Ekonomi Zaman Now ya Bisnis Zaman

Ekonomi Zaman Now ya Bisnis Zaman Now

  (Dosen Tetap STIE Asia Malang)

  Penulis: Zainul Muchlas, SE. MM 24 Desember 2017.

  Tidak mengherankan mengapa postur ekonomi sekaraang tidak seperti dulu lagi, di saat kita banyak bersandar pada booming komoditas yang tidak normal. Dewasa ini adalah situasi "new normal", karena itu jadi biasa-biasa saja tatkala mendengar pengumuman Biro Pusat Statistik bahwa laju ekonomi kuartal 3 tahun ini ‘hanya’ 5,06%. Apalagi, isu “daya beli anjlok” yang berembus kencang sejak Ramadan lalu, ternyata tidak serta merta tercermin dalam angka statistik. Terlebih, konsumsi rumahtangga masih tumbuh signifikan, meski sedikit melambat dari 4,95% menjadi 4,93%. Mungkin ada yang berargumen, kok tidak seperti dulu, konsumsi rumah tangga tumbuh di atas 7% secara tahunan?

  zaman now “Ya, itu dulu bro.” Begitu mungkin cara menjawab pertanyaan “ ”.

  Sekali lagi, ini adalah profil ekonomi new normal. Kalau mau pakai kaca spion, dulu ekonomi China juga tumbuh 12%. Sekarang cuma tumbuh 6%. Dulu ekonomi dunia bisa tumbuh 5%, sekarang paling banter 2% atau 3%. Inilah kenyataan sekarang, zaman "ekonomi now". Banyak parameter yang berubah, perilaku konsumen juga berubah. Ini jaman disrupsi. Maka saya tak pernah ikut arus dengan wacana, apalagi paradigma, apabila satu bisnis menurun, atau bahkan tutup, penyebabnya bukan semata-mata oleh karena konsumen sudah tidak mampu membeli. Ada bisnis lain yang menggantikan, mengubah model bisnis yang baru, atau perilaku konsumen yang memang mengubah pola konsumsinya. Du konsumen berorientasi pada apa yang disebut Good Based lu di “

  Zaman Old”

Consumption , Zaman Now pola konsumsi bergeser menjadi Experience Based Consumption.

Contoh, kita dulu mau ngopi dan makan malam diwarung sebelah, selesai ngopi dan makan langsung “kabur”, Now konsumen butuh situasi lebih yakni disamping makan minum juga

  pingin Selfie, pingin Ngenet, pingin NOBAR, Live musik dan bahkan melakukan bisnis Forex atau Jual beli saham secara online. Jadi tidak heran Industri jaman dulu misalnya supermarket, toko-toko pada sepi pengunjung, digantikan adanya Olshop dan Starbuck serta yang lain-lain.

  Data pertumbuhan bisnis Oline-shop di akhir periode tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 17% (Metro Siang Rabu tgl 20 Desember 2017) luar biasa! Awesome! Amazing! Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa konsumen menjadi lebih melihat masa depan, lebih rajin menabung, atau bahkan investasi, dengan tujuan untuk menggeser Good consumption berpindah ke Experience Consumption.

  Itu rasanya bukan cuma halusinasi atau isapan jempol. Coba saja simak data simpanan bank yang terus naik. Bahkan simpanan bank dari nasabah Rp100 jutaan pun juga meningkat, bukan hanya nasabah kelas miliaran rupiah. Dan di saat investor asing kabur, indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia malah pecah rekor terus-menerus beberapa hari terakhir. Siapa yang naruh dana alias beli saham? Mereka adalah investor lokal (Bisnis Zaman Now di Indonesia). Saya berkeyakinan, memang ada sebagian masyarakat yang berkurang penghasilan karena pekerjaan terganggu oleh banyak perubahan. Tapi sebagian yang lain justru bertambah cuan (Bahasa China yang berarti mendapat banyak keuntungan) atau mendapatkan pekerjaan baru karena bisnis baru yang berkembang belakangan. Situasi ini bisa dibilang ada kegiatan ekonomi yang tanpa batas waktu dan tempat, sehingga muncul namanya Gig Economy.(Apa

  itu Gig Economy atau Ekonomi Gig simak tulisan saya di edisi sebelumnya) Sekarang ( Zaman Now ) orang yang punya penghasilan tidak suka lagi jalan-jalan ke mall, melainkan lebih doyan membel anjakan uangnya untuk “pelesiran sambil makan minum atau makan minum sambil pelesiran.”

