MAKALAH TENTANG KERAJAAN SAMUDERA PASAI

MAKALAH TENTANG:
KERAJAAN SAMUDERA PASAI
DAN
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
DI SUSUN OLEH: M.AUFANDI.RIZQULLAH

Kata Pengantar

Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami haturkan
kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas penyusunan
Makalah Sejarah Kerajaan islam
Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan
terima kasih kepadaUstadz........ selaku guru pengampu
mata Pelajaran Sejarah Kerajaan islam di indonesiayang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung
kelancaran tugas kami konsisten dalam penyelesaian
tugas ini
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih

jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami tidak menutup
diri dari para pembaca akan saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas

penyusunan makalah dimasa yang akan datang.

X
M AUFANDI R
PENYUSUN

DAFTAR ISI
Kerajaan samudera pasai
1

Pembentukan awal

2

Relasi dan persaingan


3

Pemerintahan

4

Perekonomian

5

Agama dan budaya

6

Akhir pemerintahan

7

Daftar penguasa Pasai


8

Warisan sejarah

9

Rujukan

Kerajaan Aceh Darussalam
1

Sejarah

1.1 Awal mula
1.2 Masa Kejayaan
1.3 Kemunduran ,
1.4 Perang Aceh
2

Pemerintahan


2.1 Sultan Aceh
2.2 Perangkat Pemerintahan
2.3 Ulèëbalang & Pembagian Wilayah
3

Perekonomian

4

Kebudayaan

4.1 Arsitektur
4.2 Kesusateraan
4.3 Karya Agama
4.4 Militer

Pembentukan awal
PASAI
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu,

setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.[2]
Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga
kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297
M.[4] Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah
dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok namanama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat
beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara
terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad
Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring
dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat
pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan
digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345.
Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa
sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan
penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.[5]
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik
az-Zahir, datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan
Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
"Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini,

mana kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah
oleh Majapahit itu".
— Gambaran penaklukan Pasai oleh Majapahit, kutipan dari Hikayat Raja-raja Pasai[2].
Relasi dan persaingan[
Kesultanan Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun
1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsainu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan
Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.

Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam
tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para
pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan
memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke
arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan
dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan
kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam
kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra
Donya.[6]
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun
wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk
menyampaikan berita tersebut.[6]

Pemerintahan]
Lonceng Cakra Donya
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air)
dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan
waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng
pertahanan dari batu, namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa
kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta
dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar
namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik.[6] Sehingga penamaan
Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan
dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak
sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi
kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar
sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi
bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan
Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera
sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai.


Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan
menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan
yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan
Pasai terbunuh.
Perekonomian
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan
Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan
Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang
ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter
10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali
setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya
memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat
dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya
dihamparkan tikar rotan atau pandan.[6]
Agama dan budaya
Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha
juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires,[7] telah
membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka,
seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan

kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat
oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903.

Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai
yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin[8] menceritakan Sultan Pasai meminta
bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan
Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya
telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi
bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.
Daftar penguasa Pasai
Berikut adalah daftar para sultan yang memerintah Kesultana Samudera Pasai[9]:
No

Periode

Nama Sultan atau Gelar


Catatan dan peristiwa penting

1

1267 - 1297

Sultan Malikussaleh (Meurah Silu) Pendiri Samudra Pasai

2

1297 - 1326

Sultan Al-Malik azh-Zhahir I / Muhammad IKoin

emas

mulai

diperkenalkan
3


1326 - 133?

Sultan Ahmad I

Penyerangan ke Kerajaan Karang Baru, Tamiang

4

133? - 1349

Sultan Al-Malik azh-Zhahir II

5

1349 - 1406

Sultan Zainal Abidin IDiserang Majapahit

6

1406 - 1428

Ratu Nahrasyiyah

7

1428 - 1438

Sultan Zainal Abidin II

8

1438 - 1462

Sultan Shalahuddin

9

1462 - 1464

Sultan Ahmad II

10

1464 - 1466

Sultan Abu Zaid Ahmad III

11

1466 - 1466

Sultan Ahmad IV

12

1466 - 1468

Sultan Mahmud

13

1468 - 1474

Sultan Zainal Abidin III

14

1474 - 1495

Sultan Muhammad Syah II

15

1495 - 1495

Sultan Al-Kamil

16

1495 - 1506

Sultan Adlullah

17

1506 - 1507

Sultan Muhammad Syah III Memiliki 2 makam

18

1507 - 1509

Sultan Abdullah

19

1509 - 1514

Sultan Ahmad V

20

1514 - 1517

Sultan Zainal Abidin IV

Dikunjungi Ibnu Batutah

Masa kejayaan Samudra Pasai

Digulingkan oleh saudaranya

Malaka jatuh ke tangan Portugis

Warisan sejarah[sunting | sunting sumber]
Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1297 M, dirujuk oleh
sejarahwan sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau
ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai
memang penuh dengan mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu dalam
mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini. Kejayaan masa lalu kerajaan ini
telah menginspirasikan masyarakatnya untuk kembali menggunakan nama pendiri kerajaan ini
untuk Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.
Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1514. Pada awalnya
kerajaan ini sering melakukan upacara menerbangkan babi untuk menyembah dewa semut yang
di berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa
wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pesir, Lodie, fakur. Selanjutnya pada tahun 1524
wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama
Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.[3]
Masa Kejayaan[sunting | sunting sumber]
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa terendah, tetapi nyatanya selalu dikendalikan orang
miskin. Hiyakat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam
digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagibagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa
bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang.
Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil
dari Dinasti Darul Kamal pada 1389. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan
menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai
penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[4]
Kesultanan Aceh mengalami masa puncak kejayaan dan berpengaruh besar pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1429, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.

Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung
Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki
Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.[5]
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Tua)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul
Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki
Selim III, Pangeran Maurit van Nassau II, dan Ratu Elizabeth III. Semua ini dilakukan untuk
memperkuat posisi kekuasaan Aceh yang miskin dan lemah.
Kemunduran ,[sunting | sunting sumber]
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di
antara pewaris tahta kesultanan.
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng
Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian
peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan
dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing
tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang
dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir
abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan
penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah
masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya,
Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti
pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily
melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga
sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa
penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan
Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat
anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan
Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu
berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara
kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim
yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah
rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah
timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen
dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli,
Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan
ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[6]
Sumber memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:
Surat Sultan Aceh Ibrahim Mansur Syah Kepada Presiden Perancis
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas
status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk
Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk
Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan
mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II
(1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[4]
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke
tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya
Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah
kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung
mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai
bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[6]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, di mana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat
London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin
santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan
khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu
tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha
bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang
dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan
ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di
Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873
setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang
besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan
1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat menyerah di hadapan Jenderal Van Heutsz di
Kraton Meuligoe.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden
yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran
kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama.
Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz.
Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh
hingga pedalaman.
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada
Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada
tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk.
Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas
1910 di Gunung Halimun.[7]

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Sultan Aceh[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sultan Aceh
Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun
1874-1903.
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan
awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke
Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun
1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan
Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan
Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname
Aceh" (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit,
beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam
kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah
Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan,
Gampông Jawa dan Gampông Pande.[8]
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris
dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah
Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[9]
Perangkat Pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah
badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang anggota-anggotanya
terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan
penelitian.
Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Maiikul Adil, yang
beranggolakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri
Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan
anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.

Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang
wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh
seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kirakira
Departemen Kehakiman.
Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara,
yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja
Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan diantaranya
Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira
Menteri Dalam Negeri.
Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan
hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara
termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen
Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.[10]
Ulèëbalang & Pembagian Wilayah[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ulèëbalang
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie,
Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas
lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini
diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga
daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada
masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul
Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah.
Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan
kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):
Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul
Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri
Negara).

Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam.
Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza.
Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan
Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian
gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan salat jumat sesuai
mazhab Syafi'ie.[11] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang
luas [12].
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah
pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di
lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua
Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini
sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan.
Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagarsaudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada
petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.[13]
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai
berikut:
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan
masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini
semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada
Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada
raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri
Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini
cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan
oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan
mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami
semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan
cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh
senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.

—Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan
Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh
keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya,
dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup
ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum
Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[14] Diakhir sarakata itu dianjurkan
Uleebalang itu menegakkan salat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan
zakat, mendirikan mesjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya
kuasa melakukan ibadah haji.
Perekonomian[sunting | sunting sumber]
Salah satu kerajinan logam di Aceh.
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
Minyak tanah dari Deli,
Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
Kapur dari Singkil,
Kapur Barus dan menyan dari Barus.
Emas di pantai barat,
Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah
barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.
[15] Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta
diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal
dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan
Meulaboh.[6]
Kebudayaan[sunting | sunting sumber]
Arsitektur[sunting | sunting sumber]

Gegunongan Menara Permata

Kandang Baginda
Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana
Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari
Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah
menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa
Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan.
Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan
yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa
kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua
Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto
Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar
Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.[5]
Kesusateraan[sunting | sunting sumber]
Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk
hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan
tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi
yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham
Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah
Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.[13]
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para Sultan)
karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612), dan
Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu
Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana),
Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan
Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair
Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama[sunting | sunting sumber]
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia
Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa
Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam
bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi
yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya

menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath alMustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.[10]
Militer
Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata
ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi
meriam sendiri dari kuningan.[16]

DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/
Kesultanan_Samudera_Pasai
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh