Strategi Membangun human Capital birokrasi Daerah yang Berdaya Saing Tinggi

  

STRATEGI MEMBANGUN HUMAN CAPITALBIROKRASI

DAERAH YANG BERDAYA SAING TINGGI

Oleh :

ERIKA REVIDA

  

(Guru Besar Administrasi Negara FISIP USU)

I.

  Pendahuluan Peningkatan daya saing human capitalbirokrasi daerah yang berdaya saing tinggimerupakan topik yang menarik untuk dikaji dan dibicarakan terutama sejak era reformasi dan otonomi daerah dicanangkan. Hal ini bukan aja disebabkan human capital birokrasi sebagai motor pembangunan dan pemerintahan, akan tetapi juga banyaknya permasalahan yang melingkupinya baik dari sisi internal maupun eksternal.

  Perubahan paradigma administrasi publik saat ini mengharuskan setiap daerahditantang dan dituntut untuk terus menerus melakukan pembangunan

  

human capital ke arah yang lebih baik (best practices)baik dari sisi kapasitas

  maupun kapabilitasagar memiliki daya saing yang tinggi. Berbagai program dan kegiatan pembangunan dan pemerintahan pun dicanangkan. Oleh karena itu saat ini tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk menutup mata terhadap pembangunan human capital birokrasi dari sisi manapun.

  Namun, dalam ranah implementasi saat ini, masih saja terdengar berbagai kendala/hambatan dalam membangun human capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi. Hal ini antara lain dinyatakan oleh Siagian (1994) dengan istilah Patologi Birokrasi yaitu:

1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab 2.

  Pengaburan masalah 3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme 4. Indikasi mempertahankan status-quo 5. Empire bulding (membina kerajaan) 6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko

7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran 8.

  Takut mengambil keputusan 9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi

  10.Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif, 11.Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.

  Pendapat Siagian ini didukung oleh Islamy (1998) yang menyatakan bahwa di kebanyakan birokrasi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over

  

consuming and under producing ), tidak objektif, menjadi pemarah ketika

  berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.

  Djawahir (dalam Majalah Swa edisi April 2004) menyatakan “Semangat otonomi daerah untuk memotong jalur birokrasi, diharapkan makin mempermudah para pengusaha untuk membuka bisnis di daerah, ternyata menjadi ajang bagi-bagi rejeki pejabat di daerah” Selain itu, Panudiana (dalam Majalah Swa, Edisi April 2004 : 21) mensitir bahwa dalam kenyataannya, tak semua aparat di daerah berpihak pada kepentingan pengusaha, akibatnya banyak pengusaha yang “gulung tikar”setelah otonomi daerah. Lebih lanjut, Kennedy (dalam Majalah Swa, edisi April 2004) menyatakan “Kewenangan daerah yang makin besar, justru dijadikan ajang untuk mengeruk pendapatan dari pengusaha, bukan kemudahan yang diberikan akan tetapi justu menjadi

  

cost center bagi pengusaha”. Penelitian yang dilakukan oleh Prambudi (dalam

  Koran Warta Kita, 13 Januari 2004) menyimpulkan bahwa 85 persen pengusaha mengaku mengeluarkan biaya tidak resmi ketika mengurus izin, pengusaha harus mengeluarkan biaya tidak resmi. Hasil penelitian Tim Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecildi Kabupaten Kediri (Koran Warta Kita, 13 Januari 2004) menyimpulkan bahwa ada 100 orang responden penelitian mengaku membayar biaya pengurusan izin melebihi standar yang ada. Hal ini tentu menjadi dasar masih rendahnya daya saing human capital birokrasi di daerah. Untuk itu perlu dibangun human capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi. Bagaimana strategi untuk membangun human

  

capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi merupakan pertanyaan yang

menggelitik untuk dibahas.

II. Strategi Membangun Human Capital Birokrasi Daerah yang Berdaya Saing Tinggi

  Sesungguhnya, belum ada kesepakatan yang pasti tentang definsi daya saing dalam dunia Administrasi Publik. Istilah daya saing muncul dalam dunia Administrasi Publik seiring dengan perubahan paradigma Administrasi Negara menjadi Adminitrasi Publik, yaitu berusaha mengadopsi dan menyesuaikan teori dan praktek Administrasi Privat ke ranah Administrasi Publik (Osborne&Gaebler (1992); Osborne dan Plastrik (1997); Ferlie (1997).

