, maka mau tidak mau kita tidak akan pernah terlepas dari
pengaruh pemikiran intelektual Mazhab Frankfurt (Die Frankfurt Schule) yang didirikan pada
tahun 1923 oleh Felix Weil yang kemudian meraih progress yang luar biasa ditangan seorang
Max Horkheimer. Nama Mazhab Frankfurt sendiri digunakan untuk menunjukan sekelompok
sarjana yang bekerja pada institut fur Sozialforschung (lembaga penelitian sosial) di frankfurt am
main.2 Seperti yang telah dikatakan sebelumnya progress luar biasa yang dicapai Horkheimer

adalah bahwa ia telah meletakan dasar-dasar pengembangan sebuah program multidisipliner
yang disebutnya sebagai Teori Kritis. Yang mana program ini bergerak dalam jalur filsafat kritis
yang sudah dirintis sejak Kant, Hegel, Marx, dan freud. Memang pada dasarnya sebelum
Habermas mencurigai ilmu pengetahuan yang bebas nilai, Horkheimer telah sebelumnya
menelanjangi pola tradisional teori-teori filsafat dan ilmu-ilmu manusia sebagai kontemplatif,
afirmatif dan oleh karena itu ideologis.3 Walaupun demikian dalam arus pemikiran mazhab
frankfurt beserta teori kritisnya tersebut, nama Habermas kerap kali menempati posisi yang
istimewa. Karena ia disebut-sebut sebagai penerus dan pembaharu radikal dari tradisi Teori
Kritis. Setelah Teori Kritis di tangan para pendahulunya dicap menemui kebuntuan untuk
membebasakan manusia dari irasionalitas.4
Kritik Atas Kebebasan Nilai Ilmu-Ilmu
Dalam perjalanan sejarah filsafat barat, kita dapat melihat bahwa sejak Francis Bacon
(1561-1625). Pengetahuan empiris-analitis menjadi ilmu-ilmu alam yang kemudian direfleksikan
secara filosofis sebagai pengetahuan yang sahih tentang realitas. Melalui dua epistemologi dasar
yaitu rasionalisme dan empirisme, ilmu-ilmu alam itu memperkembangkan suatu teori murni
yang mana dengan teori murni tersebut, ilmu-imu alam dapat membebasakan diri dari berbagai
1 Diajukan sebagai tugas ujian akhir semester mata kuliah filsafat ideologi pada tanggal 14
Juni 2013
2 Lihat K.Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX Inggros-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983
hal 176

3 Lihat F.Budi hardiman, Kritik Ideologi pertautan pengetahuan dan kepentingan,
Yogyakarta: Kanisius,1990 hal 10
4 Lihat Bagus Takwin, Akar-akar ideologi, Yogyakarta: Jalasutra, 2003 hal 94

1

macam kepentingan. Kemudian dari arus perkembangan selanjutnya, lahirlah gerakan filsafat
yang dinamakan dengan positivisme yang mana gerakan filsafat ini sendiri ini dirintis oleh
Aguste Comte (1798-1857). Positivisme adalah puncak pembersihan pengetahuan dari
kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan,
yaitu teori yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. 5 Pada tahap awal, positivisme akhirnya
melahirkan suatu disiplin ilmu sosial yaitu sosiologi. Dan atas konsekuensi dari ciri positivik
yang ingin memurnikan teori dari berbagai macam kepentingan maka prosedur-prosedur
metodologis dari ilmu-ilmu alam diterapkan pada ilmu-ilmu sosial tersebut. Sehingga berbagai
macam gejala subyektifitas manusia, kepentingan, klaim moralitas, hingga dimensi kemanusiaan
di tanggalkan demi mencapai suatu objektifitas yang murni. Kemudian dari hasil objektifitas
tersebut, ilmu sosial “dipaksa” merumuskan suatu hukum-hukum tetap seperti dalam ilmu alam,
dan karena secara metodologis ilmu sosial disamakan dengan ilmu alam maka ilmu sosial
menjadi bersifat teknis dalam arti harus menyediakan pengetahuan instrumental yang murni.
Dengan kata lain pengetahuan yang dihasilkan oleh ilmu sosial menjadi dapat dipakai untuk

keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis
manusia. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam bersifat netral, bebas dari nilai. 6 Hal ini
kemudian dipertegas oleh Positivisme Logis yang menyatakan bahwa suatu pernyataan hanya
bermakna dan ilmiah jika hanya dapat diverifikasi secara empiris, konsekuensinya adalah
ungkapan-ungkapan yang bersifat metafisis, teologis, etis dan estetis tidak bermakna.
Seperti yang telah disinggung dalam paragraf sebelumnya, Titik tolak Teori Kritis salah
satunya adalah berangkat atas klaim kebebasan nilai ilmu-ilmu tersebut. Setidaknya dalam Teori
Kritis sejak Horkheimer, anggapan positivisme ilmu-ilmu sosial tersebut telah mendapat kritik
yang luar biasa akibat bahwa positivisme dinilai telah menyembunyikan dukungan terhadap
status quo masyarakat dibalik kedok objektivitas. Dengan dalih objektivitas, ilmu sosial hanya
mengafirmasi penindasan dan memaparkan fakta sosial tanpa bisa mengubahnya. Oleh karena itu
Teori kritis dalam hal ini bermaksud sebagai usaha Teoritis yang sekaligus menjadi Praxis yang
emansipatif. Serupa dengan pandangan Horkheimer tersebut, Habermas berangkat lebih jauh
lagi dengan pertama-tama mengatakan bahwa dalam ilmu pengetahuan modern “teori” sudah
kehilangan makna aslinya. Karena itu Habermas mengadakan penelitian genetis tentang konsep
teori. Ia mengembalikan konsep teori pada asal katanya “theoria”, yang artinya kontemplasi
kosmos atau realitas.7 Kata theoria itu sendiri terdapat dalam tradisi religius di Yunani kuno.
Pada saat itu pemisahan teori dan praxis seperti dalam ilmu pengetahuan positivis seperti saat ini
memang tidak terjadi dalam pemikiran kuno, sebaliknya justu terjalin pertautan yang sangat erat
antara teori dan praxis hidup manusia sehari-hari8 akan tetapi pada tatanan tersebut Habermas

melihat bahwa konsep kuno tentang teori itu justru menjadi dasar ontologi, yang mana
didalamnya terdapat usaha untuk menentukan tatanan yang tetap abadi dalam kosmos dan
seluruh realitas, dan dengan cara kontemplasi, filsuf telah memisahkan unsur-unsur yang tetap
dan unsur-usur yang berubah. Sehingga apa yang ingin dicapai oleh ontologi adalah sebuah
penjelasan objektif tentang seluruh realitas, atau dengan kata lain, teori murni9
Pada titik tersebut, Habermas memandang bahwa teori murni merupakan suatu ilusi. Hal
ini terjadi karena ketika kita menyingkirkan unsur subjektif dengan menekannya justru
5Kritik Ideologi.1990 Op.cit., 23
6 Ibid 24
7 Lihat Fransisco Budi hardiaman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius,
1993 Hal 6 komunikatif
8 Kritik Ideologi pertautan pengetahuan dan kepentingan. 1990 Op.cit., hal 19
9 Menuju Masyarakat Komunikatif.1993 Op.cit., hal 6

2

sebetulnya yang terjadi adalah bahwa penyingkiran unsur-unsur subjektif yang disebut Habermas
sebagai “kepentingan-kepentingan” itu sendiri merupakan sebuah kepentingan. Lebih radikal
lagi, Habermas menyebut teori murni tersebut lebih dari sekedar suatu ilusi belaka, melainkan
sebagai sebagai suatu ilusi yang berbahaya. Karena dengan menyembunyikam kaitan

pengetahuan dan kepentingan dan mengklaim diri objektif, ilmu pengetahuan melaksanakan
kepentingannya. Kepentingan ini luput dari kesadaran ilmuwan itu sendiri, dan tugas dari Teori
Kritis menurut Habermas adalah menunjukan kepentingan-kepentingan itu.10
Kepentingan-Kepentingan Pengetahuan
Untuk menunjukan kepentingan-kepentingan yang ada pada pengetahuan, Habermas
memecah ilmu pengetahuan menjadi tiga cakupan yaitu ilmu empiris-analitis (ilmu alam), ilmu
historis-hermeneutis (ilmu sosial), dan ilmu kritis. Yang pertama dalam ilmu empiris-analitis
Habermas menunjukan bahwa proposisi-proposisi ilmiah hanya menyangkut tindakan-tindakan
dan proses-proses yangdapat dikontrol secara teknis, dan bukan mendeskripsikan pada dirinya 11
dengan demikian dalam menjalankan penelitian dan merumuskan teori-teori, ilmuwan sudah
diarahkan oleh kepentingan teknis untuk menguasai proses-proses yang dianggap objektif itu.
Yang kedua adalah ilmu historis-hermeneutis, Habermas menunjukan bahwa ilmu-ilmu ini
berusaha memahami makna (sinverstehen), dan bukan menjelaskan (enklaren) fakta yang
terobservasi 12 sehingga dalam ilmu ini terdapat usaha untuk memahami makna menurut tradisi
dan makna hanya dapat sitemukan jia penafsirmemahami makna pada zamannya sehingga tugas
penafsir adalah mengkomunikasikan kedua dunia makna tersebut yang mana hasil tafsirannya
diperlukan untuk memahami tingkah laku sosial yangsiarahkan oleh makan. Dengan demikian
menjadi jelas bahwa penelitian hermeneutis diarahkan untuk mencapai saling pengertian dengan
cara komunikasi dan konsensus. Yang ketiga adalah ilmu kritis, Habermas mengatakan bahwa
ilmu kritis merupakan penelitian yang dilakukan oleh mazhab frankfurt. Dalam tatanan ini ilmu

