PENGELOLAAN KAWASAN BERKELANJUTAN Sebuah Kajian Rencana Pengelolaan di Areal Model DAS Mikro Sub DAS Binanga Bolon

  

PENGELOLAAN KAWASAN BERKELANJUTAN

Sebuah Kajian Rencana Pengelolaan di Areal Model DAS Mikro

Sub DAS Binanga Bolon

1) 2) 3)

Oleh:

1) 2) 3)

Rahmawaty , Abdul Rauf , dan Tetty Pryska H

  

Dosen Prodi Kehutanan FP-USU, Dosen Prodi Agroekoteknologi FP-USU, Staf BP DAS

Asahan Barumun, Dirjen BPDASPS, Kementerian Kehutanan RI

ABSTRAK

  Areal MDM Binanga Bolon adalah salah satu sub Daerah Aliran Sungai (DAS) dari DAS Asahan Toba yang merupakan salah satu DAS Prioritas di Provinsi Sumatera Utara. Luas areal MDM Sub DAS Binanga Bolon adalah kurang lebih 4.516,11 Ha terletak di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk pengelolaan kawasan berkelanjutan berbasis pengelolaan DAS di Areal MDM Binanga Bolon. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan wawancara dengan mengumpulkan data primer dan sekunder. Hasil kajian menunjukkan bahwa Permasalahan yang dihadapi di areal MDM secara garis besar adalah masalah hutan dan lahan, kualitas dan kuantitas air, dan sosial ekonomi masyarakat. Permasalahan biofisik utama adalah tingginya laju erosi dan sedimentasi, tingginya besaran dan frekuensi banjir, serta ketersediaan air yang kurang merata secara spatial dan temporal. Berdasarkan pertimbangan kondisi biofisik lingkungan dan sosial ekonomi pada areal MDM Binanga Bolon, maka beberapa kegiatan yang direkomendasikan pada areal MDM Binanga Bolon adalah Agropastural, Agroforestry, Hutan Rakyat, Intensifikasi Pertanian, Kebun Bibit Rakyat, Penghijauan, dan Reboisasi. Sosialisasi kepada masyarakat khususnya masyarakat yang berada di sekitar areal MDM Binanga Bolon perlu dilakukan dalam rangka pengelolaan berkelanjutan.

  Kata kunci: Binanga Bolon, Model DAS Mikro, Berkelanjutan.

I. PENDAHULUAN n/ Pembangunan Berkelanjutan merupakan

  Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengkhawatirkan kemampuan generasi masa depan untuk memperoleh kebutuhannya sendiri. Pada dasarnya setiap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hal ini dapat dicapai apabila pengelolaan dilakukan secara terpadu. Pengelolaan secara terpadu juga dilakukan pada tingkat DAS.

  Untuk memudahkan pelaksanaan monitoring dan evaluasi khususnya dalam menentukan indikator keberhasilan dari kegiatan pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan, maka penerapan pengelolaan DAS dalam skala kecil sangat diperlukan. Untuk itu diperlukan adanya DAS mikro. Prinsip-prinsip pengelolaan DAS terpadu dalam pelaksanaan pembangunan MDM adalah melibatkan para pihak secara partisipatif, terkoordinasi, berkelanjutan, bersifat aditif terhadap perubahan kondisi dinamis sesuai dengan karakteristik DAS, pembagian tugas dan fungsi, beban biaya dan manfaat antar para pihak secara adil dan akuntabel (Kementerian Kehutanan RI, 2012).

  DAS Mikro merupakan bagian dari DAS yang termasuk ordo 1-3 dan ordo 1 adalah alur sungai paling hulu (Strahler 1979 dalam Perdirjen RLPS No. P.15/V-SET/2009). Luas Model DAS Mikro (MDM) dapat mencapai 5.000 Ha. Model DAS Mikro adalah suatu wadah pengelolaan DAS dalam skala lapangan yang digunakan sebagai tempat untuk memperagakan proses partisipatif dalam pengelolaan (meliputi kegiatan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi) kegiatan RHL, teknik konservasi tanah dan air, usaha tani yang sesuai dengan kemampuan lahan, sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat.

