TUGAS AKHIR SENI BUDAYA SM

TUGAS
AKHIR
SENI
BUDAYA
Kritik Seni Rupa
Lutfi Alhadiiat |X TITL - A

Kritik Seni
Karya Lukis Mulyo Gunarso
“Ironi Dalam Sarang”

Judul karya : Ironi dalam Sarang
Nama Seniman : Mulyo Gunarso
Bahan : Cat Akrilik dan pensil di atas Kanvas
Ukuran : 140 cm x 180 cm
Tahun Pembuatan : 2008

1. Deskripsi Karya
Karya lukis oleh Gunarso yang berjudul “Ironi dalam Sarang” masih divisualisasikan
dengan metaforanya yang khas yaitu bulu-bulu meski tidak sebagai figure
sentralnya. Material subjeknya merupakan gambar tentang semut-semut yang

mengerumuni sarang burung dan diatasnya dilapisi lembaran koran, didalamnya
terdapat berbagai macam makanan seperti, beras putih, yang diberi alas daun
pisang di atasnya terdapat seekor semut, bungkusan kertas seolah dari koran
bertuliskan ulah balada tradisi, potongan dari sayuran kol, satu butir telur dan juga
makanan yang dibungkus plastik bening, disampingya juga terdapat nasi golong,
seperti ingin menggambarkan makanan untuk kenduri. Selain itu di dalam sarang
juga terdapat kerupuk dan jajanan tradisional yang juga dibungkus plastik bening,
dan entah mengapa diantara sejumlah makanan yang berbau tradisional juga
terdapat sebuah apel merah, minuman soda bermerek coca-cola yang tentunya
bukan menggambarkan produk dalam negeri. Tumpahan coca-cola menjadi pusat
krumunan semut yang datang dari segala penjuru.
Medium lukisan Gunarso adalah cat akrilik yang dikerjakan di atas kanvas
berukuran 140 cm x 180 cm dengan kombinasi pensil pada backgroundnya
membentuk garis vertikal. Teknik yang digunakan dominan ialah dry brush yaitu
teknik sapuan kuas kering. Bentuk atau form dari karya Gunarso ialah realistik
dengan gaya surealisme. Proses penciptaannya terlihat penuh persiapan dan cukup
matang tercermin dari hasil karyanya yang rapi, rumit, dan tertata. Gunarso
sepertinya asyik bermain-main dengan komposisi.bagaimana ia mencoba
menyampaikan kegelisahanya dalam bentuk karya dua dimensi yang menyiratkan
segala kegelisahan melalui torehan kuas di kanvas dengan pilihan warna- warna

yang menjadi karakter dalam karya lukisnya.
2. Analisis
Makna atau isi karya seni selalu disampaikan dengan bahasa karya seni, melalui
tanda atau simbol. Ungkapan rupa dan permainan simbol atau tanda tentu tidak
datang begitu saja, ada api tentu ada asap. Begitu juga ketika kita menganalisis
sebuah karya, perlu tahu bagaimana asap itu ada, dengan kata lain, bagaimana
kejadian yang melatarbelakangi penciptaan karya. Pada dasarnya tahapan ini ialah
menguraikan kualitas unsur pendukung ‘subject matter’ yang telah dihimpun
dalam deskripsi.
Representasi vsual ditampilkan dengan bentuk realis yang terencana, tertata dan
rapi, sesuai dengan konsep realis yang menyerupai bentuk asli suatu
objek.Permainan garis pada background dengan kesan tegak, kuat berbanding
terbalik dengan bulu-bulu yang entah disadarinya atau tidak. Penggunaan gelap
terang warna juga telah bisa memvisualisasikan gambar sesuai nyata, tetapi
Gunarso tidak memainkan tekstur disana. Kontras warna background dengan
tumpahan coca-cola yang justru jadi pusat permasalahan justru tak begitu terlihat
jelas agak mengabur, begitu juga dengan kerumunan semut-semut sedikit terlihat
mengganggu, tetapi secara keseluruhan komposisi karya Gunarso terlihat mampu
sejenak menghibur mata maupun pikiran kita untuk berfikir tentang permasalahan
negri ini.


3. Intepretasi
Setiap karya seni pasti mengandung makna, membawa pesan yang ingin
disampaikan dan kita membutuhkan intepretasi/ penafsiran untuk memaknainya
yang didahului dengan mendeskripsikan. Dalam mendeskripsikan suatu karya seni,
pendapat orang membaca karya seni boleh saja sama tetapi dalam menafsir akan
berbeda karena diakibatkan oleh perbedaan sudut pandang atau paradigma.
Gunarso tak pernah lepas dari hubunganya terhadap kegelisahan sosial, yang selalu
menjadi isu sosial bangsa ini. Dengan bulu-bulunya yang divisualkan dalam lukisan
sebagai simbol subjektif, yaitu menyimbolkan sebuah kelembutan, kehalusan,
ketenangan, kedamaian atau bahkan kelembutan, kehalusan tersebut bisa
melenakan dan menghanyutkan, sebagai contoh kehidupan yang kita rasakan di
alam ini. Inspirasi bulu-bulu tersebut didapatnya ketika dia sering melihat banyak
bulu-bulu ayam berserakan.
Dalam karya ini, Gunarso mengibaratkan manusia seperti semut, yang selalu tidak
puas dengan apa yang didapat, menggambarkan tentang seorang atau kelompok
dalam posisi lebih (misalnya pejabat) yang terlena oleh iming-iming negara asing,
sehingga mereka sampai mengorbankan bahkan menjual “kekayaan” negerinya
kepada negara asing demi kepentingan pribadi maupun golonganya. Divisualkan
dengan semut sebagai gambaran orang atau manusia (subjek pelaku) yang mana

dia mengkerubuti tumpahan coca-cola sebagai idiom atau gambaran negeri asing.
Gunarso ingin mengatakan tentang ironi semut yang mengkerubuti makanan, gula,
sekarang mengkerubuti sesuatu yang asing baginya, meski cukup ganjal karena
semut memang sudah biasa dengan mengekerubuti soft drink coca-cola yang
rasanya manis. Mungkin Gunarso mengibaratkan semut tadi sebagai semut
Indonesia yang sebelumnya belum mengenal soft drink, sedangkan sarang burung
sebagai gambaran rumah tempat kita tinggal (negeri ini), yang ironisnya lagi dalam
sarang terdapat makanan gambaran sebuah tradisi yang bercampur dengan produk
asing yang nyatanya lebih diminati.
Dalam berkarya gunarso mampu mengemas karyanya hingga memiliki karakter
tersendiri yang mencerminkan bagian dari kegelisahan, latar belakang serta konflik
yang disadurkan kepada audiens, bagaimana dia mampu menarik dan memancing
audiens untuk berinteraksi secara langsung dan mencoba mengajak berfikir tentang
apa yang dirasakan olehnya tentang issu yang terjadi di dalam negerinya,
kegelisahan tentang segala sesuatu yang lambat laun berubah.
Perkembangan zaman yang begitu cepat, menuntut kita untuk beradaptasi dan
menempatkan diri untuk berada di tengahnya , namun itu semua secara tidak kita
sadari baik itu karakter sosial masyarakat, gaya hidup dan lain sebagainya dari
barat tentunya, masuk tanpa filter di tengah-tengah kita, seperti contoh,
pembangunan gedung dan Mall oleh orang asing di negeri kita ini begitu juga

dengan minimarket, café yang berbasis franshise dari luar negri sebenarnya
merupakan gerbang pintu masuk untuk menjadikan rakyat Indonesia semakin
konsumtif dan meninggalkan budayanya sendiri. Hal tersebut berdampak pada
nasib kehidupan makhluk di sekeliling kita atau lingkungan di sekitar kita. Gunarso
seolah ingin memberi penyadaran kepada kita, untuk memulai menyelamatkan dan
melestarikannya, siapa lagi kalau tidak dimulai dari kita?

