TEORI SOSIOLOGI yang PIERRE BOURDIEU

TEORI HABITUS PIERRE BOURDIEU

Pendahuluan
Perkembangan penting dalam teori sosiologi akhir akhir ini adalah yang terjadi di
sebagian besar wilayah Amerika Serikat. Meskipun tidak mengingkari teori-teori yang
mendahuluinya, perkembangan yang dimulai pada sekitar tahun 1980-an dan masih
berlangsung hingga sekarang tersebut, ditandai dengan semakin banyaknya minat terhadap
isu pertautan mikro-makro1.
Di Eropa, terjadi perkembangan yang sejajar tetapi isu yang mereka minati bukan
pertautan mikro-makro melainkan hubungan antara agensi dan struktur. Meskipun pertautan
antara mikro-makro dan hubungan antara agensi-struktur tampaknya sama tetapi
sebenarnya terdapat perbedaan yang signifikan 2. Walapun agen pada umumnya mengacu
pada level mikro tetapi agen juga bisa mengacu pada level makro atau kolektif yang
bergerak. Seperti pendapat Burns yang melihat agen meliputi individu, kelompok yang
terorganisir dan juga bangsa. Mikro memang sering mengacu kepada individu atau aktor
yang kreatif maupun ‘pelaku’. Demikian juga dengan struktur, pada umumnya mengacu pada
struktur-struktur sosial berskala besar tetapi struktur juga dapat berupa interaksi antara
individu yang berada pada level mikro. Seperti pendapat Antony Giddens tentang sistemsistem. Sistem-sistem disini menyiratkan kedua jenis struktur di atas yaitu « hubunganhubungan yang direproduksi antara para aktor/individu atau antara kolektivitas ».
Salah satu teori sosiologi yang berkembang di Eropa, yang membahas pemaduan
antara agen dan struktur adalah teori yang dilahirkan oleh Pierre Bourdieu yang dikenal
dengan sebutan teori Habitus.

Berdasarkan konteks sosial dan politik yang melatarbelakanginya, teori Habitus yang
dimunculkan oleh Pierre Bourdieu bukan disebabkan oleh perubahan sosial besar seperti
yang telah dijelaskan di atas tetapi berdasarkan studi yang mendalam dan penelitianpenelitian yang dilakukan oleh Bourdieu di daerah Kabylie dan Collo, Aljazair. Sebelumnya ia
adalah seorang penganut strukturalisme tetapi ketika ia terlibat dalam studi etnografi
terhadap komunitas-komunitas petani di kedua daerah tersebut di atas, Bourdieu melihat
keterbatasan strukturalisme. Ia mulai menulis serta merumuskan teori dan metodologinya
sendiri untuk mengatasi kesulitan dikotomi seperti individu dan masyarakat, kebebasan dan
1

Teori Sosiologi, Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, George Ritzer, 2012,
Pustaka Pelajar: Jakarta, hal. 852
2
Idem hal 887

1

tanggung jawab, kepentingan individu atau kelompok dan sistem, dan lain lain. Kemudian ia
memasukkan dikotomi-dikotomi tersebut ke dalam satu kategori dikotomi epistemologi besar
yaitu antara ‘subyektivisme’ dan ‘obyektivisme’3.
Subyektivisme mewakili bangunan pengetahuan tentang dunia sosial yang didasarkan

pada pengalaman utama dan persepsi-persepsi individu. Ia meliputi aliran-aliran
pemikiran seperti fenomenologi, teori tindakan rasional dan bentuk-bentuk tertentu
sosiologi interpretatif, antropologi dan analisis bahasa (yang disebut Volosinov
‘subjektivisme individualistik’). Di bidang sastra, cakupan ini meliputi semua teori idealistik
dan esensialis yang berbasis ideologi kharismatik tentang penulis sebagai ‘pencipta’ atau
creator.
Sedangkan Objektivisme, di sisi lain, berusaha menjelaskan dunia sosial dengan
menempatkan pengalaman individu dan subyektivitas serta memfokuskan diri pada
kondisi-kondisi objektif yang menstrukturkan kebebasan praktis kesaradan manusia.
Sudut pandang ini bisa ditemukan di banyak teori sosial seperti semiology Saussurian,
antropologi structural dan Marxisme Althusserian.
Baik subyektivisme maupun obyektivisme tidak mampu mendukung pemikiran Bourdieu,
oleh sebab itu, ia kemudian mengagas sebuah konsep yang disebutnya « structuralisme
constructiviste » atau « constructivisme structuraliste ». Konsep tersebut menunjukkan
bahwa

ia

ingin


melewati

konsep-konsep

dikotomi sosiologi,

khususnya

melawan

strukturalisme yang menyatakan patuhnya individu terhadap aturan-aturan struktur dan
melawan konstruktivisme yang menyatakan dunia sosial adalah hasil dari tindakan bebas
para aktor.

Kata Kunci
Teori yang dikemukakan Pierre Bourdieu dimaksudkan untuk melewati batas-batas
oposisi yang telah terstruktur dalam teori-teori ilmu sosial seperti subjectivisme dan
objectivisme, micro dan macro, constructivisme dan déterminisme serta structure dan
agency. Teori tersebut mempunyai tiga kata kunci yaitu Habitus (Habitus), Arena (Champ)
dan Modal (Capital).

1. Habitus
Habitus terdiri dari sejumlah disposisi, skema tindakan atau persepsi bahwa individu
telah menerimanya melalui pengalaman bermasyrakatnya. Melalui pengalaman tersebut,
setiap individu secara perlahan-lahan menyatukan sejumlah cara berfikir, cara merasakan
3

Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, terjemahan, 2010, kreasi Wacana,
Bantul

2

dan cara beraksi yang akan terlihat secara nyata dalam waktu lama. Bourdieu percaya
bahwa disposisi-disposisi ini merupakan sumber praksis individu di masa yang akan datang.
Habitus terbentuk tidak secara tiba-tiba tetapi melalui proses panjang berupa
pengalaman-pengalaman individu ketika berinteraksi dengan dunia sosial. Habitus dibangun
melalui proses pendidikan yang oleh Bourdieu membaginya menjadi tiga hal yaitu
pendidikan keluarga, pendidikan sosial dan pendidikan sekolah. (Wempi, 2012) dan (Bédard,
2003).
Sesungguhnya Habitus akan menuntun individu untuk memproduksi kembali secara
otomatis apa yang telah diterima sebelumnya. Habitus bukan merupakan kebiasaan yang

dilakukan tanpa sengaja, melainkan dipikirkan atau diolah terlebih dahulu. Habitus bisa
disamakan dengan grammar dalam bahasa. Berkat gammar yang dipelajari, individu dapat
memproduksi kalimat-kalimat yang tak terbatas untuk menghadapi semua situasi, dengan
tidak mengulangi kalimat yang sama secara terus menerus. Demikian halnya dalam habitus,
disposisi-disposisi yang berupa skema persepsi dan tindakan akan membuat individu
memproduksi sejumlah praksis baru yang telah beradaptasi dengan dunia sosial tempat
individu tinggal.
Habitus adalah « structures structurées prédisposées à fonctionner comme
structures structurantes » (susunan terstruktur yang cenderung digunakan agar berfungsi
sebagai susunan yang tersusun). Maksudnya, habitus dikatakan structure structurée karena
habitus dihasilkan melalui proses sosialisasi individu. Selain itu, habitus juga dikatakan
structure structurante karena habitus merupakan penyusun struktur dan bisa melahirkan
praksis baru yang tak terbatas.
Selama disposisi-disposisi ini membentuk suatu sistem, habitus merupakan alat pemersatu
pemikiran dan tindakan setiap individu. Dan sebaliknya apabila setiap individu berasal dari
kelompok sosial yang sama dan telah hidup dalam sosialisasi yang sama pula, maka habitus
juga bisa menjelaskan bagaimana persamaan cara berfikir, cara merasa dan cara bertindak
dari setiap individu yang mempunyai kelas sosial yang sama. Meskipun begitu tidak berarti
bahwa disposisi-disposisi habitus tidak berubah/sama dari satu turunan ke turunan
selanjutnya.


