BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Keluarga 1.1. Pengertian Keluarga - Hubungan Dukungan Keluarga dengan Konsep Diri Lansia di Lingkungan XI Kelurahan Titi Papan Kecamatan Medan Deli

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Keluarga

1.1. Pengertian Keluarga

  Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan dalam kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga. Keluarga juga didefinisikan sebagai kelompok individu yang tinggal bersama dengan atau tidak adanya hubungan darah, pernikahan, adopsi, dan tidak hanya terbatas pada keanggotaan dalam satu rumah tangga (Friedman, 2003/2013).

  Duval (1972 dalam Setiadi, 2008) menguraikan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga. Departemen Kesehatan (1988 dalam Ali, 2009) menyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga serta beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di satu atap dalam keadaaan saling ketergantungan.

  Keluarga juga merupakan dasar pembentukan konsep diri karena dapat memberikan perasaan mampu atau tidak mampu, perasaan diterima atau ditolak, dan dalam keluarga individu mempunyai kesempatan untuk

  9

  9 mengidentifikasi perilaku orang lain, dan mempunyai penghargaan yang pantas tentang tujuan, perilaku dan nilai (Dalami, et al., 2009).

  1.2. Tipe Keluarga

  Friedman (1998) membagi tipe keluarga menjadi 8 yaitu nuclear

  family (keluarga inti) yang terdiri dari orang tua dan anak yang masih menjadi

  tanggungannya dan tinggal dalam satu rumah, terpisah dari sanak keluarga lainnya. Extended family (keluarga besar), terdiri dari satu atau dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah. Single parent family, yang dikepalai oleh satu kepala keluarga dan hidup bersama dengan anak-anak yang masih bergantung padanya. Nuclear dyed terdiri dari sepasang suami istri tanpa anak, tinggal dalam satu rumah yang sama. Blended family terbentuk dari perkawinan pasangan, yang masing-masing pernah menikah dan membawa anak hasil perkawinan terlebih dahulu. Three generation family terdiri dari tiga generasi, yaitu kakek, nenek, bapak, ibu, dan anak dalam satu rumah. hanya teridiri dari satu orang dewasa yang hidup

  Single adult living alone

  dalam rumahnya. Midldle age atau elderly couple yang terdiri dari sepasang suami istri paruh baya.

  1.3. Fungsi Keluarga

  Keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan merupakan pelaku aktif dalam memodifikasi dan mengadaptasi komunitas hubungan personal untuk mencapai keadaan berubah. Friedman (1998) menyebutkan bahwa keluarga memiliki 5 fungsi dasar, yaitu fungsi afektif merupakan fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi sosialisasi merupakan fungsi mengembangkan dan tempat melatih untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah. Fungsi reproduksi merupakan fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. Fungsi ekonomi merupakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Fungsi perawatan merupakan fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.

1.4. Peran Keluarga

  Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing. Ayah berperan sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung/pengayom, pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga, dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial. Ibu berperan sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah tambahan keluarga dan, juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu. Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosial dan spiritual (Ali, 2009).

2. Dukungan Keluarga

2.1. Pengertian Dukungan Keluarga

  Dukungan keluarga adalah suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya, ketiga dimensi interaksi dukungan keluarga tersebut bersifat reproksitas (timbal balik atau sifat dan frekuensi hubungan timbal balik), umpan balik (kualitas komunikasi), dan keterlibatan emosional (kedalaman intimasi dan kepercayaan) dalam hubungan sosial (Friedman, 1998).

  Dukungan sosial keluarga adalah proses yang terjadi selama masa hidup, dengan sifat dan tipe dukungan sosial bervariasi pada masing-masing tahap siklus kehidupan keluarga dan dukungan keluarga memungkinkan keluarga berfungsi secara penuh dan dapat meningkatkan adaptasi dalam kesehatan keluarga (Friedman, 2003/2013).

  Dukungan keluarga diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga yang lain sehingga akan memberikan kenyamanan fisik dan psikologis pada orang yang dihadapkan pada situasi stress (Taylor, 2006). Dukungan keluarga mampu meningkatkan semangat lansia menghadapi masa tuanya dengan baik sehingga dapat membentuk konsep diri yang baik (Romadlani, et al., 2013).