  Berdasarkan uraian tersebut, maka Sub DAS Binanga Bolon memenuhi syarat sebagai salah satu MDM, karena: merupakan bagian dari (Sub) DAS Prioritas I (DAS Asahan Toba) (Rauf, dkk, 2013) di wilayah kerja Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun, geologinya tidak termasuk kapur/karst, luas sekitar 5.000 Ha, terdapat lahan kritis, terdapat lahan pertanian, hutan (negara/adat) dan pemukiman, mudah dijangkau dan terletak pada satu wilayah kabupaten, terdapat dalam satu kabupaten/kota, terdapat isu/permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan DAS di wilayah kerja Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun, dan ada dukungan pemerintah kabupaten dan masyarakat setempat. Berdasarkan uraian tersebut, maka diperlukan adanya kajian mengenai bentuk pengelolaan yang tepat di MDM Binanga Bolon agar kawasan tersebut dapat dikelola secara berkelanjutan. Studi ini bertujuan untuk mengkaji bentuk pengelolaan kawasan berkelanjutan berbasis pengelolaan DAS di Areal MDM Binanga Bolon.

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.

  o O

  Secara geografis Kabupaten Samosir terletak di antara 2 21 ‘38”-2 49’48”

  O O

  Lintang Utara dan 98 24’00” – 99 01’48” Bujur Timur dengan ketinggian antara

  904-2.157 meter di atas permuakaan laut. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu pada bulan Agustus sampai dengan Nopember 2012.

  B. Gambaran Umum Lokasi MDM Binanga Bolon

  Model DAS Mikro (MDM) Tahun 2012 terletak di Sub DAS Binanga

  2 Bolon, DAS Asahan Toba. Luas wilayahnya kurang lebih 2.069,05 km terdiri

  2

  dari luas daratan kurang lebih 1.444,25 km (69,80 persen), yaitu seluruh Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba dan sebagian wilayah daratan Pulau

  2 Sumatera. Luas wilayah danau kurang lebih 624,80 km (30,20 persen). Wilayah

  adminstrasi pemerintahan kecamatan di Kabupaten Samosir hingga tahun 2011 tidak mengalami pemekaran, yaitu terdiri dari 9 kecamatan, sementara wilayah administrasi pemerintahan desa/kelurahan mengalami pemekaran pada tahun 2011 yaitu dari 111 desa dan 6 kelurahan menjadi 128 desa dan 6 kelurahan.

  Menurut kecamatan wilayah daratan yang paling luas adalah Kecamatan

  2 Harian dengan luas kurang lebih 560,45 km (38,81 persen) diikuti oleh

  2 Kecamatan Simanindoo kurang lebih 198,20 km (13,72 persen). Kecamatan

  2 Sianjur mula-mula kurang lebih 140.24 km (9,71 persen). Kecamatan palipi

  2

  kurang lebih 129,55 km (8,97 persen). Kecamatan Pangururan kurang lebih

  2

  2

  121,43 km (8,41 persen). Kecamatan Ronggurnihuta kurang lebih 94,87 km

  2 (6,57 persen), kecamatan Nainggolan kurang lebih 87,86 km (6,08 persen).

  2 Kecamatan Onanrunggu kurang lebih 60,89 km (4,22 persen), dan kecamatan

2 Sitiotio kurang lebih 50,76 km (3,51 persen).

  Batas-batas wilayah Kabupaten Samosir adalah di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat, dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir.

  Keadaan topografi dan kontur tanahnya beranekaragam yaitu datar, landai, miring dan terjal. Struktur tanahnya labil dan berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik.

  Areal MDM Sub DAS Binanga Bolon terletak di empat kecamatan dan 12 desa yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Samosir, yaitu: Kecamatan Simanindo dan Kecamatan Palipi, Kecamatan Onan Runggu, dan Kecamatan Nainggolan. Luas areal MDM Sub DAS Binanga Bolon adalah kurang lebih 4.516,11 Ha. Letak lokasi DAS Mikro Sub DAS Binanga Bolon, disajikan pada Gambar 1.

  C. Metode Pengumpulan data

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan wawancara. Pengumpulan data meliputi pengumpulan data primer dan data sekunder.

