BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Komunikasi 1.1 Defenisi Komunikasi - Hubungan Pola Komunikasi Keluarga dengan Tingkat Depresi Lansia di Kelurahan Padang Bulan Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Komunikasi

  1.1 Defenisi Komunikasi

  Komunikasi adalah suatu proses pertukaran ide, perasaan dan pikiran antara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku serta penyesuaian yang dinamis antara orang-orang yang terlibat dalam komunikasi (Suryani, 2006). Komunikasi merupakan proses pengiriman atau pertukaran (stimulus, signal, simbol, informasi) baik dalam bentuk verbal maupun non verbal dari pengirim ke penerima pesan dengan tujuan adanya perubahan baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor (Mundakir, 2006).

  Komunikasi sangat diperlukan dalam hubungan antar individu di kehidupan sehari-hari. Kerjasama dan koordinasi yang baik akan tercapai saat komunikasi yang dibangun baik dan hubungan yang harmonis akan tercapai saat komunikasi yang dibangun baik pula. Setiap komunikasi memiliki tujuan masing- masing, baik antara penyampaian informasi dan yang mencari informasi (Priyanto, 2009).

  1.2 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi 1.

  Perkembangan Usia seseorang berpengaruh terhadap cara seseorang berkomunikasi baik dari segi bahasa maupun proses pikir orang tersebut. Sangat perlu mempelajari bahasa sesuai umur ketika berkomunikasi, sehingga komunikasi dapat berjalan lancar (Priyanto, 2009).

  2. Nilai Nilai adalah keyakinan yang dianut seseorang. Jalan hidup seseorang dipengaruhi oleh keyakinan, fikiran dan tingkah lakunya. Nilai seseorang berbeda satu sama lainnya (Mundakir, 2006). Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam berkomunikasi (Priyanto, 2009).

  3. Persepsi Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Persepsi sendiri dibentuk dari harapan atau pengalaman. Perbedaan persepsi dapat menghambat komunikasi (Priyanto, 2009). Persepsi akan sangat mempengaruhi jalannya komunikasi karena proses komunikasi harus ada persepsi dan pengertian yang sama tentang pesan yang disampaikan dan diterima oleh kedua belah pihak (Mundakir, 2006).

  4. Latar Belakang Bahasa dan gaya bahasa akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya.

  Budaya akan membatasi seseorang bertindak atau berkomunikasi (Priyanto, 2009). Faktor ini memang sedikit pengaruhnya namun peling tidak dapat dijadikan pegangan dalam bertutur kata, bersikap dan melangkah dalam berkomunikasi (Mundakir, 2006).

  5. Emosi Emosi adalah subjektif seseorang dalam merasakan situasi yang terjadi disekelilingnya. Kekuatan emosi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana kemampuan atau kesanggupan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (Mundakir, 2006). Emosi seperti marah, sedih dan senang akan dapat mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain (Priyanto, 2009).

  6. Jenis Kelamin Setiap jenis kelamin baik wanita maupun pria mempunyai gaya komunikasi yang berbeda-beda. Disebutkan bahwa wanita dan laki-laki mempunyai perbedaan gaya dalam berkomunikasi (Priyanto, 2009).

  7. Pengetahuan Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komunikasi yang dilakukan.

  Seseorang yang tingkat pengetahuannya rendah akan sulit merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Priyanto,2009).

  8. Peran dan Hubungan Peran seseorang mempengaruhi dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Komunikasi akan berlangsung terbuka, rileks dan nyaman bila dilakukan dengan kelompok yang mempunyai peran sama (Mundakir, 2006).

  9. Lingkungan Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi yang efektif. Suasana yang bising dan tidak adanya privasi akan menimbulkan kerancuan, ketegangan, dan ketidaknyamanan (Priyanto, 2009). Banyak orang bersedia melayani komunikasi dalam lingkungan yang nyaman. Lingkungan yang kacau akan dapat merusak pesan yang dikirim oleh kedua belah pihak (Mundakir, 2006).