2.2. Jenis Dukungan Keluarga

  Friedman (1998) membagi jenis dukungan keluarga menjadi empat jenis atau dimensi dukungan keluarga antara lain:

  2.2.1. Dukungan Emosional

  Pada dukungan emosional keluarga menyediakan tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan. Jenis dukungan bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi atau ekspresi, yang termasuk dukungan emosional ini adalah ekspresi dari empati, kepedulian, dan perhatian kepada lansia. Keluarga memberikan lansia perasaan yang nyaman, jaminan rasa memiliki, dan merasa dicintai saat mengalami masalah, bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, cinta, kasih sayang, dan emosi.

  2.2.2. Dukungan Informasi

  Keluarga berfungsi sebagai sebuah pengumpul dan penyebar informasi tentang dunia yang mencakup dengan memberi nasehat, pengarahan, petunjuk, saran atau umpan balik. Bentuk dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah pemberian nasehat atau mengawasi tentang pola makan sehari-hari dan pengobatan. Keluarga juga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan ke tempat dokter, dan terapi yang baik bagi lansia dan tindakan spesifik bagi lansia untuk melawan stressor.

  2.2.3. Dukungan Instrumental/Nyata

  Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit yang mencakup bantuan seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong dengan pekerjaan saat lansia mengalami stress menjaga dan merawat lansia saat sakit serta dapat membantu menyelesaikan masalah. Kresnawati dan Kartinah (2011) menambahkan pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya kesehatan penderita dalam hal makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.

  2.2.4. Dukungan Penghargaan (Penilaian)

  Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan dan sebagai sumber dan validator identitas anggota. Terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk lansia, dorongan maju, atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif pada lansia. Dalam masyarakat tradisional, biasanya lanjut usia sangat dihargai dan dihormati sehingga mereka masih dapat berperan dan berguna di masyarakat sedangkan dalam masyarakat industri, ada kecendrungan lansia kurang dihargai sehingga lansia merasa terisolasi dari kehidupan masyarakat (Nugroho, 2008).

2.3. Ciri-Ciri Bentuk Dukungan Keluarga

  House Smet (1994 dalam Setiadi, 2008) menyatakan bahwa setiap bentuk dukungan sosial keluarga mempunyai ciri-ciri. Pertama adalah perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati, cinta, kepercayaan, dan penghargaan, sehingga seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, bersimpati, dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya.

  Kedua adalah informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan- persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi ini disampaikan kepada orang lain yang mungkin menghadapi persoalan yang sama atau hampir sama. Ketiga adalah bantuan instrumental, bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya, atau menolong secara langsung kesulitan yang dihadapi, misalnya dengan menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi lansia, menyediakan obat-obat yang dibutuhkan dan lain-lain.

  Keempat adalah bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya penderita. Penilaian ini bisa positif dan negatif yang mana pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka penilaian sangat membantu adalah penilaian yang positif.

  2.4. Sumber Dukungan Keluarga

  Rook & Dooley, Kuntjoro (2002 dalam Tamher, 2009) membagi sumber dukungan keluarga menjadi dua yaitu sumber natural dan sumber artifisial. Dukungan keluarga yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada disekitarnya misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami, dan kerabat) teman dekat atau relasi. Dukungan keluarga ini bersifat non formal, sementara itu dukungan keluarga artifisial adalah dukungan sosial yang dirancang kedalam kebutuhan primer seseorang misalnya dukungan keluarga akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial. Sumber dukungan keluarga natural memiliki berbagai perbedaan jika dibandingkan dengan dukungan keluarga artifisial.

  2.5. Manfaat Dukungan Keluarga

  Friedman (1998) menjelaskan dukungan sosial sebagai koping keluarga, baik dukungan yang bersifat eksternal maupun internal terbukti sangat bermanfaat. Anggota keluarga sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya karena hal ini akan membuat individu merasa dihargai dan anggota keluarga siap memberikan dukungan untuk menyediakan bantuan dan tujuan hidup yang ingin dicapai individu. Dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dalam berbagai kepandaian dan akal, hingga akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan.

  Dukungan dari keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat (Stuart & Sundeen, 1991). Peran serta yang besar dari keluarga dalam memberikan dukungan dan pemenuhan kebutuhan lansia sangat diperlukan sehingga timbul koping yang baik dari lansia dalam menghadapi stressor (Kristyaningsih, 2011).

3. Konsep Diri

3.1. Pengertian Konsep Diri

  Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain, termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya (Stuart, 2002/2007). Beck, William, dan Rawlin (1993) menjelaskan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual.

  Konsep diri adalah citra subjektif dari diri dan percampuran yang kompleks dari perasaan, sikap dan persepsi bawah sadar maupun sadar dan memberikan kita kerangka acuan yang mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain (Potter & Perry, 1997/2005). Konsep diri merupakan gambaran psikologis individu meliputi persepsi, penampilan, keyakinan, dan kepercayaan yang mempengaruhi tingkah laku individu untuk bertindak (Kozier, et al., 2004).

3.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

  Stuart & Laraia (2001) menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-faktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, Signifikan Others (orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perseption (Persepsi diri).

  3.2.1. Teori Perkembangan

  Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya, seseorang memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungannya dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan seperti bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pengalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.

  

3.2.2. Signifikan Others (Orang yang terpenting atau yang terdekat)

  Konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain. Mempelajari diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri terhadap pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat seperti ibunya, begitu juga remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya. Pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi merupakan faktor penting dalam pembentukan konsep diri seseorang.

3.2.3. Self Perseption (Persepsi Diri)

  Persepsi diri adalah persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.

  Kozier (2004) menambahkan ada faktor lain yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-faktor tersebut terdiri dari sumber eksternal dan internal, stressor, usia, keadaan sakit, dan trauma.

  Sumber eksternal dan internal, kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap konsep diri. Pada sumber internal misalnya, nilai dan kepercayaan diri. Sumber eksternal misalnya dukungan masyarakat, dukungan keluarga dan ekonomi yang kuat dan organisasi.

  Stresor dalam kehidupan akan menimbulkan depresi, menarik diri, dan kecemasan, jika koping individu tidak adekuat. Usia tua, keadaan sakit akan mempengaruhi persepsi diri.

  Craven dan Hirnle (2009) menambahkan faktor yang mempengaruhi konsep diri, yaitu penampilan biologis (jenis kelamin, warna kulit, warna rambut, tinggi badan, berat badan, bentuk rambut, warna mata, yang dapat mempengaruhi persepsi terhadap diri), norma dan keyakinan, koping dan toleransi stress, serta transisi peran.

3.3. Rentang Respon Konsep Diri

  Penilaian tentang konsep diri dapat dilihat berdasarkan rentang respon konsep diri yaitu Respon Adaptif Respon Maladaptif Aktualisasi Konsep diri Harga diri Keracunan Depersonalisasi diri positif rendah identitas

  Skema 1. Rentang respon konsep diri (Stuart & Laraia, 2001)

  Keterangan: 1.

  Respon adaptif adalah respon yang dihadapi klien bila klien menghadapi suatu masalah dapat menyelesaikannya secara baik, atau individu memiliki konsep diri positif dan memiliki aktualisasi diri yang baik 2. Respon maladaptif adalah respon individu dalam menghadapi masalah dimana individu tidak mampu memecahkan masalah tersebut. Respon maladaptif gangguan konsep diri seperti harga diri rendah, kekacauan identitas, dan depersonalisasi (tidak mengenal diri), tidak mampu berhubungan dengan orang lain, tidak percaya diri atau tidak dapat membina hubungan yang baik.

3.4. Komponen Konsep Diri

  Konsep diri terdiri dari lima komponen yaitu gambaran diri atau citra tubuh (body image), ideal diri (self ideal), harga diri (self esteem), penampilan peran (role performance), dan identitas personal (personal identity) (Stuart & Laraia, 2001; Potter & Perry, 1997/2005).

  3.4.1. Gambaran Diri (Body Image)

  Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar, sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi, penampilan, potensi tubuh saat ini dan masa lalu secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman yang baru (Stuart & Laraia, 2001).

  Gambaran diri (citra tubuh) berhubungan erat dengan kepribadian, cara individu memandang diri mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan yang realistik terhadap gambaran diri seperti menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberikan rasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri (Stuart & Laraia, 2001). Individu yang stabil, realistis dan konsisten terhadap gambaran dirinya akan memperlihatkan kemampuan mantap terhadap realisasi yang akan memacu di dalam kehidupan (Keliat, 2000).

  Faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran diri adalah perubahan penampilan tubuh, struktur, atau fungsi bagian tubuh, perubahan fungsi karena penyakit kronis yang dapat merubah sistem tubuh, perubahan hormonal dan perkembangan fisik, efek pengobatan dan terapi yang menyebabkan perubahan pada penampilan (Potter & Perry, 1997/2005).

  Pada lansia gambaran diri biasanya dipengaruhi oleh perkembangan fisik. Perubahan perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek penampilan yang lebih besar pada tubuh dibandingkan dengan aspek lainnya. Perubahan fisik boleh jadi tidak sesuai dengan citra diri ideal seseorang, begitu juga dengan lansia, perubahan fisik yang terjadi akibat proses penuaan dapat merubah persepsi lansia terhadap tubuhnya. Lansia sering mengatakan mereka tidak berbeda tetapi ketika mereka melihat diri mereka dicermin, mereka terkejut dengan kulit yang keriput dan rambut yang memutih (Potter & Perry, 1997/2005). .

  Proses normal penuaan menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan yang mempengaruhi lansia dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kehilangan pendengaran dapat menyebabkan perubahan kepribadian karena lansia sadar bahwa mereka tidak lagi menyadari semua yang terjadi atau yang diucapkan, sehingga menimbulkan kecurigaan, mudah tersinggung, tidak sabar, atau menarik diri.

  Penurunan dan perubahan ketajaman penglihatan, pendengaran, dan mobilitas dapat mempengaruhi citra tubuh lansia (Potter & Perry, 1997/2005). Citra diri akan tumbuh secara positif dan akurat bila kesadaran akan diri berdasar atas observasi mandiri dan perhatian yang sesuai akan kesehatan diri, termasuk persepsi saat ini dan masa lalu (Tarwoto & Wartonah, 2010).

3.4.2. Ideal Diri (Self Ideal)

  Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana harus berperilaku sesuai dengan standar pribadi, aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga, budaya) dan kepada seseorang yang ia ingin lakukan (Stuart & Laraia, 2001).

  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu kecenderungan individu menetapkan ideal diri pada batas kemampuannya, faktor budaya, ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang realistis, keinginan untuk menghindari kegagalan, perasaan cemas dan harga diri. Ideal diri berkembang mulai masa kanak-kanak hingga lanjut usia. Pada usia lanjut ideal diri dipengaruhi oleh berkurangnya kekuatan fisik dan perubahan peran serta tanggung jawab (Stuart & Laraia, 2001).

  Semua faktor diatas mempengaruhi individu dalam menetapkan ideal diri. Ideal diri bisa bersifat realistis, bisa juga tidak. Ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental. Ideal diri hendaknya tidak ditetapkan terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dari kemampuan, agar dapat menjadi pendorong dan dapat dicapai.

  Ideal diri yang terlalu tinggi justru dapat menyebabkan harga diri rendah

  Individu yang mempunyai ideal diri realistis akan mempunyai tujuan hidup yang dapat dicapai (Stuart & Laraia, 2001).

3.4.3. Harga diri (Self Esteem)

  Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa sejauh mana perilaku memenuhi ideal diri.

  Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau tinggi. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga dirinya akan tinggi dan jika mengalami gagal cenderung harga diri menjadi rendah (Stuart & Laraia, 2001).

  Faktor yang mempengaruhi harga diri ialah ideal diri, individu yang hampir memenuhi ideal diri mempunyai harga diri yang tinggi, sedangkan individu yang mempunyai variasi luas terhadap ideal diri dan susah untuk dicapai akan menyebabkan harga diri rendah, evaluasi diri pribadi maupun orang lain mempengaruhi harga diri individu, harga diri juga dipengaruhi sejumlah kontrol yang mereka miliki terhadap tujuan dan keberhasilan hidup (Potter & Perry, 1997/2005).

  Pada lansia masalah harga diri dipengaruhi oleh karena adanya tantangan baru sehubungan dengan pensiun, ketidakmampuan fisik, berpisah dari anak, dan kehilangan pasangan. Akibat dari penuaan terhadap harga diri juga disebabkan oleh perubahan status di lingkungan sosial. Menjadi tua di lingkungan sosial yang lebih mengahargai remaja sering menyebabkan merendahnya status lansia, stereotip negatif dan stigma terhadap lansia menyebabkan rendahnya harga diri lansia (Stuart & Laraia, 2001).