  Menurut Porter ((dalam Sumihardjo (2008), daya saing adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja.Porter menambahkan istilah daya saing sama dengan competitiveness atau competitive . Sumihardjo (2008) sendiri memberi batasan daya saing yaitu “Kata daya dalam kalimat daya saing bermakna kekuatan, dan kata saing berarti mencapai lebih dari yang lain, atau beda dengan yang lain dari segi mutu, atau memiliki keunggulan tertentu. Artinya daya saing dapat bermakna kekuatan untuk berusaha menjadi unggul dalam hal tertentu yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi tertentu.”

  Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 dinyatakan bahwa ”Daya saing adalah kemampuan untuk menunjukkan hasil lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna”. Dengan demikian yang dimaksud dengan daya saing adalah kemampuan dari seseorang/organisasi/institusi untuk menunjukan keunggulan dalam hal/bidang/aspek tertentu sehingga menunjukkan hasil yang lebih baik/unggul, lebih cepat, lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya atau dengan yang lainnya. Daya saing dapat bermakna kekuatan dan kemampuan untuk selalu berusaha menjadi unggul dalam bidang tertentu yang dilakukan orang, organisasi, kelompok atau institusi tertentu. Dengan demikian human capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggiadalah human capital birokrasi daerah yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan keunggulan dalam hal/bidang/aspek tertentu sehingga menunjukkan hasil yang lebih baik, lebih cepat, lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya atau dengan yang lainnya.

  Sesungguhnya, Human capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi merupakan human investment di masa yang akan datang dan harus disadari secara dini oleh pemerintah daerah sehingga tidak ada alasan sama sekali bagi pemerintah daerah untuk tidak menghiraukan peningkatan kualitas

  

human capital birokrasi agar daya saing daerahnya semakin baik. Untuk itu

  sepantasnyalah pembangunan human capital birokrasi daerah menjadi salah satu misi pemerintah daerah yang akan dituangkan dalam kebijakan, program dan kegiatannya dan tertuang di dalam rencana strategis (renstra) di seyiap pemerintah daerah.

  Membangun human capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi sesungguhnya merupakan pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Dikatakan gampang, jika diiringi dengan kemauan, komitmen dan lingkungan yang mendukung. Dikatakan sulit disebabkan human capitalbirokrasi memiliki karakter, harkat, martabat, minat dan bakat serta latar belakang budaya yang berbeda-beda yang dibawa ke dunia birokrasi. Untuk itu diperlukan beberapa strategi dalam membangun human capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi antara lain sebagai berikut :

  Strategi Pertama,Sistem Rekrutmen dan Seleksi.Rekrutmen dan

  seleksi merupakan tahap awal yang sangat menentukan untuk mendapatkan birokrasi di daerah yang berdaya saing tinggi. Kesalahan dalam

  human capital

  merekrut human capital birokrasi berpengaruh secara signifikan terhadap

  

output dan kinerja yang diharapkan. Semakin baik dibangun sistem rekrutmen

  dan seleksi birokrasi daerah, maka akan semakin baik pula human capital birokrasi yang didapatkan. Job analysis merupakan syarat utama sebelum dilakukan rekrutmen human capital birokrasi di daerah.Dengan job analysis, struktur organisasi yang gemuk akan dapat dihindari. Namun dalam prakteknya di daerah saat ini, sistem rekrutmen dan seleksi human capital birokrasi daerah relatif belum benar-benar transparansi. Belum ada indikator dan spesifikasi yang jelas dan transparan untuk merekrut seseorang dalam jabatan tertentu terutama untuk jabatan-jabatan strategis. Ini menjadikan motivasi dan peningkatan karir human capital birokrasi yang tidak jelas. Idealnya, rekrutmen dan seleksi birokrat di daerah haruslah dilakukan dengan profesional dan objektif dan independen. Kiranya sistem rekrutmen dan seleksi sektor swasta bisa dicontoh pemerintah daerah yaitu dengan berbagai tahapan ujian tertentu antara lain disamping ujian tertulis, ujian lisan, tes bakat (aptitude test) dan tes kepribadian (personality test) serta tes kepegawaian lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku. Komisi kepegawaian (civil service commission) sebagai amanah Undang-undang Kepegawaian Nomor 43 Tahun 1999 yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai manajemen human capital birokrasi di daerah yang mengelola mulai dari rekrutmen dan seleksi hingga pensiun dan pemutusan hubungan kerja harus segera dibentuk. Dengan Komisi kepegawaian di daerah profesionalitas dan daya saing birokrat akan meningkat. Anggota komisi kepegawaian daerah dapat direkrut dari kalangan perguruan tinggi dan kalangan profesional swasta lainnya yang benar-benar profesional, objektif dan independen.

  Strategi Kedua, Sistem Penempatan. Sejak otonomi daerah

  digulirkan, praktek sistem penempatan human capital birokrasi masih belum sesuai dengan prinsip “The right man on the right job/position”.Sesungguhnya tidaklah sulit untuk menempatkan seseorang sesuai dengan pendidikan/keterampilan/keahliannya, asalkan pimpinan daerah memiliki komitmen dan keinginan yang tinggi untuk menerapkannya. Namun dalam prakteknya masih sangat sedikit pimpinan daerah yang memiliki komitmen itu. Effendi (2007) menyatakan bahwa penempatan birokrat hingga saat ini belum berdasarkan kualifikasi pendidikan yang dimiliki. Prinsip “the right man on the

  right job” belum terlaksana sepenuhnya. Faktor negosiasi, atau jual beli jabatan

  kadang kala menjadi dasar pertimbangan utama untuk menempatkan seseorang pada jabatan tertentu. King (dalam Effendi, 2005), melakukan penelitian tentang penempatan PNS di beberapa daerah seperti Kota atau Kabupaten di

  Indonesia, menyimpulkan bahwa penempatan PNS sering tidak sesuai dengan kemampuan dan kapasitas pegawai yang bersangkutan. Sularyono (dalam Koran Warta Kita. 13 Januari 2004) menyatakan latar belakang pendidikan birokrasi di daerah, ada yang kurang pas dengan jabatan yang diemban. Dalam prakteknya, penempatan birokrasi hanya mengedepankan persyaratan administrasi dan ujian tulisan “ansich” yang mengabaikan nilai-nilai profesionalitas. Klasifikasi jabatan belum didasarkan pada standar kompetensi seseorang birokrat baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Untuk lebih menjamin penempatan birokrat yang the rigt man in the right job/place di daerah, maka setiap organisasi pemerintah daerah harus segera membentuk unit organisasi yang disebut dengan istilah Assessment Center. Suprijanto (2011) menyatakan bahwa untuk mendapatkan human capital yang berdaya saing tinggi, sejalan dengan sistem pengembangan karir yang berbasis profesionalisme dan kompetensi perlu dibangun assestment centre. Assesment

  center pada sektor pemerintahan, berfungsi sebagai pengembangan dan evaluasi human capital birokrasi dan menilai kompetensi serta prestasi/kinerja birokrasi

  dan sangat berguna dalam meningkatkan objektivitas dan transparansi dalam proses penempatan pegawai. Dengan assessment center, diharapkan dapat menekan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang merupakan titik awal menuju good govermance. Hasil pekerjaan unit Assesment Center dapat menjadi acuan pimpinan daerah dalam menentukan standar kompetensi jabatan dan menempatkan human capital birokrasi agar sesuai dengan pendidikan/keterampilan/keahlian/ kecakapannya.

  Strategi Ketiga, Sistem Penilaian Kinerja.Masalah yang menonjol di

  bidanghuman capitalbirokrasi di daerah saat ini adalah belum diterapkannya promosi berdasarkan sistem merit dan prestasi kerja berdasarkan penilaian kinerja yang akurat. Promosi jabatan tidak berdasarkan kinerjanya, tetapi lebih berdasarkan kesetiaannya ataupun kedekatannya dengan seorang atasan/pimpinan. Akibatnya birokrasi tidak terpacu meningkatkan motivasi, inovasi, kreativitas, prestasinya dalam bekerja. Klingner & Nalbandian (1985) menyatakan penilaian prestasi kerja sebagai aspek yang tercakup dalam pengembangan sumber daya manusia. Hingga saat ini sistem penilaian kinerja birokrasi yang dilakukan baik di pusat maupun di daerah terbatas pada Daftar Penilaian Pekerjaan Pegawai (DP3) yang dilakukan setiap akhir tahun. Penilaian kinerja melalui DP3 dirasakan masih sangat umum, abstrak dan sangat memungkinkan menerapkan unsur like and dislike. Ketidakjelasan pengukuran kinerja melalui DP3 mempunyai dampak terhadap ketidakjelasan standar promosi jabatan. Sistem penilaian kinerja birokrasi hingga saat ini belum memiliki stock nama pejabat dengan kompetensi dan kinerja yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan promosi jabatan. Penilaian kinerja human

  

capital birokrasi di daerah perlu dibenahi dengan menggunakan sistem yang

  transparan, objektif serta rasional dan dapat diterima oleh semua pihak, sehingga hasil yang dicapai dari sistem penilaian tersebut dapat bermanfaat bagi birokrasi untuk lebih memotivasi kinerjanya, maupun untuk peningkatan kualitas pemerintah daerah.

  Strategi Keempat,Peningkatan kompetensi.Human capital birokrasi

  daerah yang berdaya saing tinggi merupakan aset paling strategis dan penting dalam menjalankan pemerintahan di daerah. Hal ini bukan saja disebabkan

  

human capital birokrasi merupakan comparative advantages, akan tetapi juga

  saat ini sudah menjadi competitive advantages di setiap daerah. Untuk itu peningkatan kompetensi human capital birokrasi daerah merupakan jawaban yang utama. Untuk itu, pendidikan dan keterampilannya perlu ditingkatkan. Schuler &Youngblood (1986) menyatakan bahwa pengembangan sumber daya manusia pada suatu organisasi akan melibatkan faktor pendidikan dan pelatihan. Hasil penelitian membuktikan bahwa tingkat pendidikan dan keterampilan seseorang berpengaruh positif dengan pola pikir, pengambilan keputusan, tingkat kematangan, wawasan, dan cara pandang seseorang. Namun, berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Negara (2010) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan human capital birokrasi di Indonesia paling banyak lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).Ini tentu perlu menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan birokratnya ke tingkat yang lebih tinggi yaitu Strata-1, Strata-2 dan Strata-3 dan jika memungkinkan melakukan TesPotensi Akademik (TPA) terhadap birokrat secara ajek, sehingga diharapkan birokrat setiap saat ”meng-update” pendidikan dan pengetahuan serta keterampilannya. Namun, berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan di beberapa daerah menjunjukkan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk membangun human capital birokrasi di unit Badan Kepegawaian Daerah (BKD) masih sangat minim. Alasan yang mendominasi antara lain tidak menjadi urusan wajib, tidak mendesak, tidak dianjurkan pimpinan dan berbagai alasan lainnya. Sesungguhnya kalau saja pimpinan daerah menyadari penting dan urgennya peranan human capital birokrasi di daerahnya, tentu akan memiliki komitmen yang tinggi dalam mengalokasikan anggarannya untuk pendidikan dan pelatihan, atau paling tidak mencari cara lain dalam pencarian dana, misalnya dengan mengalokasikan dana pendamping berupa bantuan biaya pendidikan dan pelatihan untuk birokratnya dan berusaha mencari sponsor dari institusi lain atau bantuan dana dari luar. Biaya pendidikan dan pelatihan yang melibatkan banyak unsur termasuk birokratnya sendiri (tidak gratis). Hal ini akan dapat memacu birokratnya untuk sungguh-sungguh mengikuti pendidikan dan pelatihan. Strategi ini juga secara langsung dapat menghemat anggaran daerah.

  Strategi Kelima, Sistem Pendidikan dan Pelatihan (Diklat).Human

capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi adalah orang-orang

  mempunyai kepribadian, karakter dan cerdas. Selain memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi juga harus memiliki kecerdasan emosi maupun spiritualnya. Oleh karena itu Goleman (1996) menyatakan bahwa kesuksesan seseorang dalam hidupnya 80% ditentukan oleh kecerdasan emosional

  

(EQ) nya, sedangkan sumbangan variabel lainnya termasuk kecerdasan

  intelektual (IQ) paling tinggi 20%. Kecerdasan emosional yang baik membuat

  

human capital birokrasi dapat berfikir dengan emosi yang stabil dan nalar yang

  baik dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pekerjaannya maupun dalam memahami masyarakat dan lingkungannya. Dengan kecerdasan emosional yang baik pula, human capital birokrasi dapat melakukan kerja sama yang baik dengan orang lain maupun masyarakat, tingkat moralitas serta tingkat etos kerja yang tinggi. Diklat yang dilakukan di daerah tidak hanya bersifat formal, akan tetapi informal, penjenjangan, dan nonpenjenjangan. Diklat nonpenjenjangan sangat membantu birokrasi dalam membekali pengetahuan dan keterampilannya dalam menghadapi berbagai tantangan dan masalah serta perubahan (dinamika) yang begitu pesat terjadi dalam masyarakat baik pada saat ini maupun di masa yang akan datang. Diklat human

