Berger ngenet 2 Di Indonesia

Etnobudaya Tentang Kebudayaan

Menu
Skip to content






Home
Afan Gaffar
Orang Biasa
Parsudian
Snapshot

Home › artikel › Kebakaran Hutan dan Perkebunan Sawit

Kebakaran Hutan dan Perkebunan Sawit
Posted on September 1, 2014 by tijok — 1 Comment


Rate This

Oleh Adi Prasetijo
Ini adalah tulisan lawas (15 Juni 2001), tapi sepertinya masih layak untuk disimak karena
kebarakan hutap tetap saja terjadi.

Latar Belakang
Pada tahun 1997-1998, di Indonesia terjadi kebakaran hutan yang dashyat. Kebakaran hutan di
Indonesia pada waktu itu, terjadi bersamaan dengan fenomena El-Nino.[1] Dari hasil
pemantauan CRISP (The Singapore Center for Remote Sensing) tercatat bahwa di tahun 1997,
diperkirakan ada 1,5 juta ha. areal telah terbakar di Sumatra dan 3 juta ha ketika itu. di
Kalimantan. Menurut kesimpulan CRISP sebagian besar kebakaran terjadi di daerah hutan
dataran rendah yang berdekatan dengan sungai dan jalan, hutan diareal pegununangan tidak
tersentuh api pada tahun itu (Barber & Schweithelm, 2000, 11). Hasil deteksi satelit pada tahun
1997 menunjukkan, titik-titik itu di atas 90 persen berasal dari hutan yang dikonversi. Dari ketiga
lokasi kebakaran yang ditangkap oleh titik-titik hot spot yang terjadi di Kalimantan, yaitu di

lokasi hutan rawa gemuk (peat swamp), hutan rawa-rawa (wetland) dan hutan dataran rendah,
WWF menemukan bahwa sebagian besar titik hot spot tersebut ditemukan di lokasi hutan
dataran rendah. Dari kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan luas area kebakaran

perkiraan 1.500.000 ha. di Sumatra & Kalimantan, kurang lebih 675.000 ha. adalah areal
perkebunan. Diketahui pula bahwa 46% titik hotspot kebakaran berada di lokasi perkebunan,
terutama di perkebunan sawit & HTI. Kebakaran diduga kuat terjadi sebagai akibat pembukaan
lahan/land clearing perkebunan sawit. Ada 176 perusahaan, diantaranya 133 perkebunan yang
dianggap bertanggung jawab. Selain 28 perusahaan HTI, dan 15 perusahaan pembuka lahan
transmigrasi (Eric Wakker, 1998).
Tentu saja akibat kebakaran hutan ini terdapat beberapa dampak negatif yang dihasilkannya.
Beberapa dampak akibat terjadinya kebakaran hutan yang berhubungan dengan permasalahan
lingkungan alam adalah, hilangnya hutan, baik kawasan hutan primer dan sekunder, hilangnya
beberapa spesies flora dan fauna tertentu terutama yang dilindungi, menurunnya kualitas air,
pengaruh tidak langsung pada regulasi atmosfer bumi, dan pada kesehatan manusia (Barber &
Schweithelm, 2000, 15-20). Sebagai contoh oleh Bappenas pada data tahun 1999 di Indonesia,
tercatat bahwa ada 100.000 ha. hutan dataran tinggi dan 3.100.000 ha. hutan dataran rendah yang
masih “perawan” hilang akibat kebakaran hutan. Dengan hilangnya hutan yang berfungsi sebagai
habitat binatang dan tumbuhan, maka spesies tertentu dikwatirkan akan punah. Tercatat ada 17
areal konservasi, kawasan konservasi nasional dan internasional yang mengalami kerusakan.[2]
Orangutan misalnya, habitatnya di Taman Nasional tanjung Puting terganggu akibat kebakaran
hutan. Orangutan (Pongo pygmaeus) menjadi spesies binatang yang penting karena dianggap
sebagai indikator spesies keanekaragaman hayati bagi Indonesia. Populasinya menyusut hingga
30%-50% ( jumlah orangutan kini kurang lebih 25.000 ekor) pada dasawarsa ini, sebagai akibat

tindakan perburuan, kebakaran hutan, perdagangan, dan hilangnya habitat mereka sebagai akibat
transmigrasi, logging dan perkebunan (EIA, The Orangutan in Crisis, 1997). Tercatat di
Wanariset Semboja ada 126 orangutan yang tewas, dan 63 bayi orangutan yang ditampung
karena kehilangan induknya. Juga tercatat di hutan lindung Tangkoko Sulut, terdapat 20 pasang
burung maleo ditemukan mati dengan tanda-tamda kepanasan (Kompas, 5/10/1999).
Kebakaran hutan juga mengakibatkan penurunan kualitas air yang signifikan. Kebakaran hutan
mengganggu sistem hidrologi hutan. Meskipun belum ada penelitian yang memadai telah
dilakukan di Indonesia, tetapi berdasarkan penelitian di Australia tenggara, ditemukan bahwa
hujan membawa lapisan tanah dari hutan yang habis terbakar ke aliran sungai sehingga
mengakibatkan penimbunan sedimen yang berlebihan. Penimbunan sedimen yang berlebihan ini
lalu mengakibatkan penurunan kualitas air sungai dan biota air yang hidup didalamnya. Kasus ini
mempunyai kemiripan dengan situasi kondisi kawasan yang terbakar di Indonesia. Seperti kita
ketahui bahwa menururt CRISP, kawasan yang terbakar sebagian besar berada di daerah pinggir
sungai dan jalan. Terlebih lagi, kondisi cuaca Indonesia yang ketika itu menghadapi ancaman
banjir akibat fenomena El-Nina (Barber & Schweithelm, 2000, 15-20).[3]
Kebakaran juga menghasilkan asap, yang mengandung karbon dioxide yang berpengaruh tidak
langsung pada regulasi atmosfer bumi. Kebakaran hutan di Indonesia menurut perhitungan
Bappenas, telah menyumbangkan 206.6 juta ton carbon dengan sumbangan terbesar (75 % ) dari
areal rawa gemuk. Kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1997 memberikan sumbangan 30 %
emisi carbon global dunia. Carbon dioxide tersebut memberikan kontribusi besar pada


konsentrasi atmosfer pada gejala rumah kaca dimana akan menyebabkan pemanasan global
dunia (Barber & Schweithelm, 2000, 17).
Selain itu asap yang diakibatkan kebakaran hutan ini, selain mengganggu kesehatan juga
menimbulkan dampak-dampak aktivitas sosial dan ekonomi. Kejadian tersebut tidak saja terjadi
di Indonesia saja, asap kebakaran hutan tersebut juga sampai ke Malaysia, Singapura, dan negara
Asia Tenggara lainnya. Tercatat oleh Depkes & UNDP, bahwa ada 12,3 juta orang yang
mengalami gangguan kesehatan akibat asap tersebut selama September-November 1997. Orang
yang meninggal ada 527 jiwa, 16.000 orang masuk rumah sakit, dan 36.000 orang memperoleh
penanganan serius di Jambi, Sumbar, Riau, Kalbar, Kalteng, Kalsel, & Kaltim. Di Malaysiapun
tercatat terdapat 5.000 orang yang mengalami gangguan kesehatan akibat asap kebakaran hutan
dari Indonesia (Barber & Schweithelm, 2000, 19).
Kebakaran hutan juga mengganggu berbagai aktivitas sosial dan ekonomi manusia. Dari data
yang dikeluarkan oleh Bappenas pada tahun 1999 tercatat bahwa di Indonesia terjadi kerusakan
lahan akibat kebakaran hutan ada sekitar 9.756.000 ha., dengan kerugian total rata-rata senilai $
9,298 juta. Atau senilai 2,5 % GNP Indonesia sebelum krisis moneter (Barber & Schweithelm,
2000, 10). Kerugian terbesar dialami oleh sektor pertanian sekitar senilai $ 2,431 juta dan tidak
kurang 3,843,000 ha. lahan pertanian telah rusak. (Barber & Schweithelm, 2000, 10 & 15). Nilai
kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan thn 1997-1998, bahkan dilihat melebihi nilai total
kerugian yang terjadi di Bhopal, India (Tragedi Bhopal) dan Alaska (Tragedi tumpahnya minyak