  Singkat kata, memahami ekonomi zaman now tidak bisa lagi menggunakan kacamata dinosaurus. Mestinya pakai lensa pilot Star Wars. Coba juga simak lebih dalam data BPS soal data pertumbuhan ekonomi, meski sebetulnya agak malas menulis angka-angka karena pasti membosankan. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga tahun ini disumbang oleh Ekspor Barang dan Jasa (17,27%), diikuti Investasi sebesar 7,11%, Konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (6,01%), Konsumsi Rumah Tangga (4,93%), dan Konsumsi Pemerintah 3,46%. Dari sisi lapangan usaha, selama periode Januari-September tahun ini, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor Informasi dan Komunikasi sebesar 9,80%; diikuti Jasa Lainnya (8,71%); Transportasi dan Pergudangan (8,25%); dan Jasa Perusahaan sebesar 8,07%. Data tersebut boleh dibilang lumayan, meski sepertinya belum melihat aspek menyeluruh dari ekonomi digital yang tumbuh kencang belakangan ini. Mungkin sebagian tercermin dari kenaikan pertumbuhan pada sektor transportasi dan pergudangan (pengiriman barang). Data tersebut rupanya terkonfirmasi dari Direktorat Jenderal Pajak. Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa kurir, jasa sewa gudang, semuanya naik. Hingga kuartal ketiga

  2017, penerimaan PPN dalam negeri tumbuh 12,1%. Ini jelas lompatan, mengingat penerimaan PPN periode sama tahun lalu hanya tumbuh 2,9%. Sektor pariwisata juga lumayan. Data BPS menyebutkan jumlah turis asing selama tiga kuartal tahun ini mencapai 10,46 juta, naik 25,05% dibandingkan periode sama tahun 2016 yang berjumlah 8,36 juta. Lalu kondisi bisnis pada kuartal III tahun ini terus meningkat dan optimistis, terlihat dari Indeks Tendensi Bisnis yang berada di atas 100, yakni 112,39. Indeks tendensi bisnis ini jauh lebih baik dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu (107), dan melonjak jika dibandingkan level 103 pada kuartal I/2017. Di sisi konsumen, yang selalu diributkan oleh sebagian kalangan sedang lesu atau daya beli tertekan, justru indeksnya mengalami kenaikan pada kuartal ketiga tahun ini menjadi 109,42. Itu berarti konsumen kian optimistis. Data ini lebih mengejutkan. Nilai ekspor Indonesia selama Januari-September 2017 telah mencapai US$123,36 miliar atau naik 17,36% dibandingkan dengan periode sama tahun 2016. Begitupun, ekspor nonmigas naik 17,37%, mencapai US$111,89 miliar. Ini adalah rekor baru, bahkan lebih tinggi dibandingkan pencapaian saat booming komoditas tahun 2011-2012 silam. Tampaknya, sejumlah paket kebijakan ekonomi mulai membuahkan hasil, terlihat dari kinerja ekspor nonmigas hasil industri pengolahan yang naik 14,51% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2016. Ekspor hasil pertanian juga naik 18,35%, bahkan kinerja ekspor hasil tambang melonjak 34,75%. Ekspor 10 produk unggulan pun naik 23,81%, yang memberi kontribusi 50,62% total ekspor nonmigas. Di sisi lain, catatan impor juga memberikan harapan baru. Nilai impor barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal selama Januari