  

capital birokrasi yang dilakukan haruslah berbasis kompetensi (competence

based education and training) baik dalam tahap perencanaan, implementasi

  maupun evaluasi pelatihan. Dalam kenyataannya, diklat birokrasi yang dilakukan selama ini di daerah belum berbasis kompetensi. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, Diklat yang dilakukan haruslah dikelola secara profesional dengan manajemen Diklat yang handal. Sebelum melakukan diklat, maka Education and Training Need Assessment (ETNA) menjadi syarat utama. Dengan ETNA dapat diketahui jenis pendidikan dan pelatihan yang apa yang sesungguhnya sangat dibutuhkan yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya serta berdasarkan kebutuhan pokok daerah. Pada tahap perencanaan pelatihan, seringkali rekrutmen peserta pendidikan dan pelatihan belum dilakukan secara transparan. Idealnya, peserta yang direkrut dalam pelatihan adalah birokrat yang memang benar-benar sangat membutuhkannya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, sehingga hasil diklat dapat dimanfaatkannya dengan segera. Belum jelasnya peningkatan jenjang karir terhadap alumni Diklat, mengakibatkan human capitalbirokrasi tidak termotivasi dalam mengikuti Diklat. Selanjutnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (2005) menambahkan bahwa Pendidikan dan pelatihan (diklat) pegawai yang berlaku dewasa ini masih bersifat formalitas guna memenuhi persyaratan jabatan dan ironinya keikutsertaan seseorang dalam diklat disebabkan pegawai yang bersangkutan sedang tidak ada tugas pekerjaan atau yang sedang di non-job-kan. Akibatnya pendidikan dan pelatihan yang dilakukan kurang efektif dan efisien. Pada tahap implementasi pendidikan dan pelatihan seringkali jadual pelaksanaannya kurang tepat waktunya maupun urut-urutannya. Instruktur maupun widyaiswara yang benar-benar kompeten di bidangnya belum tersedia di daerah, fasilitas lainnya seperti gedung Diklat yang belum ada, dan sarana diklat lainnya juga belum memadai. Demikian pula organisasi pelaksanannyabelum ahli di bidang organizer Diklat. Evaluasi terhadap pendidikan dan pelatihan seringkali belum dilakukan dengan baik.

  Strategi Keenam, Perubahan budaya (cultrure)Birokrasi.Pola pikir

  dan sikap mental (mind-set) human capital birokrasiperlu diubah ke arah modernitas. Budaya birokrasi yang feodal, paternalistik dan formalitik mempengaruhi secara signifikan terhadap kinerja human capital birokrasi itu sendiri. Untuk itu budaya birokrasi saat ini harus mengarah pada budaya kerja yang produktif, efisien, efektif, bermoral, disiplin, responsif dan profesional serta memiliki jiwa enterpreneurial (wirausaha). Mengubah budaya birokrasi yang sudah lama tertanam dan terinternalisasi sesungguhnya bukan pekerjaan yang gampang. Sangat diperlukan proses dan upaya yang terus menerus dan berkesinambungan serta bertahap. Milenium ketiga yang semakin

  ’unpredictable” mensyaratkan perubahan budaya birokrasi. Human capital

  birokrasi saat ini tidak bisa lagi bersifat reaktif yaitu menunggu dan menghindar dari resiko, mempertahankan status-quo, sikap menolak perubahan

  (resistance to change) dan patologi birokrasi dan sebagainya, akan tetapi harus

  lebih bersifat proaktif, ”menjeput bola”, dan memiliki daya forecasting yang tinggi terutama dalam menghadapi perubahan dengan tingkat turbulance yang tinggi.

  Strategi Ketujuh,Sistem Penggajian.Persoalan lain yang

  melingkungan upaya membangun human capital birokrati daerah yang berdaya saing tinggi adalah sistem penggajian yang belum memadai. Tingkat gaji yang rendah sangat mempengaruhi kinerja dan perilaku birokrat. Gaji yang diterima seorang birokrat sebulan dalam prakteknya hanya dapat mendukung kehidupan keluarganya tidak lebih dari 15 hari. Untuk menutupi biaya kebutuhan hidup berikutnya, birokrat harus mencari tambahan dengan melakukan berbagai kegiatan/pekerjaan lain. Pada umumnya birokrat setuju dengan pendapat Effendi (2007) yang menyatakan bahwa sistem remunerasi birokrat belum memadai untuk hidup layak. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu merumuskan kebijaksanaan penggajian yang manusiawi dan adil agar birokrat dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Kita patut mencontoh pemerintah daerah yang telah memprakarsai adanya “tunjangan daerah” sebagai tambahan insentif untuk birokrasinya seperti yang dilakukan pemerintah daerah Gorontalo, Kabupaten Jembrana, Sragen, Solok, Serdang Bedagai dan yang lainnya. Untuk mewujudkannya, setiap pemerintah daerah harus berupaya keras (strong effort) untuk meningkatkan pemasukan keuangan daerah maupun Pendapatan Asli Daerahnya (PAD). Gaji/penghasilan birokrasi di daerah diupayakan agar lebih kompetitif serta tidak terlalu jauh berbeda

  

(gap) dengan gaji pegawai swasta. Sesungguhnya, dalam Undang-undang

  nomor 43 Tahun 1999 disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya; (2) gaji yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu produktivitas dan jaminan kesejahteraan. Kemudian dalam penjelasan UU tersebut diterangkan bahwa; (1) yang dimaksud gaji yang adil dan layak adalah gaji PNS harus mampu menenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya; (2) pengaturan gaji PNS yang adil dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan kesejahteraan baik antar PNS maupun antara PNS dengan swasta. Walaupun UU 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara menganut sistem merit, tetapi dalam praktek penggajian PNS di pusat maupun di daerah belum mencerminkan meritokrasi. Hal ini dapat dilihat antara lain dari berbagai masalah yang menyangkut sistem penggajian di Indonesia. Gaji pokok masih belum berdasarkan standar kompetensi yang dimiliki seorang PNS.Sistem penggajian birokrasi di Indonesia tidak mengkorelasikan dengan kemampuan dan kinerjanya. Sistem “Equal Pay for Equal Work” belum diterapkan dalam birokrasi. Prinsip Reward and punishment yang berbasis kinerja juga belum terlaksana seutuhnya baik di pusat maupun di daerah. Birokrat yang pintar, kreatif dan inovatif mendapatkan gaji yang sama dengan birokrat yang malas dan tidak mau meningkatkan kualitas dirinya, MRGS (Malas Rajin, Gaji

  

Sama). Singkatan PGPS yang seharusnya adalah Peraturan Gaji Pegawai

  Negeri Sipil diplesetkan dengan "Pinter Goblok, Penghasilan Sama". Birokrasi yang berpendidikan SLTA, S1, S2 maupun S3 dalam prakteknya mendapatkan gaji yang sama, sepanjang masa kerja dan golongannya sama. Bahkan ada beberapa birokrat yang tidak memiliki tugas yang pasti, juga mendapatkan gaji yang sama besarnya dengan birokrat yang melaksanakan tugasnya dengan baik. Zalbianis dan Sanusi (2006) berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa alasan paling banyak penyebab birokrat tidak masuk kantor adalah karena ada kerja sampingan. Hal ini dilakukan karena gaji yang mereka terima atau dibawa pulang (take home pay) tidak cukup untuk kebutuhan setiap bulannya. Ini tentu tidak memacu human capitalbirokrasi untuk memiliki daya sing yang tinggi. Sudah seharusnya sistem penggajian birokrasi di daerah ditata ulang berdasarkan “Equal Pay for Equal Work” yang berbasis “rewards and punishment”.

  Strategi Kedelapan,Sistem Pengawasan Terhadap Perilaku

Birokrasi. Rendahnya sistem pengawasan terhadap birokrasi mengakibatkan

human capital birokrasi tidak maksimal, dan Korupsi Korupsi dan Nepotisme

  (KKN) pun semakin marak. Sistem pengawasan melekat (Pengawasan Atasan Langsung dan Sistem Pengendalian Intern) dalam prakteknya tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat disebabkan faktor ewuh pakewuh antara atasan dengan bawahan. Untuk itu, perlu dibangun suatu sistem pengawasan yang efektif terhadap human capital birokrasi agar penyimpangan dapat dicegah sedini mungkin. Masyarakat, Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perlu diberikan peluang untuk turut berpartisipasi mengontrol perilaku birokrasi. Strategi ini diharapkan dapat memacu pada kinerja birokrasi daerah, karena mereka akan malu jika kinerjanya tidak maksimal diketahui masyarakat. Rendahnya sistem pengawasan terhadap human capital birokrasi mengakibatkan daya saing birokrasi di daerahpun rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Acton (dalam Budiarjo. 2000) yang menyatakan “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt

  absolutely”. Untuk itu sistem pengawasan sangat diperlukan dalam membangun

  

human capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi. Selain itu, untuk