Pergerakan

sosial

individu-individu

dapat

merubah

habitus

mereka,

menyesuaikan dengan lingkungan dan keadaan tempat yang baru tetapi tidak akan merubah
secara keseluruhan habitus mereka.
Habitus mempunyai beberapa sifat sebagai berikut ; pertama Hystérésis de
l’habitus, Bourdieu menjelaskan bahwa Hystérésis de l’habitus adalah sifat ‘bertahan lama’
dalam arti bertahan di sepanjang rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang agen.

3

‘Bertahan lama’ pada seorang agen bahkan sampai disposisi yang disosialisasikan tidak lagi
berlaku seperti kisah Don Quichotte (dicontohkan oleh Marx dan dikutip oleh Bourdieu).
Kedua Transposabilité de l’habitus, adalah sifat ‘dapat dialihpindahkan’ dalam arti
disposisi-disposisi yang telah diterima melalui kegiatan sosial tertentu, misalnya dalam
sebuah keluarga, mampu dialihpindahkan ke dalam dunia profesional. Akibat dari sifat ‘dapat
dialihpindahkan’ ini maka akan terbentuk ‘lifestyle’ dan ‘lifestyle’ ini berbeda pada posisi
kelas yang berbeda pula, demikian penjelasan Bourdieu dalam bukunya yang berjudul La
Distinction.
Dalam La Distinction, yang terutama berisi tentang struktur sosial, Bourdieu
menggarisbawahi adanya ‘style de vie’ atau ‘lifestyle’ dan ‘lifestyle’ tersebut berdasarkan
posisi kelas yang berbeda. Sebagai contoh terdapat hubungan antara praktik-praktik sosial
(atau tingkah laku) para buruh. Misalnya hubungan antara makanan buruh berbanding
sejajar dengan selera seninya. Bagi buruh makanan itu yang penting, mengenyangkan,
sering berat dan berlemak, tanpa menghiraukan makna kesehatannya. Hal ini sama dengan
selera seninya yang menyukai aliran realis dan tidak suka seni abstrak, yang nota bene
susah dicerna. Bourdieu juga menemukan bahwa cara berpakaian para buruh tetap ada
hubungannya dengan jenis makanan yang dikonsumsinya dan selera seninya. Mereka lebih
memilih pakaian yang bermanfaat, tidak menghiraukan keindahannya. Lifestyle para buruh

ini saling terkait dan selalu berhubungan dengan ‘manfaat’nya bukan ‘keindahan’nya.
Menurut Bourdieu lifestyle para buruh ini dibentuk atau dibangun berdasarkan substansinya
(atau kegunaannya tadi) bukan pada bentuknya (atau keindahan tadi).
Ketiga, sifat Générateur de l’habitus. Sifat ‘mampu menurunkan keturunan’ ini
sebenarnya menjelaskan fungsi structure structurée dan fungsi structure structurante dari
habitus. Dalam fungsinya tersebut di atas, habitus sebenarnya mempunyai sifat khas seperti
sumber yang tidak ada habisnya dalam memproduksi praksis. Melalui sejumlah disposisi
yang terbatas, seorang agen mampu menciptakan banyak strategi, seperti cara grammar
dalam sebuah bahasa, misalnya dalam bahasa Prancis, dengan seperangkat aturan
grammar yang terbatas, akan membuat pembicara menciptakan kalimat-kalimat yang tak
terbatas, pada setiap beradaptasi dengan situasi.
Dalam sifat ketiga ini habitus mengandung prinsip lain yang disebut Bourdieu sebagai
‘sens pratique’ (pratical sens) dan ‘illusio’. Melalui ‘sens pratique’ Bourdieu ingin mengatakan
bahwa habitus adalah gambaran dunia sosial, habitus beradaptasi dalam dunia sosial dan
mengijinkan setiap agen untuk bereaksi secara cepat dan tanpa banyak berfikir terhadap
kejadian-keadian yang dihadapi oleh mereka. ‘Sens pratique’ digambarkan seperti seorang

4

pemain tenis yang telah faham dengan logika permainannya ; ia akan mengejar menuju bola

yang dilempar oleh lawan mainnya tanpa memikirkan lagi gerakannya (reflex permainan).
Demikian juga dengan setiap agen, ia akan bereaksi dengan cara yang sama dalam
beradaptasi terhadap tuntutan-tututan dalam dunia sosial tempat ia hidup. Ia akan
mengembangkan strategi-strategi yang benar berkat habitus-nya.
Seperti seorang pemain tenis yang berbakat, ia mendapat strateginya melalui
pengalaman bermainnya (secara tidak sadar) dan melalui pelajaran-pelajaran yang
diperolehnya (secara sadar). Strategi-strategi yang merupakan tindakan yang bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan tersebut berfungsi secara otomatis di dalam kesadarannya
ketika ia berada di medan permainan. Demikian halnya dengan setiap agen, berdasarkan
interaksi-interaksi saat ini dan berdasarkan disposisi-disposisi yang diterimanya dari dunia
sosial pada masa lalu, setiap agen akan mempunyai strategi-strategi yang bertujuan lebih
baik dan mendapat keuntungan. Strategi-strategi tersebut tidak benar-benar dipilih/disengaja
dan bahkan mungkin akan lebih berfungsi dari strategi-strategi yang disengaja.
Dengan ‘sens pratique’ (naluri bertindak) ini Bourdieu mengkritik teori aktor rasional.
Ia menolak gagasan yang mengatakan bahwa para aktor berstrategi dengan sangat sadar
dan penuh kalkulasi dalam mengejar kepentingan. Bagi Bourdieu setiap agen akan bertindak
dengan cara sebaliknya, dengan disposisi-disposisi dan ketrampilan yang telah ada dalam
diri agen, memungkinkan setiap agen bertindak dengan cara ‘sens pratique’ dan tidak
melalui reaksi yang penuh kesadaran. Tulis Bourdieu « l’habitus enferme la solution des
paradoxes du sens objectif sans intention subjective : il est au principe de ces

enchaînements de coups qui sont objectivement organisés comme des stratégies sans être
le produit d’une véritable intention stratégique » atau « Habitus menawarkan solusi dari
pertentangan antara obyektif dan subyektif (dalam ilmu sosial). Pada prinsipnya, habitus
merupakan rangkaian tindakan yang secara obyektif disusun sebagai strategi-strategi tanpa
menghasilkan sebuah niatan berstrategi yang sesungguhnya».
Bourdieu memperluas kritiknya terhadap teori aktor rasional. Bagi Bourdieu
kepentingan tidak hanya kepentingan materiil (seperti apa yang dipaparkan dalam teori actor
rasional). Menurut keyakinannya, individu berfikir bahwa setiap kegiatan sosial itu penting
dan harus dikejar. Jadi terdapat banyak kepentingan sebanyak arena sosial : setiap arena
sosial menawarkan isu (hal yang diperebutkan) yang spesifik.
Jadi kepentingan yang dikejar oleh politikus tidak sama dengan kepentingan yang
dikejar oleh pengusaha : orang politik yakin bahwa kekuasaan merupakan sumber utama
dari kepentingan, sedangkan bagi pengusaha sumber utama kepentingannya adalah

