EVALUASI PENYULUHAN STUDI KASUS SOSIALISASI BENCANA GUNUNGAPI TALANG, SUMATRA BARAT SUPRIYATI ANDREASTUTI Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari

  

EVALUASI PENYULUHAN

STUDI KASUS SOSIALISASI BENCANA GUNUNGAPI TALANG,

  SUPRIYATI ANDREASTUTI

  

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

Sari

  Sosialisasi bencana gunungapi kepada masyarakat merupakan salah satu usaha mitigasibencana jangka panjang untuk menumbuhkan kesadaran terhadap resiko bencana. Konsep dan metoda yang tepat diperlukan untuk membentuk masyarakat yang mandiri dan tanggap dalam menghadapi resiko bencana. Erupsi G. Talang tangal 12 April 2005 telah memberikan pembelajaran dan menumbuhkan kesadaran baik terhadap masyarakat maupun pihak Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi untuk meningkatkan kualitas informasi, koordinasi serta mengetahui kekurangan penyelenggaraan proses evakuasi. Kesadaran masyarakat untuk melakukan pembenahan dan pelatihan kebencanaan merupakan modal yang utama dalam membentuk manajemen resiko bencana berbasis masyarakat (community based disaster risk management).

  

Pendahuluan penyebaran informasi kebencanaan kepada

  Penyebaran informasi merupakan faktor masyarakat perlu konsep dan metoda yang tepat yang penting dalam mitigasi bencana karena agar informasi bersifat sistimatis, sederhana berkaitan dengan keselamatan publik. Secara namun tepat sasaran. Beberapa unsur pokok umum, definisi dari mitigasi bencana adalah yang perlu dipertimbangkan dalam penyebaran segala usaha yang dilakukan untuk mengurangi informasi kebencanaan kepada masyarakat dampak bencana (korban jiwa dan kerugian adalah pemahaman karakter bencana dari harta benda). Mulyadi, dkk, (2006), membagi daerah yang terkena atau berpotensi terkena mitigasi bencana menjadi jangka panjang dan bencana, latar belakang budaya, dan tingkat jangka pendek. Mitigasi jangka panjang pemahaman masyarakat dalam menerima merupakan segala usaha yang dilakukan untuk informasi. mengurangi dampak dari bencana dan Pemahaman terhadap karakter bencana dilakukan jauh sebelum bencana terjadi. yang akan dan biasanya berulang terjadi di Sedangkan mitigasi jangka pendek adalah suatu daerah akan sangat berguna dalam tindakan untuk mengurangi penderitaan melakukan antisipasi saat bencana itu terjadi. manusia maupun kerugian harta benda. Dalam penanggulangan bencana jangka panjang Sebagai salah satu sarana dari proses disamping penyelidikan, pemantauan dan penanggulangan bencana jangka panjang, maka pemetaan, memahami karakteristik bencana merupakan hal yang pokok untuk dipelajari dan dikembangkan.

  Dengan mengetahui kondisi geologi daerah yang bersangkutan maka dapat diperoleh gambaran tataan tektonik dari daerah tersebut. Pemahaman terhadap tataan tektonik suatu daerah adalah penting untuk mengetahui kondisi struktur dan proses geologi yang terjadi. Selanjutnya informasi ini berguna untuk memahami bencana geologi yang terjadi di suatu daerah. Sebagai contoh untuk memahami bencana erupsi gunungapi perlu mengetahui tataan tektonik di daerah tersebut karena tataan tektonik yang berbeda akan berpengaruh pada karakter erupsi dan kemungkinan faktor pemicunya. Gunungapi di Talang, daerah Sumatra Barat diketahui mengalami peningkatan sesudah terjadinya gempa tektonik di daerah tersebut. Selain itu dengan mempelajari sejarah kegiatannya dari variasi endapan yang dihasilkan maka dapat diketahui karakter erupsinya (tingkat erupsi, sifat/tipe erupsi dan jenis bahayanya). Dengan memahami karakter erupsinya maka bahaya yang ditimbulkan dapat diidentifikasi. Prosedur ini dilakukan sebelum menyiapkan sarana penanggulangan bahayanya. Dengan demikian bencana yang diakibatkan dapat dikontrol. Dalam melakukan identifikasi bahaya sangat perlu untuk melibatkan orang-orang yang potensial terkena bencana itu sendiri (OHSW, Hazard Management). Karena karakter dan perubahan yang terjadi dari masyarakat tersebut

  (budaya, tingkat hidup, maupun tingkat kepadatan penduduk) akan mempengaruhi mereka dalam menanggapi bencana.

  Sebagai contoh, sifat gotong royong dan kebersamaan merupakan salah satu karakter budaya masyarakat di sekitar G. Merapi, Jawa Tengah. Penyelenggaraan pernikahan yang melibatkan kebersamaan banyak orang di Desa Turgo, di tepi K. Boyong pada saat terjadi erupsi G. Merapi 22 November 1994 telah menyebabkan sekitar 69 orang meninggal. Penentuan zona-zona bahaya pada saat peningkatan aktivitas sangat penting dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dalam hal ini Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian yang menangani langsung aktivitas G. Merapi agar kejadian serupa tidak terulang. Faktor lain adalah kebutuhan ekonomi. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, masyarakat yang tinggal di sekitar gunungapi dalam mencari nafkah cenderung mendekati sumber bahaya. Hal ini terjadi baik dengan melakukan penggalian pasir di sepanjang sungai yang merupakan alur utama lahar atau awan panas atau dengan mencari rumput untuk ternak peliharaan di lereng atas gunungapi tersebut. Disaster Management Training Program (DMTP, PBB), menyebutkan 7 hal yang menyebabkan peningkatan dampak bencana terhadap masyarakat, yaitu kemiskinan, pertambahan penduduk yang cepat, perubahan budaya, degradasi lingkungan, kurangnya kesadaran dan informasi, perang serta kerusuhan sipil. Karena berkaitan dengan penyebaran informasi, maka dalam artikel ini hanya satu hal yang akan dibahas, yaitu masalah peningkatan kesadaran dan penyebaran informasi kepada masyarakat dalam kaitannya dengan kebencanaan.

  Usaha Mitigasi Bencana melalui Penyebaran Informasi

  Sosialisasi kebencanaan melalui penyebaran informasi telah banyak dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terkait dengan bencana gunungapi, gempa, gerakan tanah dan tsunami. Sosialisasi kebencanaan dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyuluhan kebencanaan dilakukan secara langsung dengan memberikan informasi melalui sarana audio visual di daerah-daerah rawan bencana yang berpotensi untuk tertimpa bencana. Selain melakukan penyuluhan langsung, informasi kebencanaan juga dilakukan melalui penyebaran brosur, buku, leaflet dan sosialisasi Peta Kawasan Rawan Bencana. Artikel ini membahas khusus tentang evaluasi penyebaran informasi kebencanaan gunungapi. Untuk saat ini sosialisasi kebencanaan gunungapi ditekankan pada gunungapi yang mempunyai frekuensi erupsi yang tinggi. Penyebaran informasi yang diberikan mencakup sosialisasi tentang gunungapi terkait dengan manfaat, bahaya, dan dampak yang ditimbulkan serta cara-cara menghindari bahayanya.

  Saat ini aktivitas gunungapi di Indonesia dipantau oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang berkedudukan di Jl Diponegoro 57 Bandung. Aktivitas gunungapi dipantau dari beberapa aspek, antara lain geofisika, geokimia, geologi maupun pengamatan visual. Data-data tersebut diolah dan kemudian informasi diberikan kepada masyarakat melalui Pemerintahan Daerah (Pemda) setempat. Selain berupa gambaran aktivitas gunungapi yang bersangkutan, status gunungapi saat itu juga disampaikan. Informasi tentang aktivitas gunungapi dilakukan secara rutin oleh PVMBG kepada masyarakat melalui Pemda setempat secara tertulis satu bulan sekali dalam kondisi aktivitas gunungapi Normal, seminggu sekali pada status Waspada, setiap hari/12 jam sekali pada status Siaga dan 6 jam sekali pada status Awas. Informasi tentang aktivitas gunungapi diperoleh dari hasil pemantauan peralatan yang dipasang di sekitar gunungapi yang bersangkutan. Data yang diperoleh kemudian diolah dan diberikan kepada masyarakat melalui Pemda setempat. Secara umum alur informasi dapat dilihat pada gambar 1.