  menjamin human capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi perlu dibangun semacam k ontrak kinerja. Kontrak kinerja/jabatanmerupakan salah satu indikator pengawasan terhadap kinerja birokrasi. Kontrak kinerja/jabatan adalah kesepakatan antara bawahan dengan pimpinan/atasannya berkaitan dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Beberapa negara sudah melakukan kontrak kinerja/jabatan yang disebut juga dengan istilah kontrak manajemen. Setiap unit kerja membuat indikator-indikator pekerjaan (bulanan, tri wulan, semester maupun dalam satu tahun) yang telah ditetapkan. Indikator ini kemudian diperiksa dan jika relevan kemudian disetujui pimpinan/atasannya. Kontrak kinerja/jabatan ini kemudian dapat dijadikan penilaian pimpinan daerah untuk menilai kinerja birokratnya dan menjadi dasar untuk melakukan promosi jabatan jenjang yang lebih tinggi.Namun dalam prakteknya kontrak kinerja/jabatan untuk human capital birokrasi daerahnya belum terlaksana. Kecenderungan yang tampak adalah tidak ada jaminan berapa lama durasi seorang birokrat menduduki suatu jabatan tertentu terutama untuk jabatan strategis tertentu. Dalam prakteknya, seorang kepala daerah dapat saja mencopot birokrat dari jabatannya dalam hitungan bulan, minggu, dan bahkan dalam hitungan hari tanpa ada yang bisa mengelak dan menolaknya. Bagaimana mungkin seorang aparatur birokrasi akan bisa berkonsentrasi untuk mengembangkan visi, misi, tugas pokok dan fungisnya, kalau sebentar lagi atau tidak berapa lama lagi akan dicopot dari jabatannya. Ini suatu dilema umum yang terjadi di hampir semua daerah terutama sejak otonomi daerah digulirkan. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan upaya membangun human capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi.

  Strategi Kesembilan, Pengembangan e-governance. Kemajuan

  teknologi dan informasi yang semakin cepat dan canggih mengharuskan human capital birokrasi mengembangkan pekerjaannya melalui e-governance, sehingga semakin cepat, tepat, akurat dan selalu mengikuti perkembangan zaman (update). Dalam Inpres Nomor 3 Tahun 3002 tertulis bahwa pengembangan e-governance(elektronic governance)merupakan upaya untuk pengembangan penyelenggarakan pemerintahan yang berbasis (menggunakan) dalam rangka meningkatkan kualitas layanan public secara efisien dan efektif. Melalui pengembangan e-government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup 2 (dua) aktivitas yang berkaitan yaitu :

  (1) Pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis;

  (2)

  Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diaksesecara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara. Mengingat pentingnya peranan e-governance dalam pencapaian tujuan pemerintahan daerah, sesungguhnya tidak ada alasan untuk mengenyampingkan e-governance dalam dunia administrasi publik. Human

  capital birokrasi daerah harus menyadari pentingnya e-governance dan selalu

  berusaha meng-update dan mengembangkan pengetahuannya tentang e-

  governance setiap saat. Berdasarkan Inpres Nomor 23 tahun 2003 strategi untuk

  mengembangkan e-governance di daerah adalah :

  a. Perluasan dan peningkatan kualitas jaringan komunikasi dan informasike seluruh wilayah negara pada tingkat harga yang dapat terjangkau olehmasyarakat, dengan sejauh mungkin melibatkan partisipasi dunia usaha.

  b. Pembentukan portal-portal informasi dan pelayanan publik yang dapatmengintegrasikan sistem manajemen dan proses kerja instansi pemerintah terkait,sehingga masyarakat pengguna tidak merasakan sekat-sekat organisasi dankewenangan di lingkungan pemerintah, sasaran ini akan diperkuat dengankebijakan tentang kewajiban instansi pemerintah dan pemerintah daerah otonomuntuk menyediakan informasi dan pelayanan publik secara on-line.

  c. Pembentukan jaringan organisasi pendukung (back-office) yangmenjembatani portal-portal informasi dan pelayanan publik tersebut di atasdengan situs dan sistem pengolahan dan pengelolaan informasi yang terkait padasistem manajemen dan proses kerja di instansi yang berkepentingan. Sasaran inimencakup pengembangan kebijakan pemanfaatan dan pertukaran informasi antar. Namun dalam prakteknya, belum semua pemerintah daerah menerapkan

  e-governance. Kalaupun ada pemerintah daerah yang memiliki portal

  tidak ter-update dengan baik dan sistem informasinyapun belum lengkap. Oleh karena itu sangat diperlukan komitmen dari pemerintah daerah dan human capital birokrasi daerah sebagai pelaksana untuk selalu meng-updatepengetahuannya tentang teknologi informasi baik secara mandiri maupun terprogram.

III. Kesimpulan

  Membangun Human capital birokrasi daerah yang berdaya saing tinggi merupakan kebutuhan mutlak, mendesak dan urgen saat ini. Hal ini bukan saja disebabkan human capital birokrasi sebagai faktor utama dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan di daerah, akan tetapi juga merupakan human

  

investment yang harus dibina secara berkesinambungan dan terus menerus.