5

kekayaan. Bourdieu menyebut kepentingan ini sebagai ‘illusio’. Dengan kata ini, Bourdieu
ingin menggarisbawahi bahwa semua kepentingan adalah sebuah kepercayaan, sebuah
illusio : untuk meyakinkan bahwa sebuah kepentingan memang layak untuk dikejar. Dengan
sebutan illusio (untuk sebuah kepentingan) akan terlihat bahwa memang kepentingan

tersebut layak untuk diperjuangkan.
Illusio diterima oleh seorang agen melalui sosialisasi. Agen percaya bahwa sebuah
kepentingan diperlukan karena ia disosialisasikan bahwa hal tersebut penting. Kepentingankepentingan dan juga keyakinan-keyakinan ditanamakan kepada agen secara sosial dan
divalidasi secara sosial pula.

2. Arena
Pierre Bourdieu menggambarkan masyarakat seperti sebuah arena (champ) yang
tersusun saling berkaitan. Terdapat bermacam-macam arena: arena pendidikan, arena
ekonomi, arena politik, arena seni, arena budaya, arena agama dll. Para agen, bisa aktor
atau institusi, tidak bergerak dalam ruang kosong tetapi bergerak dalam arena. Arena
merupakan situasi-situasi sosial nyata yang ditata dan dikuasai oleh hubungan-hubungan
sosial objektif. Arena digambarkan sebagai sebuah arena pertempuran atau arena
perjuangan untuk merebut kekuasaan diantara kekuatan-kekuatan yang ada. Pertarungan
yang terwujud bisa berupa mentransformasi/mengganti atau mempertahankan arena
kekuasaan.
Dinamika arena didasarkan pada pertarungan perebutan posisi dalam arena. Pierre
Bourdieu mengatakan bahwa setiap arena, baik budaya, politik, ekonomi dan lainnya
merupakan arena yang relatif otonom namun homologus (memiliki kesamaan struktur).
Struktur arena untuk setiap saat tertentu ditentukan oleh hubungan-hubungan antara posisiposisi para agen yang berada di dalam arena, karenanya arena adalah sebuah konsep yang
dinamis. Setiap perubahan posisi agen akan membuahkan perubahan struktur arena4.
Dalam teori arena, Pierre Bourdieu mengemukakan dua konsep yaitu ‘les strategies’
(strategi-strategi) dan ‘la trajectoire’ (jejak). Strategi merupakan produk dari habitus yang
berada dibawah kesadaran, merupakan sens pratique dari agen yang memahami aturanaturan permainan dalam ruang dan waktu tertentu. Strategi dilakukan tergantung pada
kedudukan agen dalam arena serta tergantung pula pada masalah yang menjadi dasar
pertikaian. Jika agen berada pada kedudukan dominan maka strategi yang dilaksanakan
4

http://etnosentrisna.blogspot.com/2012/10/pierre-bourdieu-arena-reproduksi.html

6

adalah mempertahankan statusquo sedangkan bila agen berada kedudukan yang
didominasi maka strategi yang dilakukan adalah usaha untuk menaikan kedudukan
sosialnya. Strategi inilah yang membangun bentuk pertempuran dan menjadi orientasi arah
penyelesaiannya.5
Bourdieu melalui teorinya mengajarkan kepada kita bahwa habitus tidak sepenuhnya
ditentukan oleh struktur-struktur objektif tetapi juga ditentukan oleh tindakan subjektif agen.
Agen memperoleh haknya untuk berkreasi melalui posisi-posisi yang terdapat dalam champ
atau arena. Maka situasi yang demikian memberi kesempatan kepada agen untuk
menggunakan berbagai strategi. (Fashri, 2007)
Strategi berperan sebagai cara para pemain untuk meningkatkan dan atau
mempertahankan posisi mereka dalam arena permainan. Usaha memperoleh pengakuan,
kekuasaan, modal dan atau akses terhadap posisi-posisi bisa terwujud melalui strategistrategi yang mereka lakukan. Bourdieu menyebutkan bahwa ada tujuh macam strategi yaitu
strategi investasi keturunan (stratégie d’investissement biologique), strategi suksesif
(stratégie successorale), strategi pendidikan (stratégie éducative), strategi investasi ekonomi
(stratégie d’investissement économique), strategi investasi sosial (stratégie d’investissement
social), strategi ikatan perkawinan (stratégies matrimoniales), strategi investasi simbolik
(stratégie d’investissement symbolique) serta strategi khusus (stratégie de sociodicée)
(Bourdieu, 1994). Haryatmoko (2003:15) menjelaskan bahwa konsep strategi Bourdieu
tersebut sesungguhnya dipahami sebagai (a) strategi investasi ekonomi yang terkait dengan
menambah serta mempertahankan modal ekonomi; (b) strategi investasi simbolik,
mempertahankan dan meningkatkan pengakuan sosial yang didapat; (c) strategi investasi
biologis, yakni kontrol pengaturan jumlah keturunan; (d) strategi pewarisan, terkait dengan
modal ekonomi yang dipandang sebagai modal yang signifikan dalam arena kekuasaan; (e)
strategi edukatif, yakni praktik yang mengarah pada usaha menghasilkan pelaku sosial yang
memiliki keahlian tertentu.
La trajectoire secara harafiah berarti jejak yang dilalui atau riwayat. Pierre Bourdieu
membedakan trajectoire menjadi beberapa konsep yang berbeda ; trajectoire individuelle,
trajectoire sociale, trajectoire collective6.

5
6

Lihat buku la distinction bab 2 halaman 145-146
Lihat buku la distinction bab 2 halaman 122-126

7

3. Modal
Untuk masuk dan ikut bermain dalam pertempuran adu kekuatan yang ada di arena,
agen harus memiliki habitus yang sesuai untuk bisa beradaptasi. Agen harus memiliki
pengetahuan, ketrampilan dan bakat yang tepat agar bisa berjuang dalam arena tersebut,
dan supaya berhasil agen harus mempunyai modal serta memanfaatkannya sebesar
mungkin. Pierre Bourdieu menggambarkan modal sebagai semua sumber daya sosial yang
merupakan akumulasi yang memungkinkan individu untuk memperoleh manfaat. Dalam
arena, agen akan menempatkan dirinya berdasarkan fungsi dan jumlah modal yang
dimilikinya serta berdasarkan relatif kepentingan kapital tersebut. Para pelaku menempati
posisi-posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi: pertama, menurut besarnya
kapital yang dimiliki; dan kedua, sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka:
“untuk memahami bahwa sistem kepemilikan yang sama (yang menentukan posisi di dalam
arena perjuangan kelas) memiliki unsur yang dapat menjelaskan, apapun bidang yang dikaji,
konsusmsi makanan, praktik prokreasi, opini politik atau praktik keagamaan, dan bahwa
bobot yang terkait dengan faktor-faktor yang membentuknya berbeda di satu arena dengan
yang lain, dalam arena perjuangan yang satu mungkin modal budaya, ditempat lain mungkin
modal ekonomi, arena lainnya lagi modal sosial, dan seterusnya.” (Haryatmoko: 2003 dan
Fashri 2007:96-98)
Konsep kapital Bourdieu tidak sama persis dengan Karl Marx. Marxisme klasik
melihat kapital hanya dari sisi ekonomi saja sedangkan Bourdieu memasukkan unsur
budaya dan sosial. Kapital ekonomi memang masih menjadi kekuatan sentral dalam
mendorong perbedaan kelas tetapi kapital budaya juga mempunyai peran besar dalam
petempuran di arena. Bourdieu membedakan empat macam kapital yaitu:
 Le capital économique atau modal ekonomi mengukur semua sumber daya ekonomi
individu, termasuk pendapatan dan warisannya.
 Le capital culturel atau modal budaya mengukur semua sumber daya budaya yang dapat
menempatkan kedudukan seorang individu. Kapital ini terdiri dari tiga bentuk, pertama
incorporées yang meliputi pengetahuan umum, ketrampilan, nilai budaya, agama, norma,
bakat turunan, dll; kedua objectivées yang meliputi kepemilikan benda-benda budaya
yang bernilai tinggi; ketiga institutionalisé meliputi gelar, tingkat pendidikan, keahlian
tertentu yang diperoleh melalui jenjang pendidikan.

8

 Le capital social atau modal sosial mengukur semua sumber daya yang berkaitan dengan
kepemilikan jaringan sosial berkelanjutan dari semua relasi dan semua orang yang
dikenal.
 Le capital symbolique atau modal simbolik menunjukkan segala bentuk kapital (budaya,
sosial atau ekonomi) yang mendapat pengakuan khusus dalam masyarakat.
Modal ekonomi dan modal budaya, bagi Bourdieu, adalah dua hal yang paling penting tetapi
setiap modal meimliki kekhususan dalam setiap arena dan modal juga menentukan struktur
arena serta menentukan hal yang dipertaruhkan dalam arena.

Modal budaya merupakan semua sumber daya budaya yang dapat menentukan
kedudukan seorang individu dalam arena. Modal budaya bisa diperoleh individu melalui
bentukan dan internalisasi padanya sejak kecil terutama melalui ajaran orangtua dan pengaruh
lingkungan keluarganya, bisa diperoleh melalui pendidikan formal, non-formal atau warisan
keluarga dan bisa berupa materi yang berkaitan dengan seni. Bourdieu sendiri
menggolongkan modal budaya menjadi tiga dimensi yaitu Capital culturel incorporé
(embodied) yang meliputi pengetahuan umum, ketrampilan, bakat turunan, nilai budaya,
agama, norma, dll; Capital culturel objectivé (objectified) yang meliputi kepemilikan bendabenda budaya bernilai tinggi. Kepemilikan tersebut bisa diperoleh dengan cara membeli atau
mendapat warisan dan Capital culturel institutionalisé (institutionalized) yang meliputi gelar,
tingkat pendidikan, keahlian tertentu yang diperoleh melalui jenjang pendidikan. (Bourdieu,
1994)
Modal ekonomi adalah semua sumber daya ekonomi individu atau segala bentuk
kekayaan materi yang dimiliki oleh agen termasuk pendapatan, warisan, investasi atau
tabungan yang berwujud uang, giro, emas dan perhiasan, saham, tanah, rumah serta barang
mewah lain. Bisa juga berupa alat-alat produksi dan materi. Komponen modal ekonomi
bersifat nyata, kasat mata dan dapat dipegang. (Bourdieu, 1994)
Sedangkan modal sosial mengukur semua sumber daya yang berkaitan dengan
kepemilikan jaringan sosial berkelanjutan dari semua relasi dan semua orang yang dikenal.
Jadi hakikat modal sosial adalah hubungan sosial yang terjalin dalam masyarakat yang
mencerminkan hasil interaksi sosial dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga terjalin
pola kerjasama, menghasilkan jaringan dan pertukaran sosial (network social), saling percaya
(trust). Sedangkan nilai, norma dan peraturan yang mendasari hubungan sosial tersebut juga
termasuk dalam modal sosial. (Bourdieu, 1980)

Teori Ruang Sosial
Selain tiga kata kunci tersebut di atas, Pierre Bourdieu juga mengembangkan teori
ruang sosial yang bertujuan untuk menjelaskan logika dari susunan masyarakat yang
terbentuk, menjelaskan lifestyle dan dinamikanya serta menjelaskan bagaimana
9

mereproduksi susunan masyarakat bisa terjadi. Teori ini tidak bisa lepas dari konsep
habitus, modal dan arena yang telah dijelaskan pada point sebelumnya.

Logika terbentuknya susunan masyarakat.
Dalam La Distiction, Bourdieu menyebutkan bahwa teori ruang sosialnya berbeda dengan
teori tradisional Karl Marx yang mengatakan bahwa struktur masyarakat tersusun
berdasarkan sumber-sumber produksi ekonomi. Sumber produksi ekonomi adalah hal-hal
yang berhubungan produksi yaitu mereka yang langsung menghasilkan barang produksi
(buruh) dan mereka yang memiliki sarana produksi (kapitalis). Kapitalisme inilah yang
menciptakan dua kelas sosial yaitu buruh dan kaum borjuis kapitalis. Kedua kelompok sosial
ini berada dalam pertarungan dan kaum borjuis mengeksploatasi kaum buruh. Jadi produksi
ekonomi telah membentuk masyarakat dengan menciptakan kelas-kelas sosial yang
bertentangan.
Bourdieu tidak setuju dengan pendapat marxisme tersebut, ia setuju dengan apa yang
dikemukakan oleh Max Weber bahwa susunan masyarakat tidak hanya berdasarkan logika
ekonomi. Bourdieu mengatakan bahwa dalam masyarakat modern, jumlah sumber budaya
yang dimiliki oleh agen lebih memegang peran penting dalam posisi sosialnya, misalnya
posisi sosial seorang individu ditentukan oleh ijasah yang ia miliki daripada oleh kekayaan
yang ia warisi.
Teori ruang sosial Bourdieu terdiri dari dua dimensi. Dimensi pertama dibentuk oleh
modal ekonomi dan dimensi kedua oleh modal budaya. Seorang agen memposisikan dirinya
dalam ruang sosial berdasarkan fungsi dan jumlah kedua modal tersebut serta berdasarkan
relatif penting tidaknya dari masing-masing modal tersebut secara keseluruhan. Diagram di
bawah ini menjelaskan bagaimana dimensi pertama dan dimensi kedua membentuk
susunan masyarakat sekaligus hirarkinya.