10. Jarak

  Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu dapat menimbulkan rasa aman. Seperti misalnya orang akan merasa terancam bila orang yang tidak dikenal tiba-tiba berada pada jarak yang sangat dekat dengan dirinya (Priyanto, 2009).

1.3 Fungsi Komunikasi

  Menurut Nasir, dkk, 2009 ada beberapa fungsi komunikasi secara umum: (1) dapat menyampaikan pikiran atau perasaan, (2) tidak terasing atau terisolir dari lingkungan, (3) dapat mengajarkan atau memberitahukan sesuatu, (4) dapat mengetahui atau mempelajari peristiwa di lingkungan, (5) dapat mengenal diri sendiri, (6) dapat memperoleh hiburan atau menghibur orang lain, (7) dapat mengurangi atau menghilangkan perasaan tegang, (8) dapat mengisi waktu luang, (9) dapat menambah pengetahuan dan mengubah sikap, serta perilaku kebiasaan, (10) dapat membujuk atau memaksa orang lain agar berpendapat, bersikap atau berperilaku sebagaimana yang diharapkan.

2. Keluarga

2.1 Defenisi Keluarga

  Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling bergantung (Depkes RI, 1988 dalam Ali, 2009). Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional serta sosial individu yang ada di dalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum (Duval, 1972 dalam Ali, 2009).

  Keluarga dipandang sebagai suatu kesatuan yang unik dalam menghadapi masalah. Keunikannya terlihat dengan cara berkomunikasi, mengambil keputusan, sikap, nilai, cita-cita, hubungan dengan masyarakat luas dan gaya hidup yang tidak sama antara satu keluarga dan keluarga lainya. Perbedaan itu dipengaruhi oleh lingkungan, zaman dan geografis, keluarga di desa sangat berbeda dengan di kota dalam hal besarnya keluarga, struktur, nilai, dan juga gaya hidupnya (Ali, 2009).

2.2 Pola Komunikasi Keluarga

  Menurut Friedman, 1998 komunikasi keluarga didefenisikan sebagai suatu proses simbolik, transaksional untuk menciptakan dan mengungkapkan pengertian dalam keluarga. Pola komunikasi keluarga ada dua, yaitu pola komunikasi keluaraga fungsional dan pola komunikasi keluarga disfungsional.

2.2.1 Pola Komunikasi Keluarga Fungsional

  Komunikasi fungsional dipandang sebagai kunci bagi sebuah keluarga yang berhasil dan sehat, transmisi langsung, dan penyambutan terhadap pesan, baik tingkat instruksi maupun isi, dan juga kesesuaian antara tingkat printah/instruksi dan isi. Komunikasi fungsional dalam lingkungan keluarga menuntut bahwa maksud dan arti dari pengirim yang dikirim lewat saluran-saluran yang relatif jelas dan bahwa penerima pesan mempunyai suatu pemahaman terhadap arti dari pesan itu yang mirip dengan pengirim (Sell 1973, dalam Friedman 1998).

  Komunikasi yang efektif akan mencocokkan arti, mencapai konsistensi, dan mencapai kesesuaian antara pesan yang diterima dan diharapkan. Dengan demikian komunikasi yang efektif dalam keluarga merupakan suatu proses definisi konstan dan redefinisi yang akan mencapai suatu kecocokan dari pesan tingkat instruksi dan isi. Baik pengirim dan penerima harus terlibat secara aktif dan mampu saling tukar-menukar posisi dengan menjadi pengirim maupun penerima selama proses berlangsungnya.

  Pola-pola komunikasi dalam sistem keluarga mempunyai suatu pengaruh besar terhadap anggota individu. Individualisasi, belajar tentang orang lain, perkembangan dan mempertahankan harga diri dan mampu membuat pilihan, semuanya tergantung kepada informasi yang masuk melewati para anggota keluarga.

  Sebuah keluarga yang fungsional menggunakan komunikasi untuk menciptakan suatu hubungan timbal balik yang bermanfaat. Interaksinya menyatakan adanya suatu toleransi dan memahami ketidaksempurnaan dan individualitas anggota. Dengan adanya suatu keterbukaan dan kejujuran yang cukup jelas, anggota keluarga mampu mengakui kebutuhan dan emosi satu sama lain.

  Pola-pola komunikasi dalam sebuah keluarga fungsional menunjukkan adanya penyambutan terhadap perbedaan, dan juga penilaian minimum dan kritik tidak realistis yang dilontarkan satu sama lain. Penilaian terhadap perilaku individual diharuskan oleh tekanan tuntutan sosial eksternal atau perlunya sistem keluarga atau perkembangan pribadi, melahirkan penilaian yang sehat dalam keluarga secara keseluruhan.

  Komunikasi dalam keluarga yang sehat merupakan proses dua arah yang sangat dinamis. Pesan tidak semata- mata hanya dikirim dan diterima oleh seorang penerima dan pengirim. Akan tetapi, sifat dinamis dari komunikasi ini menciptakan interaksi fungsional yang kompleks dan tidak bisa diprediksi.

  Bahkan dalam keluarga yang paling sehat sekali pun, komunikasi banyak kali menjadi renggang dan problematis. Dalam keluarga fungsional, telah dicatat bahwa perasaan dari para anggota keluarga merupakan ekspresi yang diperbolehkan.

  Ciri pertama dari keluarga sehat adalah komunikasi yang jelas dan kemampuan mendengar satu sama lain. Komunikasi sangat penting bagi kedekatan hubungan agar berkembang dan terpelihara. Kemampuan anggota keluarga untuk mengenal dan memberi respon terhadap peran-peran non verbal, diidentifikasi sebagai suatu atribut penting keluarga sehat (Curran, 1983 dalam Friedman, 1998) .

2.2.2 Pola Komunikasi Keluarga Disfungsional.

  Komunikasi disfungsional didefenisikan sebagai suatu pengiriman dan penerimaan isi dan instruksi/ perintah dari pesan yang tidak jelas antara isi dan perintah dari pesan. Salah satu faktor utama yang melahirkan pola-pola komunikasi yang tidak berfungsi (disfungsional) adanya harga diri yang rendah dari keluarga maupun anggota. Tiga nilai terkait yang terus menerus menghidupkan harga diri rendah adalah pemusatan pada diri sendiri, perlunya persetujuan total, dan kurangnya empati (Anderson,1972 dalam Friedman, 1998).

  Pemusatan pada diri sendiri dicirikan dengan memfokuskan pada kebutuhan sendiri seseorang untuk mengesampingkan kebutuhan, perasaan dan perspektif orang lain. Jika individu ini harus memberi, mereka akan melakukannya dengan enggan dan dengan cara bermusuhan, defensif dan mengorbankan diri. Dengan demikian tawar-menawar atau negosiasi secara efektif merupakan hal yang sulit, karena orang orang-orang memusatkan pada diri sendiri percaya bahwa mereka tidak bisa kehilangan sekecil apapun yang mereka harus berikan (Satir, 1983 dalam Friedman, 1998).

  Nilai yang dimiliki keluarga menyangkut upaya memelihara persetujuan total dan menghindari tercetusnya konflik karena berbeda satu sama lain, meskipun apa yang secara tepat bahwa masing-masing berbeda yang mungkin sulit dijelaskan. Perbedaan dalam opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, keinginan, dan harapan-harapan mungkin dipandang sebagai suatu ancaman karena hal itu dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan sadar bahwa mereka adalah individu- individu yang berbeda. Sebagai bagian dari proses sosialisasi, anggota keluarga mempelajari nilai-nilai yang sama dan cara-cara untuk berhubungan dan begitu pula memiliki kesulitan mengenal dan menginterpretasikan bermacam-macam perasaan dan pengalaman.

  Kurang empati saat anggota keluarga tidak dapat mengenal efek dari pikiran, perasaan dan perilaku mereka sendiri terhadap anggota keluarga lain dan dengan berpura-pura tidak punya perhatikan sehingga individu ini boleh jadi mengalami perasaan tidak memiliki kekuatan, menciptakan iklim ketegangan, ketakutan dan/atau bersalah.

  Dari sebab itu tahap ini membentuk sebuah gaya komunikasi yang membingungkan, kabur, tidak langsung, tidak jelas, dengan sikap bertahan bukan terbuka, jelas dan sopan. Komunikasi dari pengirim yang disfungsional bersifat defensif secara pasif maupun aktif dan sering kali menghapuskan kemungkinan untuk mencari umpan balik yang jelas dari penerima. Komunikasi yang tidak sehat pada pengirim dibagi dalam lima kategori; asumsi-asumsi, ungkapan perasaan-perasaan yang tidak jelas, ekspresi yang menghakimi, ketidakmampuan mendefenisikan kebutuhan- kebutuhan, komunikasi yang tidak cocok.

  Jika penerimanya tidak berfungsi (disfungsional) maka akan terjadi kegagalan komunikasi karena pesan tidak diterima sebagai mana diharapkan, mengingat kegagalan penerima mendengar, menggunakan diskualifikasi, memberikan respon secara efensif, gagal menggali pesan pengirim, gagal memvalidasi pesan. Proses yang disfungsional biasanya tidak jelas dan maksud dari komunikasi pun tidak jelas atau tersembunyi.

3. Depresi

3.1 Defenisi Depresi

  Depresi adalah perasaan sedih, ketidakberdayaan dan pesimis, yang berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan kepada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2008).

  Depresi merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain (Jenny, dkk, 2008).

3.2 Penyebab Depresi Berbagai faktor psikologi memainkan peran terjadinya gangguan depresi.

  Kebanyakan gangguan depresi karena faktor psikologi terjadi pada gangguan depresi ringan dan sedang.

  Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres, mereka cenderung akan mengalami gangguan depresi . Para psikolog menyatakan bahwa mereka yang mengalami gangguan depresi mempunyai riwayat pembelajaran, depresi dalam pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika mengalami masalah psikologi maka respon mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresi. Orang belajar dengan proses adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stress kehidupan dalam kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan psikologi dan usaha seseorang mengatasi masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah psikologi kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke generasi (Jenny, dkk, 2010).

  3.3 Gejala Depresi

  Depresi ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaaan tidak berguna, putus asa dan sebagainya. Secara lengkap gejala klinis depresi adalah sebagai berikut: (1) afek disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tidak semangat, merasa tidak bedaya, (2) perasaan bersalah, berdosa, penyesalan, (3) nafsu makan menurun, (4) berat badan menurun, (5) konsentrasi dan daya ingat menurun, (6) gangguan tidur: insomnia (sukar/ tidak dapat tidur) atau sebaliknya hipersomnia (terlalu banyak tidur). Gangguan ini sering kali disertai dengan mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan, misalnya mimpi orang yang telah meninggal, (7) agitasi atau retardasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah tak berdaya), (8) hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreativitas menurun, produktivitas juga menurun, (9) gangguan seksual (libido menurun), (10) pikiran-pikiran tentang kematian, bunuh diri (Hawari, 2001).

  3.4 Faktor Resiko Depresi

  Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya depresi adalah sebagai berikut: kehilangan/meninggalnya orang (objek) yang dicintai, sikap pesimistik, kecenderungan berasumsi negatif terhadap suatu pengalaman yang mengecewakan, kehilangan integritas pribadi, dan penyakit degeneratif kronik, tanpa dukungan sosial yang adekuat (Tamher dan Noorkasiani, 2009).

3.5 Tingkat Depresi Lansia

  Pengkajian tingkat depresi lansia menggunakan skala depresi geriatrik Yesavage, 1983 dimana instrumennya disusun secara khusus digunakan pada usia lanjut untuk memeriksa depresi. Jawaban pertanyaan sesuai indikasi dinilai 1.

  Analisa hasil pada kuesioner ini dilakukan dengan menilai setiap pertanyaan sesuai dengan indikasi. Bila pertanyaan yang dijawab indikasi terganggu maka dinilai 1 dan bila pertanyaan yang dijawab indikasi normal maka dinilai 0. Nilai 0-5 menyatakan normal, nilai 6-15 menyatakan depresi ringan sampai sedang dan nilai 16-30 menyatakan depresi berat (Maryam,dkk,2008).

4. Lansia

4.1 Defenisi Lansia

  Lanjut usia adalah suatu keadaan atau proses alamiah yang terjadi di dalam kehidupan manusia, berupa perubahan baik itu perubahan fisik dan fungsi, perubahan mental dan perubahan psikososial. Lanjut usia juga berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).

  4.2 Tahapan Lansia

  Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, ada empat tahap yakni:

  Usia pertengahan (middle age) (45- 59 tahun) - Lanjut usia (elderly) (60-74 tahun)

  • Lanjut usia tua (old) (75- 90 tahun)
  • Usia sangat tua (very old) (di atas 90 tahun).
  • Namun, di Indonesia batasan lanjut usia adalah 60 tahun ke atas. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2. Dari pernyataan di atas kita ketahui bahwa yang disebut lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita (Nugroho, 2008).

  4.3 Perubahan yang Terjadi pada Lansia

4.3.1 Perubahan Fisik

  Perubahan fisik disini meliputi penurunan jumlah sel, mekanisme perbaikan sel otak terganggu, penurunan sistem pernafasan, terjadinya gangguan sistem pendengaran, gangguan sistem penglihatan, gangguan sistem kardiovaskuler, gangguan sistem pengaturan suhu tubuh, gangguan sistem persarafan, gangguan sistem pencernaan, gangguan sistem reproduksi, gangguan sistem genitourinaria, gangguan sistem endokrin, gangguan sistem integument, gangguan sistem muskuloskletal.

  4.3.2 Perubahan Mental Perubahan yang terjadi dapat berupa sikap yang semakin egosentrik, mudah curiga, bertambah pelit dan tamak bila memiliki sesuatu. Sikap umum yang ditemukan hampir pada setiap lanjut usia, yakni keinginan berumur panjang, tenaganya sedapat mungkin dihemat. Mengharapkan tetap diberi peranan dalam masyarakat.ingin selalu mempertahankan haknya. Kenangan (memori) pada lansia juga ikut berubah. Sama halnya dengan Intelegentia Quotion (IQ) dan keterampilan juga berkurang.

  4.3.3 Perubahan Psikososial Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dan identitasnya dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Saat menginjak lanjut usia seseorang akan mengalami kehilangan finansial, kehilangan status, kehilangan teman, kehilangan pekerjaan, dan hilangnya kekuatan serta ketegapan fisik.

  4.3.4 Perkembangan Spiritual Pada lanjut usia agama/ kepercayaan semakin terintegrasi dalam kehidupan.

  Lanjut usia semakin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak sehari-hari. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberi contoh cara mencintai dan keadialan (Nugroho, 2008).

4.4 Permasalahan yang Terjadi pada Lansia

  Dalam perjalanan hidup manusia, proses menua merupakan hal yang wajar dan akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang. Hanya lambat/cepatnya proses tersebut bergantung pada setiap individu yang bersangkutan. Permasalahan yang berkaitan dengan lanjut usia antara lain.

  4.4.1 Permasalahan Umum Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, terutama dampak sosial krisis moneter dan krisis ekonomi, jumlah lanjut usia yang mengalami permasalahan ini juga meningkat, bahkan ada sebagian lanjut usia dalam keadaan terlantar. Selain tidak mempunyai bekal hidup, pekerjaan, atau penghasilan, mereka sebatang kara.

  Perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik mengarah pada bentuk keluarga kecil, terutama di kota besar, menyebabkan nilai kekerabatan dalam kehidupan keluarga besar melemah. Peningkatan mobilitas penduduk (termasuk lanjut usia) menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap kemudahan transportasi dan/atau komunikasi bagi para lansia yang saat ini belum dapat disediakan secara memadai.

  Keterbatasan kegiatan pembinaan kesejahteraan lanjut usia oleh pemerintah dan masyarakat, baik berupa keterbatasan tenaga profesional, data yang lengkap, valid, relevan dan akurat tentang karakteristik kehidupan dan penghidupan para lanjut usia termasuk permasalahannya serta sarana pelayanan dan fasilitas khusus bagi para lanjut usia.

  4.4.2 Permasalahan Khusus Perubahan nilai sosial masyarakat, yaitu kecenderungan munculnya nilai sosial yang dapat mengakibatkan menurunnya penghargaan dan penghormatan kepada lanjut usia. Berkurangnya daya tahan tubuh lanjut usia dalam menghadapi pencemaran lingkungan serta kesulitan memperoleh lapangan kerja formal bagi lanjut usia.

  Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik, biologis, mental, maupun sosial ekonomi. Semakin lanjut usia, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik, yang dapat menyebabkan penurunan peran sosial. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya gangguan dalam hal mencukupi kebutuhan hidup sehinga dapat meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain. Karena kondisinya, lanjut usia memerlukan tempat tinggal dan fasilitas perumahan yang khusus.

  Lanjut usia tidak saja ditandai dengan kemunduran fisik, tetapi dapat pula mengalami pengaruh kondisi mental. Semakin lanjut usia seseorang, kesibukan sosialnya akan semakin berkurang. Hal ini akan dapat mengakibatkan berkurangnya integrasi dengan lingkungan. Kondisi ini akan dapat berdampak pada kebahagiaan seseorang.

  Lanjut usia juga mengalami ketakutan, terutama : ketergantunagn fisik dan ekonomi, sakit yang kronis (misalnya atritis, hipertensi, kardiovaskular), kesepian, kebosanan yang disebabkan oleh rasa tidak diperlukan (Nugroho,2008).

Dokumen yang terkait

Hubungan Pola Komunikasi Keluarga dengan Tingkat Depresi Lansia di Kelurahan Padang Bulan Medan

24 93 98

Pola Komunikasi Keluarga dengan Orangtua Tunggaldi Kelurahan Bangun Mulia Kecamatan Medan Amplas

1 35 62

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Peran Keluarga dalam Pemenuhan Kebutuhan Interaksi Sosial pada Lansia di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru

0 0 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Dukungan Keluarga 1.1 Definisi Keluarga - Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD dr. Pirngadi Medan

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep persepsi 1.1 Definisi persepsi - Persepsi Keluarga Lansia Tentang Posyandu Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Kecamatan Medan Helvetia

0 1 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Pola Asuh Keluarga dengan Perilaku Remaja di SMA Negeri 14 Medan

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Keluarga 1.1. Pengertian Keluarga - Hubungan Dukungan Keluarga dengan Konsep Diri Lansia di Lingkungan XI Kelurahan Titi Papan Kecamatan Medan Deli

0 0 29

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi (Communication) - Hubungan Komunikasi Orangtua dan Anak Serta Kontrol Diri Siswa dengan Perilaku Seks Pranikah di SMA Prayatna Medan

0 0 37

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Defenisi lansia - Hubungan Spiritualitas dengan Kualitas Hidup Lansia di Lingkungan IX Kelurahan Petisah Hulu Medan.

0 1 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Spiritualitas 1.1 Defenisi Spiritualitas - Tingkat Spiritualitas dan Kecemasan Ibu Primigravida di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 16