  Harga diri ini dapat menjadi rendah saat seseorang kehilangan kasih sayang atau cinta kasih dari orang lain, kehilangan penghargaan dari orang lain. Beberapa perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah adalah malu terhadap diri sendiri, mengkritik diri sendiri, merasa tidak berguna, merasa tidak mampu (penolakan terhadap kemampuan personal), merasa bersalah, mudah tersinggung/marah, gangguan hubungan sosial seperti menarik diri dari interaksi sosial, percaya diri kurang, dan pandangan hidup yang pesimis (Stuart & Sundeen, 1991).

  Individu dengan harga diri yang tinggi merasa layak untuk dihormati dan meninggikan harkat dan martabatnya, percaya pada nilai diri sendiri, dan pendekatan hidup dengan ketegasan dan semangat (Stuart & Laraia, 2001).

3.4.4. Penampilan Peran (Role Performance)

  Peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial. Peran dibagi menjadi 2 tipe, pertama adalah peran yang telah ditetapkan dan individu tidak memiliki pilihan, contohnya meliputi usia dan jenis kelamin. Kedua adalah peran yang dipilih oleh individu, contohnya termasuk pekerjaan dan peran di dalam keluarga (Stuart & Laraia, 2001).

  Sepanjang hidup orang menjalani berbagai perubahan peran. Lansia mengalami banyak perubahan peran yang tejadi, mulai dari perubahan peran dalam pekerjaan, peran dalam keluarga dan sebagainya (Potter & Perry, 1997/2005). Lansia mengalami perubahan peran karena lansia sering dianggap tidak berguna lagi, tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang tertentu karena mengalami perubahan efisiensi kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik. Semakin lanjut usia, mereka akan mengalami kemunduran teutama dibidang kemampuan fisik, yang dapat menyebabkan penurunan peran sosial (Nugroho, 2008).

  Posisi masyarakat dapat merupakan stressor terhadap peran karena struktur sosial yang meimbulkan kesukaran, atau tuntutan posisi yang tidak mungkin dilaksanakan. Setiap individu memiliki lebih dari satu peran yang memungkinkan untuk mengalami stress peran. Stress peran terdiri dari konflik peran, peran yang tidak jelas, peran yang tidak sesuai, dan peran yang terlalu banyak. Perilaku individu dengan gangguan peran menunjukkan ketidakpuasan terhadap peran yang dilakukannya, mengingkari ketidakmampuan menjalankan peran, kegagalan menjalankan peran yang baru, ketegangan menjalankan peran yang baru (Potter & Perry, 1997/2005).

  Stuart dan Laraia (2001) menambahkan perilaku yang timbul pada individu yang puas akan penampilan perannya akan dapat berhubungan dengan orang lain secara intim dan mendapatkan/ merasakan kepuasan, dapat mempercayai orang lain dan membina hubungan interdependen, lebih meningkatkan perasaan berharga, mempunyai ambisi, semangat yang kuat dan ingin terus meningkatkan kualitas dalam peran yang sedang dilakukan.

3.4.5. Identitas Diri

  Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Pengertian identitas adalah organisasi, sintesa dari semua gambaran utuh dirinya, tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut atau jabatan dan peran (Stuart & Laraia, 2001). Identitas diri biasanya berupa karakteristik- karakteristik yang membedakan seseorang dengan yang lain meliputi nama, jenis kelamin, umur, ras, suku, budaya, pekerjaan atau peran (Kozier, et al., 2004).

  Identitas seperti halnya citra tubuh sangat berkaitan erat dengan penampilan dan kemampuan. Pada lansia, pensiun atau meninggalkan pekerjaan mungkin berarti kehilangan makna penting dari pencapaian dan keberhasilan yang berlanjut. Ketidakmampuan lansia untuk memenuhi kebutuhan dirinya sering membuat lansia mempertanyakan tentang identitas mereka dan pencapaian mereka dan dapat mengakibatkan isolasi fisik dan emosional (Potter & Perry, 1997/2005).

  Stuart dan Sundeen (1991) menyebutkan individu dengan identitas yang positif (jelas) adalah mengenal dirinya sebagai organism yang utuh, terpisah dari orang lain, dan menyadari keunikan masing- masing, tetap bangga menjadi diri sendiri, individu mengenali dan menyadari jenis kelaminnya, individu tetap berkarya, menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian lingkungan sosialnya, individu menghargai, mengakui, dan tetap percaya diri terhadap berbagai aspek tentang dirinya, peran, nilai, dan perilaku secara harmonis.