10

Diagram 1.
Susunan Masyarakat Menurut Teori Ruang Sosial Pierre Bourdieu
(Sumber: http://fr.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu)

11

Penjelasan Diagram/Istilah yang ada dalam Diagram
Capital Total=Modal secara menyeluruh

Techniciens=Teknisi

Professions libérales=Profesi bebas

Instituteurs=Guru SD/SMP

Professeurs supérieurs=Dosen

Cadre moyen administratifs=Direksi
menengah bagian administrasi

Cadre privé=Direksi perusahaan swasta
Ingénieur=Insinyur
Patron commerce=Pemimpin perusahaan
dagang
Patron industrie=Pemimpin perusahaan industri
Cadre public=Direksi perusahaan negeri
Artiste=Seniman
Professeurs secondaires=Guru SMA
Sevices Medico-Sociaux=Pekerja layanan
kesehatan masyarakat
Intermediare culturelle=Penyelenggara kegiatan
budaya
Cadre moyens du commerce=Direksi
menengah perusahaan dagang

Petit commercant=Pedagang kecil
Artisant=Pengrajin
Employés commerce=Pegawai
perusahaan dagang
Employés du bureau=Pegawai kantor
Exploitants agricole=Penggarap
pertanian/sawah
Contremaitres=Mandor/Pengawas
pekerja
Ouvriers qualifié=Buruh terlatih
Ouvriers spécialiste=Buruh spesialis
Manœuvres=Buruh kasar

Piano=Piano

Tennis=Olahraga tenis

Golf=Golf

Voile=Berlayar

Equitation=Berkuda

Chasse=Berburu

Echecs=Catur

Natation=Berenang

Wishky=Wiski

Marche=Berjalan

Champagne=Sampanye

Eau mineral=Air mineral

Montagne=Gunung (naik gunung)

Guitare=Permainan gitar

Comédie musicale=Komedi musik

Bière=Minuman bir

Pétanque=Permainan pétanque

Pernod=Nama minuman ( ?)

Pèche=Memancing

Belot=Permainan kartu

Football=Olahraga Sepak bola

Vin rouge ordinaire=Anggur merah biasa

Diagram di atas menjelaskan posisi individu yang mempunyai modal ekonomi lebih
banyak daripada modal budaya akan menempati daerah sebelah kanan atas. Kelompok
sosial ini biasanya berprofesi sebagai pengusaha sukses, sebaliknya individu yang
mempunyai modal budaya lebih banyak daripada modal ekonomi akan menempati daerah
12

sebelah kiri atas, kelompok sosial ini biasanya berprofesi sebagai dosen di Universitas,
seorang insinyur, seorang artis sukses, dll. Capital Total + menunjukkan jumlah kedua modal
tersebut paling banyak dan makin turun makin mendekati Capital Total – menunjukkan makin
sedikit jumlah kedua modal tersebut dimiliki oleh individu.
Bourdieu menegaskan bahwa visi-nya tentang ruang sosial adalah relasional,
maksudnya posisi masing-masing agen tidak tampak bila berdiri sendiri. Posisi itu akan
tampak bila dibandingkan dengan jumlah modal yang dimiliki oleh agen lain. Modal ekonomi
dan modal budaya merupakan hal paling penting dalam membentuk susunan masyarakat
tetapi dua modal lainnya yaitu modal sosial dan modal simbolik akan menunjang posisi agen
dalam menduduki tempat penting. Melalui teori tersebut di atas, dapat dipahami bagaimana
susunan masyarakat bisa terbentuk.

Lifestyle dan dinamikanya.
Bagi Bourdieu lifestyle individu merupakan cerminan posisi sosial mereka. Bourdieu
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara cara hidup, selera seni, cara
bertindak dan cita rasa (rasa suka dan tidak suka) seorang individu dengan posisi sosialnya
dalam susunan hirarkis masyarakat. Habitus-lah yang menjadi mediasi dasar dari korelasi
ini. Seorang individu pada posisi sosial tertentu akan memperoleh disposisi-disposisi budaya
tertentu pula. Sebagai contoh, seorang anak buruh akan menerima disposisi-disposisi
sebuah kehidupan dimana kebutuhan ekonomi merupakan hal yang utama, seperti
kehidupan buruh iru sendiri; misalnya pandangannya terhadap makanan, bagi mereka yang
penting mengenyangkan, tidak memperhatikan nilai gizi-nya ; pandangan terhadap seni,
mereka lebih memahami aliran realis, yang dapat dinikmati dengan mudah; pandangan
terhadap pakaian, mereka lebih memilih pakaian yang memberi manfaat, bukan karena nilai
keindahan.
Bourdieu juga menjelaskan bahwa dalam ruang lifestyle bermain sebuah aspek
penting dari legitimasi tatanan sosial. Lifestyle mempunyai efek pembeda dan legitimasi,
misalnya kelompok sosial yang lebih tinggi menyukai sebuah musik yang dianggap lebih
bermutu oleh masyarakat daripada kelompok sosial yang lebih rendah. Musik merupakan
sumber pembeda dalam selera mereka. Dan pembeda ini, pada saat yang sama, merupakan
sebuah legitimasi bahwa kelompok sosial yang lebih tinggi berbeda karena mereka
menyukai musik yang berbeda.

13

Selanjutnya Pierre Bourdieu mengatakan bahwa antar kelompok sosial dalam
tatanan hirarkis masyarakat sebenarnya sedang dalam melakukan pertarungan simbolik.
Individu dari kelompok yang lebih rendah berusaha meniru atau mengimitasi praktek-praktek
budaya dari kelompok yang lebih tinggi untuk menaikkan mutu diri secara sosial dalam
masyarakat. Selanjutnya individu dari kelompok yang lebih tinggi, yang peka terhadap
tindakan imitasi ini, cenderung akan merubah praktek sosial budaya mereka. Mereka
mencari praktek sosial budaya lain dan selalu mampu menciptakan perbedaan simbolik
mereka. Pengungkapan dialektik ini yaitu tindakan imitasi dan usaha pencarian perbedaan,
merupakan sumber dari perubahan praktek-praktek budaya. Tetapi pertentangan simbolik ini
hanya membuat kelompok yang lebih rendah merugi sebab dengan melakukan imitasi
berarti mereka mengakui adanya perbedaan (diantara mereka) tanpa bisa menciptakan
budaya baru.
Sebagaimana dikatakan Bourdieu sebelumnya bahwa ruang sosial bersifat relasional.
Perbedaan simbolik antara kelompok sosial dalam tatanan hirarkis masyarakat tidak akan
tampak bila tidak ada pembedanya. Golf tidak akan dapat dibedakan jika tidak ada olahraga
lain seperti sepakbola, sehingga orang bisa membedakannya. Meskipun perbedaan praktek
sosial budaya berubah setiap waktu seiring dengan adopsi praktek sosial budaya oleh
kelompok yang lebih rendah, tetapi perbedaan simbolik tersebut selalu ada pembedanya.

Mereproduksi susunan masyarakat
Bagi Bourdieu, perubahan susunan masyarakat dilakukan melalui perubahan hirarki sosial
sekaligus melalui legitimasi/pengesahan dari perubahan itu sendiri. Menurutnya pendidikan
memainkan peran penting dalam perubahan tatanan sosial di tengah masyarakat modern.
Jadi Bourdieu mengembangkan sebuah teori pendidikan yang bertujuan untuk menunjukkan
bahwa:
1. Pendidikan dapat mereproduksi susunan masyarakat, dengan cara mendidik anak-anak
kelas dominan untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya yang pada waktunya nanti,
memungkinkan mereka untuk dapat menempati kedudukan/posisi-posisi penting dalam
masyarakat.
2. Pendidikan

melegitimasi/mengesahkan

adanya

penggolongan

sekolah

individu.