  D. Analisis Data

  Analisis data yang digunakan untuk mengkaji bentuk pengelolaan kawasan berkelanjutan di Areal Model DAS Mikro Sub DAS Binanga Bolon yaitu dengan analisis deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Potensi Biofisik

  Berdasarkan analisis potensi biofisik lingkungan yang ada menunjukkan bahwa areal MDM Binanga Bolon memiliki beberapa potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan. Hutan dan lahan pada areal MDM Binanga Bolon memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Berdasarkan

  Gambar 1. Peta Lokasi Model DAS Mikro Sub DAS Binanga Bolon analisis dari peta kawasan hutan Kabupaten Samosir, areal MDM Binanga Bolon terdiri dari kurang lebih 4133,6 ha. Sekitar 91% merupakan kawasan hutan lindung dan sisanya merupakan areal peruntukan lain (APL) (SK Menhut No. 44 Tahun 2005). Keberadaan hutan lindung ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sumber air, mengatasi banjir, erosi, tanah longsor, sedimentasi, hasil hutan berupa kayu, hasil hutan berupa jasa lingkungan hutan (oksigen, keindahan/estetika, dan sebagainya); serta berbagai kekayaan alam untuk kesejahteraan masyarakat.

  Secara umum, lahan pada areal MDM Binanga Bolon banyak dimanfaatkan masyarakat untuk pertanian (Gambar 2). Selain itu juga perkebunan dan peternakan dijumpai di Sub DAS ini. Sebagian masyarakat memiliki areal persawahan yang dapat menunjang aktivitas kegiatan ekonomi di wilayah MDM Binanga Bolon. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan secara intensif dengan tetap mengacu pada prinsip konservasi tanah dan air yang tepat.

  Gambar 2. Lahan pertanian di Sub Das Binanga Bolon Kabupaten Samosir juga memiliki potensi wisata dan perikanan air tawar yang sangat baik. Di bagian hulu Sub DAS Binanga Bolon terdapat Danau Aek

  Natonang (Gambar 3) yang juga merupakan kawasan arboretum yang dikelola pemda Kabupaten Samosir dan bagian hilirnya terdapat Danau Toba yang telah dikenal di seluruh dunia. Selain itu terdapat juga kebun raya yang saat ini sedang dalam proses pengembangan oleh Pemda Setempat. Oleh karena itu potensi wisata dan perikanan air tawar yang ada di Kabupaten Samosir perlu dikembangkan guna mendukung kesejahteraan masyarakat. Selain potensi sumberdaya alam yang dimiliki, areal MDM Binanga Bolon juga memiliki sumberdaya manusia yang cukup potensial. Masyarakat desa yang ada di Wilayah Sub DAS Binanga Bolon telah secara aktif bergerak dalam wadah kelompok tani. Semua potensi yang ada jika dapat dikembangkan secara baik dan bijaksana akan menjadi aset yang sangat berharga bagi masyarakat di lokasi MDM Binanga Bolon.

  Gambar 3. Danau Aek Natonang di Kabupaten Samosir

B. Permasalahan di areal MDM Binanga Bolon

  Permasalahan yang dihadapi di areal MDM secara garis besar adalah masalah hutan dan lahan, masalah kualitas dan kuantitas air, dan masalah sosial ekonomi masyarakat.

  1. Masalah Hutan dan Lahan

  Hingga saat ini, masalah kerusakan hutan masih terus terjadi, khususnya pada areal MDM Binanga Bolon. Perambahan hutan dan konversi lahan terus meningkat. Akibat dari kerusakan hutan ini adalah semakin luasnya areal-areal gundul yang hanya ditumbuhi oleh semak, belukar atau alang-alang.

  Perusakan hutan di Sub DAS Binanga Bolon tidak hanya terjadi pada areal kawasan hutan produksi, tetapi juga terjadi pada daerah-daerah resapan air, daerah sempadan sungai dan daerah-daerah sumber mata air. Berdasarkan analisis GIS BPDAS Asahan Barumun Tahun 2012, terdapat 1110.43 Ha (24.43 %) merupakan lahan dengan kategori sangat kritis dan seluas 1128.71 Ha (24.83 %) merupakan lahan dengan kategori kritis. Selain itu 50.73 % dari luas total areal MDM Binanga Bolon termasuk dalam kategori Agak kritis. Kondisi ini memerlukan upaya perbaikan lingkungan yang tepat sehingga kelestarian lingkungan akan tetap terjaga.

  Kerusakan hutan ini telah berdampak luas terhadap sistem hidrologi, daya dukung lahan, keanekaragaman hayati dan tatanan ekosistem secara keseluruhan. Luas lahan kritis semakin bertambah, banjir, erosi dan longsor semakin sering terjadi. Apabila masalah-masalah tersebut tidak segera ditangani secara terencana, tepat dan sistematis, maka dalam jangka panjang akan berdampak luas terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

  2. Masalah kualitas dan kuantitas air

  Sedimentasi masih menjadi masalah utama pada sungai di areal MDM Binanga Bolon (Gambar 4). Penyebab utama tingginya sedimentasi adalah kondisi saluran yang kurang baik sehingga mengakibatkan terjadinya endapan lumpur, selain itu banyaknya penenbangan liar dan kurangnya vegetasi di bantaran sungai juga menyebabkan laju sedimentasi yang cukup tinggi. Kondisi ini membawa efek lebih lanjut yaitu terjadinya banjir pada musim penghujan. Sungai dan saluran yang mengalami pendangkalan akibat sedimentasi akan meluap. Curah hujan yang relatif tinggi menyebabkan tanah di sekitar lokasi mudah mengalami erosi. Dari hasil analisis peta menunjukkan bahwa daerah ini berada pada daerah datar, maka potensi terjadinya banjir menjadi sangat besar.

  Gambar 4. Kondisi saluran air pada areal MDM Binanga Bolon

3. Masalah sosial ekonomi masyarakat

  Sumberdaya manusia, khususnya kemampuan dan pengetahuan petani yang sangat terbatas merupakan masalah utama dalam pengelolaan DAS. Masalah-masalah yang terkait dengan sumberdaya manusia adalah rendahnya persepsi masyarakat terhadap lingkungan DAS secara keseluruhan, adanya kecenderungan masyarakat untuk memprioritaskan kepentingan-kepentingan ekonomi jangka pendek, kekurangpedulian masyarakat terhadap pencemaran, kemampuan dan penguasaan teknologi, kemampuan ekonomi dan pengetahuan masyarakat yang pada umumnya masih sangat rendah.

  Sampai saat ini masyarakat masih menghadapi permasalahan mengenai pemasaran hasil-hasil pertanian. Pada saat musim panen, harga hasil-hasil pertanian cenderung menjadi murah. Salah satu penyebabnya adalah infrastruktur yang kurang memadai seperti banyak jalan dan jembatan yang dalam kondisi rusak. Biaya transportasi yang tinggi ini mengakibatkan para tengkulak membeli hasil-hasil pertanian masyarakat dengan harga yang rendah.

C. Pengelolaan kawasan

  Berdasarkan pertimbangan kondisi biofisik lingkungan dan sosial ekonomi pada areal MDM Binanga Bolon, maka beberapa kegiatan yang disarankan pada areal MDM Binanga Bolon adalah : 1.

   Agropastural

  Salah satu bentuk kegiatan yang disarankan di areal MDM binanga Bolon adalah Agropastural. Agropastural merupakan bentuk kegiatan yang memadukan pertanian, peternakan dan tanaman makanan ternak di dalamnya. Konsep pertanian terpadu ini merupakan sistem pertanian yang selaras dengan kaidah alam yaitu mengupayakan suatu keseimbangan di alam dengan membangun pola relasi yang saling menguntungkan dan berkelanjutan di anatara setiap komponen ekosistem pertanian yang terlibat. Sistem pengelolaan dengan mengintegrasikan tanaman padi dengan ternak, seperti sapi, itik dan lain sebabainya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi, meningkatkan pendapatan petani, menekan penggunaan pupuk anorganik dan pestisida anorganik, menyediakan pakan sapi dari limbah pertanian (jerami padi), menyediakan pupuk organik dari limbah sapi dan biogas untuk energi alternatif bagi petani. Dalam pengelolaan lahan pertanian dengan pola agropastural dibutuhkan kerjasama antara Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan Kabupaten Samosir, sehingga nantinya program tersebut dapat dijalankan secara optimal dan memberikan manfaat yang optimal pula kepada masyarakat. Secara rinci penerapan agropastural ini akan dituangkan dalam rencana teknik yang akan disusun kemudian oleh instansi terkait.

