BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Dukungan Keluarga 1.1 Definisi Keluarga - Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD dr. Pirngadi Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Dukungan Keluarga

1.1 Definisi Keluarga

  WHO (1969 dalam Mubarak, 2006) mendefinisikan bahwa keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan. Menurut UU No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Sedangkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1998 dalam Mubarak, 2006) menyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

  Pakar konseling keluarga dari Yogyakarta, Sayekti (1994 dalam Setiadi, 2008) menulis bahwa keluarga adalah suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.

  Friedman (1998 dalam Efendi, 2009) menyatakan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional di mana individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga.

  1.2 Definisi Dukungan Keluarga

  Friedman (1998) menyatakan bahwa dukungan keluarga adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit.

  Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan.

  Kane (1988 dalam Friedman, 1998) mendefinisikan dukungan keluarga sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya. Ketiga dimensi interaksi dukungan keluarga tersebut bersifat reprokasitas/timbal balik (sifat dan frekuensi hubungan timbal balik), advis/umpan balik (kuantitas dan kualitas komunikasi), dan keterlibatan emosional (kedalaman intimasi dan kepercayaan) dalam hubungan sosial.

  1.3 Sumber Dukungan Keluarga

  Friedman (1998 dalam Akhmadi, 2009) menyatakan bahwa dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan keluarga bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung dan dukungan keluarga eksternal seperti jaringan kerja sosial keluarga.

1.4 Fungsi Dukungan Keluarga

  Caplan (1976 dalam Friedman, 1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu: a. Dukungan Informasional

  Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan desiminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi.

  b. Dukungan Penilaian Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator identitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, dan perhatian.

  c. Dukungan Instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. d. Dukungan Emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaaan, perhatian, mendengarkan, dan didengarkan.

1.5 Manfaat Dukungan Keluarga

  Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Misalnya, jenis-jenis dan kuantitas dukungan sosial dalam fase perkawinan (sebelum sebuah pasangan muda mendapat anak) sangat berbeda dengan banyaknya dan jenis-jenis dukungan sosial yang dibutuhkan ketika keluarga sedang berada dalam tahap/fase siklus kehidupan terakhir. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).

  Wills (1985 dalam Friedman, 1998) menyimpulkan bahwa baik efek- efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stress terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan.

  Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan.

  Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi.

2. Kecemasan

2.1 Definisi Kecemasan

  Herdman (2010) menyatakan bahwa kecemasan merupakan perasaan tidak nyaman atau gelisah yang samar yang ditimbulkan oleh persepsi ancaman nyata atau imajinasi terhadap eksistensi seseorang. Sedangkan Stuart & Sundeen (1998) mengemukakan bahwa kecemasan sebagai respon emosional dengan objek yang tidak spesifik atau tidak jelas yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Kecemasan merupakan konsep multidimensional dan dimanefestasikan sebagai sebuah respon tubuh dan juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman dan fenomena interpersonal. Seperti pada pasien pembedahan terdapat respon cemas yang dipengaruhi pengalaman sebelumnya. Misalnya pasien yang sudah dioperasi, ketika akan dioperasi lagi mungkin respon cemasnya tidak terlalu tinggi atau malah sebaliknya, tergantung pengalaman operasi yang dilalui sebelumnya.

  Trismiati (2004 dalam Purba, 2012) menyatakan bahwa konsep ansietas (kecemasan) memegang peranan penting yang sangat mendasar dalam teori-teori tentang stress dan penyesuaian diri. Kecemasan adalah perasaan was-was, khawatir, atau tidak nyaman seakan-akan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernapasan. Kecemasan melibatkan persepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya. Sedangkan Corey (1995 dalam Purba, 2012) mengartikan ansietas sebagai suatu keadaan tegang yang memaksa individu untuk berbuat sesuatu.