Berdasarkan « ideologie bakat bawaan », penggolongan ini terjadi dengan tidak
memperhatikan asal usul sosialnya tetapi sebaliknya dengan memperhatikan hasil dari
kemampuan yang dimiliki sejak lahir dari individu tersebut.
14

Dalam bukunya La reproduction, Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron berusaha
keras untuk menunjukkan bahwa pendidikan membentuk sebuah «kekerasan simbolik yang
kuat », yang berperan memberikan legitimasi/pengesahan sesuai dengan kekuatan asal dari
hirarki sosial. Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Bourdieu mengatakan bahwa pendidikan
mentransfer pengetahuan yang dekat dengan kelas dominan. Jadi, anak-anak kelas
dominan memiliki modal budaya yang memungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan
tuntutan sekolah dengan mudah dan sebagai akibatnya, mereka bisa berhasil dengan lebih
baik dalam pendidikan mereka. Bagi Bourdieu, hal itu memungkinkan adanya legitimasi
mereproduksi susunan masyarakat. Penyebab keberhasilan sekolah dari kelas dominan
memang tetap tersembunyi, sedangkan kenaikan mereka pada posisi sosial dominan, berkat
tingkat pendidikannya, diakui karena ijazah yang dimilikinya. Sebagaimana yang Bourdieu
catat, dengan menyembunyikan kenyataan bahwa anggota kelas dominan berhasil di
sekolah mereka karena memiliki kedekatan antara budaya mereka dengan budaya
pendidikan sehingga sekolah memungkinkan memberikan legitimasi atas mereproduksi
susunan sosial yang mereka dapat.
Bagi Bourdieu, proses legitimasi dijaga melalui dua keyakinan yang mendasar. Pertama,
sekolah dianggap netral dan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh sebagai sesuatu
yang independen.

Jadi sekolah tidak dipersepsikan sebagai penanaman

sebuah

perlindungan budaya yang menyerupai apa yang dimiliki oleh golongan bojuis – yang
membuat kelas kaum borjuis diakui (selalu berada pada kelas dominan). Kedua, kegagalan
atau keberhasilan sekolah seringkali dianggap sebagai « warisan » yang dikembalikan pada
pembawaan/watak individu. Kegagalan sekolah bagi mereka yang mengalaminya, kemudian
akan

dipahami

sebagai

sebuah

kegagalan

pribadi,

yang

dikembalikan

pada

ketidakmampuannya sendiri (misalnya karena kurang pintar). Menurut Bourdieu, « ideologi
warisan» ini memainkan peran yang menentukan dalam penerimaan oleh individu-individu
sebagai takdir sekolah mereka dan takdir sosial yang diterimanya.
Teori tentang pendidikan ini dikembangkan dalam buku Bourdieu yang berjudul La Noblesse
d’État yang diterbitkan pada 1989 dan bekerjasama dengan Monique de Saint-Martin.
Bourdieu menonjolkan cengkraman yang semakin lama semakin kuat apa yang
dinamakannya sebagai « mode perubahan yang terdiri dari unsur pendidikan » yang
menghasilkan ijazah menjadi syarat mutlak untuk bisa memasuki perusahaan-perusahaan
birokrasi modern, demikian juga bagi kaum borjuis industri yang telah berlangsung lama
untuk mentransfer kedudukan sosialnya.
Saat ini, hampir semua kelas sosial dipaksa untuk memastikan bahwa anak-anak mereka
memperoleh ijazah agar dapat merubah kedudukan sosial mereka, termasuk para pemilik
15

perusahaan, mereka juga menuntut anak-anaknya untuk memiliki ijazah bisnis agar dapat
meneruskan memimpin perusahaan orang tuanya. Hal itu telah merubah sistem pendidikan
secara mendalam, khususnya Grandes Écoles yg mengajarkan tentang kekuasaan.
Bourdieu berusaha keras untuk menunjukkan bahwa Grandes Écoles tempat diajarkan
terutama tentang kecakapan-kecakapan pendidikan tradisional, sekarang tersaingi oleh
perguruan tinggi-perguruan tinggi baru, yang hanya mengajarkan tentang kekuasaan.
Sebagai contoh, École Normale Supérieure (ENS) telah tergeser kedudukan dominannya
dengan adanya École Normale d’Administration (ENA). Pada saat yang sama perguruan
tinggi-perguruan tinggi yang bukan unggulan, misalnya European Business School, dengan
persyaratan yang tidak terlalu ketat, bermunculan, yang fungsinya memberikan kemungkinan
kepada anak-anak yang berasal dari kelas dominan untuk mendapatkan ijazah yang tidak
bisa mereka dapatkan dari Grandes Écoles.

Kekerasan Simbolik
Menurut Bourdieu kekerasan selalu ada di dalam lingkaran kekuasaan, yang berarti
bahwa kekerasan merupakan dasar dan hasil dari praktek kekuasaan. Ketika kelas dominan
berusaha menguasai kelas yang tidak dominan maka akan terjadi kekerasan. Tetapi aksi
dominasi kelas dominan ini sering diupayakan supaya tindakannya tidak mudah dikenali.
Mekanisme kelas dominan dalam menguasai kelas yang tidak dominan dilakukan secara
halus tetapi kontinyu dan pasti sehingga yang didominasi tidak terasa kalau sedang
terdominasi atau tertindas. Bahkan kelas yang terdominasi tadi merasa memang sudah
sepatutnya demikian. Inilah yang disebut dengan kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik merupakan penerapan dominasi sedemikian rupa sehingga
praktik dominasi tersebut diakui secara salah (misrecognized) dan meskipun demikian ia
diakui (recognized) sebagai sesuatu yang sah (legitimate). Oleh sebab itu kekerasan
simbolik yang mengambil bentuk sangat halus ini tidak akan mengundang resistensi karena
ia sudah mendapat legitimasi sosial (Fashri, 2010:131).
Konsep violence symbolique atau kekerasan simbolik digunakan Bourdieu dalam
menggambarkan proses belajar di pendidikan formal. Seseorang yang berhasil dalam
pendidikan cenderung merupakan hasil dari perilaku budaya dalam keluarga yang sangat
luas, baik itu kebiasaan mengerjakan PR, kebiasaan belajar sampai pada hal-hal yang
seolah-olah tidak berkaitan dengan akademis seperti gaya berjalan, cara berpakaian atau
cara berbicara/aksen. Anak-anak dari kalangan atas cenderung telah mempelajari perilaku16

perilaku ini dari lingkungan keluarga mereka sehingga mereka tidak merasa kesulitan
mengikuti pola-pola yang diharapkan oleh guru-guru mereka yang juga mempunyai budaya
yang sama. Sebaliknya anak-anak yang berasal dari kalangan bawah tidak mempelajarinya
dari keluarga sehingga mereka kesulitan mengikuti pola-pola yang diharapkan oleh guru dan
mereka tampak susah diatur yang berujung pada kegagalan studinya. Apabila ingin berhasil
dalam pendidikan formal maka bersikap, bertindak dan berperilakulah seperti anak-anak dari
kalangan atas.
Konsep ini menjelaskan bagaimana kelas atas yang dominan dalam masyarakat
dapat memaksakan ideologi, budaya atau gaya hidup mereka kepada kelompok kelas
bawah. Masyarakat kelas bawah dipaksa untuk menerima, mengakui dan mempraktekkan
ideologi, budaya atau gaya hidup kelas atas yang memang dianggap lebih layak
dipraktekkan dan membuang jauh-jauh ideologi budaya atau gaya hidup kelas bawah
mereka (Martono, 2012).