4.Penilaian
Penilaian sebuah karya seni bukan berbicara mengenai baik atau buruk, salah atau
benar melainkan mengenai pemaknaan tersebut meyakinkan atau tidak. Karya seni
dapat dinilai dengan berbagai kriteria dan aspek, Barret, menyederhanakan
penilaian karya seni ke dalam 4 kategori yaitu realisme, ekspresionisme,
formalism, dan instrumentalisme. Untuk karya Gunarso kali ini, penilaian yang
akan digunakan ialah paham ekspresionisme, yang besifat subyektif, penialaian
keindahan suatu karya seni tidak hanya berdasar objek yang dilukis tetapi juga
menyangkut isi dan makna.
Karya seni tidak lahir dari begitu saja, selalu berkaitan, berdasarkan pengalamanpengalaman yang pernah dirasakan sebagai sumber inspirasi potensial , yang
dimaknai sebagai pengalaman estetik. Hasil karya sebagai representasi dari emosiemosi modern seperti karya Gunarso, yang ingin merepresentasikan kemelut yang
terjadi dalam perkembangan negeri ini, termasuk keresahannya mengenai hal
tersebut.

Coca-cola tidak selamanya manis, dan yang manis tak selamanya dirasakan manis
oleh orang yang berbeda. Semut yang pada dasarnya menyukai sesuatu yang
bersifat manis sehingga menjadi hal yang sangat wajar apabila semut-semut itu
lebih suka mengerumuni tumpahan coca-cola dibandingkan makanan lain yang
berada dalam sarang tersebut walaupun masih ada satu dua semut yang
mengerumuni beras dan bungkusan kerupuk.Seperti halnya manusia yang oleh
Gunarso dalam karya ini digambarkan seperti semut lebih menyukai hal-hal yang
yang menyenangkan dan menguntungkan untuk mereka tanpa mempedulikan
dampak negatifnya meskipun itu asing bagi mereka. Akan tetapi tidak semua orang
ingin merasakan hal yang sama karena masih ada orang-orang yang tetap
mempertahankan sesuatu yang sejak dulu sudah menjadi miliknya.
Dalam pembuatan karya-karyanya Gunarso seolah tidak ingin meninggalkan bulubulu yang menjadi metafornya meskipun dia telah bereksperiman dengan berbagai
media dan tema yang berbeda ,seperti yang dilakukan oleh para seniman-seniman
ekspresionis yang menciptakan bentuk-bentuk baru tanpa meninggalkan keunikan
dan individualitas mereka. Gunarso melukiskan tumpahan coca-cola sebagai pusat
kerumunan semut untuk menghadirkan penekanan emosional. Penempatan cocacola diantara makanan-makanan dalam negeri juga dibuat untuk membangkitkan
emosi yang melihatnya.Kelebihan dari karya Gunarso adalah bahwa karyanya ini
memiliki komposisi warna dan penempatan objek yang enak dipandang mata,
dengan warna-warna yang ditampilkannya sangat serasi dengan ide lukisan yang ia
angkat.

Tetapi salah satu yang menjadi kekurangan karyanya adalah adanya bulu dalam
lukisannya sepertinya sedikit menganggu, alangkah lebih baik jika Gunarso
menghilangkan salah satu idiom yang terdapat dalam lukisannya, apakah itu
semut-semutnya atau bulu-bulunya. Hal itu dikarenakan dengan keberadaan
semut-semut sedikit menghilangkan/menutupi bulu-bulu dalam lukisannya yang
menjadi ciri khas dalam setiap lukisan yang ia ciptakan.

DAFTAR PUSTAKA
Bangun C. Sem, 2001, Kritik Seni Rupa, Penerbit ITB, Bandung
Kadir, Abdul, 1975, Pengantar Estetika, Sekolah Tinggi Seni Rupa ’’ASRI‘’,
Yogyakarta
Marianto M. Dwi, 2002, Seni Kritik Seni, Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta,
Yogyakarta
Sudarmaji,1979, Dasar kritik Seni Rupa, Dinas Museum dan Sejarah, Jakarta,
Yogyakarta.