2.2 Faktor Predisposisi Kecemasan

  Stuart & Sundeen (1998) mengemukakan bahwa penyebab kecemasan pada individu dapat dipahami melalui beberapa teori, yaitu: a. Teori Psikoanalitik

  Menurut Freud, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian Id dan Super ego. Id mewakili dorongan insting dan implus primitif seseorang, sedangkan super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma- norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

  b. Teori Interpersonal Menurut Sullivan, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah terutama mudah mengalami perkembangan ansietas yang berat.

  c. Teori Prilaku Teori ini berkaitan dengan pendapat bahwa kecemasan adalah produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor presipitasi yang aktual mungkin adalah sejumlah stressor internal dan eksternal, tetapi faktor-faktor tersebut bekerja menghambat usaha seseorang untuk memperoleh kepuasan dan kenyamanan. Pakar prilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Pakar tentang pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan dininya dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya.

  d. Teori Keluarga Menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga dan juga terkait dengan tugas perkembangan individu dalam keluarga.

  e. Teori Biologis Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepines . Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas.

  Penghambat asam aminobutirik-gamma neroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas, sebagaimana halnya dengan endorphin. Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap ansietas.

  Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.

2.3 Faktor Presipitasi Kecemasan Faktor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal.

  Ada dua kategori faktor pencetus kecemasan, yaitu ancaman terhadap integritas fisik dan terhadap sistem diri (Lairaia & Stuart, 1998 dalam Purba, 2012):

  a. Ancaman Terhadap Integritas Fisik Ancaman pada kategori ini meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Sumber internal dapat berupa kegagalan mekanisme fisiologis seperti jantung, sistem imun, regulasi temperature, perubahan biologis yang normal seperti kehamilan dan penuaan. Sumber eksternal dapat berupa infeksi virus atau bakteri, zat polutan, dan luka trauma. Kecemasan dapat timbul akibat kekhawatiran terhadap tindakan operasi yang mempengaruhi integritas tubuh secara keseluruhan.

  b. Ancaman Terhadap Sistem Tubuh Ancaman pada kategori ini dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial seseorang. Sumber internal dapat berupa kesulitan melakukan hubungan interpersonal di rumah, di tempat kerja, dan di masyarakat. Sumber eksternal dapat berupa kehilangan pasangan, orang tua, teman, perubahan status pekerjaan, dilema etik yang timbul dari aspek religius seseorang, tekanan dari kelompok sosial atau budaya. Ancaman terhadap sistem diri terjadi saat tindakan operasi akan dilakukan sehingga akan menghasilkan suatu kecemasan.

2.4 Tingkat Kecemasan

  Peplau (1952 dalam Videbeck, 2008) mengidentifikasi empat tingkat kecemasan sebagai berikut: a. Tingkat Kecemasan Ringan Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari.

  Dalam tingkat ini seseorang lebih waspada dan lapangan persepsinya meningkat seperti melihat, mendengar dan gerakan menggenggam lebih kuat. Tingkatan ini dapat memotivasi untuk belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Pada tingkat ini, biasanya muncul tanda dan gerakan seperti jantung berdebar, gelisah, lebih banyak bicara dari biasanya dan tangannya gemetar.

  b. Tingkat Kecemasan Sedang Seseorang pada tingkat ini, biasanya pikirannya akan terfokus pada apa yang dilihatnya sesegera mungkin dan terhalangi dengan lingkungan luarnya. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Lapangan persepsinya menurun seperti penglihatan, pendengaran, dan gerakan menggenggam berkurang. Pada tahap ini disertai tanda dan gerakan seperti mulut kering, anoreksia, badan bergetar, ekspresi wajah ketakutan, gelisah, tidak mampu bersikap rileks, sukar tidur, dan banyak bicara disertai suara yang keras.

  c. Tingkat Kecemasan Berat Pada tingkat kecemasan yang berat, seorang individu biasanya akan mengalami lapangan persepsi yang menyempit, lebih memperhatikan hal-hal yang spesifik dan tidak memikirkan hal yang lain. Prilakunya ditunjukkan untuk mencapai ketenangan dan membutuhkan banyak bimbingan untuk memperhatikan keadaan. Tanda dan gejala yang muncul biasanya seperti memainkan atau meremas jari, kecewa, tidak berdaya, merasa bodoh terhadap tindakan yang dilakukan, dan merasa tidak berharga.

  d. Panik Tingkatan ini berhubungan dengan perasaan takut dan cemas. Pada tingkatan ini hal yang spesifik tidak lagi proporsional karena seseorang telah kehilangan kontrol, tidak dapat melakukan hal-hal tertentu meskipun dengan bimbingan. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain, persepsi yang terdistorsi/menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Disertai tanda dan gejala seperti perasaan jantung berdebar, penglihatan berkunang-kunang, sakit kepala, sulit bernafas, perasaan mau muntah, otot lebih terasa tegang, dan tidak mampu melakukan apa-apa.