17

Pengaruh Pemikiran atau Teori Sebelumnya
Seperti telah diketahui bersama bahwa tidak ada satupun teori sosial yang lahir tanpa
pengaruh dari teori lain sebelumnya. Pengaruh teori sosial terhadap teori yang lahir
sesudahnya dapat dilihat melalui dua jalan; pertama, mengikuti sebagian konsep (kemudian
mengembangkannya) dari teori sebelumnya dan kedua, tidak sependapat dengan teori
sosial sebelumnya.
Teori sosial Pierre Bourdieu merupakan sintesis dari para teoretisi klasik seperti Karl
Marx, Emile Durkheim dan Max Weber. Dari Weber, Bourdieu mengambil dimensi penting
dari pengakuan/legitimasi simbolik semua dominasi dalam kehidupan sosial, seperti gagasan
tatanan sosial, yang dalam teori Bourdieu disebut sebagai des champs atau arena. Bourdieu
mengambil konsep kapital dari Karl Marx, hanya saja Bourdieu memandangnya dari semua
dimensi kegiatan sosial seperti budaya, politik dll, tidak hanya dalam dimensi ekonomi
seperti teori yang dikemukakan Karl Marx. Dari Durkheim, Bourdieu mendapat teori
deterministe dan melalui tangan Marcel Mauss serta Claude Levi-Strausse, ia kemudian
menjadi penganut Strukturalisme.
Selain itu Ludwig Wittegenstein juga termasuk teoretisi yang menjadi sumber
inspirasi bagi Bourdieu, terutama pemikirannya tentang sifat aturan-aturan yang diikuti oleh
para agen sosial, dengan kata lain teori Bourdieu yang mengatakan bahwa agen sosial pada
saatnya akan mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan, terinspirasi oleh teori yang
dikemukakan oleh Wittegenstein.
Teoretisi lain yang sangat mempengaruhi pemikiran Bourdieu adalah Blaise Pascal. Kalimat
Bourdieu dalam artikelnya yang berjudul Meditations Pascaliennes7, menunjukkan tentang
hal ini : « J’avais pris l’habitude, depuis longtemps, lorsqu’on me posait la question,
généralement mal intentionnée, de mes rapports avec Marx, de répondre qu’à tout prendre,
et s’il fallait à tout prix s’affilier, je me dirais plutôt pascalien […] » atau « Sejak lama saya
sudah terbiasa menjawab secara keseluruhan, ketika orang-orang menanyakan yang pada
umumnya bermaksud tdk baik, kaitan saya dengan Karl Marx, jika harus bergabung, secara
tegas, saya cenderung mengatakan bahwa saya adalah penganut paham Blaise Pascal
[…] »

7

Pierre Bourdieu, Méditations pascaliennes, Paris, Seuil, coll. « Liber », 1997, 316 p. (ISBN 2020320029)

18

Mengapa pikiran-pikiran Pierre Bourdieu (1930-2002) penting dan menarik dalam khasanah
ilmu sosial? Setidaknya, ada dua hal yang membuat pikiran Bourdieu unik dan signifikan,
terkait dengan upayanya mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur
sosial, dan kebebasan-determinisme, yang kemudian disebutnya sebagai strukturalisme
genetis, strukturalisme konstruktivis, atau konstruktivisme strukturalis. 190 | KANAL. Vol. 2,
No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206
Pertama, konsep-konsep kuncinya yaitu habitus, modal, dan field bisa digunakan untuk
menyingkap dominasi yang diasumsikan selalu ada dalam masyarakat, dengan melacak
kepemilikan atau akumulasi kepemilikan modal masing-masing anggota masyarakat. Pada
titik ini, Bourdieu keluar dari tradisi Marxian dengan mendefinisikan model-model dominasi
yang tidak hanya berdimensi ekonomi sebagaimana Marx, tetapi juga dominasi budaya,
politik, gender, seni, dan sebagainya dalam beragam ranah. Bourdieu juga mengembangkan
teorinya tentang dominasi simbolis (praktik kuasa dalam konteks simbolis) untuk
membedakan analisisnya dengan analisis Marxian klasik, di antaranya dengan menyodorkan
konsep modal simbolik, modal kultural, modal sosial, dan modal ekonomi. Dalam kacamata
Bourdieu, hubungan atau pemetaan kekuasaan di dalam masyarakat tidak berbentuk
piramida atau tangga, tetapi lebih berupa konfigurasi yang berdasar kepemilikan dan
komposisi modal-modal yang dimiliki.
Dengan kata lain, Bourdieu mengoreksi Marx yang dianggap terlalu memperhatikan
hubungan-hubungan produksi ekonomi (mereduksi bidang sosial hanya pada ubunganhubungan produksi ekonomi) dan mengabaikan hubungan-hubungan produksi budaya.
Dalam pembagian kelas Bourdieu tidak sepenuhnya mengikuti Marx yang meletakkan basis
analisisnya pada hubungan produksi ekonomi. Jika Marx membagi kelas ke dalam hubungan
antagonis antara kelas pemilik modal/feodal dengan buruh/proletar, Bourdie membaginya ke
dalam kelas dominan, borjuasi kecil, dan populer dengan merujuk pada kepemilikan atau
konfigurasi kepemilikan atas empat jenis modal.
Kedua, perspektif yang khas seperti inilah yang kemudian membuat pikiran-pikiran Bourdieu
bisa digunakan untuk menjelaskan beragam fenomena, atau tepatnya digunakan untuk
membongkar atau menyingkap dominasi (praktik kuasa) yang ada di dalam beragam ranah,
mulai ranah politik, budaya, akademis, sastra, kesenian, jurnalistik dan sebagainya. Bahkan
perspektif yang dikembangkan Bourdieu ini kemudian mampu menyingkap kepentingankepentingan dominatif di balik apa yang disebut ideologi bakat dan selera budaya.
Secara ringkas, pemikiran Bourdieu setidaknya dibangun di atas integrasi empat paradigma,
yaitu positivisme (tampak pada analisisnya mengenai hukum-hukum yang berlaku dalam
suatu ranah berikut penggunaan data kuantitatif dalam konsepnya tentang kelas sosial),
19

fenomenologi (tampak pada konsep habitus sebagai skema kesadaran tindakan seorang
agen), strukturalisme (sebagai paradigma maupun metode analisis), dan Marxisme (tampak
pada kepekaan terhadap relasi kuasa dalam struktur ranah dan mewujud dalam konsepnya
tentang dominasi serta kekerasan simbolik).
Sampai ajal menjemputnya pada 23 Januari 2002, Bourdieu telah menulis puluhan bahkan
ratusan tulisan yang tersebar ke dalam bentuk buku maupun jurnal.Pikiran-pikiran khas itu
tidak lahir dari ruang hampa, tetapi dari beragam konteks, yaitu konteks pengalaman
hidupnya sendiri, konteks sosial-politik di Prancis saat itu, serta konteks perkembangan ilmu
sosial yang terjadi di Eropa (Prancis) dan Amerika Serikat waktu itu.