krititis sedemikian rupa mengamati distorsi ideologis apabila kepentingan yang memberikan arah
dasar kepada ilmu empiris-analitis yakni kepentingan akan penguasaan alam melimpah kedalam
wilayah ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang notabene didasari atas kepentinagn komunikasi dan
konsensus. Dengan kata lain ilmu kritis berusaha menunjukan keajegan ilmu sosial yang
meniscayakan dirinya seperti ilmu alam. Oleh karena itu kepentingan yang terdapat pada ilmu
kritis ini adalah kepentingan kognitif emansipatif.
Penutup dan Kesimpulan
Menyelami pemikiran Habermas merupakan suatu bentuk konsumsi intelektual yang
sangat menyenangkan dan dalam hal tersebut saya mengamini apa yang dikatakan oleh
Habemas. Dengan demikian dalam paper ini saya tidak bermaksud member komentar ataupun
suuatu tinjauan kepada pemikiran Habermas tersebut. Namun yang jelas, dengan eksplorasi
kritisnya atas ilmu pengetahuan, saya melihat bahwa Habermas dalam hal ini dapat dikatakan
telah melakukan apa yang dinamakan dengan kritik ideologi dengan cara melakukan ktitik atas
ilmu pengetahuan terlebih dahulu. Selanjutnya dari kritik yang dilakukan Habermas atas ilmu
10 Ibid 7
11 Proposisi yang dimaksudkan adalah seperti “bila air dipanaskan 100 derajat, air akan
mendidih” pernyataan semacam ini adalah sebuah prognosis (ramalan ilmiah) berdasarkan
sesuatu yang telah ditentukan. Lihat, Fransisco Budi Hardiman, Menuju Masyarakat
Komunikatif. Ibid 8
12 Ibid 9


3

pengetahuan tersebut pada akhirnya kita akan melihat bahwa Habermas telah berjasa besar
dalam menunjukan kesalahpahaman dan kekeliruan dari positiviseme logis yang merasa yakin
dapat mempersatukan berbagai macam ilmu pengetahuan dibawah satu naungan metodologi
empiris-analitis. Baginya hal tersebut tidaklah mungkin karena antara ilmu historis-hermeneutis
dengan Ilmu empiris-analitis memiliki The condition of possibility yang berbeda. Lebih jauh lagi,
Habermas juga telah menegaskan bahwa apabila ilmu pengetahuan yang sudah sedemikian
terjebak kedalam logika positivik dan berakibat merintangi praxis social manusia untuk
merealisasikann kebaikan, kebenaran, kebahagiaan, dan kebebasannya maka ilmu pengetahuan
tersebut sejatinya telah berubah menjadi ideologis. Oleh karena itu, Habermas selanjutnya
menyatakan bahwa disamping ilmu empiris-analitis dan ilmu historis-hermeneutis terdapat suatu
ilmu kritis (Teori Kritis) yang berkepentingan untuk membebasakan serta menyingkap selubungselubung ideologis dan kepentingan-kepentingan dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Sehingga
dengan demikian antara Ilmu pengetahuan, ideologi, dan kepentingan adalah suatu hal yang
saling berkaitan.

Daftar Pustaka
Bagus Takwin, Akar-akar ideologi, Yogyakarta: Jalasutra, 2003
A.Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern,Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006

Lihat F.Budi hardiman, Kritik Ideologi pertautan pengetahuan dan kepentingan, Yogyakarta:
Kanisius, 1990
Fransisco Budi hardiaman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993
K.Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX Inggros-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983

4