  2. Agroforestry

  Agroforestry merupakan suatu metode penggunaan lahan secara optimal, yang mengkombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan azas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan hutan atau diluarnya, dengan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat (Hairiah dkk, 2003). Penerapan sistem agroforestry ini juga telah banyak diteliti, salah satunya oleh Bukhari dan Febriyanto (2009).

  Di areal MDM binanga Bolon sangat cocok ditetapkan sistem agroforestry karena sistem ini telah lama dipraktekkan oleh petani-petani yang ada di daerah tersebut. Penerapan agroforestry pada sistem penggunaan lahan bertujuan untuk : Pemanfaatan lahan secara optimal yang ditujukan kepada produksi hasil tanaman berupa kayu dan non kayu secara berurutan dan/atau bersamaan, Pembangunan hutan secara multi fungsi dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif, Meningkatkan pendapatan petani/penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian warga masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna mendukung proses pemantapan ketahan pangan masyarakat, dan agar terbinanya kualitas daya dukung lingkungan bagi kepentingan masyarakat luas.

  3. Hutan Rakyat

  Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik di luar kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 Ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak min 500 tanaman tiap hektar (Departemen Kehutanan RI, 1997 dan 2005). Pada areal MDM Binanga Bolon ini terdapat penggunaan lahan berupa perkebunan non vegetasi dan semak belukar yang dapat dikembangkan menjadi hutan rakyat yaitu seluas 388,995 Ha.

  Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumberdaya alam yang berdasarkan inisiatif masyarakat. Hutan rakyat ini dibangun untuk menghasilkan kayu maupun komoditas turunan lainnya yang secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sampai saat ini hutan rakyat banyak diusahakan oleh masyarakat desa, sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan berdampak pada perekonomian desa salin juga berdampak pada perbaikan lingkungan hutan dan sekitarnya. Manfaat ekonomi hutan rakyat secara langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya dan secara tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa. Pembangunan hutan rakyat ini selain memberikan manfaat secara ekonomis, tetapi juga memberikan manfaat secara ekologis antara lain perbaikan tata air DAS, konservasi tanah dan perbaikan mutu lingkungan.

  Menurut Hairiah dkk (2003), Pola pengembangan hutan rakyat biasanya berupa pola swadaya, pola subsidi dan pola kemitaraan. Pola tanam berupa penanaman pohon disepanjang batas milik, di teras bangku dan di seluruh lahan milik. Untuk pola tanaman dapat menerapkan bentuk agroforestry. Pembangunan areal model hutan rakyat merupakan salah satu contoh penerapan rehabilitasi hutan dan lahan dalam skala kecil dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan pengembangan swadaya masyarakat. Di areal MDM binanga Bolon, hutan rakyat ini juga telah lama dipraktekkan oleh petani-petani yang ada di daerah tersebut, namun belum terprogram dengan baik, oleh sebab itu, perlu pembuatan areal model Hutan Rakyat yang bertujuan untuk menerapkan metode dan teknik pembuatan hutan rakyat yang disesuaikan dengan kondisi lokal, dimana dalam pelaksanaannya akan dipantau secara kontinu, sehingga akan dapat diketahui manfaat, dampak maupun impact dari pembangunan areal model hutan rakyat tersebut terhadap lingkungan biofisik maupun sosial ekonomi masyarakat. Pembangunan areal model hutan rakyat ini direncanakan akan dibangun pada tahun I (2012) setelah areal MDM Binanga Bolon ini dibangun (BP DAS Asahan Barumun, 2012).

4. Intensifikasi Perkebunan

  Dalam areal MDM Binanga Bolon, terdapat penggunaan lahan berupa kebun yang ditanami kopi. Sumberdaya alam berupa kopi ini menjadi aset penting bagi desa yang berada dalam lokasi MDM Binanga Bolon. Untuk lebih meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan masyarakat pengelola, maka dipandang perlu untuk dilakukan intensifikasi perkebunan. Selain itu pengembangan kelembagaan pun dipandang perlu untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat sebagai pengelola perkebunan. Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan melalui kerjasama berbagai intansi terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Samosir, Bappeda, Badan Lingkungan Hidup, Bapeluh, Perguruan Tinggi, Dinas UKM dan Koperasi, dan lain sebagainya.

  5. Intensifikasi Pertanian

  Intensifikasi pertanian adalah mengusahakan pertanian secara intensif agar diperoleh hasil yang optimal (BP DAS Musi, 2011). Intensifikasi dilakukan melalui panca Usaha Tani, yaitu : pemilihan dan penggunaan bibit unggul , pengolahan lahan atau pertanian secara tepat, pengaturan irigasi, pemberian pupuk sesuai aturan , dan pemberantasan hama. Selain itu penguatan kelembagaan juga perlu dilakukan pada kelompok-kelompok tani yang ada pada areal MDM Binanga Bolon, sehingga kegiatan -kegiatan dalam rangka intensifikasi pertanian dapat memberikan hasil yang optimal.

  6. Kebun Bibit Rakyat

  Di areal MDM Binanga Bolon, KBR ini sangat diperlukan. Penggunaan benih dan bibit berkualitas disertai dengan penerapan budidaya yang tepat dan manajemen yang baik dapat meningkatkan keberhasilan penanaman, produktivitas dan kualitas hutan, serta nilai komersial tegakan. Kebun Bibit Rakyat (KBR) merupakan upaya penyediaan bibit berkualitas melalui pembuatan bibit jenis tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna (MPTS) oleh kelompok pengelola. Dengan demikian keberhasilan dan efisiensi program rehabilitasi hutan dan lahan serta program pembangunan hutan tanaman dapat meningkat.

  7. Pengembangan Perikanan

  Di sektor perikanan, Kabupaten Samosir memiliki potensi yang besar terutama kegiatan budidaya perikanan. Dengan demikian pengembangan sektor perikanan penting untuk dilakukan. Kegiatan pengembangan perikanan ini dapat dilakukan melalui perbaikan teknik penangkapan, pengolahan hasil perikanan, system minapadi (agrofisheries), silvo-fisheries dan rehabilitasi lahan dan hutan, penguatan kelompok dan modal usaha serta peningkatan sarana dan prasarana perikanan.

  Agrofishery merupakan bentuk kegiatan yang memadukan budidaya perikanan dengan pertanian. Agrofishery atau lebih dikenal dengan istilah mina padi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan persawahan. Pada dasarnya penerapan pola mina padi atau agrofishery ini adalah untuk mendukung peningkatan produktivitas lahan, meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan kualitas makanan bagi penduduk pedesaan. Penggunaan jenis ikan yang paling umum dipelihara adalah ikan mas. Penebaran ikan dilakukan lebih kurang setelah penanaman. Aspek-aspek teknis dan lain sebagainya akan dituangkan secara detil dalam bentuk dokumen rancangan teknis.

  8. Penghijauan

  Salah satu bentuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan adalah penghijauan. Di areal MDM Binanga Bolon, penghijauan ini perlu dilakukan seperti penanaman di taman, jalur hijau, halaman tempat ibadah, perkantoran, sekolah, pemukiman, sempadan sungai. Sesuai Permenhut No. 70/Menhut- II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, kegiatan penghijauan lingkungan dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan melalui penanaman pohon jenis kayu dan MPTS. Jenis bibit yang dipilih dapat disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan minat masyarakat. Pelaksanaan penanaman dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat/ pramuka/pelajar/mahasiswa/LSM/Ormas. Penanaman dilaksanakan oleh masyarakat pengusul secara swadaya, yang diarahkan agar sesuai kaidah teknis penanaman pada umumnya.

9. Pengkayaan Reboisasi

  Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada prinsipnya bertujuan untuk memulihkan , mempertahankan, dan meningkatkan fungsi sumberdaya hutan dan lahan baik itu dari fungsi produksi, fungsi lindung maupun fungsi konservasi, dimana kegiatan RHL tersebut dilakukan secara bertahap. Salah satu kegiatan RHL adalah pengayaan tanaman, yaitu kegiatan memperbanyak keragaman dengan cara pemanfaatan ruang tumbuh secara optimal, melalui penanaman pohon.

  Di areal MDM Binanga Bolon banyak terdapat lahan kritis, sehingga rehabilitasi hutan dan lahan di dalam kawasan hutan perlu dilakukan. salah satu usaha dapat melalui kegiatan penanaman pengkayaan reboisasi. Sesuai Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, jenis bibit/tanaman yang digunakan pada reboisasi hutan produksi harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu : pertumbuhan cepat, nilai komersialnya tinggi, teknik silvikultur telah dikuasai, mudah pengadaan benih dan bibit berkualitas, dan disesuaikan dengan kebutuhan pasar.

  Untuk memenuhi kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial, maka pada kegiatan reboisasi dapat diadakan pencampuran tanaman antara jenis kayu-kayuan dan jenis MPTS dengan komposisi minimum 90% kayu-kayuan, maksimum 10 % MPTS (penghasil kayu/getah/buah/kulit). Jenis tanaman kayu-kayuan disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan agroklimat. Jumlah tanaman per satuan luas dan jarak tanam ditentukan oleh fungsi hutan, kelerengan lapangan, sifat silvikulktur setiap jenis tanaman dan ketersediaan anggaran.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

  A. Kesimpulan

  Pada umumnya permasalahan yang dihadapi di areal MDM secara garis besar adalah masalah hutan dan lahan, kualitas dan kuantitas air, dan sosial ekonomi masyarakat. Berdasarkan pertimbangan kondisi biofisik lingkungan dan sosial ekonomi pada areal MDM Binanga Bolon, maka beberapa kegiatan yang direkomendasikan pada areal MDM Binanga Bolon adalah Agropastural, Agroforestry, Hutan Rakyat, Intensifikasi Pertanian, Kebun Bibit Rakyat, Penghijauan, dan Reboisasi.

  B. Saran

  1. Perlu adanya sosialisasi teknologi kepada masyarakat khususnya masyarakat yang berada di sekitar areal MDM Binanga Bolon.

  2. Bentuk pengelolaan lahan yang sudah ada di masyarakat perlu ditingkatkan.

UCAPAN TERIMA KASIH

  Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada Kepala BP DAS Asahan Barumun, Dirjen PDASPS, Kementerian Kehutanan RI yang telah memfasilitasi studi ini dan Pemerintah Kabupaten Samosir yang telah membantu dalam penyiapan data dan informasi yang sangat diperlukan serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

DAFTAR PUSTAKA

  Bukhari dan I.G. Febriyanto. Desain Agroforestry pada lahan kritis (Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar). Jurnal Perennial 6(1):53-

  59. Departemen Kehutanan RI. 1997. SK Menhut No. 49/Kpts-11/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat. Jakarta.

  Hairiah, Kurniatun, M.A. Sardjono., S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestry. Bahan Ajaran Agroforestry 1. World Agroforestry Center.

  Bogor. Kementerian Kehutanan RI. 2012. Laporan Kegiatan Rencana Pembangunan

  Areal Model Das Mikro (MDM) di Sub Das Binanga Bolon Kabupaten Samosir. BP DAS Asahan Barumun Dirjen BPDASPS, Kementerian Kehutanan RI, Pematang Siantar.

  Kementerian Kehutanan RI. 2011. Laporan Kegiatan Rencana Pembangunan Areal Model Das Mikro (MDM) Musi Hilir Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin. BP DAS Musi, Dirjen BPDASPS, Kementerian Kehutanan RI, Palembang.

  Kementerian Kehutanan RI. Perdirjen RLPS No. P.15/V-SET/2009. Jakarta. Kementerian Kehutanan RI. SK Menhut No. 44 Tahun 2005 tentang Penetapan Luas Kawasan Hutan di Sumatera Utara. Jakarta.

  Kementerian Kehutanan RI. Permenhut No. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jakarta. Kementerian Kehutanan RI. Permenhut No. P26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak. Jakarta. Rauf, A., H. Sianturi., Rahmawaty., Y. Hidayat., dan B. Slamet. Pengelolaan

  DAS; suatu Rencana Pengelolaan Terpadu DAS Asahan Toba. USU Press. Medan. 232 hal.