  Untuk mewujudkannya sangat diperlukan usaha dan kerja keras, serta komitmen yang cukup dari semua elemen dunia usaha, masyarakat dan terutama pimpinan daerahnya mulai dari Kepala Daerah dan Kepala Dinas hingga Kepala Desa/ Lurah. Siagian (1994), Henry (1995),menyatakan "Sehat tidaknya suatu organisasi sangat ditentukan oleh prestasi yang dimiliki oleh para pejabat pimpinannya tentang semua segi kehidupan organisasi, termasuk tentang justifikasi eksistensinya, perilaku dan budayanya, peranan yang dimainkan, batas-batas wewenangnya, dan hakikat tugas fungsionalnya. Tidak kalah pentingnya adalah perilaku dan gaya manajerial yang digunakan pimpinan daerah dalam mengemudikan roda pemerintahan daerahnya sehingga memiliki daya saing yang tinggi.

  Ada beberapa strtaegi yang dapat dilaksanakan dalam membangunan human capital birokrasi yang berdaya saing tinggi dimulai dari Strategi Sistem Rekrutmen dan Seleksi, Sistem Penempatan. Sistem Penilaian Kinerja, Sistem Penilaian Kinerja, Sistem Pendidikan dan Pelatihan (Diklat). Perubahan budaya

  

(cultrure) Birokrasi, Sistem Penggajian, Sistem Pengawasan Terhadap Perilaku

Birokrasi, Sistem Pengawasan Terhadap Perilaku Birokrasi, Pengembangan e-

governance. Sekian dan terima kasih…..

  

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

  Bryant, Coralie dan Louise G White. 1987. Manajemen Pembangunan Untuk

  Negara Berkembang. Alih Bahasa Rusyanto L Simatupang. Jakarta : Penerbit LP3ES.

  Dwiyanto, Agus, Partini, Ratminto, Bambang Wicaksono, Wini Tamtiari, Bevaola Kusumasari, Muhammad Nuh. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia . Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

  Ferlie, Ewan. 1997. The New Public Management in Action. New York : Oxford University Press. Goleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence. New York : Bantam Books.

  • .1999. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi.Alih Bahasa Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

  Islamy, Muhammad Irfan. 1998. Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara. Malang : UNIBRAW

  Klingner & Nalbandian. 1985.Public Personnel Mangement. New York : Prentice Hall. Nicholas, Henry. 1995. Administrasi Negara dan Masalah-masalah Publik. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Osborne, David and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. How The

  Entrepreneurial Spirit Is Tranforming The Public Sector . New York: Penguin Books, Inc.

  Osborne, David and Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy. The Five

  Strategies For Reinventing Government. New York : Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

  Rasyid Rasyid, Muhammad Ryaas. 1997. Makna Pemerintahan. Tinjauan dari

  Segi Etika dan Kepemimpinan . Jakarta : PT. Yarsif Watampone. Cetakan Ketiga.

  Schuler, Randall S and Youngblood, Stuart A. 1986. Effective Personnal Management. St.Paul : West Publishing Company.

  Siagian, Sondang P. 1994. Patologi Birokrasi, Analisis, Identifikasi Dan Terapinya. Jakarta : Ghalia Indonesia. Cetakan Pertama. Suprijanto, 2011. Assessment adalah Salah Satu Pilar Reformasi Birokrasi.

  Jakarta : Media Center Ditjen Perbendaharaan. Sumihardjo, Tumar. 2008. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Melalui

  PengembanganDaya Saing Berbasis Potensi Daerah . Bandung: Penerbit Fokusmedia.

  Zalbianis & Rossi Sanusi.2006. Hubungan Besar Sisa Gaji yang Dibawa Pulang

  dan Komitmen Organisasi Dengan Ketidakhadiran Karyawan di Dinas Kesehatan Propinsi Jambi , Working Paper Series No. 13 November,

  Yogyakarta : KMPK Universitas Gajah Mada.

  DOKUMEN/KORAN/JURNAL/MAJALAH Badan Kepegawaian Negara. 2010.Rencana Strategi 2010-2014. Jakarta.

  Effendi, Sofyan. 2005. Modernisasi Tata Laksana Pelayanan Publik. Makalah.

  Yogyakarta : Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi. ______. 2007. Penciptaan Tata Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa.

  Makalah. Yogyakarta : UGM. Koran Suara Merdeka. 28 Juni 2005. Jawa Tengah. Koran Warta Kita. 13 Januari 2004. Majalah Swa Edisi 7-27 Maret 1996. Majalah Swa, Edisi April 2004 Menteri Pendayagunaan Aparatur (Menpan). 2005. Reformasi Birokrasi Untuk

  Mewujudkan Good and Clean Government. Makalah. Bandung : Sespati Polri.

  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian Negara. Jakarta : Sekretariat Negara.