  Gambar 1. Diagram Alir informasi aktivitas gunungapi.

  Untuk memahami makna dari status aktivitas gunungapi dan bahaya yang ditimbulkannya, maka dilakukan sosialisasi kebencanaan gunungapi pada masyarakat yang tinggal di sekitar gunungapi aktif. Aktivitas sosialisasi dilakukan pada saat status aktivitas gunungapi Normal atau Waspada. Lokasi sosialisasi kebencanaan dipilih pada daerah- daerah rawan bencana yang berpotensi terkena dampak erupsi.

  Kendala dalam Penyebaran Informasi Kegunungapian

  Secara umum terdapat beberapa kendala dalam penyampaian sosialisasi kebencanaan kepada masyarakat, antara lain lokasi penyuluhan yang tepat tidak selalu dapat didatangi, karena daerah lokasi yang akan disuluh adalah rekomendasi dari Pemda, lokasi penyuluhan yang terpencar dan mencakup gunungapi di seluruh Indonesia, sedangkan frekuensi penyuluhan terbatas, sehingga penyebaran informasi masih belum maksimal. Untuk mendapatkan lokasi yang tepat perlu koordinasi dengan Pemda setempat. Biasanya lokasi yang lebih sesuai akan diajukan setelah suatu daerah menerima sosialisasi.

  Problem yang lebih spesifik muncul pada kegiatan sosialisasi adalah keragaman budaya dan bahasa. Latar belakang budaya dari masyarakat setempat memegang peranan penting karena berkaitan dengan respon masyarakat terhadap pemahaman bahaya itu sendiri. Keragaman budaya yang berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain terutama berkaitan dengan kearifan lokal. Terkadang pemahaman antara nilai-nilai budaya bertentangan dengan maksud dari penyebaran informasi. Beberapa kasus yang muncul antara lain ritual Labuhan yang dilakukan di G.Merapi dan bertujuan untuk menolak bala agar masyarakat dilindungi dari bahaya atau upacara Kesada di G. Bromo maupun upacara adat keagamaan pada saat terjadi erupsi besar di G.Agung, Bali tahun 1963. Suatu tantangan yang tidak mudah untuk menyelaraskan nilai kearifan lokal dan pemahaman bencana yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi keselamatan masyarakat. Selain itu keragaman bahasa merupakan merupakan kendala lain dalam melakukan komunikasi. Tingkat pemahaman masyarakat juga berkaitan dengan pengalaman mereka terhadap kejadian erupsi yang pernah mereka alami. Pengalaman menghadapi bahaya akan membentuk masyarakat yang bersangkutan dalam memahami resiko bencana yang dihadapi. Sebagai contoh kejadian erupsi G. Merapi pada tahun 1994 ke arah lereng selatan G. Merapi yang menyebabkann 69 orang meninggal telah membentuk masyarakat di daerah Sleman lebih tanggap dalam menghadapi bencana.

  Untuk mengetahui tingkat pemahaman dan kebutuhan informasi masyarakat, dilakukan evaluasi melalui kuisioner yang disebarkan kepada peserta sosialisasi. Responden diambil dari peserta sosialisasi kebencanaan gunungapi yang dilakukan di G. Talang pada tanggal 20 Februari 2008. Peserta terdiri atas masyarakat umum, tokoh masyarakat dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. Hasil kuisioner memperlihatkan beberapa problem yang muncul pada penyebaran informasi (Tabel 1).

  Alasan dilakukannya evaluasi di daerah ini, karena G. Talang mempunyai intensitas erupsi yang tinggi. Gunung ini terletak sekitar 60 km di sebelah timur Kota Padang, Sumatra Barat. Sepanjang tahun 2001-2008, telah terjadi beberapa kali peningkatan aktivitas di G.Talang (2597m), yaitu tahun 2001, 2003, 2005, 2007. Pada tahun 2005, gunungapi yang terletak di Kabupaten Solok, Sumatra Barat ini meletus. Peningkatan aktivitas G. Talang pada saat itu berakhir dengan erupsi yang terjadi pada tanggal 12 April 2005. Kejadian ini juga diikuti oleh pengungsian masyarakat yang tinggal di 5 kecamatan di sekitar G. Talang (Kecamatan Lembang Jaya, Danau Kembar, Bukit Sundi, Kubung, Lembah Gumanti dan Kecamatan Gunung Talang). Pengungsi saat itu berjumlah lebih dari 25,000 orang. Kejadian erupsi ini tidak hanya memberikan pelajaran bagi pihak Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana

  Geologi tetapi juga pelaksana penanggulanan bencana (Pemda) dan masyarakat. Sosialisasi bencana gunungapi yang dilakukan oleh Tim PVMBG pada tanggal 20 Februari 2007 terhadap masyarakat di Kabupaten Solok telah memberikan beberapa masukan yang penting baik bagi pihak PVMBG maupun Pemda setempat untuk lebih mengembangkan diri (Tabel 1).

  Usaha Peningkatan Pemahaman terhadap Bencana

  Secara umum, pemahaman kebencanaan di Kabupaten Solok cukup memadai. Namun, perlu pembaharuan dalam memberikan informasi agar dapat lebih dipahami. Beberapa solusi untuk peningkatan pemahaman masyarakat tercantum dalam Tabel 1 dan 2. Agar penyebaran informasi berjalan secara efisien, maka diperlukan beberapa persyaratan antara lain jenis materi yang disampaikan, kualitas penyuluh, cara penyampaian, bahasa yang digunakan dan sistimatika penyampaian. Materi yang disampaikan hendaknya menggunakan bahasa yang umum dipakai dan sederhana agar mudah dipahami. Selain itu juga diperlukan kualitas penyuluh yang mampu memahami peserta sosialisasi karena akan berpengaruh pada cara penyampaiannya.

  Susunan materi yang jelas dan disampaikan dalam bentuk dan cara yang sederhana akan lebih mengena daripada dalam bentuk ilmiah yang bahasanya sulit dimengerti. Penyampaian Materi yang dibutuhkan berkaitan dengan kebencanaan gunungapi adalah jenis dan karakteristik bahaya, dampak bencana dan cara menghindari bahaya. Karena setiap gunungapi mempunyai karakteristik yang berbeda, maka informasi yang diberikan kepada masyarakat juga berbeda tergantung lokasi gunungapi dimana mereka tinggal. Identifikasi jenis bahaya yang dihadapi oleh masyarakat sangat diperlukan dalam memberikan penyuluhan karena pemahaman akan lebih fokus sesuai yang dengan kenyataan yang akan dihadapi. Sebagai contoh, gunungapi dengan potensi letusan yang mengeluarkan abu dan awanpanas serta kemungkinan bahaya lanjutan seperti lahar, maka pemahaman tentang karakteristik bahaya tersebut dan cara menghindarinya perlu diutamakan.

  informasi bencana memerlukan penyuluh yang mampu memahami karakter pendengarnya baik dari sisi budaya/kebiasaan maupun latar belakangnya. Penyampaian informasi dengan menggunakan bahasa setempat dan sesuai dengan kebiasaan/budaya setempat akan lebih mengena, karena berkaitan dengan kebiasaan sehari-hari.

  Tabel 1. Problem dalam sosialisasi kebencanaan gunungapi di G. Talang, Kabupaten Solok,Sumatra Barat dan solusinya.

  Problem Indikator Solusi/Capaian yang diinginkan

  • Sistimatika penjelasan
  • Materi yang disampaikan
  • Bahasa yang digunakan
  • Cara penyampaian Informasi yang diperlukan **
  • Jenis bahaya
  • Karakteristik bahaya
  • Dampak • Cara menghindarinya

  Informasi kebencaanaan *

  • Kontinuitas informasi
  • Pemutahiran data/informasi Peningkatan kerjasama -
  • Penentuan jalur evakuasi
  • Lokasi pengungsian Peningkatan kualitas sumber daya manusia

  Peningkatan pengetahuan *

  • Sosialisasi dilakukan pada masyarakat umum, aparat, tokoh masyarakat, pelaksana penanggulangan bencana

  Pelatihan kebencanaan (simulasi bencana)

  • Melatih koordinasi antar petugas
    • Mewujudkan kerjasama dan koordinasi lintas sektoral Keterangan: - Belum ada, * Kurang, ** Cukup, *** Sangat cukup
    Selain informasi tentang kebencanaan gunungapi, masyarakat juga perlu memahami makna dari status aktivitas gunungapi. Informasi yang akurat dari tenaga ahli diperlukan dalam memberikan rekomendasi kepada masyarakat. Selanjutnya bagaimana menyampaikan dan menggunakan informasi tersebut kepada publik tidaklah sederhana. Konsistensi dalam memberikan informasi merupakan faktor utama untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Lebih lanjut, dalam melakukan penanggulangan bencana yang melibatkan masyarakat diperlukan pemahaman bahaya gunungapi yang disampaikan kepada masyarakat baik melalui sarana langsung (penyuluhan) ataupun melalui media (audio dan visual) serta pelatihan (gladi lapang) untuk melakukan evakuasi. Latihan proses evakuasi ini penting untuk memahami jalur-jalur dan lokasi pengungsian, karena jalur-jalur yang disiapkan berkaitan dengan karakter bahaya yang dihadapi. Dalam penyuluhan dan pelatihan perlu dikembangkan pemahaman bahaya dan cara-cara menghindari bahaya secara praktis. Sebagai contoh, bagaimana cara menghindari bahaya abu, awanpanas, gas dan lain-lain. Pengetahuan praktis ini perlu pelatihan agar masyarakat terbiasa dan terlatih dalam menghadapi bencana.

  Salah satu faktor penting untuk mengatasi kegagalan dalam memberikan informasi kepada masyarakat adalah akurasi data dan konsistensi dalam memberikan informasi. Tingkat akurasi data dipengaruhi oleh data yang diperoleh dari pemantauan dan pengolahannya. Hal ini selain tergantung pada kecanggihan peralatan juga keahlian dari pengolah data. Konsistensi dalam memberikan informasi bahaya yang akan dihadapi ini sangat penting agar masyarakat yang menerima informasi tersebut tidak bingung.

  Menyiapkan Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat

  Akhir-akhir ini banyak ditekankan tentang pelatihan mitigasi bencana berbasis masyarakat. Berbagai elemen masyarakat seperti LSM, PSBA, telah bekerjasama dengan Pemda untuk mendukung program penyebaran informasi dan pelatihan bencana dalam rangka membentuk masyarakat yang mandiri dalam menghadapi bencana. Dalam beberapa lokakarya dan seminar tentang kebencanaan, tidak sedikit para ahli yang mengemukakan tentang perlunya manajemen bencana berbasis masyarakat. Untuk membentuk masyarakat yang mampu secara mandiri tanggap terhadap bahaya diperlukan beberapa hal, mencakup; pengetahuan, pemahaman, kontinuitas informasi, dan pelatihan. Pengelolaan kebencanaan yang terkonsep dan aplikasi dari strategi kebijakan yang tepat akan membentuk masyarakat yang mandiri namun tanggap dalam menghadapi bencana.

  Tabel 2. Sarana untuk peningkatan pemahaman bencana dan keluarannya

  • Masyarakat tahu bencana
  • Masyarakat memahami bencana Tahapan sosialisasi
  • Masyarakat sadar bencana
  • Masyarakat tanggap terhadap bencana
  • Jalur pengungsian
  • Lokasi pengungsian Sarana pengungsian
  • Sarana kesehatan
  • Air bersih, MCK
  • Dapur umum
  • Perbaikan jalan Sarana evakuasi
  • Sarana transportasi (kendaraan)
  • Tradisional Sistim peringatan dini
  • Berteknologi tinggi
  • Peta Kawasan Rawan Bencana Pembuatan peta penunjang
  • Peta Zona Resiko Pengungsian • Tegantung dari arah erupsi (bersifat sektoral)
  • Jenis bahaya Pembuatan brosur/leaflet petunjuk
  • Dampak bahaya praktis
  • Cara menghindari bahaya
  • Peralatan yang dapat digunakan untuk penyampaian Pembuatan Sistim Peringatan Dini informasi