20

Biographie Pierre Bourdieu
Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di sebuah desa kecil yang bernama Denguin, di wilayah
Pyerenia Atlantik, Prancis. Masa kecil dilewatkannya dalam kehidupan pedesaan yang
sederhana. Bisa disebut, dia berasal dari keluarga yang kurang berpendidikan. Ayahnya
tidak pernah menyelesaikan sekolah formal, meski ibunya masih bisa melanjutkan
pendidikan formalnya sampai usia 16 tahun. (Grenfell: 2008)
Lulus dari sekolah dasar, Bourdieu melanjutkan pendidikan ke Pau, sebuah kota yang
letaknya cukup jauh dari desanya. Di sini, dia mulai menunjukkan bakat akademiknya dan
mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Dia kemudian menempuh pendidikan di Louis-leGrand, Paris, yang disebut-sebut sebagai “tempat pelatihan” untuk memasuki kampus elite
di Paris yang bernama Ecole Normale Superieure (ENS). Pada tahun 1951, Bourdieu lulus
tes ke ENS, dan memilih menekuni filsafat sampai lulus tahun 1951.
Di sinilah terjadi ketegangan dan traumatisme yang kemudian mempengaruhi warna
gagasan Bourdieu. Gagasannya dipengaruhi trauma saat dia dicerabut dari asal-usulnya
ketika dia memasuki Louis-le-Grand di Paris dan kemudian ENS di Paris. ENS adalah
sekolah tinggi yang amat prestisius. Di kampus itu juga belajar tokoh-tokoh ilmu sosial
seperti Sartre, Levinas, atau Foucoult.
Di ENS, rasa rendah diri mengelayuti hatinya karena merasa berasal dari daerah terpencil
yang nyaris tak dikenal. Dunia yang bukan lingkungannya membuatnya gagap, terutama
saat berhadapan dengan rekan-rekannya yang kebanyakan berasal dari kalangan borjuis.
Mereka tampil cerdas, terpelajar, lincah dalam bicara. Mereka memiliki kelenturan dalam
menggunakan bahasa-cerdik, baik dalam tulisan maupun tutur kata. Sementara bagi
Bourdieu, bahasa-cerdik bukanlah bahasa ibu. Kendati berhasil dalam karir intelektual,
tulisannya tidak memiliki alur penalaran yang mudah. Kalimat-kalimatnya banyak diwarnai
parafrase, yang merupakan ungkapan tak percaya diri yang ingin menjelaskan segalanya
supaya tidak disalahmengerti. Meski sudah sering diundang sebagai pembicara, tetap saja
dia bukan orator yang fasih. (Haryatmoko: 2003)
Rasa rendah diri itulah yang sepertinya “membimbing” Bourdieu membentuk cara berpikirnya
yang tajam membongkar dominasi dalam masyarakat, dan tidak hanya meletakkan basis
analisisnya di atas hubungan produksi ekonomi melainkan juga budaya. Konsep-konsep
khasnya seperti habitus, modal, dan ranah (yang kemudian digunakan untuk membongkar
atau menyingkap dominasi di dalam beragam ranah) terlihat seperti cerminan kehidupan
masa kecil dan mudanya yang diselubungi rasa rendah diri atau perasaan keterasingannya
dari lingkungan.
Lulus dari ENS, Bourdieu berpindah-pindah mengajar di berbagai tempat, mulai di Moulins,
Fakultas Satra di Alger, Lille, dan menduduki jabatan-jabatan prestisius seperti direktur Ecole
21

des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), direktur pusat kajian sosiologi Eropa dan
majalah Actes de la Rocherche en Sciences Sociales, editor di penerbit Le Sens Common.
Pada masa-masa ini, dia menulis berbagai buku yang diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa.
Dari Filsafat ke Sosiologi Kritis
Bourdieu mengalami peristiwa yang kemudian ikut mempengaruhi karir akademisnya dari
menekuni filsafat menjadi sosiologi (kritis), yaitu keterpaksaannya mengikuti wajib militer dan
keterlibatannya dalam gerakan-gerakan sosial-politik. Peristiwa itulah yang membuatnya
kian tajam menyoal dominasi.
Pada 1956, saat masih mengajar di Moulins, dia mendapat panggilan wajib militer ke
Aljazair. Pada tahun 1956 dia tiba di Aljazair sebagai serdadu dan filsuf, namun pulang ke
Prancis pada tahun 1960 sebagai etnografer otodidak dan antropolog sosial. Kehadirannya
sebagai serdadu yang juga filsuf di Aljazair membuatnya senantiasa berupaya menangkap
realitas akibat pendudukan Prancis sebagai bagian dari refleksi teoritisnya (Jenkins: 1992).
Saat tiba di Aljazair, Bourdieu melihat sejumlah kondisi sosial-politik yang melingkupi Aljazair
di bawah kolonialisme Prancis. Pertama, terdapat ketegangan antara bangsa Barbers Arab,
penduduk minoritas yang merupakan warga asli, dan ―pied noir” (warga Prancis yang
menetap di sana). Kedua, dia menemukan adanya ketidakstabilan dan kegoyahan
pemerintah (penguasa) yang saat itu dikuasai Fourth Republic. Ketiga, perasaan terluka
yang dialami pasukan Prancis menyusul kekalahan perang di Indo-China pada bulan Mei
1954 (Robin: 1991).
Ketegangan antara orang Eropa dan penduduk Aljazair ini memberi pengaruh pada hasil
karya Bourdieu, yang lalu diterbitkan dengan judul Sosiologie de l‘Agerie, yang ikut
memposisikan dirinya dalam kelompok orang besar dalam ilmu sosial. Dengan
menggunakan strukturalisme Saussure dan Levi Strauss, Bourdieu memberi penafsiran
terhadap bentuk rumah suku Kabyle dan menemukan oposisi binernya. Studi ini yang
disebut-sebut sebagai awal Bourdieu meninggalkan dikotomi objektivis dan subjektivis
(Jenkins: 1992). Dalam buku ini, Bourdieu terlihat meninggalkan perspektif filsafat menuju
antropologi sosial. Perubahan yang terlihat dipengaruhi oleh keprihatinan mendasar
Bourdieu terhadap lingkungan sosial dan hasratnya terhadap perubahan.
Pengalamannya menjadi bagian kelompok sosial yang didominasi membuat perjalanan
intelektualnya sampai pada keputusan melibatkan diri ke dalam gerakan politik dan alternatif
pada dekade 1990-an. Awal keterlibatannya ke dalam dunia politik sebenarnya dimulai pada
tahun 1984 dan 1988, Bourdieu menjadi anggota komite yang dibentuk pemerintah sosialis
di bawah Francois Mitterand untuk mengkaji ulang kurikulum dan sistem pendidikan di
22

Prancis. Namun keterlibatannya tidak lama. Pada 1993, dia menerbitkan buku The Weight of
the World yang mengungkapkan penderitaan sosial di Prancis yang diakibatkan kebijakan
neoliberal yang diadopsi pemerintah sosialis di sana. Beruntun, dia menulis serangkaian
buku dengan tema yang sama (Grenfell: 2008).
Pada periode 1990-an,