  • –September 2017 semuanya naik, masing-masing 11,81%, 15,21%, dan 9,51%. Dengan kontribusi sebesar 75% dari total impor, kenaikan impor bahan baku yang signifikan memberikan sinyal bahwa aktivitas produksi mengalami peningkatan penting hari-hari ke depan ini. Ini memberikan indikasi dan menambah harapan dalam menopang produksi, sehingga ekspor hasil olahan akan kian meningkat di masa mendatang. Investasi adalah harapan lainnya lagi. Sejalan dengan data BPS bahwa pertumbuhan investasi cukup meyakinkan, ternyata potensi investasi masih jauh lebih besar dari realisasinya. Data Badan Koordinasi dan Penanaman Modal menyebutkan bahwa realisasi investasi amat timpang jika dibandingkan dengan minat yang diajukan. Selama tiga tahun terakhir (2014-2017), minat investasi mencapai Rp8.300 triliun, sedangkan realisasinya hanya Rp2.100 triliun. Angka realisasi investasi itu hanya 25% dari proposal investor.
Bagaimana membaca data ini? Ia adalah harapan baru yang lain. Ada stok investasi sebesar Rp6.200 triliun. Apabila ini bisa direalisasikan, maka akan menjadi mesin penggerak ekonomi yang dahsyat. Ini akan menciptakan lapangan pekerjaan dan rantai bisnis yang jauh lebih luas.

  Pertanyaannya, bagaimana mengungkit atau meleverage stok investasi itu agar benar-benar direalisasikan? Jawabannya cuma satu: continuous reform. Reformasi berkelanjutan di bidang-bidang strategis (kemudahan bisnis, hukum, regulasi, otonomi daerah, ketenagakerjaan, perpajakan) penting untuk terus dikelola. Kondisi ini sangat berbubungan secara signifikan dengan Regulasi Bank Dunia

  

  Apalagi setelah Indonesia kembali naik kelas dalam peringkat kemudahan berbisnis, dari posisi 106 di tahun 2015 menjadi 91 di tahun 2016 dan naik lagi ke 72 pada tahun ini. Sekali lagi, ini buah reformasi melalui paket kebijakan ekonomi yang dilansir sejak tiga tahun silam, mengingat peringat Indonesia sebelumnya selalu di atas 110. Dalam berbagai upaya regulasi pemerintah mulai membuahkan hasil yang baik. Kenaikan indeks kemudahan berusaha, inflasi terkendali, stabilisasi harga pangan, indeks saham yang terus pecah rekor, dan tingkat bunga relatif rendah, hanyalah sebagian contohnya. Himabuan pemerintah berkali-kali menekankan rasa optimismenya, karena memang punya dasar, dan pemerintah “keras berusaha dan berusaha keras”. Dan tahun depan, diharapkan situasi akan jauh lebih baik. Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana mendorong peningkatan produktivitas di semua lini, agar menopang upaya lanjutan dalam menarik investasi. Kecurigaan terhadap modal asing seyogianya dibuang jauh-jauh, karena modal tidak memiliki warganegara. Kata bijak mengungkapkan

  “Untuk maju tak ada cara lain tanpa investas i dari dalam dan luar.”

  Isu pemberantasan korupsi telah membuat banyak birokrat takut mengambil kebijakan, sehingga tidak ada produktivitas. Ini juga harus dicari jalan tengah yang baik. Kalau menimbulkan ketakutan, akan lebih bahaya daripada korupsi itu sendiri, karena tidak berani ambil keputusan. Banyak tantangan baru dalam ekonomi new normal ini, yang memerlukan langkah-langkah terobosan dan meluas di seluruh lini birokrasi. Goal setting birokrasi seyogianya di atas ultimate, kalau boleh meminjam istilah dari Tokoh Birokrat Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Pragmatis, cepat, dan efektif. Budi Karya bukan rahasia, Presidenlah yang memaksa Garuda Indonesia terbang ke Silangit, karena tidak ada maskapai yang mau terbang ke sana. Setelah itu, Silangit booming. Dan rasanya, banyak contoh lain di luar Silangit dan Toba yang sekarang terus menjadi pembicaraan.

  Kesimpulan dari tulisan ini adalah di era Zaman now ya terjadi Ekonomi now, lalu butuh Birokrasi now serta Bisnis now dengan mindset atau pola pikir dan "Pola Kerja Now" juga. So, bagaimana menurut Anda? Referensi: Bisnis Indonesia edisi 10 November 2017, hal 1 dan dari berbagai sumber.