  Dalam melakukan penyebaran informasi di yang merata dari setiap anggota masyarakat daerah rawan bencana perlu diarahkan pada serta kerjasama dari masyarakat yang peningkatan kualitas pemahaman dan kesadaran bersangkutan dalam dalam penanggulangan masyarakat secara menyeluruh, intensif dan bencana akan menciptakan pengelolaan menerus sehingga terbentuk suatu masyarakat manajemen bencana berbasis masyarakat yang yang mandiri, responsif namun baik. bertanggungjawab dalam menghadapi bencana. Beberapa tahapan kondisi masyarakat Tahap terakhir dari proses ini adalah melibatkan dalam kaitannya dengan pemahaman bencana masyarakat dalam proses penanggulangan dapat dilihat pada Tabel 2 poin 1. Untuk bencana agar berperan aktif. Karena membentuk masyarakat yang tanggap bencana peningkatan kualitas pelaksana penanggulangan perlu pemahaman dan kesadaran akan risiko bencana atau tokoh masyarakat saja tidak cukup bahaya yang dihadapi. efektif untuk membentuk masyarakat yang Program-program pelatihan untuk sadar bencana. Keterlibatan masyarakat, membentuk masyarakat yang sadar dan tanggap pemahaman bencana, kesadaran serta respon bencana telah banyak dilakukan. Sebagai contoh di daerah Sleman, lereng selatan Merapi telah diterapkan program wajib latih mulai tahun 2008. Program ini mewajibkan satu orang dari setiap keluarga untuk mengikuti wajib latih kebencanaan. Sebagai langkah awal adalah memberikan pelatihan kepada perwakilan anggota masyarakat (Training of Trainer, TOT) yang kemudian akan memberikan pelatihan lanjutan kepada masyarakat. Pemberdayaan masyarakat agar mandiri dan tanggap terhadap bencana tidak hanya dilakukan melalui kegiatan sosialisasi tetapi juga melalui pelatihan kebencanaan. Dengan pelatihan ini maka mayarakat akan memahami tindakan yang harus dilakukan pada saat terjadi bencana, diantaranya mengatasi kepanikan dan melakukan koordinasi untuk menyelamatkan diri melalui jalur-jalur evakuasi yang telah disediakan menuju lokasi pengungsian. Dengan pelatihan ini maka orang akan berusaha menolong diri sendiri dan orang lain untuk menghindari bahaya dengan benar.

  Selain itu perlu dipasang sistim peringatan dini untuk memudahkan dalam memberikan informasi. Sistim ini berupa sirine dan digunakan pada saat terjadi peningkatan status aktivitas dari Siaga (Level III) ke Awas (Level

  IV, tertinggi), yang menyatakan bahwa semua orang yang tinggal di daerah terancam bencana diharuskan mengungsi. Penentuan daerah ancaman dan jalur-jalur bahaya dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigai Bnecana Geologi. Sedangkan instruksi untuk mengungsi dilakukan oleh Pemda setempat. Status aktivitas gunungapi sendiri dibagi menjadi 4 tingkatan, dari yang terendah yaitu Normal, Waspada, Siaga dan Awas.

  Untuk menunjang terpasang dan bekerjanya sistim peringatan dini perlu pengecekan kondisi peralatan pada saat Status Waspada dan menjadi lebih intensif saat Status Siaga karena keadaan darurat dapat terjadi sewaktu-waktu. Pada saat krisis semacam ini konsistensi informasi dan akurasinyanya sangat penting. Sekali terjadi kesalahan informasi akan mengubah kepercayaan publik dan semua usaha tidak ada artinya. Sebagai contoh, saat terjadi bencana tsunami di Srilanka 26 Desember 2004 telah dilakukan peringatan sekitar dua setengah jam sebelum kejadian. Namun tidak konsistennya informasi yang diberikan dari pihak terkait menyebabkan tidak adanya persiapan untuk menghindari bahaya (Uda-gami, 2008) sehingga menimbulkan banyak korban. Berkaitan dengan teknologi, penerapan sistim peringatan dini sepanjang tidak ada hambatan teknologi (masalah listrik, gangguan pada sistim peralatan, dll), tidak ada masalah dengan penggunaan peralatan sebagai sarana informasi untuk peringatan dini. Namun demikian, bila terjadi hambatan teknis, tidak ada salahnya dilakukan persiapan sistim peringatan dini dengan menggunakan peralatan tradisional seperti kentongan atau bedug.

  Kesimpulan

  Penyebaran informasi dalam upaya penanggulangan bencana telah dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi baik melalui penyuluhan, seminar, penyelenggaraan kolokium hasil penyelidikan dan pembuatan buku, brosur maupun leaflet. Selain itu juga dilakukan pembuatan Peta Kawasan Rawan Bencana dan proses sosialisasinya dalam usaha memberikan pemahaman kepada masyarakat.

  Penyebaran informasi agar dapat berjalan secara efektif memerlukan metoda yang tepat sesuai dengan sasaran masyarakat yang dituju. Pada masyarakat pendidik, tokoh masyarakat atau masyarakat umum atau aparat penanggulangan bencana akan berbeda metode yang disampaikan.

  Keberhasilan penyampaian informasi dalam rangka sosialisasi bencana untuk menghasilkan pemahaman pada masyarakat tidak cukup hanya dengan memberikan penjelasan dan informasi mengenai jenis bahaya, dampak maupun cara menghindarinya, tetapi juga melalui proses pelatihan bencana/gladi lapang. Untuk melakukan pelatihan bencana/proses evakuasi ini diperlukan pemahaman yang cukup dari resiko bencana dan kesadaran serta tanggung jawab masyarakat dalam menanggapi dan menghindari bahaya itu sendiri. Sehingga proses penyelamatan diri saat evakuasi dapat berlangsung secara efektif.

  Proses simulasi bencana juga memberikan pelatihan dalam melakukan koordinasi antar anggota pelaksana penanggulangan bencana agar tercipta keseragaman langkah dalam melakukan fungsinya. Sikap toleransi, melayani, motivasi yang tinggi dan sikap disiplin akan memberikan kenyamanan dalam berkerjasama mencapai tujuan. Sedangkan koordinasi yang baik antar instansi tidak hanya mempelancar proses evakuasi tetapi juga menumbuhkan rasa aman dan percaya dari masyarakat dalam menghadapi bahaya. Proses evakuasi tidak hanya melibatkan satuan pelaksana penanggulangan bencana, tetapi peran aparat keamanan juga tak kalah penting. Karena pada saat evakuasi msyarakat meninggalkan harta benda baik rumah maupun ternak serta barang- barang lainnya yang tidak menutup kemungkinan akan hilangnya barang-barang tersebut akibat ulah dari sekelompok orang yang memanfaatkan situasi dalam kesulitan. Kontrol dari petugas keamanan bekerjasama dengan kelompok masyarakat yang terlibat didalam penanggulangan bencana akan sangat bermanfaat dalam mengatasi keadaan ini. Sehingga masyarakat yang tinggal di daerah bencana dengan rela akan meninggalkan darah rawan bencana tanpa diliputi rasa kuatir akan kehilangan harta bendanya.

  Saran

  Uda-gami, N., 2008. First Responder Action, Berkaitan dengan usulan peningkatan disampaikan pada Lokakarya Sistem kerjasama dan perbaikan koordinasi antar Peringatan Dini Berbasis Masyarakat, petugas pelaksana penanggulangan bencana Kerjasama IIDP-LIRNEasia, 5 Maret, ataupun lintas sektoral maka perlu dilakukan Jakarta kerjasama penentuan jalur dan lokasi evakuasi permanen. Penentuan ini didasarkan pada Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi yang dibuat oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Penentuan ini tentunya juga mempertimbangkan perkem- bangkan sifat dan arah erupsi yang akan berpengaruh pada daerah ancaman.

  Daftar Pusatka

  Disaster Management Training Programme, PBB (DMTP, Modul Pelatihan

  Manajemen Bencana ), http://www.undmtp.org .

  Occupational Health, Safety and Welfare (OHSW, Hazard management ), http://www.unisa.edu.au/ohsw/proced ure/hazard.asp

  Mulyadi, E., Abdurachman, O., Hilman, P.M., dan Priatna, 2006, Mengenal Konsep

  Penanganan Bencana, Bahaya Geologi dan Mitigasi Bencana Geologi di Indonesia , Warta Geologi, Juni.