Exxon Valdez) yang senilai $ 4,5 juta. Kebakaran hutan thn 1997-1998 ini menurut perkiraan
Walhi menyebabkan 20 juta masyarakat desa sekitar hutan mengalami pemiskinan hingga 40-73
% karena kehilangan lahan dan tanamannya (Hakim Basyar, 1999,88).
Asap yang menyelimuti Asia Tenggara selama berbulan-bulan tahun lalu telah merugikan
Singapura 104 juta dolar Singapura (64 juta dolar AS), sekitar 20 persen lebih tinggi dari
perkiraan semula, demikian kata harian The Strait Times. Harian itu mengutip sebuah studi yang
dilakukan oleh “Economy and Environment Program for South East Asia” bahwa kerugian
terbesar dialami sektor pariwisata, yang kehilangan 81,8 juta dolar Singapura.. Biaya untuk
kesehatan mencapai 12,5 juta dolar Singapura, dan industri penerbangan yang merugi karena
penutupan bandar udara dan pembatalan penerbangan, mengalami rugi 9,7 juta dolar Singapura
(SP, 16/3/1997). Tak dipungkiri lagi melihat dampak-dampak yang ditimbulkan, masalah
kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi permasalahan regional, bahkan internasional.
Awalnya oleh pemerintah dikatakan bahwa penyebab kebakaran hutan thn. 1997-1998 tersebut
diakibatkan oleh 2 sebab utama. Pertama oleh tindakan secara sengaja, yaitu aktivitas
perladangan berpindah, arson (tindakan pembakaran kebun oleh penduduk/pegawai sbg akibat
ketidakkepuasan atas kebijakan tertentu), dan tindakan pembakaran lahan. Kedua
ketidaksengajaan. Fenomena ketidaksengajaan ini didasarkan atas fenomena El Nino dan
kebakaran alami rawa gemuk/gambut dan lapisan batu bara yang mudah terbakar. Dan El Nino
inilah yang menjadi penyebab utamanya (Vayda, 1999, 2-3). Apakah benar demikian ?.
Bagaimana dengan fenomena lonjakan perkebunan sawit yang menlonjak tinggi ?.

Menjadi menarik kemudian ketika kita ingin mengetahui lebih jauh, dengan mempertanyakan
kembali (mengkritisinya) mengapa kebakaran hutan 1997-1998 bisa terjadi demikian

dahsyatnya, sehingga menimbulkan dampak-dampak yang luar biasa besar dan luas cakupannya.
Apa benar fenomena kebakaran hutan tersebut benar-benar fenomena alam yang tidak bisa kita
cegah ?.
Tinjauan Peristiwa Kebakaran Hutan Sebelumnya
Sebenarnya kebakaran hutan thn. 1997-1998 di Indonesia/Asia Tenggara bukanlah kejadian yang
pertama. Berdasarkan cerita rakyat, tercatat bahwa kebakaran hutan yang besar dampaknya
pernah terjadi pada tahun 1877 di Kalimantan. Kemudian tahun 1915, terjadi kebakaran hutan
yang mengakibatkan rusaknya 80.000 ha. di Sabah. Juga tercatat pada tahun 1880’an, 1930’an,
1958, 1983, & 1991. Sebetulnya fenomena kebakaran hutan di kawasan hutan seperti
Kalimantan dan Sumatra adalah fenomena yang biasa terjadi. Berdasarkan penelitian carbon
dating diperoleh gambaran bahwa kebakaran hutan di hutan dataran rendah Kalimantan,
kebakaran hutan bahkan telah terjadi dimulai 17.500 thn yang lalu, sebagai akibat lamanya
musim kemarau pada periode glasial pada waktu itu. Kebakaran hutan yang terjadi, baik yang
disebabkan oleh alam maupun oleh ulah manusia sifatnya tidaklah meluas dan tersebar.
Penggunaan api dalam kehidupan masyarakat lokal untuk aktivitas perladangan di Sumatra dan
Kalimantan telah menjadi bagian kebudayaan mereka. Sehingga kemudian fenomena kebakaran
hutan banyak dikaitkan dengan tindakan manusia. (Vayda, 1999) (Barber & Schweithelm, 2000).

Bagi masyarakat lokal, mereka mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi dan mengontrol api
agar dapat bermanfaat bagi kehidupannya. Masyarakat asli senantiasa belajar bagaimana
mengontrol api dan mengatasinya. Oleh Vayda, api dilihatnya dalam prespektif api sebagai yang
tak terkontrol (wildfire) dan api yang terkontrol (controlled burn). Masyarakat lokal mempunyai
cara berdasarkan pengalamannya untuk dapat mengontrol api agar selalu terkontrol, dan
mencegah agar apai tidak menjadi tak terkontrol. Ini terbukti dari hasil titil hot spot thn 19971998, bahwa daerah pegunungan yang menjadi areal perladangan/perkebunan masyarakat lokal
di Sumatra yang densitasnyua rendah. Sehingga tidak benar sepenuhnya bahwa para peladang
berpindah (masyarakat lokal) tersebut sebagai penyebab kebakaran hutan seperti kata pemerintah
(Vayda, 1999, 6-12) (Dove, 1988) (Barber & Schweithelm, 2000,6).
Kebakaran hutan pada thn. 1982-1983 di Kaltim, tercatat sebagai kebakaran hutan terdahsyat
yang pernah terjadi Indonesia ketika itu. Kebakaran itu telah merusakan 3,6 juta ha. hutan
dengan perkiraan kerugian $ 9 miliar. Kebakaran terjadi pada bulan November – Desember
1982, kemudian terjadi lagi pada awal tahun 1983 dengan intensitasnya yang lebih tinggi.
Berdasarkan data tipe vegetasi yang terbakar, banyak terjadi di lahan bekas areal penebangan
(balak). Sebuah tim pencari fakta yang dibentuk melaporkan di tahun 1983 bahwa ada 800.000
ha. hutan primer, 1.400.000 ha. yang sudah dibalak, 750.000 ha. hutan sekunder/ladang
berpindah/pemukiman, dan 550.000 ha. lahan dan hutan rawa gemuk/gambut (Hakim Basyar,
1999,86).
Ketika itu alasan yang dikemukakan oleh pemerintah sama seperti sebagai akibat adanya badai
El Nino. Memang benar pada tahun itu, El Nino datang kembali menyebabkan musim kemarau

yang berkepanjangan (8-9 bulan). Sebenarnya menurut Barber & Schweithelm dan Hakim
Basyar, El Nino tidak merupakan sebab tunggal kebakaran hutan thn. 1982-1983 tersebut.
Logging dan aktivitas pembukaan lahan lainlah bertindak sebagai pemicu kebakaran hutan pada
waktu itu. Tetapi memang dampak fenomena iklim El Nino membuat tingkat curah hujan musim

kemarau di seluruh Indonesia berada di bawah normal (SP 13/3/ 1998). Pada catatan sejarah
tahun 1878, terjadi El Nino. Ketika itu terjadi musim kering yang panjang. Kemarau berlangsung
8 hingga 9 bulan, sama dengan kebakaran hutan 1982-83, tetapi tidak ada laporan kebakaran
hutan yang besar telah terjadi (Hakim Basyar, 1999,86). Juga kasus-kasus El Nino sebelumnya,
yaitu 1972 dan 1976. Persamaan dengan fenomena El Nino thn. 1982-83 tersebut, aktivitas
logging di Indonesia mulai meningkat. Api pada awalnya bergerak pada bulan November –
Desember 1982, tetapi hanya di daerah hutan primer yang masih basah. Api bergerak secara
lamban, tidak ganas, dan tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Kemudian pada akhir
Desember, api mulai bergerak ke daerah-daerah yang merupakan bekas penebangan & areal
pertanian. Api dengan cepat menjalar dan secara intensif sulit dipadamkan karena menggunakan
mediasi bekas/sisa-sisa tebangan logging. Jadi bukanlah kondisi situasi kekeringan yang dibuat
El Nino yang membuat kebakaran hutan, tetapi aktivitas logging dan pembukaan lahan yang
bertindak sembronolah yang jadi pemicunya (Barber & Schweithelm, 2000, 6).
Setelah kebakaran tahun 1982-83 tersebut, kebakaran hutan pernah dinyatakan terjadi di tahun
1987, melibatkan 22 propinsi, thn. 1991 kebakaran terjadi 23 propinsi, thn. 1994 terdapat 24

propinsi. Memang setelah kebakaran hutan thn 1982-83 kebakaran hutan tidak bersifat memusat
(menyebar) dan sifatnya lokalitas (Hakim Basyir, 1998, 87). Jadi sebelum kebakaran hutan thn
1997-1998, kita mempunyai pengalaman panjang tentang kebakaran hutan.
Kebakaran Hutan 1997-1998
Sebelum tahun 1997, oleh para oceonograoher dan ilmuwan atmospheric memprediksikan bahwa
1997 merupakan tahun El Nino (Barber & Schweithelm, 2000, 8). Api pertama nampak di satelit
pada bulan Januri di Riau, Sumatra dan menjadi meningkat intensitas dan distribusinya selama
musim kemarau berlangsung. Dalam waktu singkat tercatat tersebar ke 25 propinsi di Indonesia,
dengan titik hot spot terbanyak dipulau Sumatra dan Kalimantan (Hakim Basyir,1999, 87).
Kebakaran dengan cepat menjalar ke daerah rawa gemuk dan padang ilalang yang sulit
dikendalikan. Kebakaran yang terjadi di pulau Jawa dan Sumatra bersifat lebih kecil, lokalitas
dan dampak yang ditimbulkan lebih kecil. Di propinsi Irian Jaya meskipun mengalami musim
kekeringan seperti daerah yang lain, tetapi total areanya tidak seluas pulau Sumatra dan
Kalimantan (Barber & Schweithelm, 2000).[4] Dua pulau ini memang tercatat sebagai pulau
yang mempunyai luas areal perkebunan sawit terbesar di Indonesia pada thn. 1997 berdasarkan
data dari Direktorat Perkebunan. Sebagai catatan, Sumatra mempunyai luas areal perkebunan
sawit 2.039.008 ha. dan Kalimantan mempunyai luas 409.408. Coba bandingkan luas
perkebunan di Irian Jaya yang hanya 19.250 ha. dan Sulawesi 88.000 ha. (Direktorat Jendral
Perkebunan, 1998).
Fenomena El Nino di tahun 1997-1998 sendiri, melihat pada dampaknya yang luar biasa, banyak

pakar yang menyatakannya sebagai yang terdahsyat dalam 150 tahun terakhir. Bahkan lebih
dahsyat ketimbang keadaan tahun 1982-1983. Sejumlah pakar klimatologi lainnya juga sepakat
bahwa El Nino kali ini merupakan yang terburuk dalam 150 tahun terakhir, terutama dengan
melihat jumlah peningkatan air hangat di Lautan Pasifik yang naik menjadi satu setengah kali
dari luas benua Amerika. Kemarau panjang sebagai akibat El Nino juga tidak hanya terjadi di
Indonesia saja, tapi juga di beberapa negara lainnya. Di Papua Nugini misalnya, lebih satu juta
orang terancam kelaparan akibat kekeringan terburuk yang melanda negeri itu dalam 50 tahun

terakhir. Kekeringan juga melanda beberapa wilayah di Korea Utara, Cina, Australia dan
Selandia Baru. Pada tahun 1987 El Ninopun pernah terjadi , sebanyak 89 persen Pulau Jawa dan
91 persen daerah luar Jawa mengalami curah hujan musim kemarau yang di bawah normal.
Tahun 1991, di seluruh Indonesia tingkat curah hujan musim kemarau di bawah normal. Tahun
1994, di seluruh Indonesia pada saat musim kemarau, tingkat curah hujannya juga berada di
bawah normal. Namun ada perbedaan mencolok antara El Nino 1997 dengan tahun-tahun
sebelumnya. El Nino tahun ini membuat suhu di Samudera Pasifik lebih panas dari sebelumsebelumnya. Selain itu, awal kejadiannya juga menyimpang dari normalnya (sudah muncul sejak
pertengahan bulan Mei), dan peningkatan kegiatan El Nino sangat cepat dibandingkan dengan
normalnya. Biasanya muncul pada akhir tahun dan berlangsung hingga 12-18 bulan berikutnya.
Akibatnya, awan sulit terbentuk dan peluang hujan sangat kecil selama periode El Nino yang
umumnya bersamaan dengan musim kemarau. Karena itulah, maka kekeringan terjadi di banyak
wilayah Indonesia, dan sekaligus memperburuk akibat pembakaran hutan di Sumatra dan

Kalimantan lewat bencana nasional asap (SP 13/3/ 1998).
Sebab kebakaran hutan lain yang berhubungan dengan fenomena alam yang dikemukakan oleh
pihak pemerintah adalah adanya kebakaran alami yang terjadi di kawasan rawa gemuk/rawa
gambut. Memang benar dari pantauan WWF, dari ketiga lokasi kebakaran yang ditangkap oleh
titik-titik hot spot di Kalimantan, ada 3 lokasi yaitu hutan rawa gemuk (peat swamp), hutan
rawa-rawa (wetland) dan hutan dataran rendah. Tetapi WWF menemukan bahwa sebagian besar
titik hot spot tersebut ditemukan di lokasi hutan dataran rendah (Eric Wakker 1998). Juga hasil
temuan Goladammer & Seibert dalam artikel Vayda menemukan bahwa hanya ada 30 kasus
kebakaran hutan yang diakibatkan oleh kebakaran alami oleh lapisan batu bara (Vayda, 1999,
32). Sebab penyebab kebakaran hutan lebih banyak berhubungan dengan tindakan sembrono
manusia.
Respon pemerintah ketika kebakaran hutan terjadi dinilai banyak kalangan pihak terlambat dan
tidak siap menghadapi kebakaran hutan yang terjadi thn. 1997-1998. Dari kebakaran awal, pada
bulan Januari, diketahui pemerintah bereaksi pada bulan September 1997, yaitu dengan
mengeluarkan larangan total untuk melakukan pembakaran lahan Itupun setelah mendapatkan
protes dari negara-negara di Asia Tenggara. Bahkan pemerintah diduga melakukan manipulasi
luas hutan yang terbakar.[5] Akhir september 1997, pemerintah mengumumkan 176 perusahaan
tersangka pembakaran (Barber & Schweithelm, 2000, 8). Hal ini menunjukan bahwa pengakuan
pemerintah bahwa perkebunan sawit mempunyai kontribusi besar dalam kejadian kebakaran
hutan thn. 1997-1998. Sistem upaya pemadaman kebakaran hutan pada thn 1997-1998 yang
menyerap dana kurang lebih $ 2 miliar dan volunter sekitar 10.000 orang, dianggap tidak efektif.
Karena selain sifatnya sporadis, kurangnya koordinasi, kurangnya alat pemadaman, kurangnya
dana, air, kemampuan pemadaman yang tidak memadai, juga ketidakmampuan pemerintah untuk
mengontrol kawasan kebakaran hutan yang terpencil. Pada akhirnya kebakaran hutan dapat
padam sebagai akibat datangnya fenomena alam La Nina, yang merupakan kebalikan dari El
Nino yaitu musim hujan yang panjang dan lebat (Barber & Schweithelm, 2000, 8-10).
Menurut Walhi, pemerintah tidak melakukan usaha yang maksimal. Penegakan hukum bagi
pengusaha (176 perusahaan) yang melakukan pembakaran lahan misalnya, oleh mereka masih
dinilai lemah. Logina Ginting (Walhi) mencontohkan, PT Matra Sawit, PT London Sumatera,
dan PT Surya Hutani Jaya di Kalimantan Timur yang disebut-sebut akan dituntut ke pengadilan,

nyatanya hingga kini aparat penegak hukum tak pernah menindaklanjuti. Kalau didesak selalu
diberi alasan bahwa kebakaran hutan akibat El Nino. Padahal fakta menunjukkan peristiwa itu
terjadi karena perbuatan manusia, bukan alam. Lebih jauh ia juga menilai pernyataan-pernyataan
pemerintah seputar masalah kebakaran hutan tidak menggambarkan upaya-upaya yang terencana
dan sistematis. Tetapi hanya pada tataran normatif, tanpa sedikit pun menyentuh masalah
subtansi penyebab kebakaran hutan, yaitu pembakaran lahan sebagai akibat aktivitas konversi
hutan. Dengan demikian Walhi memang sangat meragukan bahwa pemerintah telah siap untuk
mengantisipasi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan. Padahal publik memerlukan gambaran
utuh tentang rencana tersebut (Kompas 20/9/1999).
Lebih lanjut menurut Dr Daniel Murdiyarso, Ketua Program IC-SEA (Global Change Impacts
Centre for Southeast Asia) mengatakan bahwa respons pemerintah Indonesia saat ini hanya
menangani simptomnya, bukan penyebabnya. Kesimpulan lain dari studi yang melibatkan
banyak lembaga penelitian, menunjukkan kebakaran hutan dan asap sangat erat kaitannya
dengan pengelolaan lahan di Indonesia (Kompas, 6/7/1999). Ahli kebakaran hutan dari Institut
Pertanian Bogor, Dr Ir Bambang Hero Saharjo MAgr bahkan menilai bahwa pemerintah terlihat
tidak serius menangani permasalahan kebakaran hutan. Bambang memberi contoh mengenai
kebijakan zero burning (pembukaan lahan tanpa bakar) yang sudah dikeluarkan sejak tahun 1995
tersebut, tidak pernah diimplementasikan di lapangan (Kompas, 23/7/1999).
Kontribusi Perkebunan Sawit pada Kebakaran Hutan 1997-1998
Berdasarkan data-data yang ada, memang penyebab kebakaran hutan bukanlah merupakan sebab
tunggal. El Nino yang selama ini dianggap sebagai satu-satunya penyebab utama kebakaran
hutan, bukanlah pemicu adanya api. El Nino hanya membuat kondisi hutan rentan terhadap api.
Perkebunan sawit dianggap sebagai pihak pemberi kontributor terbesar pada kejadian kebakaran
hutan 1997-1998 tersebut. Beberapa argumen yang diungkapakan berdasarkan fakta berikut ini.
Antara lain adalah:
 Dari hasil pemantauan CRISP (The Singapore Center for Remote Sensing)

tercatat bahwa di tahun 1997, diperkirakan ada 1,5 juta ha. areal telah
terbakar di Sumatra dan 3 juta ha. di Kalimantan. Menurut kesimpulan CRISP
sebagian besar kebakaran terjadi di daerah dataran rendah yang berdekatan
dengan sungai dan jalan, hutan di areal pegununangan tidak tersentuh api
pada tahun itu (Barber & Schweithelm, 2000, 11). Daerah dataran rendah
merupakan areal yang sesuai untuk lokasi perkebunan, baik itu HTI atau
perkebunan sawit.
 Dari kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan luas area
kebakaran perkiraan 1.500.000 ha. di Sumatra & Kalimantan, kurang lebih
675.000 ha. adalah areal perkebunan. Diketahui pula bahwa 46% titik
hotspot kebakaran berada di lokasi perkebunan, terutama di perkebunan
sawit (Eric Wakker, 1998).
 Hasil deteksi satelit terakhir menunjukkan, titik-titik itu di atas 90 persen
berasal dari hutan yang dikonversi. Dari ketiga lokasi kebakaran yang
ditangkap oleh titik-titik hot spot yang terjadi di Kalimantan, yaitu di lokasi
hutan rawa gemuk (peat swamp), hutan rawa-rawa (wetland) dan hutan
dataran rendah, WWF menemukan bahwa sebagian besar titik hot spot
tersebut ditemukan di lokasi hutan dataran rendah. Kebakaran diduga kuat

terjadi sebagai akibat pembukaan lahan/land clearing perkebunan sawit (Eric
Wakker, 1998). .
 Ada 176 perusahaan, diantaranya 133 perkebunan yang dianggap
bertanggung jawab. Selain 28 perusahaan HTI, dan 15 perusahaan pembuka
lahan transmigrasi (Eric Wakker, 1998).
 Pada Bln. September 1997, Menteri Pertanian pada waktu itu, Baharsja,
memperkirakan bahwa 5.600 ha. perkebunan sawit telah rusak (JP 2/9/97).
Kemudian pada waktu Oktober 1997, ia menyatakan bahwa kebakaran telah
mempengaruhi 122.000 ha. areal perkebunan, dimana 33.000 ha. pada lahan
yang diland clearing, dan yang benar-benar perkebunan ada 89.000 ha.
Kemudian 45.000 ha. adalah areal perkebunan sawit yang berusia 1-5 tahun
(JP 8/10/97). Mengikuti ucapan menteri lingkungan pada waktu itu, Juwono
Sudarsono yang mengatakan bahwa 160.000 ha. hutan dan kebun yang telah
rusak akibat kebakaran hutan di Kaltim thn 1998, 65 % dikarenakan oleh
perusahaan land clearing (Eric Wakker, 1998).
 Dari data yang dikeluarkan oleh Kozijn, bahwa di Palembang, HTI
(perkebunan tanaman industri) menyumbangkan kurang lebih 25 % dari
kebakaran. Secara tidak langsung, perusahaan ini berkontribusi pada
tindakan arson (tindakan pembakaran kebun oleh penduduk/pegawai sbg
akibat ketidakkepuasan atas kebijakan tertentu). Kontribusi kebakaran hutan
hingga 50 % diberikan oleh aktivitas pembakaran yang dilakukan oleh
perusahaan, karena proses pembukaan lahannya (Eric Wakker, 1998).