2.5 Gejala Klinis Cemas

  Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut (Hawari, 2008):

  1) Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung.

  2) Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut. 3) Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.

4) Gangguan pola tidur, mimpi – mimpi yang menegangkan.

  5) Gangguan konsentrasi dan daya ingat. 6) Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinnitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala, dan lain-lain.

2.6 Pengukuran Kecemasan

  Rentang Respon Kecemasan

  Respon Adaptif Respon Maladaptif

  Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik Skema 2.1 Rentang Respon Kecemasan (Stuart & Sundeen, 1998)

2.7 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Pre Operasi

  Salan (1997, dalam Hartono 2009) mengemukakan bahwa kecemasan terjadi karena beberapa sebab, tetapi secara umum disebebkan oleh bahaya yang terdapat dalam dalam diri manusia sendiri, yaitu suatu stimulus internal atau juga keadaan bahaya dari luar oleh yang bersangkutan ditafsirkan lain, adanya distorsi persepsi dari realitas lingkungannya. Sedangkan Freud(dalam Hall, 1980), faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah lingkungan di sekitar individu.

  Menurut Carpenito (1998, dalam Hartono 2009) ada beberapa faktor yang berhubungan dengan munculnya kecemasan pada pasien pre operasi yaitu :

  1. Patofisiologis, yaitu setiap faktor yang berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia akan makanan, air, kenyamanan dan keamanan.

  2. Situasional, yaitu berhubungan dengan ancaman konsep diri terhadap perubahan status, adanya kegagalan, kehilangan benda yang dimiliki, dan kurang penghargaan dari orang lain.

3. Operasi

3.1 Definisi Operasi

  Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka.

  Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca pembedahan (Sjamsuhidajat, 2005).

  Operasi umumnya dilakukan untuk berbagai alasan seperti diagnostik (biopsi, laparatomi, eksplorasi), kuratif (eksisi massa tumor, pengangkatan apendiks yang mengalami inflamasi), reparatif (memperbaiki luka multiple), rekonstruktif atau kosmetik (mammoplasti, perbaikan wajah), dan paliatif (Brunner & Suddarth, 2002).

3.2 Kalsifikasi Operasi

  Jenis prosedur pembedahan diklasifikasikan berdasarkan pada tingkat keseriusan, kegawatan, dan tujuan pembedahan. Sebuah prosedur mungkin memiliki lebih dari satu klasifikasi. Misalnya pembedahan untuk mengangkat jaringan parut yang bentuknya tidak beraturan termasuk pembedahan dengan tingkat keseriusan yang rendah, elektif secara kegawatan, dan bertujuan untuk rekonstruksi. Klasifikasi seringkali tumpang tindih. Prosedur yang gawat juga dianggap mempunyai tingkat keseriusan mayor. Tindakan bedah yang sama dapat dilakukan pada klien yang berbeda dengan tujuan yang berbeda (Potter & Perry, 2005).

  Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa operasi dibagi menjadi dua berdasarkan tingkat keseriusannya yaitu operasi minor dan operasi mayor: a. Operasi minor Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat elektif, dan melibatkan perubahan yang kecil pada bagian tubuh, sehingga sering dilakukan untuk memperbaiki deformitas, mengandung risiko yang lebih rendah bila dibandingkan dengan prosedur mayor. Contoh ekstraksi/pencabutan gigi, pengangkatan kutil, graft kulit, ekstraksi/operasi katarak, operasi plastik wajah dan arthroskopi.

  b. Operasi mayor Operasi mayor adalah operasi yang bersifat elektif, urgen, dan emergensi. Operasi ini melibatkan rekonstruksi atau perubahan yang luas pada bagian tubuh sehingga menimbulkan risiko yang tinggi bagi kesehatan. Tujuan dari operasi mayor adalah untuk menyelamatkan nyawa, mengangkat atau memperbaiki bagian tubuh, memperbaiki fungsi tubuh dan meningkatkan kesehatan. Contoh bypass arteri koroner, reseksi kolon, pengangkatan laring, reseksi lobus paru, kolesistektomi, nefrektomi, kolostomi, histerektomi, mastektomi, amputasi, dan operasi akibat trauma.

  Operasi mayor biasanya dilaksankan dengan anastesi umum di unit bedah rawat inap. Operasi lebih serius dari operasi kecil dan bisa berisiko kepada jiwa. Operasi besar merupakan stressor kepada tubuh dan memicu respon neuroendocrine. Respon terdiri dari sistem saraf simpatis dan respon hormonal yang bertugas melindungi tubuh dari ancaman cedera. Bila stress terhadap sistem cukup gawat atau kehilangan darah cukup banyak mekanisme kompensasi dari tubuh terlalu banyak beban dan syok akan menjadi akibat dari itu semua.

  Anastesi tertentu yang dipakai dapat mencegah terjadinya syok. Selain itu, respon metabolisme juga terjadi. Karbohidrat dan lemak di metabolisme untuk memproduksi energi. Protein tubuh dipecah untuk menyajikan suplai asam amino yang dipakai untuk membangun jaringan baru. Asam amino yang tidak dipakai menjadi nitrogen sebagai produk akhir, diekskresikan seperti urea. Ini berakibat menjadi keseimbangan nitrogen yang negatif, itu berarti kehilangan nitrogen melampaui intake nitrogen. Semua faktor ini menjurus kepada kehilangan berat badan setelah pembedahan besar. Intake protein yang tinggi diperlukan guna mengisi kebutuhan protein untuk keperluan penyembuhan dan mengisi kebutuhan untuk fungsi yang optimal (Long, 1996).

  Setiap orang berbeda pandangan dalam menanggapi bedah sehingga respon psikologisnya juga berbeda-beda. Namun sesungguhnya selalu terjadi ketakutan dan penghayatan yang umum. Sebagian ketakutan yang melatar belakangi pra bedah adalah elusif/keinginan mengelak dan orang tidak akan mengetahui penyebabnya. Ketakutan yang umum yaitu takut oleh yang tidak diketahui, hilang kendali, hilang kasih sayang dari orang yang penting misalnya keluarga, dan ancaman seksualitas. Sedangkan ketakutan yang lebih spesifik yaitu diagnosis keganasan, anestesi, sakaratul maut, nyeri, perubahan penampilan, dan keterbatasan permanen. Orang yang sangat cemas sehingga tidak bisa berbicara dan mencoba menyesuaikan diri dengan kecemasan sebelum operasi seringkali menderita banyak kesukaran pada pasca bedah. Mereka cenderung banyak marah, kesal, bingung, atau depresi. Mereka lebih mudah tersinggung akibat reaksi psikis dibandingkan dengan orang yang cemasnya sedikit. Ketakutan dan kecemasan yang dirasakan pasien pre operasi ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan-gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah, menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, dan sering berkemih (Long, 1996).

3.3 Tahapan Operasi

  Brunner & Suddarth (2002) membagi tindakan operasi melalui tiga fase yaitu preoperasi, intraoperasi dan postoperasi.

  a. Fase Praoperatif Fase ini dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan klinik atau di rumah, menjalani wawancara praoperatif, dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. Kecemasan praoperatif merupakan suatu respon antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup , integritas tubuh, atau bahkan kehidupannya itu sendiri. Pasien yang menghadapi pembedahan dilingkupi oleh ketakutan akan ketidaktahuan, kematian, tentang anastesi, kekhawatiran mengenai kehilangan waktu kerja dan tanggung jawab mendukung keluarga. Aktivitas keperawatan yang dilakukan oleh seorang perawat untuk mengurangi kecemasan pasien adalah dengan memberikan dukungan psikologis seperti : menceritakan pada pasien apa yang sedang terjadi, memberikan dorongan untuk pengungkapan, harus mendengarkan dan memahami, memberikan informasi tentang prosedur pembedahan, menentukan status psikologis dan mengkomunikasikan status emosional pasien pada anggota tim kesehatan lain yang berkaitan.

  b. Fase Intraoperatif Fase ini dimulai ketika pasien masuk atau dipindah kebagian atau departemen bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infus, memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien.

  c. Fase Pascaoperatif Fase ini dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, fokus termasuk mengkaji efek dari agen anastesi, dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut, dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan.