Ekonomi pembangunan UMKM pembangunan UMKM

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahaesa karena
atas rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nyalah kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini yang diajukan sebagai
pemenuhan tugas mata kuliah ekonomi pembangunan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari yang diharapkan. Untuk itu, kami
berharap adanya kritik, saran, dan usulan sehingga kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya
dapat lebih baik.
penyusunan makalah ini dapat terselesaikan atas bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Ruly selaku Dosen mata kuliah ekonomi pembangunan
2. Bapak saeful Muhjab selaku asisten dosen mata kuliah ekonomi
pembangunan
3. Rekan-rekan kelompok
4. Dan juga rekan-rekan mahasiswa kelas A pendidikan ekonomi
akuntansi angkatan 2015.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada pihak yang

terlibat dalam penyusunan makalah ini. Diharapkan makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, 30 November
2016
1

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1.

Latar Belakang..........................................................................1

1.2.

Rumusan Masalah......................................................................1


1.3.

Tujuan........................................................................................ 2

1.4.

Manfaat..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
2.1.

KEBIJAKAN PUBLIK: JENIS, ANALISIS DAN LINGKUP....................3

2.1.1

Definisi Kebijakan Publik......................................................3

2.1.2.


Jenis-jenis Kebijakan............................................................4

2.1.3.

Analisis Kebijakan Publik.....................................................7

2.1.4.

Lingkup Kebijakan Publik.....................................................8

2.2. PERANAN PEMERINTAH DALAM PARADIGMA BARU
PEMBANGUNAN................................................................................... 9
2.3.

USAHA RAKYAT MANDIRI UNTUK PEMBANGUNAN....................15

BAB III PENUTUP.................................................................................. 25
3.1.

KESIMPULAN............................................................................ 25


3.2.

SARAN..................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 26

2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun belakangan ini, persoalan-persoalan
yang dihadapi pemerintah semakin kompleks akibat dari krisis-krisis
yang terjadi, persoalan-persoalan kompleks yang dihadapi pemerintah
ini haruslah segera dapat diatasi. Kondisi yang kian kompleks ini pada
akhirnya menempatkan pemerintah dan lembaga tinggi lainnya berada
pada pilihan-pilihan kebijakan yang sangat sulit. Jika pengambilan
kebijakan dilakukan secara tepat maka akan membantu pemerintah
dan rakyat keluar dari krisis tersebut, sebaliknya jika pengambilan

kebijakan tidak dilakukan secara tepat maka akan memperburuk
situasi yang berdampak buruk bagi pemerintah dan masyarakat, oleh
karena itu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan diperlukan
pengambilan kebijakan secara tepat , sehingga kebijakan tersebut
tidak menimbulkan masalah-masalah baru.
Pengambilan suatu kebijakan tentunya memerlukan analisis
yang cukup jeli, dengan menggunakan berbagai model serta
pendekatan yang sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan.
Untuk bisa mengambil kebijakan yang sesuai dengan permasalahannya
maka sangat perlu untuk mengerti dan memahami berbagai jenis
kebijakan dan analisis yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
pengambilan suatu kebijakan.
Dalam perekonomian suatu bangsa, pemerintah sangatlah
berperan penting dalam pembangunan dan kemajuan negara, timbul
atau terselesaikannya suatu permasalah tergantung pemerintahnya
yang mampu mengambil kebijakan secara tepat, dalam masalah
pembangunan masyarakatpun sangat berperan penting dalam
membantu memajukan perekonomian negara, salah satunya dengan
usaha rakyat mandiri melalui UMKM (usaha mikro, kecil, menengah)
yang dianggap sebagai cara yang efektif dalam membantu

meningkatkan perekonomian negara.

1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kebijakan publik ?
2. Apa saja jenis, analisis, dan lingkup kebijakan publik ?

1

3. Apa peranan pemerintah dalam paradigma baru pembangunan ?
4. Apa usaha rakyat mandiri untuk pembangunan ?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kebijakan publik.
2. Untuk mengetahui jenis, analisis dan lingkup kebijakan publik.
3. Untuk mengetahui peranan pemerintah dalam paradigma baru
pembangunan.
4. Untuk mengetahui usaha rakyat mandiri untuk pembangunan.

1.4. Manfaat
1. Memberikan pengetahuan mengenai

publik.
2. Memberikan pengetahuan mengenai
kebijakan publik.
3. Memberikan pengetahuan mengenai
paradigma baru pembangunan.
4. Memberikan pengetahuan mengenai
pembangunan.

2

pengertian kebijakan
jenis, analisis, dan lingkup
peranan pemerintah dalam
usaha rakyat mandiri untuk

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. KEBIJAKAN PUBLIK: JENIS, ANALISIS DAN
LINGKUP
2.1.1 Definisi Kebijakan Publik

Kebijakan Publik merupakan suatu aturan-aturan yang dibuat
oleh pemerintah dan merupakan bagian dari keputusan politik
untuk mengatasi berbagai persoalan dan isu-isu yang ada
dan berkembang di masyarakat. Kebijakan publik juga merupakan
keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk melakukan pilihan
tindakan tertentu untuk tidak melakukan sesuatu maupun
untuk melakukan tidakan tertentu.
Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum
suatu negara sering terjadi berbagai permasalahan. Negara yang
memengang penuh tanggung jawab pada kehidupan rakyatnya
harus
mampu
menyelesaikan
permasalahan-permasalahan
tersebut. Kebijakan publik yang dibuat dan dikeluarkan oleh negara
diharapkan dapat menjadi solusi akan permasalahan-permasalahan
tersebut. Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang
dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul
dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi
pemerintah

dalam
rangka
penyelenggaraan
pemerintahan
(Mustopadidjaja, 2002).
Untuk memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik
sebagai solusi permasalahan yang ada pada masyarakat, kita harus
memahami dulu apa dan seperti apa kebijakan publik itu sendiri.
Berikut adalah definisi-definisi kebijakan publik menurut para ahli
kebijakan publik.
Thomas R. Dye (1981)
Kebijakan publik adalah apa yang tidak dilakukan maupun
yang dilakukan oleh pemerintah. Pengertian yang diberikan Thomas
R. Dye ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Selain itu,
kajiannya yang hanya terfokus pada negara sebagai pokok kajian.

3

Easton (1969)
Mendefinisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilainilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya

mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah yang dapat
melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan
tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh
pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai
kepada masyarakat.
Anderson (1975)
Kebijakan publik adalah kebijakan kebijakan yang dibangun
oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, di mana
implikasi dari kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan publik selalu
mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan
yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakantindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang
benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa
yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang
diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan
pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk
tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya
dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan
yang bersifat mengikat dan memaksa.


2.1.2.Jenis-jenis Kebijakan
a. Kebijakan Distributif
Kebijakan disrtibutif adalah kebijakan dan program-program
yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk mendorong
kegiatan di sektor swasta atau kegiatan-kegiatan masyarakat yang
membutuhkan intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi atau
sejenisnya dimana kegiatan tersebut tidak akan berjalan tanpa
adanya campur tangan pemerintah tersebut.

4

Kebijakan distributif memberikan barang dan jasa kepada
anggota organisasi, termasuk juga membagikan biaya barang/jasa
diantara anggota organisasi. Misalnya kebijakan pemerintah dalam
pendidikan dan pembangunan jalan raya.

Subsidi yang diberikan oleh pemerintah biasa mengambil
beberapa bentuk Cash atau Inkind (hadiah, pinjaman dengan bunga
lunak, penurunan pajak, dsb.).

5

a) Subsidi yang diberikan oleh pemerintah dapat dimaksudkan
untuk mendapatkan efek:


Positif (masyarakat mau
dikehendaki pemerintah).



Negatif (masyarakat tidak melakukan aktivitas yang tidak
disukai pemerintah).

b) Persoalan
distributif.

yang

muncul

melakukan

dalam

aktivitas

pembuatan

yang

kebijakan



Asumsi yang dipakai selama ini seolah antara kebijakan
distributif yang satu dengan yang lain tidak berhubungan.



Dalam kenyataannya anggaran pemerintah sangat
terbatas, sehingga kebijakan distributif yang dibuat oleh
pemerintah dapat bersifat zero sum game dimana
pembuatan kebijakan yang satu akan berimplikasi pada
hilangnya kebijakan yang lain.

c) Bentuk-bentuk kebijakan distributif.


Subsidi pupuk, pestisida dan alat-alat pertanian agar
petani mau menanam padi unggul.



Penyediaan alat kontrasepsi gratis.



Raskin



Kartu sehat.



Kompensasi BBM.



Beasiswa

b. Kebijakan Regulatoris

6

Kebijakan regulatoris adalah kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah dengan cara menyediakan seperangkat larangan,
keharusan, atau memberi kejelasan agar masyarakat memperoleh
peluang dan jaminan untuk bisa menjalankan tugas, pekerjaan,
rutinitas, ataupun rencana lainnya. Regulasi ini mengikat para pihak
terkait dengan substansi regulasi dengan memunculkan sanksi bila
terjadi pengingkaran atas ketentuan yang telah dibuat jenis-jenis
kebijakan regulatoris biasanya berupa produk hukum atau peratu
ran administratif yang diawasi dan dijalankan secara terbuka.
Semua pihak subjek hukum yang terkait memiliki konsekuensi atas
pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, pemerintah membuat
seperangkat kebijakan untuk mengatasi membengkaknya kelompok
miskin dengan meningkatkan kesempalan kerja maka dibuatkan
regulasi yang mendorong investasi. Pada saat yang sama dibuatkan
peraturan tentang Harga Eceran Tertinggi untuk produk yang
dikonsumsi masyarakat secara luas. Melalui kebijakan tersebut
diharapkan kelompok miskin memiliki pendapatan dan sekaligus
memerlukan daya beli yang tinggi.
Pada dua kebijakan regulatif ini bisa bertolak belakang
sehingga kemungkinan maksud baik itu tidak bisa terlaksana.
Penetapan HET untuk mendapatkan stabilitas harga yang
berimplikasi pada tingkal permintaan agregat, yang memiiiki
dampak pada tingkat produksi dan kesempatan kerja. Sementara
kenaikan kesempatan kerja akan mendorong timbulnya permintaan
yang dapat meningkatkan tekanan inflasi yang berdampak buruk
pada stabilitas harga.
Kebijakan regulatoris bisa juga dilakukan pada skala
Kebijakan Mikro Sektor. Agar kemiskinan berkurang secara nyata,
maka penciptaan kesempatan kerja harus jauh lebih tinggi daripada
peningkatan angkatan kerja dan untuk menciptakan stabilisasi
harga pada barang-barang yang meniadi penyebab tingginya angka
inflasi. Hal ini mengandung arti bahwa penumbuhan ekonomi harus
memusatkan perhatian pada sektor sumber-sumber utama nafkah
bagi kaum miskin atau memproduksi barang-barang dan jasa-jasa
yang dikonsumsi oleh mereka, yaitu pangan. Dengan demikian,
perlu adanya kebijakan regulatoris pada sektor pentanian, misalnya
subsidi pupuk, bantuan teknologi pentanian, dan sejenisnya.

c. Kebijakan Redistributif

7

Kebijakan redistributif adalah kebijakan yang dilakukan oleh
badan pemerintah untuk melakukan perubahan alokasi sumbersumber dari kelompok tertentu kepada kelompok lainnya. Dengan
melakukan itu, pemerintah mengontrol ulang distribusi sumber
daya dengan memilih target baru yang memiliki posisi strategis
bagi perubahan yang lebih mendasar.
Bentuk kebijakan redistributif dapat berupa program
affirmative action, desegregasi, deregulasi, dan lainlain. Kebijakan
redistributif biasanya kontroversial dan mengganggu kenyamanan
suatu
kelompok
dalam
masyarakat
sehingga
berpotensi
menciptakan konflik yang membutuhkan pengondisian terhadap
ekses yang kemungkinan muncul
Sebuah kenyataan, bahwa pembangunan yang dilakukan
saat ini telah menciptakan tingkat kesenjangan yang tinggi, hal ini
ditandai dengan semakin besarnya gini ratio. Diketahui pula bahwa
tingkat keparahan kemiskinan meningkat, walaupun jumlah orang
miskin berkurang. Beberapa penjelasan teiah diketahui, bahwa
keadaan tersebut diduga karena perubahan teknologi berbasis
keahlian yang mengurangi partisipasi tenaga kerja, disusul dengan
pelemahan serikat-serikat pekerja, liberalisasi perdagangan, dan
tingkat upah yang rendah. Untuk mengurangi ekses lebih jauh,
dibutuhkan kebijakan pemerataan pendapatan melalui program
padat karya dan memperbesar subsidi pada kelompok miskin.
Sebagaimana diketahui, bahwa globalisasi beserta turunannya tidak
hanya menjadi penyebab kesenjangan yang lebih besar di antara
beberapa negara, tetapi juga menyebabkan kesenjangan yang lebih
besar di dalam suatu negara. Pertumbuhan perekonomian yang
terjadi bersifat semu karena tidak diikuti oleh peningkatan produksi
lokal dan produktivitas tenaga kerja.
Pemerintah harus menemukan kebijakan-kebijakan yang
mengmangi kesenjangan dan juga memberi kontribusi untuk
penumbuhan atau setidaktidaknya secara sektoral. Salah satu
bidang penting dari pembaruan ini adalah kebijakan redistribusi
yang mengubah alokasi sumber daya publik melalui perubahan pola
pembiayaan dan perpajakan.
Banyak negara memiliki subsidi tersembunyi atau subsidi
besar ataupun pengeluaran perpajakan yang menguntungkan kaum
kaya, misalnya di Pakistan, subsidi untuk jasa-jasa dinikmati oleh
kaum kaya ditambah 4% dari seluruh PDB. Perkiraan yang
berhubungan dengan India, bahkan menyatakan jumlah yang lebih
besar, yaitu mendekati 7% dari PDB. Jasa-jasa dengan harga murah
8

dan pro kaum kaya meliputi irigasi, listrik, dan pendidikan tinggi.
Kebijakan harga yang tepat untuk jasa-jasa ini akan menimbulkan
penghasilan tambahan yang dapat digunakan untuk subsidi silang
layanan pokok bagi kaum miskin.

2.1.3.Analisis Kebijakan Publik
Kebijakan perlu dianalisis untuk melihat efektivitasnya.
Analisis kebijakan merupakan proses kajian yang mencakup lima
komponen, yakni a) perumusan masalah, b) peramalan/kebijakan,
c) rekomendasi/adopsi, d) pemantauan/ implementasi, dan e)
evaluasi.
Setiap komponen dapat dikembangkan menjadi komponen
lain melalui prosedur metodologi tertentu. Sebagai contoh, prosedur
peramalan akan menghasilkan masa depan kebijakan, sedangkan
rekomendasi akan melahirkan aksi kebijakan. Pemantauan akan
menghasilkan efektivitas yang lebih baik dari kebijakan serta
evaluasi akan melahirkan informasi tentang capaian kinerja
kebijakan beserta efektivitasnya. James Anderson (1979), sebagai
pakar kebijakan publik menetapkan proses kebijakan pubiik sebagai
berikut.
a. Formulasi Masalah (Problem Formulation) Masalah apa yang
harus segera diatasi, apa penyebabnya, dan indikator kunci
mana yang membutuhkan penanganan sebagai prioritas.
b. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation) Strategi apa yang
harus digunakan dalam menjalankan program. Kapan dan dari
mana sumber pendanaan diadakan serta pihak mana saja yang
harus dilibatkan dalam pelaksanaannya.
c. Penentuan Kebijakan (Policy Adoption) Bagaimana urutan
pengerjaan program kebijakan, siapa yang layak menjadi
leading sector. Bagaimana mengukur capaian luaran kebijakan,
serta pihak mana sajakah yang perlu dilibatkan dalam
pengawasan.
d. lmplementasi(Implementation) Metode dan teknologi seperti
bagaimana yang bisa mendukung implementasi. Apakah semua
pelaku kebijakan sudah berjalan sesuai dengan Tupoksinya dan
bagaimana pengawasan bisa berjalan sesuai dengan rencana.
e. Evaluasi (Evaluation) Menentukan tingkat efektivitas serta
kemungkinan dampak ikutan dari kebijakan yang sudah
digulirkan. Kebijakan seperti apa lagi yang harus digulirkan

9

untuk memperkuat, memelihara, atau mengembangkan hasil
capaian yang sudah diraih.
Michael Howlet dan M. Ramesh (1995) menyatakan
pandangan yang memiliki kesamaan. Kesamaan terletak pada
pentingnya
analisis
untuk
keseluruhan
proses
dengan
menggunakan teori sistem, yakni input-processoutput. Demikian
pula Michael Howiet dan M. Ramesh menunjuk lima tahapan dalam
proses kebijakan yang hampir sama.

2.1.4.Lingkup Kebijakan Publik
Lingkup studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup
berbagai bidang dan sektor, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya,
hukum, dan sebagainya. Dilihat dari hierarkinya, kebijakan publik
dapat bersifat nasional, regional, ataupun lokal. Produk kebijakan
yang dimaksud, terdokumentasikan dalam undang-undang,
peraturan
pemerintah,
peraturan
presiden,
peraturan
pemerintahdaerah /provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah
kabupaten/kota, dan keputusan walikota/bupati.
Walaupun representasi dan kebijakan publik adalah dokumen
perundang-undangan, namun pada dasarnya kebijakan publik
adalah perwujudan tindakan, dengan demikian, bukan hanya
kumpulan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik
semata.Ruang Lingkup Studi Kebijakan Publik.



Policy Agenda (Peenyusunan Agenda Kebijakan)



Policy Formulation (Formulasi Kebijakan)



Policy Adoption (Adopsi Kebijakan)



Policy Implementation (Implementasi Kebijakan)



Policy Evaluation (Penilaian Kebijakan)



Policy Advoasy (Anjuran Kebijakan) dan Policy
Recommendation (Rekomendasi Kebijakan)

10

2.2. PERANAN PEMERINTAH DALAM PARADIGMA
BARU PEMBANGUNAN
Keterlibatan pemerintah secara dominan menjadi fenomena
umum dalam proses pembangunan ekonomi di negara-negara
berkembang. Walaupun keterlibatan bercirikan intervensi melebihi
kapasitas dan kerap mendorong terjadinya distorsi ekonomi.
Namun, hampir di seluruh negara peran seperti itu masih
dibutuhkan. Senyatanya, distorsi yang dimaksud didorong oleh
maksud melindungi sebagian masyarakat dari keserakahan rezim
ekonomi yang cenderung tidak melihat pembangunan ekonomi
sebagai usaha kolektif yang hasilnya pun bisa dinikmati oleh
keseluruhan rakyat.
Paradigma baru seyogianya memposisikan peran pemerintah
sebagai faktor yang tetap penting, namun tidaklah harus dominan.
Posisi pemerintah sebagai regulator, motivator, fasilitator, inisiator,
dan pelindung untuk tumbuhnya kreativitas dan efisiensi
perekonomian. Harus diakui, bahwa masih perlu pengendalian
dalam proses pengalokasian sumber daya dan tidak mungkin
seluruhnya diserahkan pada mekanisme pasar dan sektor privat.
Dalam sistem perekonomian yang cenderung liberal, peran
pemerintah sebagai komplemen dari mekanisme pasar. Untuk
menuju peran proporsionalnya, perlu dukungan kerangka hukum
(regulatory framework) dan pengawasan publik melalui lembagalembaga yang ada. Namun faktanya, tidak seluruh negara bisa
berada pada peran yang sama karena senyatanya mereka berada
dalam koridor konstitusi yang berbeda sehingga peran
"pemerintahannya" bisa berbeda satu sama lain, walaupun
kecenderungan perekonomiannya sudah mengarah pada ekonomi
liberal. Sebagaimana Tiongkok, walaupun perekonomiannya sudah
menjurus pada liberalisme yang pandangan politiknya tetap sosialis
komunis. Dengan demikian, peran pemerintahnya dalam
perekonomian ada pergeseran bila dibandingkan dengan masa lalu.
Peranan pemerintah dilihat dari perspektif peningkatan daya
saing dalam perekonomian global diwujudkan dalam bentuk, antara
lain a) menciptakan struktur kelembagaan yang padu dengan
persaingan pasar dan menyokong pembaruan makro ekonomi; b)
menjamin kepastian hukum untuk meyakinkan investor; c)

11

merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang mendukung
pengembangan perusahaan swasta; d) menjaga stabilitas nilai tukar
dan e) melaksanakan pengendalian pendidikan yang mendukung
produktivitas.
Peranan pemerintah dilihat dari perspektif peningkatan daya
kreasi masyarakat guna mendukung masyarakat madani yang kuat,
antara lain a) menjalankan program pemberdayaan masyarakat; b)
mendukung
penguatan
pilar
masyarakat
madani;
c)
menyelenggarakan sistem penjaminan kesehatan dan pendidikan
yang bermutu; d) menjalankan fungsi mediasi antar pemeran
pemangku kepentingan dalam masyarakat madani yang kuat; e)
mendorong tumbuhnya lembaga dan kelembagaan ekonomi
masyarakat untuk kemandirian ekonomi, dan f) menginisiasikan
keuangan inklusi.
Untuk mendukung peran tersebut perlu diciptakan stabilitas
sosial yang berdampingan dengan pertumbuhan ekonomi guna
mendukung sistem kesejahteraan sosial yang berkeadilan. Ada
empat hal penting yang harus dilakukan dalam konteks ini, yakni a)
merumuskan
perencanaan
pembangunan
partisipatif;
b)
mempercepat reformasi birokrasi; c) merumuskan kebijakan fiskal
yang berpihak; dan d) melaksanakan desentralisasi.
pertama, paradigma pembangunan yang berpusat pada
manusia, baik teori demokrasi maupun teori-teori pemberdayaan
mengajarkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan esensi
dasar
dalam
proses
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan berkeadilan. Oleh karena itu, perencanaan yang
perlu dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif,
yaitu pola perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta
masyarakat bukan saja sebagai objek, melainkan sekaligus sebagai
subjek
pembangunan.
Dengan
demikian,
nuansa
yang
dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari
bawah (bottom-up approach).
Conyers (1991), menegaskan tiga alasan mengapa
pendekatan partisipatif ini penting, yakni a) partisipasi masyarakat
merupakan representasi kebutuhan dan sikap masyarakat; b)
masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program
pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan
perencanaannya; dan c) bentuk pengakuan hak demokrasi, bila
masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyatakat sendiri.

12

Kedua, percepatan reformasi birokrasi, dilakukan dengan
mengawali pengembangan kapasitas kelembagaan diikuti dengan
merancang ulang sistem dan susunan kelembagaan. kemudian
mereformasi prosedur dan mekanisme kerja dengan merumuskan
kebijakan-kebijakan baru yang mendorong terbangunnya budaya
baru dalam pelayanan publik didukung oleh penerapan strategi
baru imbal kerja yang berbasis pada kinerja.
Ketiga, penciptaan kebijakan fiskal yang berpihak. Kebijakan
fiskal harus menjadi mekanisme untuk menciptakan distribusi
ekonomi yang berkeadilan dan berpihak pada kepentingan
masyarakat kebanyakan. Kebijakan fiskal merupakan suatu
kewajiban negara untuk menjamin hak-hak rakyat dengan
menjalankan mekanisme distribusi sumber daya di tengah-tengah
masyarakat. Kebijakan fiskal merefleksikan arah dan prioritas
negara
untuk
memobilisasi
pendapatan
dan
untuk
mengeluarkannya
sehingga
berdampak
pada
redistribusi
pendapatan dan pengurangan kemiskinan.
Keempat, untuk mendekatkan layanan yang efektif maka
harus diupayakan untuk membagi kewenangan dari pusat ke
daerah.
Sebagaimana disampaikan Mark Turner & David Hulme
(1997), desentralisasi diyakini dapat mengarahkan pembuatan
keputusan yang lebih efektif dan efisien, khususnya dalam bidang
a) rencana berbasis daerah akan lebih valid, detil, dan up to date
dalam perencanaan pembangunan; b) koordinasi interorganisasi; c)
eksperimen dan inovasi; d) motivasi personal; dan e) pengurangan
beban kerja, pembagian, dan pemerataan.

DESENTRALISASI
Desentralisasi sebagai suatu cara membagi kewenangan dari
pusat ke daerah merupakan bentuk populer belakangan ini di
negara berkembang. Namun, tidak berarti semua urusan dan
kewenangan bisa didelegasikan. Karena pemerintah pusat harus
menguasai kepentingan nasional sehingga mempunyai kewenangan
mengatur sistem pemerintahan termasuk daerah.
Desentralisasi membutuhkan prasyarat agar bisa berjalan
optimal karena tidak serta mena desentralisasi ini membuat
segalanya menjadi baik untuk semua kondisi. Dalam banyak kasus
di negara ketiga, desentralisasi lebih banyak membuka peluang
13

terjadinya penyimpangan kekuasaan berupa korupsi dan manipulasi
secara merata.
Smith (1985) dalam “Governance, Administration, &
Development; Making The State Wor ", Mark Turner dan David
Hulme (1997) melalui artikel “Decentralization Within The State;
Good Theory Poor Practice", telah memberikan peringatan bahwa,
"Desentralisasi di negara berkembang gagal meningkatkan
pelayanan publlk yang menjadi tujuan utama desentralisasi.
Desentralisasi memang menunjukkan hasilnya, tetapi membuat
rakyat tidak percaya, khususnya dengan kegiatan desentralisasi
demokrasi politik karena tidak berkorelasi langsung dengan
kesejahteraan rakyat."
Namun, sejelek apapun desentralisasi tetap masih memiliki
urgensi dalam membangun budaya birokrasi yang berorientasi pada
pelayanan prima. Selain itu, bagi negara modern, desentralisasi
adalah
keniscayaan
yang
mutlak
dilakukan,
mengingat
perekonomian suatu negara tidak dapat dikelola oleh kekuatan
terpusat saja karena menimbulkan ketidakefisienan.
Implementasi
desentralisasi
adalah
dilaksanakannya
desentralisasi fiskal. Dengan desentralisasi fiskal, berpotensi untuk
memotong hambatan berupa panjangnya birokrasi sistem
penganggaran, serta terakomodasi permasalahan daerah dalam
sistem penganggaran pembangunan daerah.
Beberapa kajian tentang pelaksanaan desentralisasi fiskal
memberikan banyak informasi tentang dampak negatif dari
desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal memberikan hasil yang
lebih buruk dari sentralisasi fiskal karena adanya perbedaan potensi
sumber penghasilan antardaerah serta alasan lain, misalnya
munculnya ketidakpastian dan keberlangsungan fiskal. Dengan
demikian, alih-alih bisa meningkatkan kesejahteraan, sering kali
desentralisasi fiskal bahkan menghambat laju usaha UMKM.
Untuk itu, ada dua kemungkinan huhungan antara
desentraiisasi fiskal dan kesejahteraan rakyat, khususnya
keberlangsungan usaha rakyat, yakni sebagai berikut.
a. Apabila desentralisasi fiskal diarahkan pada bentuk peningkatan
jumlah raihan dan penambahan jenis pajak daerah dan retribusi
daerah tanpa ada peningkatan efektivitas pengeluaran maka
akan mengakibatkan kenaikan biaya operasional. Akibatnya,
iklim usaha akan memburuk atau semakin tidak kondusif. Hal ini

14

akan membuat pengusaha daerah kehilangan kesempatan
untuk meraih manfaat dari globaiisasi perdagangan dan
investasi. Pada situasi ini, masyarakat akan kehilangan
kesempatan
memperoleh
pekerjaan
dan
berkurang
kemampuannya
dalam
membiayai
penyelenggaraan
pembangunan. Dengan demikian, kemampuan masyarakat
untuk membiayai pendidikan dan kesehatan semakin rendah.
Efeknya adalah rendahnya pasokan kualitas angkatan kerja.
b. jika desentralisasi fiskal lebih diarahkan pada bentuk
peningkatan efektivitas pengeluaran (dana dialokasikan
berdasarkan prioritas kebutuhan daerah) daripada penambahan
jenis pajak dan retribusi sehingga biaya transaksi menurun,
maka iklim usaha membaik atau semakin kondusif. Dalam
kondisi seperti ini, kemampuan masyarakat untuk ikut
berkontribusi dalam pembangunan ekonomi (bisnis) dan
penyelenggaraannya semakin besar sehingga diharapkan
semakin
banyaknya
pengusaha
daerah
yang
berpeluang/mendapat kesempatan meraih manfaat dari
globalisasi perdagangan dan investasi.
Hal ini akan memberikan implikasi positif terhadap kapasitas dan
kemampuan masyarakat untuk membiayai pengembangan
sektor-sektor ekonomi. Namun, penerimaan daerah berasal dari
pajak dan retribusi daerah. Apabila hal ini tidak dinaikkan, baik
jumlah maupun jenis maka jumlah yang dikeluarkan pun sulit
meningkat. Padahal, belanja rutin pembangunan cenderung
terus meningkat. Kedua-duanya harus terjaga harmonisasinya
karena pada dasarnya desentralisasi fiskal harus memiliki
dampak positif bagi penciptaan iklim usaha yang lebih baik,
begitupun sebaliknya. ltulah peran senyatanya dari pemerintah,
eksekutif dan legislatif dalam pembangunan daerah.
Hal di atas dapat dijelaskan lebih tegas lagi, bahwa iklim usaha
yang semakin kondusif akan memberi pengaruh positif terhadap
perekonomian daerah, dalam bentuk: 1) percepatan pertumbuhan
ekonomi daerah; 2) penurunan tingkat pengangguran; 3) peningkatan
upah tenaga kerja; 4) pengentasan kemiskinan; dan 5) peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD). Hal semacam ini dimungkinkan karena
kegiatan bisnis makin semarak sejalan dengan penurunan biaya
transaksi. Namun tidak demikian halnya, apabila dunia usaha tidak
optimal menjalankan perannya, maka yang terjadi adalah kerugian
bagi semua pihak.
Ciri-ciri Desentralisasi
Menurut Smith (1985), Desentralisasi memiliki ciri-ciri :
15

a. Penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi
pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah
otonom
b. Fungsi pemerintahan yang diserahkan dapat dirinci atau
merupakan fungsi yang tersisa (residual function).
c. Penerima wewenang adalah daerah otonom
Pembagian desentralisasi menurut JHA Logemann
JHA Logemann membagi desentralisasi menjadi dua macam, yaitu :
a. Desentralisasi Jabatan (dekonsentrasi), yaitu pelimpahan
kekuasaan dari alat kelengkapan negara yang lebih atas kepada
bawahannya guna memperlancar tugas dari pemerintah.
b. Desentralisasi Ketatanegaraan (Politik), yaitu pelimpahan
kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerahdaerah otonom dalam lingkungannya.Dalam desentralisasi
politik, rakyatdengan menggunakan dan memanfaatkan saluransaluran tertentu (lembaga perwakilan) ikut serta di dalam
pemerintahan, dengan batas dan wilayahnya masing-masing.
Sehubungan
dengan
itu,
dibedakan menjadi 2, yaitu

desentralisasi

ketatanegaraan/politik

a. Desentralisasi Fungsional (fungsi) adalah pelimpahan
kekuasaan untuk mengatur dan mengurusi fungsi tertentu.
Batas pengaturannya adalah jenis fungsi.
b. Desentralisasi Teritorial (kewilayahan) adalah penyerahan
kekuasaan untuk mengatur dan menguruh urusannya sendiri,
batas pengaturannya adalah daerah. Di mana daerah otonom
tersebut dapat menentukan kebijakan daerahnya sendiri, kecuali
dalam bidang :


Politik luar negeri



Pertahanan



Keamanan



Peradilan



Moneter



Fiskal

16



Agama

Kelebihan Desentralisasi
Meningkatkan pembangunan di daerah-daerah tertinggal dalam suatu
negara. Mengapa ? Karena dapat mendorong daerah tersebut untuk
mandiri dan secara otomatis memajukan pembangunan nasional.
Kelebihan lainnya :
1. Dapat mengurangi penumpukan pekerjaan di pemerintahan
pusat.
2. Dapat lebih memuaskan masyarakat di daerah karena sifatnya
lebih langsung.
3. Memperkecil kemungkinan terjadi kesewenang-wenangan dari
pemerintah pusat.
4. Mengurangi birokrasi yang buruk karena tiap kebutuhan dapat
segera dilaksanakan.
5. Ketika ada masalah yang mendesak, daerah tidak perlu
menunggu instruksi lagi dari pemerintah pusat.
Kelemahan Desentralisasi
Perlu adanya kontrol dari pemerintahan pusat agar tidak terjadi
beragam penyelewengan di daerah karena tidak sesuai dengan
kebijakan
pemerintah
pusat.
Jika kontrol dari pemerintah pusat ke daerah itu kurang, bukan tidak
mungkin timbul permasalahan baru.
Akan muncul kekurangan lain di balik sistem ini, yaitu akan
menyebabkan euforia yang berlebih dimana wewenang tersebut hanya
mementingkan kelompok dan golongan serta dapat digunakan untuk
mengambil keuntungan oknum maupun pribadi (karena sulit dikontrol
pusat).
Kelemahan lainnya :
1. Diperlukan biaya yang lebih banyak.

17

2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam
kepentingan dan daerah lebih mudah terganggu.
3. Mempersulit koordinasi dikarenakan struktur pemerintahannya
bertambah kompleks (besarnya organ-organ pemerintah).
Contoh Desentralisasi

Misalnya di dalam instansi dinas yang berada di suatu daerah, dinas
pendidikan mengatur pola pendidikan, dinas perikanan yang mengatur
pengelolaan potensi perikanan yang ada di daerah tersebut, dinas
pertanian yang mengatur bagaimana pengelolaan pertanian dapat
berjalan dengan baik, dan lain sebagainya.

2.3. USAHA RAKYAT MANDIRI UNTUK PEMBANGUNAN
Usaha rakyat merupakan simplikasi dan small bussines
enterprises yang Indonesia kenal sebagai UMKM. Namun, usaha rakyat
memiliki konotasi lebih luas, yaitu sebagai usaha yang dikembangkan
di luar format state dan bebas dalam mengembangkan diri sesuai
kapasitas yang dimilikinya.
Usaha rakyat merupakan bentuk nyata dari ekonomi kerakyatan
yang sudah menjadi wacana konstitusi sejak lama. Mubyarto
menyatakan, bahwa
"Ekonomi kerakyatan menunjuk pada sila ke-4 Pancasila yang
menekankan pada sifat demokratis sistem ekonomi Indonesia. Dalam
demokrasi ekonomi Indonesia, produksi tidak hanya dikerjakan oleh
sebagian warga, tetapi oleh semua warga dan hasilnya dibagikan
kepada semua masyarakat secara adil dan merata (penjelasan Pasal
33 UUD 1945).”
Ekonomi kerakyatan dari sisi mikro disebut sebagai usaha
rakyat. Ekonomi kerakyatan menekankan pada pelibatan masyarakat

18

dalam proses ataupun pemanfaatan hasil secara berkeadilan. Apabila
proses tersebut hanya menghasilkan kesenjangan maka ekonomi
kerakyatan belum menjadi komitmen bulat penyelenggara negara.
Sri Edi Swasono melihat ekonomi kerakyatan dalam perspektif
sistem ekonomi yang merupakan turunan dari Pancasila sebagai
ideologi negara sebagaimana diungkapkan berikut:
“Secara normatif, landasan idill sistem ekonomi Indonesia adalah
Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, sistem ekonomi Indonesia
adalah sistem ekonomi yang berorientasi pada Ketuhanan yang Maha
Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme);
Kemanusiaan yang adil dan beradab(tidak mengenal pemerasan atau
eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas
kekeluargaan,
sosio-nasionalisme
dan
sosio-demokrasi
dalam
ekonomi); Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan (mengutamakan kehidupan ekonomi
rakyat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial
(persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama bukan
kemakmuran orang-seorang). “
Dari berbagai definisi tersebut, secara sederhana dapat dikatakan,
bahwa pada dasarnya ekonomi kerakyatan bertumpu pada keterlibatan
dan peran serta seluruh lapisan dan elemen masyarakat dalam proses
perencanaan. pelaksanaan, dan penerimaan hasil kegiatan ekonomi
yang berkeadilan sehingga hasil pembangunan juga dapat dinikmati
secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Usaha rakyat di berbagai negara ditempatkan dalam posisi yang
penting. Di negara berkembang, usaha rakyat menjadi solusi
keterbatasan kesempatan kerja selain menjadi simpul distribusi
barang, baik dari hulu ke hilir atau sebaliknya. Sedangkan di negara
maju, peran sektor privat ini lebih penting dan strategis lagi. Hal ini
disebabkan adanya pembatasan sektor usaha negara yang beroperasi
dalam pelayanan kesejahteraan.

Formal dan Informal
Usaha rakyat dikelompokkan ke dalam bentuk yang dilegitimasi
oleh hukum formal (usaha sektor formal) dan berjalaan tanpa legilitas
formal (sektor informal). Hubungan usaha sektor informal dan formal
tersebut terkadang diposisikan sebagai substitusi, suplemen, ataupun
tahapan. Namun umumnya, usaha sektor informal selalu berada pada
posisi subordinat (Sadler dan Beryl (2003); Portes (2004)). Hal ini
19

mengakibatkan usaha sektor informal dipandang sebagai sistem
ekonomi bayangan yang mempunyai posisi tawar-menawar yang
rendah, Nugroho dalam Casper (2015)
Sadler dan Beryl (2003), menunjuk posisi subordinat sebagai
akibat melemahnya sektor informal itu sendiri. Secara internal, usaha
sektor informal mempunyai keterbatasan perlindungan hukum dan
fasilitas kerja, serta pengorganisasian. Secara eksternal, usaha sektor
informal berhadapan dengan hambatan struktural, terutama apabila
transaksi berhubungan dengan institusi formal, seperti rekanan bisnis,
perbankan, ataupun pemerintah.
Sektor informal berbeda dengan sektor formal, menurut lLO
(1972) sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor
tersebut: 1) kemudahan untuk masuk (ease of entry), 2) kemudahan
untuk mendapatkan bahan baku; 3) sifat kepemilikan; 4) skala
kegiatan; 5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi; 6) tuntutan
keahlian; serta 7) deregulasi dan kompetisi pasar.
Keberadaan usaha sektor informal yang berdampingan dengan
usaha sektor formal, khususnya di perkotaan menimbulkan terjadinya
fenomena saling bersaing, namun saling menguatkan. Sektor informal
kerap kali mengisi keterbatasan yang dimiliki sektor formal, begitupun
sebaliknya. Namun bagaimanapun hubungan keduanya, fakta yang
tidak bisa ditepis adalah kemampuan sektor informal dalam
menyediakan kesempatan kerja kepada angkatan kerja yang ada.
Salah satu survei mencatat, di Asia saja angkatan kerja yang
terserap di sektor ini mencapai 60% dari total tenaga kerja.
Sethurahman (1980) juga telah melakukan studi komprehensif tentang
sektor informal di Indonesia. Dalam studinya, ia menemukan kontribusi
pekerja sektor informal pada bidang manufaktur sebesar 48%.
Keseluruhan pekerja sektor informal adalah 53,8% dari total jumlah
pekerja. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa sektor
informal mampu menyerap tenaga kerja jauh lebih banyak daripada
sektor formal. Todaro (1994) menyatakan, bahwa usaha sektor informal
sangat penting untuk dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi
usaha yang besar dan masuk ke dalam sistem perekonomian sebagal
pelaku usaha yang formal.

Usaha Bersama
Keunggulan
sektor
informal
adalah
fleksibilitas
dan
ketangguhannya dalam menghadapi fluktuasi lingkungan, namun
20

memiliki kelemahan legalitas yang sulit diatasi oleh tingkat sosial
mereka. Untuk mengatasinya, perlu diupayakan agar mereka bisa
hidup dalam kelompok dan bersama-sama mengatasi masalah
struktural mereka.
Membangun kelompok kuat dari pengusaha sektor informal dan
formal, membutuhkan kesiapan khususnya dalam memahami konteks
sosialnya. Dalam kaitan dengan itu, dibutuhkan kajian sosiologi
ekonomi, Richard Swedberg (2001), menunjuk sosiologi ekonomi
adalah bagian dari sosiologi yang membahas dan menganalisis
fenomena ekonomi dengan konsep-konsep dan metode-metode
sosiologi.

Wirausahawan Sosial
Richard Cantillon (1755), LE. Say (1803) atau J. Schumpeter
(1934) sudah lama berbicara tentang pentingnya wirausaha. Banyak
orang membicarakan hal lni, namun belum dipahami oleh banyak
orang tentang istilah social entrepreneurship atau Wirausahawan
sosial. Terkesan paradoks, di sisi lain harus."haus uang"dan melupakan
orang lain, sementara kata sosial sering bermakna "peduli orang lain".
Wirausahawan sosial atau social entrepreneurship merupakan
turunan dari entrepreneurship atau kewirausahaan. Akhir-akhir ini,
istilah ini sering digunakan terutama setelah Muhammad Yunus, pendiri
Grameen Bank di Bangladesh mendapatkan hadiah Nobel untuk
perdamaian tahun 2006 dan membuktikan bahwa tidak ada paradoks
tentang istilah itu.
Indonesia belum memberikan perhatian yang serius tentang hal
ini walaupun sudah banyak yang sudah memulainya melalui berbagal
kegiatan, baik kegiatan koperasi, sekolah, atau poliklinik kesehatan.
Kegiatan serupa dimulai seiring dengan perkembangan budaya
masyarakat melalui kelompok kesukuan, ataupun keagamaan.
Misalnya, organisasi Syarikat Dagang Islam didirikan oleh H.
Samanhud: pada tanggal 16 Oktober 1905 di Solo. Saat itu, Syarikat
Islam diresmikan dengan Akte Notaris pada tanggal 10 September
1912 dengan berkedudukan di kota Solo. Syarikat Islam telah
meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu a) asas
Islam sebagai dasar perjuangan organisasi; b) asas kerakyatan sebagai
dasar himpunan organisasi; dan c) asas sosial ekonomi sebagai usaha

21

untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada
dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
Social entrepreneurship memanfaatkan inovasi, sumberdaya,
dan kesempatan untuk mengatasi tantangan sosial dan lingkungan
dengan pendekatan kewirausahaan Fokus usaha diarahkan pada
transtormasi sistem pemberdayaan masyarakat dan menghilangkan
penyebab kemiskinan, ketidakmerataan, kerusakan lingkungan, clan
kemanusiaan.
Alex Nicholls, Oxford University's Skoll Centre, menegaskan batasan.
”A social entrepreneur is someone who recognizes a sosial problem
and uses entrepreneurial principles to organize, create, and manage a
venture to make sosial change....rather than bringing a concept to
market to address a consumer problem, sosial entrepreneurs attempt
to bring a concept to market to address a public problem.”
Social entrepreneurship bukan kegiatan sosial biasa atau quasi
sosial, melainkan harus memasukkan laba sebagai prinsip
perencanaan bisnisnya. Bukanlah organisasi nirlaba karena dari
keuntungan organisasi tersebut dapat mengembangkan dan
membesarkan pemberdayaan kepada masyarakat lebih besar dan luas
lagi. Adapun tujuan utama social entrepreneurship adalah menciptakan
sistem perubahan yang berkelanjutan (sustainable systemschange).
Kunci pentingnya adalah inovasi, berorientasi pada kebutuhan
masyarakat, dan adanya perubahan sistem sosial masyarakat.
Dengan
demikian,
pengertian
sederhana
dari
social
entrepreneur adalah seseorang atau sekelompok orang yang memiliki
kepedulian sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship
untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama dengan
menggarap bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan, dan kesehatan
(healthcare). Jika business entrepreneurs mengukur keberhasilan dari
kinerja keuangannya (keuntungan ataupun pendapatan), maka social
entrepreneur keberhasilannya diukur dari manfaat yang dirasakan oleh
masyarakat.
Social entrepreneurship sudah berkembang di dunia ratusan
tahun
yang
lalu
diawali antara lain oleh Florence Nightingale (pendiri sekolah perawat
pertama) dan Robert Owen (pendiri koperasi) Pengertian social
entrepreneurship sendiri berkembang sejak tahun 1980-an yang
diawali oleh para tokoh, seperti Rosabeth Moss Kanter, Bill Drayton,
Charles Leadbeater, dan Profesor Daniel Bell dari Universitas Harvard
yang sukses dalam kegiatan social entrepreneurship karena sejak

22

tahun 1980 berhasil membentuk 60 organisasi yang tersebar di seluruh
dunia.
Awalnya, social entrepreneurship bisa merupakan kegiatan "nonprofit", namun dalam perkembangannya kegiatan harus berorientasi
pada bisnis (entrepreneurial private -sector business activities).
Keberhasilan legendaris dari Grameen Bank dan Grameen Phone di
Bangladesh adalah salah satu contoh terjadinya pergeseran orientasi
dalam menjalankan karakteristik social entrepreneurship. Hal ini
menjadi daya tarik bagi dunia bisnis untuk turut serta dalam kegiatan
social entrepreneurship karena dapat menghasilkan keuntungan
finansial.
Social entrepreneurs memiliki peranan dalam pembangunan
ekonomi karena dengan kiprahnya mampu memberikan hal-hal
sebagai berikut:
a. menciptakan kesempatan kerja;
b. melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap produksi barang
ataupun jasa yang dibutuhkan masyarakat;
c. menjadi modal sosial; dan
d. meningkatkan kesetaraan (equity promotion)
Pembangunan
ekonomi
seharusnya
ditujukan
memberdayakan manusia (people empowerement) agar
mengembangkan entrepreneurship termasuk pengembangan
entrepreneurship. Kebijakan pemerintah seharusnya ditujukan
mengurangi hambatan-hambatan birokrasi yang. mengarah
menurunnya kegiatan social entrepreneurship.

untuk
dapat
social
untuk
pada

Berbagai tantangan yang dihadapi oleh social entrepreneurs
antara lain adalah masalah pendanaan, pendidikan untuk mereka
yang mampu melahirkan social entrepreneur tangguh dan kurangnya
insentif yang diberikan untuk meringankan beban lembaga-Iembaga
yang bergerak di bidang sosial. Oleh karena itu, social entrepreneurs
harus didukung oleh sosial investor agar inovasinya dapat
diwujudkan.

Hakikat Pentingnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

23

Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Usaha Mikro adalah usaha
produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan
yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang
memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini.

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun
tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.

Adapun kriterianya sebagai berikut:
KRITERIA
N
o.

URAIAN
ASSET

OMZET

1

USAHA MIKRO

Maks. 50 Juta

Maks. 300 Juta

2

USAHA KECIL

> 50 Juta - 500
Juta

> 300 Juta - 2,5 Miliar

3

USAHA
MENENGAH

> 500 Juta - 10
Miliar

> 2,5 Miliar - 50 Miliar

24

Sumber:www.depkop.go.id

Dalam perekonomian Indonesia Usaha Mikro, Kecil Dan
Menengah (UMKM) merupakan kelompok usaha yang memiliki jumlah
paling besar. Selain itu Kelompok ini terbukti tahan terhadap berbagai
macam goncangan krisi ekonomi. Maka sudah menjadi keharusan
penguatan kelompok usaha mikro, kecil dan menengah yang
melibatkan banyak kelompok. Kriteria usaha yang termasuk dalam
Usaha Mikro Kecil dan Menengah telah diatur dalam payung hukum
berdasarkan undang-undang.

Selain berdasar Undang-undang tersebut,dari sudut pandang
perkembangannya Usaha Kecil Dan Menengah dapat dikelompokkan
dalam beberapa kriteria Usaha Kecil Dan Menengah yaitu:


Livelihood Activities, merupakan Usaha Kecil Menengah yang
digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang
lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Contohnya adalah
pedagang kaki lima.



Micro Enterprise, merupakan Usaha Kecil Menengah yang memiliki
sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan.



Small Dynamic Enterprise, merupakan Usaha Kecil Menengah yang
telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan
subkontrak dan ekspor.



Fast Moving Enterprise, merupakam Usaha Kecil Menengah yang
telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan
transformasi menjadi Usaha Besar (UB).

Salah satu peranan UMKM yang paling krusial dalam
pertumbuhan ekonomi adalah menstimulus dinamisasi ekonomi.
Karakternya yang fleksibel dan cakap membuat UMKM dapat
direkayasa untuk mengganti lingkungan bisnis yang lebih baik
daripada perusahaan-perusahaan besar. Sejak krisis moneter yang
diawali tahun 1997, hampir 80% usaha besar mengalami kebangkrutan
25

dan melakukan PHK massal terhadap karyawannya. Berbeda dengan
UMKM yang tetap bertahan di dalam krisis dengan segala
keterbatasannya. UMKM berperan besar dalam mengurangi angka
pengangguran, bahkan fenomena PHK menjadikan para pekerja yang
menjadi korban dipaksa untuk berfikir lebih jauh dan banyak yang
beralih melirik sektor UMKM ini.

Kondisi UMKM di Indonesia

Usaha skala kecil di Indonesia adalah merupakan subyek diskusi
dan menjadi perhatian pemerintah karena perusahaan kecil tersebut
menyebar dimana-mana, dan dapat memberi kesempatan kerja yang
potensial. Para ahli ekonomi sudah lama menyadari bahwa sektor
industri kecil sebagai salah satu karakteristik keberhasilan dan
pertumbuhan ekonomi. Industri kecil menyumbang pembangunan
dengan berbagai jalan, menciptakan kesempatan kerja, untuk
perluasan angakatan kerja agi urbanisasi, dan menyediakan
fleksibilitas kebutuhan serta inovasi dalam perekonomian secara
keseluruhan.

Secara kuantitas, UMKM memang unggul, hal ini didasarkan
pada fakta bahwa sebagian besar usaha di Indonesia (lebih dari 99 %)
berbentuk usaha skala kecil dan menengah (UMKM). Namun secara
jumlah omset dan aset, apabila keseluruhan omset dan aset UMKM di
Indonesia digabungkan, belum tentu jumlahnya dapat menyaingi satu
perusahaan berskala nasional. Data-data tersebut menunjukkan bahwa
UMKM berada di sebagian besar sektor usaha yang ada di Indonesia.
Apabila mau dicermati lebih jauh, pengembangan sektor swasta,
khususnya UMKM, perlu untuk dilakukan mengingat sektor ini memiliki
potensi untuk menjaga kestabilan perekonomian, peningkatan tenaga
kerja, meningkatkan PDB, mengembangkan dunia usaha, dan
penambahan APBN dan APBD melalui perpajakan.

26

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dinas Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah Propinsi Jawa Barat dengan Badan Pusat
Statistik Propinsi Jawa Barat tahun 2000, jumlah kelompok usaha kecil
di Provinsi Jawa Barat adalah 6.751.999 unit atau merupakan 99,89%
dari keseluruhan jumlah kelompok usaha yang ada. Penyebaran
kelompok usaha kecil ini masih didominasi oleh sektor pertanian
dengan jumlah usaha/rumah tangga sebanyak 4.094.672 unit atau
60,57% dari total keseluruhan usaha yang ada. Sampai dengan tahun
2000, jumlah tenaga kerja yang terserap dalam usaha kecil dari
berbagai sektor ekonomi di Provinsi Jawa Barat berjumlah 10.557.448
tenaga kerja atau 84,60% dari total penyerapan tenaga kerja yang ada
di Jawa barat. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat penyerapan tenaga
kerja usaha kecil di Jawa Barat adalah yang terbesar dibandingkan
dengan tingkat penyerapan tenaga kerja pada usaha besar dan
menengah.

Gambaran di atas nampaknya sudah cukup untuk menafikkan
pikiran bahwa UMKM adalah usaha yang tidak pentin