Data-data diatas dapat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kebakaran hutan
dengan perkebunan sawit. Keterkaitan itu mengarah pada aktivitas perkebunan sawit yang
banyak berhubungan dengan tindakan pembakaran. Pembakaran merupakan proses pembukaan
lahan yang umum dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit. Biasanya perusahaan
mengerjakan perusahaan kontraktor atau pekerja individu yang dianggap berpengalaman untuk
melakukan pembukaan lahan. Sebelum pembakaran, pekerja melakukan pengukuran dan
memberi batasan yang jelas. Untuk pembakaran utama, pohon berdiameter diatas 40 cm.
ditebang maka dibutuhkan waktu seminggu untuk mengeringkannya. Kemudian setelah itu
dilakukan pembakaran pada minggu berikutnya. 2 minggu setelah pembakaran, buldozer
dikerahkan untuk mengatur/menyingkirkan kayu-kayu yang belum terbakar seutuhnya lalu
dilakukan pembakaran kedua (Eric Wakker, 1998). Selain itu ternyata diketahui juga bahwa
penjalaran kebakaran hutan dapat melalui jalan atau batas perkebunan sawit. Sebab jalan/batas
tersebut ditumbuhi rumput yang menjadi media pembakaran yang cepat selama musim kering
terjadi (Potter & Justin Lee, 1999, 24).
Selain itu ada faktor-faktor lain yang menyebabkan perkebunan sawit dihubungkan dengan
fenomena kebakaran hutan pada tahun 1997-1998, yaitu alasan mengapa perkebunan sawit
tersebut melakukan pembakaran. Antara lain yaitu:
1. Faktor Ekonomi. Dikemukakan oleh Frans J. Daywin, bahwa pembukaan lahan
dengan metode pembakaran lahan/land clearing seperti diungkapkan diatas,
memang dianggap lebih menguntungkan dari pada menggunakan pola
pembukaan lahan tanpa bakar. Tanpa alat mekanik berat, keahlian khusus,
murah, dan cepat.bisa menghemat hingga 50 % dari cara tanpa bakar (Suara
pembaruan, 21/11/1997).

2. Faktor Kebijakan. Dari sisi kebijakan bahwa terdapat Surat Keputusan
Direktur Jendral PHPA No. 47/Kpts/DJ.VI/97 tentang petunjuk teknis
Pembakaran terkendali dan Surat Keputusan Direktur Jendral Perkebunan No.
38/KB 110/DJ. BUN/05/97 tentang petunjuk teknis pembukaan lahan tanpa
pembakaran untuk pengembangan perkebunan, merupakan peluang bagi
pengusaha perkebunan besar untuk melakukan lans clearing dengan
pembakaran. SK Dirjen PHPA No. 47/Kpts/DJ.VI/97 merupakan legalisasi
pembukaan lahan dengan pembakaran terkendali, dengan syarat-syarat
tertentu dalm pelaksanaannya yang tentu saja sulit untuk diawasi oleh
petugas. Seperti pembakaran hanya dilakukan bila tingkat kekeringan bahan
bakar sekitar 5-10%, juga kecepatan angin maksimum 3 meter/detik,
temperatur suhu harus 15-20 ° celsius, dsb. Kemudian SK Dirjen Perkebunan
No. 38/KB 110/DJ. BUN/05/97 tentang petunjuk teknis pembukaan lahan
tanpa pembakaran untuk pengembangan perkebunan yang berisi tahapan
dan tata cara pembukaan lahan tanpa bakar (Hakim Basyar, 1999, 94). Sekali
lagi aturan ini juga susah untuk diawasi di lapangan pengerjaannya atau
setidak-tidaknya menimbulkan dorongan untuk kolusi.
3. Faktor Pengeloaan Tindakan Preventif Kebakaran. Ada 2 hal yang penting,
yaitu :
1. Tehnik pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning) seperti
diungkapkan dalam SK Dirjen Perkebunan No. 38/KB 110/DJ.
BUN/05/97, operasionalisasinya dianggap memakan beaya yang
mahal, apabila dibandingkan dengan tehnik pembukaan lahan dengan
pembakaran. Karena selain membutuhkan alat berat yang dinilai lebih
mahal sekitar 125 % untuk areal hutan, dan 40% lebih mahal untuk
daerah padang rumput/ilalang. Juga menimbulkan resiko hama yang
tinggi (babi hutan, tikus dll), karena proses pembukaan lahan tanpa
bakar tidak mematikannya. Lalu nilai investasi kemampuan pekerja
dan alat berat yang tinggi (Eric Wakker, 1998). Di Malaysia tehnik ini
bisa berjalan karena keterbatasan lahan, tenaga buruh mahal sehingga
lebih memilih untuk menginvestasikan pada alat mekanikal dan
pekerja terdidik, dan persaingan antar perusahaan tidak seketat di
Indonsesia sehingga ada pos dana yang dialokasikan oleh pengusaha.
2. Dalam pembakaran lahan, para pekerja/kontraktor tidak membagi
lahan yang dibakarnya ke dalam wilayah bakar yang apinya mudah
dikontrol, sehingga tidak menjadi tak terkontrol. Dari perusahaan yang
mempunyai luas 15. 0000 ha., oleh kontraktor/pekerja dibagi dalam
2.000 wilayah bakar. Idealnya seperti di Malaysia dengan menggunkan
zero burning, hanya 250 ha. agar api tetap dapat dikontrol (Eric
Wakker, 1998).

Perkembangan Perkebunan Sawit
Pada rentang waktu 1911 – 1957 dan 1957 – 1980’an , perkebunan kelapa sawit[6] tidak
menimbulkan permasalahan lingkungan yang berarti, karena pengendalian perluasannya masih
dapat dikontrol oleh pemerintah ketika waktu itu. Terlebih lagi tidak banyak peran yang
dimainkan dalam usaha ini, hanya perusahaan perkebunan milik negera. Jumlah luasannya juga
terbatas. Seperti contohnya data tahun 1967, luasan PTP hanya 65.573 ha, perkebunan swasta
hanya 40.235 ha, sehingga total berjumlah 105.808 ha. Tahun 1980, luasan PTP meningkat

menjadi 199.538 ha, perkebunan swasta 88.847 ha., sehingga total 139.103. Nah, kalau
dibandingkan dengan data pada tahun 1997 misalnya, luas PTP hanya 443.008 ha, sedangkan
luas perkebunan swasta berlipat menjadi 1.194.521 ha. dan perkebunan rakyat menjadi 824.298
ha., sedangkan jumlah luas total menjadi 2.461.827 ha. Dari data ini, dapat menunjukan pada
kita bahwa terjadi lonjakan cukup besar pada luasan yang dikelola perusahaan swasta, dan terjadi
kemandegan pada lahan yang dikelola oleh PTP yang kemudian berimplikasi pula kepada aktor
yang bermain. Demikian pula muncul lahan perkebunan baru yang dikelola oleh masyarakat.
Aktor yang bermain dalam bidang inipun juga bertambah, selain PTP, perusahaan swasta juga
terlibat, dan tentu saja masyarakat sendiri yang tergabung dalam koperasi, kelompok tani, dan
golongan lain.[7] Perusahaan swasta saja terdapat 10 perusahaan.yang bergerak dalam bidang
persawitan pada tahun 1995-1997 (Hakim Basyar, 1999, 34-37).
Tentu saja dengan jumlah dan luasan yang terbatas, perkebunan kelapa sawit pada waktu itu
tidak menimbulkan dampak negatif yang luas. Apalagi hanya terlokalisir di Sumatra Utara dan
Aceh saja. Permasalahan yang timbul karena perkebunan sawit yang tumbuh ketika banyak
menyangkut permasalahan sosial. Seperti misalnya digusurnya hak –hak tanah masyarakat oleh
pemerintah Belanda secara represif. Demikian pula dengan didatangkannya buruh-buruh
perkebunan dari Jawa ke Sumatra untuk menangani perkebunan-perkebunan Belanda di Sumatra,
termasuk perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara dan Aceh.
Ada beberapa alasan mengapa lonjakan luas perkebunan menjadi melonjak dari thn.1980,
dengan luas total 139.103 menjadi 2.461.827 ha. di tahun 1997. Antara lain alasan tersebut
adalah: Minyak sawit merupakan komoditi ekspor dunia yang dibutuhkan. Permintaan dunia
akan minyak kelapa sawit (CPO) semakin meningkat. Permintaan pasar dunia akan minyak
kelapa sawit/CPO semakin meningkat. Permintaan dunia akan import CPO, dari tahun 1993
sebesar 9.386.000 ton, kemudian tahun 1994 10.757.000 ton, tahun 1995 sebesar 10.475.000 ton,
tahun 1996 sebesar 10.698.000 ton meningkat menjadi 12.259.000 ton di tahun 1997, dapat
menjadi bukti bahwa kebutuhan dunia akan CPO tetap stabil dan cenderung meningkat. (EIA,
1997). Negara-negara Eropa menggunakan minyak sawit lebih banyak digunakan sebagai bahan
pembuat kosmetik (lipstik), margarin, dan sabun. Diperkirakan negara-negara Asia akan tetap
menjadi negara konsumen terbesar minyak sawit ini beberapa tahun mendatang. Keadaan ini
tentu saja memotivasi investasi dalam usaha persawitan.
Alasan lain adalah daya tarik Indonesia selain dianggap masih mempunyai lahan yang luas untuk
membuka perkebunan kelapa sawit juga mempunyai tenaga kerja yang murah pada waktu itu
(1997). Tidak kurang ada 43 perusahaan Malaysia yang bekerja sama dengan perusahaan sawit
di Indonesia, dengan total lahan yang digunakan 1,1 juta ha. (Eric Wakker, 1998). Kemudian
adanya permintaan dari perusahaan untuk pembukaan lahan sebesar 32 juta ha. pada tahun 1999.
Dibandingkan dengan Malaysia yang luas lahan sawitnya terbatas dengan produksi 8.660.000
ton/tahun pada tahun 1998, indonesia mempunyai potensi lebih baik karena mempunyai daerah
yang lebih luas. Oleh karena itu banyak pengusaha Malaysia yang memperluas usahanya di
Indonesia (Sumatra & Kalimantan).
Alasan yang selanjutnya adalah adanya dorongan kebijakan pemerintah yang didukung dana oleh
IMF & Bank Dunia pada tahun 80’an, untuk menggalakan ekspor agribisnis Indonesia. Ekspor
kelapa sawit dianggap sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.

Ini terbukti ketika pada tahun 1998, IMF memberikan bantuan dan pinjaman $ 43 miliar, yang
didalamnya untuk mendukung program-program agribisnis, termasuk didalamnya perkebunan
sawit. Kebijakan ini mendorong para investor dalam negeri dan asing untuk berlomba-lomba
menanamkan usahanya di bidang perkebunan sawit di Indonesia. Kebijakan ini kemudian
berimbas pada usaha perkebunan sawit yang semakin marak, dan pengusahaannya semakin tidak
terkendali di daerah. Kebijakan Bank Dunia seperti ini memang sudah berlaku lama. Sejak dari
tahun 1984 hingga 1994, Bank Dunia telah mengucurkan dana pinjaman bank senilai 1,4 milyar
US $ untuk menciptakan 2,9 juta ha areal perkebunan di dunia. Sehingga tidak mengherankan
timbul tudingan bahwa sebenarnya bank Dunialah sebagai aktor utama pengrusakan hutan di
dunia (WRM, 13/7/1998). Kelemahan ini nampak pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
Dephutbun. Pemerintah sendiri pada tahun 1995 memperkirakan di luar Jawa tersedia 40 juta ha
lahan yang siap untuk dikonversi menjadi budi daya tanaman komersil (termasuk sawit). Pada
tahun 1997, pemerintahan Suharto bahkan mempunyai rencana untuk meningkatkan areal
perkebunan sawit menjadu 5,5 juta ha di tahun 2000, dengan estimasi produksi 7,2 juta ton di
tahun 2000 dan 10,6 juta ton di tahun 2005 (Anne Casson, 1999).
Kemudian alasan yang lain adalah bahwa sampai saat ini, oleh pemerintah usaha perkebunan
kelapa sawit ini dianggap sebagai usaha untuk mengatasi kemiskinan dan usaha pemerataan
hasil-hasil pembangunan. Tercatat bahwa pada tahun 1998 lebih dari 2 juta orang bekerja pada
bidang ini (Anne Casson, 1999). Kemudian usaha perkebunan kelapa sawit ini oleh pemerintah
daerah dianggap juga sebagai salah satu pemasukan kas daerah lewat pajak. Secara nyata hal ini
nampak dari kebijakan Dephutbun yang mengalokasikan sekitar 3,1 juta ha. di Indonesia timur
untuk konversi lahan menjadi perkebunan sawit, dan 1 juta areal diperuntukan untuk investasi
asing (Eric Wakker, 1998). Hal tersebut juga tercermin dari kenaikan pajak CPO yang dilakukan
oleh pemerintah sebesar 5% (kemudian turun menjadi 3%) (Kontan, 12/3/ 2001).
Pencegahan Kebakaran Hutan: Upaya Partisipatif ?
Tindakan usaha pencegahan kebakaran hutan akan saya kaitkan dengan konsep self governance
yang dikemukakan oleh Elinor Ostrom. Menurut Vayda, api yang menyebabkan kebakaran hutan
tersebut, setidaknya ada 2 akibat yaitu, api yang tak terkontrol (wildfire) dan api yang terkontrol
(controlled burn). Dari hasil penelitian Vayda di Taman Nasional Kutai, ia menemukan bahwa
tidak ada bukti kegiatan perladangan yang dilakukan oleh petani setempat menghasilkan api
yang tak terkontrol (wildfire). Dengan kata lain proses pembakaran untuk ladang dapat terkontrol
oleh mereka (Vayda,1999,10). Selain itu mereka juga mempunyai tindakan pencegahan agar api
dapat selalu dapat dikontrol dan meluas ke tempat lain. Selain membuat koridor pembatas yang
jelas, pengaturan waktu bakar, penggalian tanah sepanjang batas, juga penyusunan kayu yang
akan dibakar merupakan beberapa cara yang digunkan oleh masyarakat lokal. Selain itu ternyata,
di dalam pengelolaan mereka untuk mengontol api dalam rangka membakar lahan, mereka
mengkonsolidasikan diri ke dalam institusi, baik yang sudah ada (adat), maupun yang dibentuk
baru untuk mengatur regulasi pengontrolan pembakaran lahan. Aturan-aturan diperlukan dan
diberlakukan oleh institusi sosial tersebut untuk mengatur para anggotanya. Dan aturan-aturan
tersebut disepakati bersama. Dalam aturan tersebut juga terdapat sangsi-sangsi yang
diberlakukan bagi anggota yang melanggarnya. Seperti misalnya ketika bakaran ladang
seseorang merusak ladang orang lain. Sangsi akan diberlakukan pada dirinya dengan
memberlakukan denda untuk ganti rugi bagi yang dirugikan. Yang menarik untuk diketahui

bahwa masyarakat lokal belajar akan pengalaman mereka ketika menghadapi kebakaran hutan
pada tahun 1982-1983. Dengan kejadian kebakaran hutan pada tahun 1982-1983, mereka
menjadi berhati-hati untuk senantiasa mengontrol api pembakaran ladangnya. Mereka
beradapatasi dengan permasalahan-permasalahan yang dirasakan aktual dan mencari solusinya.
Biasanya kebakaran hutan yang disebabkan pembakaran lahan di areal perladangan dikerjakan
oleh para peladang/petani luar yang tidak mempunyai pengetahuan memadai tentang
pengontrolan api (Vayda, 1999, 13).
Dari hasil penelitian Vayda diatas dapatlah kita simpulkan bahwa sebenarnya masyarakat lokal
sebagai pemilik common property[8], lebih berhasil mengontrol api pembakaran lahannya
dibandingkan perusahaan perkebunan HTI & sawit. Tetapi dampak yang dirasakan oleh
masyarakat lokal lebih besar dibandingkan para pengusaha tersebut.[9] Usaha pengontrolan api
tersebut merupakan salah satu tindakan preventif/pencegahan yang cukup efektif. Perusahaan
sawit & HTI sebagai pemilik private property, ternyata gagal mengelola sumber daya alamnya.
Terbukti ada 176 perusahaan yang diajukan ke pengadilan oleh pemerintah. Negara sebagai
pemilik state property juga dianggap gagal melakukan kontrol terhadap api yang membakar
hutan-hutan milik negara. Sebetulnya pada tahun 1996 IFFM (Indonesian Forest Fire
Management)[10] melakukan berbagai usaha preventif kebakaran hutan di Bukit Soeharto,
Kalimantan. IFFM & Dephut mengenalkan berbagai alat yang digunakan untuk usaha
pemadaman kebakaran hutan. Selain itu mereka juga memberikan pelatihan cara penggunaan dan
cara-cara pemadaman kebakaran hutan. Masyarakat di tingkat desa dimobilisasi untuk mengikuti
program-program ini. Tetapi masyarakat lokal tidak tertarik akan program tersebut (Vayda,
1999, 15). Sehingga kemudian program tersebut dianggap gagal dalam mengelola/mengontrol
api.
Disini nampak bahwa keberhasilan pengelolaan masyarakat lokal dalam mengontrol api sebagai
upayanya untuk mengelola lahannya, terjadi. ketika aktor pengguna utama sumber daya tersebut
dilibatkan dalam proses pembuatan dan penadaptasian aturan yang didalamnya terdapat elemen
partisipasi, strategi yang tepat, menampung tujuan anggotanya, monitoring, dan resolusi
konfliknya (Ostrom, 1999). Biasanya yang menjadi permasalahan atas usaha pengorganisasian
diri oleh masyarakat lokal adalah tidak dikenalinya mereka oleh para pembuat kebijakan dan
ancaman akan otonomi mereka dalam melakukan tindakan pengelolaan. Selain itu ada beberapa
masalah lain yaitu keterbatasan kemampuan pemimpin yang dikombinasikan dengan
peningkatan populasi dalam kelompok, dan komersialisasi produk hutan dan teknologi yang
membuat laju kemungkinan deforestasi (Ostrom, 1999).
Untuk itu memang usaha pencegahan kebakaran, pemerintah perlu untuk membuat kemitraan
yang sejajar dengan institusi-institusi lokal tersebut. Atau pemerintah mendukung dan
memfasilitasi usaha-usaha pengorganisasian masyarakat lokal tersebut. Kemudian pemerintah
mengakomodasi peraturan-peraturan yang disepakati di tingkat lokal tersebut dalam tingkat
regional dan nasional untuk lebih mengefektifkan keputusannya (Ostrom, 1999). Pemerintah
seharusnya dapat memfasilitasi usaha pengorganisasian diri masyarakat lokal tersebut dengan
mendukungnya dalam memberikan informasi yang akurat tentang kebakaran hutan dan cara
pemadamannya, mendukung kondisi kondusif dimana para anggotanya dapat terlibat secara
aktif, menjadi wasit/pemberi solusi konflik antar anggota, dan mendukung mekanisme
monitoring serta pemberian sangsinya (Ostrom, 1999). Setidaknya ada 7 prinsip yang harus

diperhatikan oleh sebuah institusi agar tetap eksis, yaitu batas kepemilikan lahan yang jelas,
kesesuaian, kesepakatan kolektif, monitoring, sangsi, mekanisme resolusi konflik, otonomi, dan
pengelolaan pemadaman api yang multiple (Ostrom, 1999).
Bagi pemerintah dengan mengefektifkan instusi lokal ini dapat secara jelas memonitor bahaya
api, asap, dan kebakaran yang sulit dijangkau oleh mereka. Kemudian masyarakat lokal dapat
juga mengawasi usaha-usaha pencegahan kebakaran hutan yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan tersebut. Sejauh mana pengimplementasian tehnik zero burning dapat dilaksanakan.
Sehingga kemudian fungsi monitoring tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja tetapi juga
masyarakat lokal. Selain fungsi kontrol, dengan otoritas penuh mereka dapat dengan cepat
memadamkannya di daerah-daerah yang sulit terjangkau oleh pemerintah dan dalam waktu yang
cepat.
Penutup
Melihat kebakaran hutan tahun 1997-1998, nampak bahwa pemerintah sebenarnya tidak siap
menghadapi kemungkinan tersebut. Meskipun Indonesia mempunyai pengalaman panjang
tentang kebakaran hutan, pemerintah tidak belajar dari pengalaman tersebut. El Nino yang
dianggap sebagai penyebab utama kebakaran hutan, ternyata bukanlah sebab utama, tetapi hanya
sebagai pemberi kondisi yang mendukung kejadian kebakarannya saja. Demikian pula dengan
peladang berpindah yang menjadi tertuduh. Ternyata mereka mempunyai konsep pengelolaan
kontrol api pembakaran lahan yang baik. Jadi yang menjadi permasalahan utama kebakaran
hutan adalah sistem pengelolaan hutan/sumber daya yang memperhatikan prinsip-prinsp
keberlanjutan. Permasalahan kebakaran hutan sangatlah terkait dengan pengelolaan hutan yang
tidak menekankan pada asas keberlanjutan. Ada beberapa asas dikenal dalam bidang lingkungan
hidup (LH), atau yang disebut sebagai asas-asas pengelolaan LH. Pada Pasal 3 UU No. 23 Tahun
1997 (UUPLH) dikemukakan tiga asas, yaitu asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan
dan asas manfaat. Demikian pula yang terjadi dengan perkembangan perkebunan sawit. Dalam
parkteknya perkembangan perkebunan sawit tidak memperhatikan azas-azas pengelolaan yang
keberlanjutan/kesinambungan. Usaha perkebunan sawit lebih banyak didasarkan pada
kepentingan-kepentingan ekonomi kelompok tertentu saja. Pemerintah sebagai pengelola utama
sumber daya alam negara demi rakyat banyak, tidak memperhatikan azas-azas ini. Hal ini
nampak dari berbagai kebijakan-kebijakan, operasionalisasi, dan kerja monitoring-nya yang
tidak mengarah pada azas-azas tersebut. Demikian pula dalam hal pengelolaan tindakan preventif
kebakaran hutan. Usaha preventif/pencegahan kebakaran hutan yang partisipatif, strategi yang
tepat, monitoring, dan resolusi konfliknya ada dalam institusi-instusi lokal yang mempunyai
pengetahuan lokal dalam pencegahan kebakaran hutan. Pemerintah dapat mengakomodasi
peraturan-peraturan yang disepakati di tingkat lokal tersebut dalam tingkat regional dan nasional
untuk lebih mengefektifkan keputusannya.

Daftar Pustaka
Anne Casson, The Hesitant Boom: Indonesia Oil Palm Sub-Sector in an Era of Economic Crisis
& Political Change, CIFOR, 1999.