  Kebingungan identitas terjadi ketika individu tidak mempertahankan identitas personal yang jelas. Kebingungan identitas dapat terjadi kapan saja dalam kehidupan jika individu tidak mampu mengadaptasi stressor identitas (Potter & Perry, 1997/2005).

3.5. Jenis-Jenis Konsep Diri

  Konsep diri terbagi atas dua jenis yaitu konsep diri positif dan negatif (Kozier, et al., 2004).

3.5.1. Konsep Diri Positif

  Konsep diri yang positif sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik seseorang. Individu dengan konsep diri yang positif mampu mengembangkan dan memelihara hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain dan menurunkan risiko terhadap penyakit fisik dan psikologis, serta membuat individu lebih mudah untuk menerima dan beradaptasi terhadap berbagai stressor yang ada di sepanjang hidup (Kozier, et al., 2004).

  Individu yang memiliki konsep diri yang sehat berarti memiliki kepribadian yang sehat pula. Individu yang memiliki kepribadian yang sehat akan memiliki konsep diri yang positif dan akurat, citra tubuh yang positif dan sesuai, ideal diri yang realistis, harga diri yang tinggi, pernampilan peran yang memuaskan, dan rasa identitas yang jelas (Stuart & Laraia, 2001).

3.5.2. Konsep Diri Negatif

  Individu yang memiliki konsep diri negatif berarti memiliki respon yang maladaptif terhadap masalah yang dihadapi. Individu yang memiliki konsep diri negatif akan mengekspresikan perasaan tidak berharga, tidak menyukai diri sendiri atau benci terhadap diri sendiri, yang mungkin diproyeksikan kepada orang lain, merasa sedih atau putus asa dan tidak semangat dalam menjalani hidup (Kozier, et al., 2004)

4. Lansia

4.1. Pengertian Lansia

  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia Bab 1 Pasal 1 Ayat (2), (3), (4) menyebutkan lansia adalah seseorang yang telah mencapai 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita. Undang- Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 mendefinisikan lansia sebagai seseorang yang mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial karena usianya. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya. Kesehatan lansia perlu mendapat perhatian khusus dengan tetap dipelihara dan ditingkatkan agar selama mungkin dapat hidup secara produktif sesuai dengan kemampuannya (Fatimah, 2010).

  4.2. Batasan Lanjut Usia

  WHO menyebutkan, ada 4 tahap batasan umur yang dikatakan lansia, yakni usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah usia antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah antara 75 sampai 90 tahun, usia sangat tua (very old) yaitu diatas 90 tahun (Nugroho, 2008).

  Di Indonesia, batasan usia lansia adalah 60 tahun ke atas. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2. Departemen Sosial dalam rangka pencanangan Hari Lanjut Usia Nasional tanggal 29 Mei 1996 oleh Presiden RI juga menetapkan batas usia lansia adalah 60 tahun atau lebih (Fatimah, 2010).

  4.3. Proses Menua

  Constantides (1994 dalam Maryam, 2008) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.

  Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses yang terus-menerus berkelanjutan secara alamiah dan umumnya dialami semua makhluk hidup. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, seperti kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih, gigi ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan gerakan tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008). Penuaan adalah normal dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu ( Stanley, et al., 1999/2006).

4.4. Teori Proses Menua

  Nugroho (2008) menyebutkan teori menua terdiri dari teori biologis dan teori sosiologis. Teori biologi terdiri dari dua macam teori yaitu teori genetik dan teori nongenetik. Teori Sosiologis terdiri dari empat teori yaitu teori interaksi sosial, teori aktivitas atau kegiatan, teori kepribadian lanjut (Continuity theory), dan disengagement theory.

4.4.1. Teori Biologis

  Teori biologi terdiri dari dua macam teori yaitu teori genetik dan teori nongenetik. Penuaan menurut teori genetik terbagi menjadi dua teori yaitu teori genetik clock, menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu sehingga jika jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses penuaan berhenti maka spesies tersebut akan mati. Teori mutasi somatik, menjelaskan penuaan terjadi karena adanya mutasi somatik akibat pengaruh lingkungan yang buruk sehingga terjadi kesalahan dalam transkripsi DNA atau RNA dan translasi RNA protein atau enzim.

  Penuaan menurut teori non genetik terbagi menjadi lima teori yaitu teori Auto-immune, menyatakan bahwa mutasi yang berulang akan menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Teori free radical, menyatakan bahwa penuaan terjadi akibat perusakan sel karena asap kendaraan bermotor, asap rokok, zat pengawet makanan, radiasi dan sinar ultraviolet. Teori

  Cross link, menjelaskan bahwa proses menua disebabkan oleh lemak,

  protein, karbohidrat dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia dan radiasi sehingga merubah fungsi jaringan dan mengakibatkan perubahan pada membran plasma yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis dan hilangnya fungsi pada proses menua. Teori Fisiologis, kelebihan usaha dan stress akan menyebabkan sel tubuh lelah terpakai sehingga regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal.

  Stanley dan Beare (1999/2006) menambahkan proses menua dapat disebabkan oleh beberapa teori biologis yaitu: (1). Teori lingkungan, pajanan terhadap hal-hal yang berbahaya seperti karsinogen, cahaya matahari, trauma dan infeksi; (2). Teori imunitas, kemunduran dalam sistem imun yang behubungan dengan penuaan dan (3). Teori neuroendokrin, disebabkan karena kelebihan atau kekurangan produksi hormon.

4.4.2. Teori Sosiologis

  Teori Sosiologis terdiri dari empat teori yaitu teori interaksi

  sosial, menjelaskan tentang mengapa lanjut usia bertindak atas dasar hal-

  hal yang dihargai masyarakat untuk terus menjalin interaksi sosial agar dapat mempertahankan status sosialnya berdasarkan kemampuannya bersosialisasi. Teori aktivitas atau kegiatan, menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial. Teori kepribadian berlanjut (continuity theory), menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambaran kelak pada saat ia menjadi lanjut usia. Teori pembebasan/ penarikan

  diri (disengagement theory), menyatakan bahwa seorang lansia

  mengalami proses menua yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi dan mempersiapkan diri menghadapi kematiannya.

  Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara (2008) menambahkan teori psikologis dan teori spiritual sebagai teori proses menua. Teori psikologis menyatakan perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar menyebabkan lansia sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Teori Spiritual mengambil pendapat Fowler bahwa perkembangan spiritual pada lansia berada pada tahap penjelmaan dari prinsip cinta dan keadilan.

4.5. Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lansia

  Pendapat Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara (2008) menyebutkan bahwa perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial, dan psikologis/mental.

4.5.1. Perubahan Fisik

  Perubahan fisik yang dialami adalah sel yaitu jumlahnya berkurang, ukurannya membesar, cairan tubuh menurun, dan cairan intraseluler menurun. Kardiovaskuler yaitu katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun, (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.

  Respirasi yaitu otot

  • –otot pernafasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus.

  Persarafan yaitu saraf panca indra mengecil, sehingga fungsinya menurunserta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stres. Muskuloskeletal yaitu cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor, tendon mengkerut, dan mengalami sklerosis.

  Gastrointestinal terjadi pelebaran Esofagus, asam lambung menurun, lapar menurun dan peristaltik menurun sehingga daya absorbsi juga ikut menurun. Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormone dan enzim pencernaan. Genitourinaria terjadi pengecilan ginjal, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glumerolus menurun, dan fungsi tubulus juga menurun sehingga kemampuan untuk mengonsentrasi urine juga ikut menurun. Vesika Urinaria terjadi pelemahan otot-otot sehingga kapasitasnya menurun dan manyebabkan terjadinya retensi urine. Prostat mengalami hipertrofi pada 75% lansia. Vagina terjadi pengeringan selaput lendir dan penurunan sekresi. Pendengaran terjadi atrofi pada membrane timpani sehingga mengakibatkan gangguan pendengaran, tulang-tulang pendengaran juga mengalami kekakuan.

  Penglihatan terjadi penurunan respon terhadap sinar, adaptasi terhadap gelap dan akomodasi juga mengalami penurunan sehingga dapat menyebabkan penurunan lapang pandang serta terjadi katarak. Endokrin terjadi penurunan produksi hormon seperti estrogen, progesterone, testosterone, kelenjar pankreas, kelenjar adrenal, ACTH, TSH, FSH, LH, aktivitas tiroid, aldosteron dan sekresi hormon kelamin. Kulit terjadi pengeriputan kulit kepala dan rambut semakin menipis. Rambut dalam hidung dan telinga menebal, elastisitas kulit menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih (uban), kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh, serta kuku kaki tumbuh berlebihan seperti tanduk.

4.5.2. Perubahan Sosial

  Perubahan sosial meliputi peran, perubahan pada peran seperti

  post power sindrom, single woman , dan single parent. Keluarga,

  biasanya lansia akan mengalami kesendirian dan kehampaan saat ditinggalkan oleh anak-anaknya. Teman, ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan kapan akan meninggal, dan berada dirumah terus- menerus akan cepat pikun (tidak berkembang). Abuse, lansia juga mungkin akan mengalami kekerasan baik dalam bentuk verbal (dibentak) maupun dalam bentuk non verbal (dicubit ataupun tidak diberi makan).

  Masalah hukum, berkaitan dengan perlindungan asset dan kekayaan pribadi yang dikumpulkan sejak masih muda.

  Pensiun, apabila lansia menjadi PNS akan ada tabungan (dana pensiun), tetapi bagi lansia yang tidak bekerja atau bukan PNS akan diberi uang oleh anak dan cucu-cucunya. Ekonomi, terjadi perubahan pada kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok bagi lansia dan income security. Rekreasi, perubahan ini biasanya terjadi dalam hal ketenangan batin. Keamanan, lansia akan mudah jatuh atau terpeleset.

  Politik, perubahan dalam memperoleh kesempatan yang sama untuk terlibat dan memberikan masukan dalam sistem politik yang berlaku.

  Pendidikan, perubahan dalam pendidikan biasanya berkaitan dengan pengentasan buta aksara dan kesempatan untuk tetap belajar sesuai dengan hak asasi manusia. Agama, berkaitan dengan pelaksanaan ibadah. Biasanya lansia akan menjadi lebih rajin dalam beribadah. Panti Jompo, merasa dibuang atau diasingkan oleh keluarganya.

4.5.3. Perubahan Psikologis

  Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory, frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi dan kecemasan. Dalam psikologi perkembangan, lansia dan perubahan yang dialaminya akibat proses penuaan digambarkan oleh keadaan fisik lemah dan tak berdaya menyebabkan ketergantungan pada orang lain, status ekonomi yang terancam, menentukan kondisi hidup yang sesuai dengan perubahan status ekonomi dan kondisi fisik.

  Perubahan dalam penampilan lansia seperti bentuk mulut berubah karena kehilangan gigi atau karena harus memakai gigi palsu, bahu membungkuk dan tampak mengecil, kulit berubah menjadi lebih tipis, kering dan keriput. Perubahan umum fungsi panca indra pada lansia, misalnya penurunan kemampuan penglihatan serta menurunnya sensitifitas terhadap warna, kehilangan kemampuan mendengar bunyi dengan nada yang sangat tinggi. Perubahan umum kemampuan motorik pada lansia, misalnya penurunan kelenturan otot-otot tangan serta penurunan kecepatan dalam bergerak.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kanker Serviks - Analisis Pengetahuan Dan Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Pelaksanaan Pap’smear Untuk Deteksi Dini Kanker Serviks Di Puskesmas Petisah Medan Tahun 2013

0 0 23

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengetahuan Dan Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Pelaksanaan Pap’smear Untuk Deteksi Dini Kanker Serviks Di Puskesmas Petisah Medan Tahun 2013

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sirosis Hati 2.1.1 Definisi - Korelasi Antara Skor Child-Pugh Dengan Gastropati Hipertensi Portal Pada Penderita Sirosis Hati

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring - Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Tekuk Profil Baja Siku Sama Sisi dan Tidak Sama Sisi ( Teori dan Eksperimental )

0 5 53

BAB I PENDAHULUAN - Tekuk Profil Baja Siku Sama Sisi dan Tidak Sama Sisi ( Teori dan Eksperimental )

0 0 9

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Antena - Rancang Bangun Antena Mikrostrip Patch Segiempat 2 Elemen Dengan Pencatuan Aperture Coupled Untuk Aplikasi Evdo

0 0 19

Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. - Profil Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum Berdasarkan Karakteristik Penderita Psoriasis Vulgaris Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 12

Lampiran 1 LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Hubungan Dukungan Keluarga dengan Konsep Diri Lansia di Lingkungan XI Kelurahan Titi Papan Kecamatan Medan Deli

0 0 34