Barber, Charles Victor & James Schweithelm, Trial By Fire, Forest Fire and Forestry Policy in
Indonesia’s Era of Crisis and Reform, Kerjasama World Resources Institute dgn WWF Indonesia
& Yayasan Telapak, 2000.
Basyar, Hakim, Perkebunan Kelapa Sawit (Blunder Ketiga Kebijakan Sektor Kehutanan), E-law
dan Cepas, Jakarta, 1999.
Elinor Ostrom, Self Governence and Forest Resources, CIFOR, Februari, 1999.
Environment IA, The Orangutan in Crisis, 1997.
Eric Wakker, Forest Fire & the Expansion of Indonesia’s Oil Palm Plantation Report, AID
Environment & WWF,1998.
Feeny, David, Framework for Understanding Resource Management on the Commons, dalam
Community Management & Common Property of Waste Coastal Fishereis in Asia & The
Pacific: Concepts, Methods & Experiences, JCZARM, manila, 1994.
Potter, Lesley & Justin Lee, Oil Palm in Indonesia: Its Role in Forest Conversion and the Fires of
1997/98, WWF Indonesia Forest Fires Project, Jakarta, 1999.
Vayda, Andrew, Finding causes of the 1997-98 Indonesian Forest Fires: Problem and
Possibilities, WWF Indonesia Forest Fires Project, Jakarta, 1999.
WWF Germany & WWF Indonesia, “Lipstick Traces in the Rainforest” , Palm Oil, Crisis and
Forest Loss in Indonesia: The Role of Germany: A Forest Campaign Project of WWF Germany
in collaboration with WWF Indonesia, January 1998.

Surat kabar:
Kontan, Perang Melawan Konsumen, Edisi 24, 12 Maret 2001.
WRM, Tree Plantations generate unemployment, No.3 , 28 Novemver 1999.
Kompas, Sabtu, 7 Agustus 1999 , Kebakaran Hutan Meluas, Ekspor Minyak Sawit Diboikot
Kompas, 5 Oktober 1999, Kendalikan Dampak Kebakaran Hutan pada Satwa
Suara Pembaruan Daily, Singapura Alami Kerugian .S$ 104 Juta Akibat Asap
Suara Pembaruan Daily,13 maret, 1998, El Nino Dahsyat 1997-1998: Dalang Berbagai Bencana
Kompas, 20/9/1999. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia:
Segera Hentikan Konversi Hutan

Kompas, Jumat, 6 Agustus 1999, Soal Kebakaran Hutan
Pemerintah Hanya Tangani Gejala Bukan Penyebab
Kompas, Jumat, 23 Juli 1999, Kebakaran Hutan tidak Serius Ditangani

[1] El Nino adalah sebuah peristiwa Alam yang menunjukan adanya proses proses pemanasan
permukaan air laut di kawasan ekuator di Samudera Pasifik sebelah timur, memang diyakini oleh
para pakar dunia sebagai dalang terjadinya bermacam bencana. Perubahan muka air laut di
Pasifik tersebut dapat mempengaruhi dan mengubah pola cuaca dunia. Akibatnya, di beberapa
negara bisa terjadi hujan di atas normal sementara di negara lainnya terjadi kekeringan parah. El
Nino tahun 1997-1998 lebih dahsyat dibandingkan dengan peristiwa besar terakhir 15 tahun lalu
dan sekaligus yang terbesar yang pernah dicatat. Peristiwa El Nino dapat diprediksi 2-15 tahun
akan kembali lagi. Fenomena El Nino pernah terjadi pada tahun 1982-1983, bersamaan dengan
peristiwa kebakaran hutan pada waktu itu (SP, 13/3/1998).
[2] Sebagai ilustrasi lain, dari data ringkasan kejadian kebakaran hutan thn. 1997 oleh
Dephutbun, tercatat ada 54.331 ha. areal taman nasional (20,6 %), 17.238 ha. suaka alam (6,5%),
dan 653 ha. areal hutan yg terbakar (0,247 %) dari luas kebakaran 293.992 ha. Data luas
kebakaran thn 97 yang dikeluarkan oleh Dephutbun banyak diragukan oleh para ahli lain, krn
luas kebakaran yang diungkapkan sangat kecil. Bandingkan dengan luas kebakaran yang hasil
perkiraan Walhi, WWF, dan Institusi lain (CRISP, CIFOR, World Bank dll) yang kisaran angka
luasannya antara 5 juta –10 juta ha ( Hakim Basyir, 1998) .
[3] Fenomena El-Nina, yaitu mendinginnya suhu laut pasifik timur & menghangatnya suhu di
Indonesia . Tekanan udara di darwin, Australia rendah & Tahiti, hawai tinggi. Fenomena Indeks
Osilasi Selatan positif ibi kemudian mengakibatkan awan mudah terbentuk di wilayah udara Ind.
Sehinggamudah sekali turun hujan dengan lebat. El-Nina ditandai dengan huajan yang lebat dan
musim hujan yg panjang (Suara Pembaharuan, 13 Desember 1997).
[4] Luas area total yang rusak akibat kebakaran hutan menurut estimasi Bappenas, 1999.
Sumatra 1.756.000 ha., Irian Jaya 1.000.000, dan Kalimantan 6.500.000. ha. Disusul daerah lain
Jawa 100.000 ha., Sulawesi 400.000 ha. (Barber & Schweithelm, 2000).
[5] Baca lebih lanjut Barber & Schweithelm, dalam box The politic of data Manipulation: How
much Of East Kalimantan Burned during 1997-1998 dalam Trial By Fire, 2000, hal. 14.
[6] Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) sendiri berasal dari Afrika Utara dan mulai
dikenal di Indonesia mulai tahun 1848, ketika ditanam di Kebun Raya Bogor. Sejak tahun 1911,
mulai diusahakan komersialiasasi dalam skala perkebunan di Sumatra Utara oleh perusahaan
Franco-Belgia Corporation Socfin. Pada tahun 1939, Sumatra Utara dan Aceh telah menjadi
eksportir dan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Adanya perang kemerdekaan hingga
tahun 1968, Indonesia telah tertinggal oleh Malaysia yang pada waktu itu mendominasi dunia.
Dan perluasan dan usaha perkebunan kelapa sawit digalakkan kembali pada tahun 1980’an oleh
pemerintah (Anne Casson, 1999,12)

[7] Banyaknya aktor yang terlibat dalam kepemilikan perkebunan sawit diyakini juga merupakan
faktor yang menyebabkan kegagalan dalam melakukan pemadaman kebakaran hutan. Dengan
banyaknya aktor yang terlibat, menyebabkan penangan kebakaran hutan menjadi sporadik dan
tidak terkordinasi dengan baik (Barber & Schweithelm, 2000, 9)
[8] Pemahaman common property ini lebih mengacu kepada pelibatan pengguna dalam usaha
penggaliannya yang bersifat kerjasama (joint use) yaitu tanah. Meskipun tanah tersebut adalah
milik pribadi, tetapi pengelolaannya melibatkan sesama pengguna seperti apa yang sudah
diungkapkan oleh vayda. Dalam pengelolaan common property ini ada mekanisme akses yang
disepakati bersama dan level eksploitasi yang diatur bersama (David Feeny, 1994).
[9] Tercatat bahwa luasan total kerusakan lahan akibat kebakaran hutan, areal pertanian seluas
3.843.000 ha. sedangkan areal perkebunan & HTI seluas 307.000 ha.Berdasarkan sumber
Bappenas 1999.. Juga jumlah kerugiannya sekitar $ 586 juta. (Barber & Schweithelm, 2000, 10).
[10] Proyek kerjasama antara pemerintah Jerman dan Dephut.

Share this:
 Click to share on StumbleUpon
 Click to share on Reddit


Related
Perubahan bentuk produksi Orang Rimba; Strategi Adaptasi..?In "tulisan"
Tehnik-tehnik Berburu Suku Penan Benalui di Taman Nasional Kayan MentarangIn "tulisan"
Mencermati Kasus Konflik Etnis di Kalimantan Barat : Tantangan Untuk Mempertahankan
Perdamaian BerkesinambunganIn "Social"

About tijok

Orang biasa yang tertarik dengan kajian budaya.....
‹ The Root of Green Budgeting
Tehnik-tehnik Berburu Suku Penan Benalui di Taman Nasional Kayan Mentarang ›
Tagged with: indonesia, opini
Poste