Modul Metode Penelitian Kualitatif 9

MODUL PERKULIAHAN

Judul
METHODE PENELITIAN KOMUNIKASI KUALITATIF

UNIVERSITAS : MERCU BUANA (KRANGGAN) TA 2014-2015
FAKULTAS : IKMU KOMUNIKASI
JURUSAN :
MATA KULIAH : METODE PENELITIAN KOMUNIKASI KUALITATIF
KELAS : PKK
DOSEN : DRS HASYIM ALI IMRAN , MSi.

SAP
Fakultas
Fakultas Ilmu
Komunikasi

Program
Studi
Program
Studi Humas


Tatap
Muka
09

Kode MK

Disusun Oleh

85021

Nama : Drs. Hasyim Ali Imran,
MSi.

PERTEMUAN
KE :
1

2


3

MATERI AJAR

OUT PUT

OUTCOMES

Pengertian Penelitian Komunikasi
Pendekatan Kualitatif
-asumsi filosofis -- -free Will
-value – free value
-aphosteriori
-konseptualisasi
-penggunaan teori sebatas konsep2
teoritik

Mahasiswa memahami
Inti persoalan komunikasi
Kualitatif


Mahasiswa bisa membedakan
Penelitian
Komunikasi
Pendekatan Kualitatif dari
Penelitian
Komunikasi
Pendekatan Kuantitatif

Persimpangan dalam Penelitian
Pendekatan Kualitatif
1) Berbasis Field
2) Berbasis Teks

Mahasiswa memahami
Inti Persimpangan yang
menyebabkan dua basis dalam
penelitian pendekatan
kualitatif
Mahasiswa memahami dan

mengerti secara lebih
mendalam mengenai
Penelitian Pendekatan
Kualitatif
1) Berbasis Field
2) Berbasis Teks
Mahasiswa memahami dan
mengerti cara merumuskan
masalah penelitian dalam
penelitian kualitatif
Mahasiswa memahami
eksistensi teori yang relevan
dengan Paradigma Teori yang
relevan dengan penelitian
komunikasi pendekatan
kualitatif

Mahasiswa bisa membedakan
mana
penelitian

kualitatif
bersasis teks dan berbasis field.

Mahasiswa ter-refresh terkait
dengan materi kuliah yang
sudah diberikan
Bahan : Materi ajar K 1-7

Mahasiswa diharapkan mampu
menjawab soal-soal ujian mid
test.
Mahasiswa dapat Menguasai
materi yang ditanyakan dalam
UTS menurut materi K 1-7
Mahasiswa dapat memutuskan
dengan tepat untuk mengadopsi
suatu metode analisis teks yg
relevan dengan subyek analisis
teks dalam penelitian
komunikasi kualitatif


Penelitian Pendekatan Kualitatif
(Pendalaman)
1) Berbasis Field
2) Berbasis Teks

4

Permasalahan dan merumuskan masalah
penelitian kualitatif

5

Paradigma Teori yang relevan dengan
penelitian pendekatan Kualitatif

6

Paradigma Penelitian yang relevan dengan
penelitian Pendekatan Kualitatif

Resume materi kuliah dan kisi-kisi soal
ujian UTS

7
8

9

10

11

12

UTS
Penelitian Komunikasi Pendekatan
Kualitatif Berbasis Teks :
1) Semiotika :
Saussure,
Pierce,

Barthes
2) Semiotika Sosial :
Van Leuuween ;
MAK Halliday;
Marxis
3) Critical Discourse
Analysis : Norman
Fairclough
Penelitian Komunikasi Pendekatan
Kualitatif Berbasis Teks : Aplikatif :
Model Saussure
Penelitian
Komunikasi
Pendekatan
Kualitatif Berbasis Teks : Aplikatif :
Model Pierce
Penelitian Komunikasi Pendekatan
Kualitatif Berbasis Teks : Aplikatif :
Model Semiotika Sosial
Van Leuuween


Mahasiswa memahami posisiposisi analisis teks dalam
penelitian komunikasi dengan
pendekatan kuialitatif.

Mahasiswa dapat memahami
cara dalam menggunakan
model analisis teks berbasis
Model Saussure
Mahasiswa dapat memahami
cara dalam menggunakan
model analisis teks berbasis
Model Pierce
Mahasiswa dapat memahami
cara dalam menggunakan
model analisis teks berbasis
Model Semiotika Sosial

Mahasiswa dapat melakukan
penelitian komunikasi

berdasarkan pendekatan
kualitatif bersasis teks dan
berbasis field.
Mahasiswa dapat melakukan
perumusan penelitian
komunmikasi kualitatif
Mahasiswa dapat menerapkan
penggunaaan teori-teori yang
relevan dengan paradigma2
teori yang bersifat kualitatif

Mahasiswa dapat melakukan
analisis tesk dengan
berbasiskan model analisis teks
semiotika Model Saussure
Mahasiswa dapat melakukan
analisis tesk dengan
berbasiskan model analisis teks
semiotika Model Pierce
Mahasiswa dapat melakukan

analisis tesk dengan
berbasiskan model analisis teks
semiotika Sosial

13

Penelitian Komunikasi Pendekatan
Kualitatif Berbasis Teks : Aplikatif :
Model Semiotika Sosial
MAK Halliday

14

Penelitian Komunikasi Pendekatan
Kualitatif Berbasis Teks : Aplikatif :
Model Marxis

15

Penelitian Komunikasi Pendekatan
Kualitatif Berbasis Teks : Aplikatif :
Critical Discourse
Analysis : Norman
Fairclough

16

UAS

Designed by hasyim ali imran

Van Leuuween
Mahasiswa dapat memahami
cara dalam menggunakan
model analisis teks berbasis
Model Semiotika Sosial MAK
Halliday

Van Leuuween
Mahasiswa dapat melakukan
analisis teks dengan
berbasiskan model analisis teks
semiotika Sosial model MAK
Halliday

Mahasiswa dapat memahami
cara dalam menggunakan
model analisis teks berbasis
Model Marxis
Mahasiswa dapat memahami
cara dalam menggunakan
model analisis teks berbasis
Critical Discourse
Analysis : Norman
Fairclough

Mahasiswa dapat melakukan
analisis
teks
dengan
berbasiskan model analisis teks
berbasis Model Marxis
Mahasiswa dapat melakukan
analisis teks dengan
berbasiskan model Critical
Discourse
Analysis : Norman
Fairclough

Bahan : Materi ajar : 9-12

Mahasiswa dapat Menguasai
materi yang ditanyakan dalam
UAS menurut materi K 9-15

Fakultas
Fakultas Ilmu
Komunikasi

Program
Studi
Program
Studi Humas

Tatap
Muka
09

Kode MK

Disusun Oleh

85021

Nama : Drs. Hasyim Ali Imran,
MSi.

Abstract

Kompetensi

Membahas tentang Penelitian Komunikasi
Pendekatan Kualitatif Berbasis Teks :
1) Semiotika : Saussure, Pierce, Barthes
2) Semiotika Sosial : Van Leuuween ;
MAK Halliday;
3) Marxis tekxt analysis
3) Critical Discourse : Analysis : Norman
Fairclough; Sarah Mill

Diharapkan mahasiswa menjadi tahu
dan mengerti secara esensial
mengenai hakikat-hakikat dasar
mengenai
metode
penelitian
Komunikasi Pendekatan Kualitatif Berbasis
Teks.

Pembahasan
K 9 : PENELITIAN KOMUNIKASI PENDEKATAN KUALITATIF
BERBASIS TEKS
Dalam kuliah-kuliah sebelumnya kita sudah banyak membahas mengenai
penelitian komunikasi dengan pendekatan kualitatif ini. Setidaknya, topik ini ada enam
kali kita acarakan dalam perkuliahan. Dalam acara perkuliahan itu, topik ini kita mulai
pembahasan pendekatan kualitatif tersebut dalam hubungannya dengan asumsi filosofis
yang mempengaruhinya. Kemudian bahasan dikaitkan dengan masalah eksistensi “will”
dalam diri manusia dan kemudian dikaitkan pengaruhnya terhadap asumsi perolehan data
yang nota bene terbagi menjadi dua, yaitu a priori dan a phosteriori, dengan mana
pendekatan kualitatif itu asumsinya bersifat a phosteriori. Bahasan ini pun akhirnya
dikaitkan pula dengan masalah pemanfaatan teori dalam riset pendekatan kualitatif, di
mana diketahui pula bahwa akhirnya konsep teoritik atau konsep yang terdapat dalam
teori yang digunakan dalam dalam suatu penelitian dengan pendekatan kualitatif itu,
fungsinya adalah sebagai penjelas dan bukan untuk diuji atas perolehan data empirik.
Selain itu, sehubungan data a phosteriori tadi diyakini juga tidak bebas konteks sifatnya
dan karenanya bersifat tentakel, penggunaan konsep teoritik pun jadi tidak kaku seperti
halnya dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Penggunaan konsep teoritik
melainkan

sangat

memungkinkan

berkembang

(bertambah)

jumlahnya

seiring

perkembangan konteks yang diperlihatkan data empirik.
Dalam acara perkuliahan berikutnya, bahasan akhirnya menuju pada persoalan
hakiki pada penelitian pendekatan kualitatif itu sendiri. Pembahasan ini sendiri berangkat
dari persoalan fenomena umum, bahwa di kalangan akademisi itu cenderung
berkembang dan bertahan pengetahuan keliru mengenai penelitian dengan pendekatan
kualitatif. Pengetahuan mengenai penelitian dengan pendekatan kualitatif, sejalan dengan
literatur yang ada saat ini, cenderung memang mengkondisikan situasi tadi.
Situasi saat ini menyangkut literatur penelitian dengan pendekatan kualitatif
cenderung menginformasikan yang memberikan kesan bahwa hanya metode penelitian
studi kasus itu sajalah yang termasuk dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif. Ini
pun ditambah lagi dengan kesan bahwa penelitian yang demikian itu seolah-olah hanya
dalam naungan paradigma positivistik (post positivistik).

Gambaran tentang pengetahuan keliru menyangkut pendekatan kualitatif ini,
secara epistemologis tentu menjadi persoalan sangat serius karena bisa menjadi “mind
set” yang tentunya juga sangat mengganggu perkembangan ilmu pengetahun itu sendiri.
Karena itulah, persoalan dimaksud itu menjadi hakiki sifatnya. Penelitian dengan
pendekatan kualitatif secara hakiki sebenarnya berpulang kepada sumber data itu sendiri.
Dengan kata lain, pembahasan masalah penelitian dengan pendekatan kualitatif itu sudah
seharusnya dimulai dengan suatu elaborasi atau “bridging” mengenai hakikat dimaksud
tadi. Tujuannya yaitu supaya para akademisi minimal memperoleh pengetahuan yang
bersifat “mapping” tentang penelitian dengan pendekatan kualitatif. Dengan demikian,
para akademisi menjadi sadar secara ideal epistemologis mengenai penelitian dengan
pendekatan kualitatif itu.
Hakikat yang membedakan penelitian dengan pendekatan kualitatif itu sendiri,
seperti sudah disinggung sebelumnya, yaitu terkait dengan kriterium sumber perolehan
data penelitiannya. Terkait dengan ini, dari perkuliahan sebelumnya diketahui bahwa
sumber perolehan data penelitian itu ada dua, yaitu seperti sebagaimana tampak dalam
bagan berikut ini :
1) Field Research : Studi Kasus,Fenomenologi,Grounded
Theory, Etnometodologi. Etnografi
Biografi , Historical Social Science, Clinical
Research. Cultural Studies
MPK
Kualitatif
2) Discourse analysis

Analisis Teks : Semiotika;
Marxis;
Framing;
Semiotika Sosial; dll.

Analisis wacana Kritis (CDA) :
-Norman Fairclough;
-Ruth Wodak
-Sarah Mill,
-Van Dick,
-Van Leuween
Dari bagan di atas kiranya jelas, bahwa penelitian dengan pendekatan kualitatif itu
dari kriterium tadi pada hakikatnya terbedakan menjadi dua sumber data, yaitu ada yang
bersumber pada “Field Research” dan ada yang bersumber pada “Discourse analysis”.
Jadi, dengan alaborasi yang demikian menjadi jelas bagi kita, bahwa ternyata penelitian
dengan pendekatan kualitatif itu ternyata dapat diidentifikasikan rimbanya. Metode

penelitian studi kasus itu ternyata hanya sebagai salah satu saja dari sekian banyak
metode penelitian yang dapat diterapkan dalam proses penelitian pendekatan kualitatif
yang bersumberkan pada data penelitian “Field Research”. Keterkaitan metode penelitian
studi kasus dengan pendekatan kualitatif inilah yang kini cenderung tidak dipahami
secara ideal oleh kalangan akademisi pada umumnya.
Dengan pembahasan perihal pendekatan kualitatif barusan, kiranya diharapkan
bisa menjadi klaar dan tidak dijumpai lagi kekeliruan epistemologis yang fundamental.
Dengan kesepakan paham ini, pembahasan penelitian pendekatan kualitatif ini tentunya
kini sudah menjadi jelas dan terarah. Dalam hubungan ini, maka dalam pertemuan kali
ini pembahasannya akan difokuskan pada topik “penelitian komunikasi pendekatan
kualitatif berbasis teks”. Pengenyampingan penelitian pendekatan kualitatif berbasis
“fields” senantiasa dilakukan hanya karena faktor keterbatasan ruang dan waktu. Bukan
karena tidak penting, bukan sama sekali.
Dalam kaitan fokusing dimaksud, maka dengan mengacu pada paparan bagan
sebelumnya, itu berarti bahwa yang termasuk dalam pendekatan penelitian jenis ini
hanya meliputi :
Discourse analysis :
1. Analisis Teks :
Semiotika;
Marxis;
Framing;
Semiotika Sosial; dll.
2. Analisis wacana Kritis (CDA) :
-Norman Fairclough;
-Ruth Wodak
-Foucolt
-Sarah Mill,
-Van Dick,
Dari fokusing dimaksud, dalam perkuliahan ini juga akan dilakukan kembali
pemfokusing

ulang.

Fokusing

dimaksud

yaitu

akan

kembali

dilakakukan

pengkonsentrasian. Konsentrasi ini hanya dilakukan pada sejumlah metode-metode
tertentu dalam masing-masing typologi analisis teks.
Metode-metode tadi, maka dari segi 1. Analisis Teks : bahasannya akan meliputi :
Semiotika; Marxis text analysis; Framing; dan Semiotika Sosial.
Dalam bahasan semiotika, maka bahasan dibatasi pada model analysis text dari
Saussure dan Pierce saja. Selanjutnya dalam kaitan bahasan tentang Semiotika Sosial,

akan difokuskan pada model analysis teks dari MAK Halliday dan Theo Van Leeuwen.
Perlu diketahui, prinsip dasar dalam memahami/memaknai teks dalam konteks semiotika
guna dapat dilakukan dengan mudah oleh peneliti adalah dengan cara kita menempatkan
diri sebagai pembaca teks itu sendiri. Sementara jika kita sedang menganalisis teks
dalam konteks studi wacana, maka kiat mudah dalam memahami teksnya adalah dengan
cara kita menempatkan diri sebagai wartawan penulis teks itu sendiri. Itu hanya sekedar
catatan masukan yang kiranya dapat membantu.
Selanjutnya, bahasan dilanjutkan pada model analisis teks Marxis. Pada model
Marxis teks Analysis ini, akan dibahas model Marxis text analysis yang diadopsi dari
interpretasi NormanFairclough. Menurut interpretasinya model Marxis teks Analysis ini
merupakan sumber bagi lahirnya studi-studi Critical Discourse Analysis yang ada saat
ini.
Dalam bagian berikutnya lalu akan dibahas mengenai framming. Gagasan
mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson (1955-1972, dalam Reese,
2001: 37). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat
kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang
menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini lalu
dikembangkan oleh Goffman (1974) yang mengandaikan frame sebagai kepingankepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca
realitas (Fauzi 2003, 22). Analisis framing adalah suatu tradisi dalam ranah studi
komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis wacana
komunikasi. Dalam prakteknya, analisis framing memungkinnya dilibatkannya konsepkonsep sosiologis, politik dan kultural untuk menganalisis fenomena-fenomena
komunikasi, hingga suatu fenomena dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi
berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya. Konsep frame
atau framing sendiri bukan murni berasal dari ilmu komunikasi, tetapi dari ilmu kognitif
(psikologi). Ia merupakan sebuah metode penelitian empirik dan tehnik analisis isi media
yang mampu mengungkapkan upaya media untuk mendefinisikan realitas sosial. Frame
diinterpretasikan secara beragam menurut objek kajiannya. Dalam psikologi, framing
adalah skema sedangkan skema dalam konteks ilmu informasi adalah instrumen
representasi pengetahuan. Sosiolog Erving Goffman menekankan bahwa framing sebagai
pendefenisian situasi yang sedang terjadi dan menjawab pertanyaan what it is that going
on here? Dalam konteks ilmu politik, frame dimaknai sebagai bentuk sistem kepercayaan
seperti diungkap oleh Gerhard/Rucht sebagai berikut: We define a belief system as a

configuration of ideas and attitudes in which the elements are bound together by some
form of constraint or functional interdependence (Wahyuni 2008, 287-414).
Masih menurut Goffman, frame merupakan struktu kognitif yang memandu
persepsi dan presentasi mengenai realitas. Frame menunjukkan Schemata of
Interpretation

yang

memungkinkan

orang

untuk

meletakkan,

memersepsikan,

mengidentifikasi, dan memberi label peristiwa-peristiwa dalam kehidupan bahkan dunia
secara umum. Kunci dari argumen Gofman tentang analisis framing adalah bahwa
individu merasakan kehidupan sehari-harinya dengan devising frames yang membentuk
dan compartmentalize pengalaman mereka serta membantu mereka menjelaskan bidang
objek serta peristiwa di sekitar mereka (Kendall 2011, 9)1
Karena alasan di atas, wajar banyak ragam definisi mengenai framing. Charlotte
(Charlotte 1991, 53)2 menjelaskan bahwa framing adalah Perjuangan terhadap
pembingkaian dalam menentukan peristiwa sehari-hari manakah yang dianggap penting.
Saat ini, media menjadi arena penting untuk perjuangan ini, dan gerakan sosial terusmenerus memusatkan perhatian pada media karena perannya yang berpengaruh dalam
memberikan pentingnya masalah yang dihadapi publik. Tetapi, mendapatkan perhatian
itu sendiri bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh gerakan sosial, pertarungan yang
sebenarnya adalah tafsir siapakah, framing realitas siapakah yang dimunculkan”.
Todd Gitlin (dalam Kendall 2011, 9) menjelaskan bahwa framing adalah prinsipprinsip dalam pemilihan, penekanan, dan penyampaian yang dirangkai dengan sedikit
teori mengenai apa yang ada, apa yang terjadi, dan apa yang berarti3. Menurutnya,
framing adalah strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan
sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa
ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak
pembaca. Ini dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek
tertentu dari realitas.
David E. Snow and Robert Benford, mengatakan bahwa framing adalah pemberian
makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan
1

“According to Goffman, frame serve as cognitif structure that guide perceptioan and the presentation of reality. Frame denotes schemata
of interpretation that make it possible for people to "to locate, perceive, identify, and label,"occurences within their life space and the world
at large. A key argument of gofman's frame analysis is that individual make sense of their everyday lives by devising frames that shape and
compartmentalize their experience and help them explain the realm of object and event around them.
2
“Struggle over framing decide which of the day’s many happenings will be awarded significance. Today, media have become critical
arenas for this struggle, and social movement have increasingly focused on the media since it plays such an influential role in assigning
importance to issue facing the public. But gaining attention alone is not what a social movement wants, the real battle is whose
interpretations, whose framing of reality, gets the floor.
3

“Frames are principles of selection, emphasis, and presentation composed of little tacit theories about what
exists, what happanes, and what matters”.

sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra
tertentu sumber informasi, dan kalimat tertentu. Amy Bider mengatakan bahwa framing
adalah skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan,
menafsirkan mengidentifikasi dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak
langsung. Frame mengorganisasi peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola
yang mudah dipahami dan membantu individu untuk memahami makna peristiwa.
Sedangkan Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki mengatakan bahwa framing adalah
strategi konstruksi untuk memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam
mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dihubungkan dengan peristiwa, rutinitas,
dan konvensi pembentukan berita (Eriyanto 2002, 68).
Wiliam A. Gamson mengatakan bahwa framing adalah cara bercerita atau gugusan
ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna
peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu
terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur
pemahaman yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan-pesan yang
disampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima (Eriyanto 2002,
67).
Sementara itu, menurut G. J. Aditjondro, framing adalah metode penyajian realitas
dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan
dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja,
dengan menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan
foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya. Lebih lanjut Aditjondro (Siahaan 2001, 9-10)
menjelaskan bahwa proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses
penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak.
Reporter di lapangan menentukan siapa yang diwawancarainya. Redaktur, dengan atau
tanpa konsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan si reporter akan
dimuat atau tidak, dan menetukan judul apa yang akan diberikan. Petugas tata letak (lay
outer), dengan atau tanpa berkonsultasi dengan para redaktur, menentukan apakah teks
berita itu perlu diberi aksentuasi foto, karikatur atau bahkan ilustrasi mana yang dipilih.
Bahkan kata Aditjondro proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers, tapi
juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing
berusaha

menampilkan

sisi-sisi

informasi

yang

ingin

ditonjolkan

(sambil

meneymbunyikan sisi-sisi lain), sambil mengaksentuasikan kesahihan pandangannya
dengan memacu pada pengetahuan, ketidaktahuan dan perasaan pembaca.

Proses framing menjadikan media masa sebagai arena di mana informasi tentang
masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang
sama-sama menginginkan pandangannya didukung oleh para pembaca. Dengan
demikian, framing merupakan seleksi dan penekanan aspek-aspek realitas melalui
beberapa cara seperti penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap
simbol-simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan lain-lain. Adapun tujuannya adalah
untuk membuat aspek-aspek tertentu dari realitas yang diwacanakan menjadi lebih
noticeable, meaningful dan memorable bagi khalayak.
Penjelasan di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Robert M. Entman. Ia
mengatakan framing adalah memilih beberapa aspek realitas yang dirasakan dan
membuatnya lebih menonjol dalam teks komunikasi dengan cara agar mempromosikan
definisi masalah tertentu, penafsiran sebab akibat, evaluasi moral, dan atau rekomendasi
perlakuan untuk item yang digambarkan (Entman 1993, 52).4 Jadi, Entman melihat
framing dalam dua dimensi besar yakni seleksi isu dan penekanan atau penonjolan
aspek-aspek realitas. Kata penonjolan (salience) perlu didefinisikan sebagai membuat
informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan/mudah diingat. Peningkatan dalam
penonjolan

mempertinggi

probabilitas

bahwa

penerima

menerima

informasi,

memahaminya dengan seksama lalu memprosesnya serta menyimpannya dalam ingatan
(Entman 1993, 53).
Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok sudah barang tentu
memiliki peluang besar untuk diperhatikan dan memengaruhi khalayak dalam
memahami realitas. Karena itu, dalam prakteknya, framing dijalankan oleh media dengan
menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lainnya. Penonjolan aspek isu itu
dilakukan dengan menggunakan berbagai strategi wacana seperti penempatan yang
mencolok (menempatkan berita di headline, halaman depan atau halaman belakang),
pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan,
pemakaian lebel tertentu ketika menggambarkan peristiwa tertentu. Penonjolan yang
dilakukan oleh media terhadap suatu berita tertentu bukanlah dianggap atau dimaknai
sebagai hal yang biasa tetapi secara ideologi sebagai strategi wacana, yakni sebuah upaya
menyuguhkan publik tentang pandangan tertentu agar pandangannya lebih diterima.
Teks dapat membuat bagian informasi tertentu lebih menonjol dengan cara
penempatan, pengulangan, atau dengan mengasosiasikannya dengan simbol-simbol
4

“To select some aspect of a perceived reality and make them more salient in a communicating text in such a way as to promote a
particular problem definition, casual interpretation, moral evaluation and/or treatment recommendation for item described.

budaya yang sudah dikenal. Kendatipun penonjolan kesan yang diilustrasikan tadi
terdapat pada bagian teks yang kurang jelas, ia dapat menjadi sangat menonjol asalkan
teks itu sejalan dengan skemata yang ada pada sistem kepercayaan penerima. Dengan
simbol yang sama, ide yang mendapat penonjolan dalam teks bisa jadi memberikan
kesulitan bagi khalayak untuk memerhatikannya, menafsirkannya, atau mengingatnya
karena skemata mereka. Skemata dan konsep-konsep yang terkait seperti kategori, script
atau stereotype menunjukkan kumpulan-kumpulan ide yang tersimpan secara mental
yang memandu individu dalam memproses informasi. Karena penonjolan merupakan
dihasilkan dari proses interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame dalam teks
tidak menjamin pengaruhnya terhadap pemikiran khalayak (ibid).5
Framing -menurut Norris- memiliki level yang dapat diklasifikasikan menjadi 2
(dua) level, yaitu: (1) Level tematik, dan (2) Level episodik. Pada analisis framing, level
episodik diproyeksikan untuk mencari perbedaan kecenderungan framing suatu wacana
berita dalam periode waktu tertentu dengan periode waktu yang lain. Sedangkan analisis
framing pada level tematik merujuk pada analisis framing makrostruktural dan
mikrostruktural. Pada makrostruktural menempatkan presentasi berita dalam konteks
bahasan spesifik, sehingga lebih memungkinkan untuk memengaruhi interpretasi
khalayak. Sedangkan mikrostruktural memokuskan presentasi berita pada angel atau
aspek tertentu dari suatu realitas dan pengaburan pada aspek lainnya. (Fauzi 2007, 25).
Frame dapat dideteksi melalui penggalian kata-kata dan gambar-gambar khusus
yang secara konsisten muncul dalam suatu narasi dan menyampaikan makna-makna
konsonan tematik yang membentang antara media dan waktu. Dengan cara menetapkan,
mengulangi kata-kata dan gambar, maka memperkuat kata-kata dan visual images yang
merujuk pada beberapa isu. Frame bekerja agar beberapa ide lebih menonjol di dalam
teks, atau setidaknya yang lain lebih tidak menonjol, sehingga sama sekali tak tampak.
Namun, frame tidak mengeliminir semua inkonsisten informasi, sehingga teks tak
terelakkan dapat berisi beberapa data yang janggal. Tapi melalui pengulangan,
penempatan dan penguatan asosiasi satu sama lain, kata-kata atau image yang
membangun menjadikan sebuah interpretasi dasar lebih dapat terlihat, dipahami dan
berkesan daripada yang lainnya (Fauzi 2007, 26).
5

Texts can make bits of information more salient by placement or repetition, or by associating them with culturally familiar symbols.
However, even a single unillustrated appearance of a notion in an obscure part of the text can be highly salient, if it comports with the
existing schemata in a receiver’s belief systems. By the same token, an idea emphasized in a text can be difficult for receivers to notice,
interpret, or remember because of their existing schemata. For our purposes, schemata and closely related concepts such as categories,
scripts, or stereotypes connote mentally stored clusters of ideas that guide individuals’ processing of information (see, e.g., Graber,
1988). Because salience is a product of the interaction of texts and receivers, the presence of frames in the text, as detected by researchers,
does not guarantee their influence in audience thinking (Entman, 1989; Graber, 1988).

Analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat
mengkonstruksi fakta. Analisis framing mencermati cara-cara media melakukan seleksi
penonjolan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih berarti atau diingat, untuk
menggiring interpretasi khalayak sesuai dengan perspektif media. Dengan kata lain,
framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang
yang digunakan oleh wartwan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang
atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang
ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Fauzi 2003,
23).
Pan & Kosicki (1993: 56-57) menyatakan, framing dapat dipelajari sebagai suatu
strategi untuk memproses dan mengontruksi wacana berita atau sebagai karakteristik
wacana itu sendiri. Proses framing berkaitan erat dengan rutinitas dan konvensi
profesinal jurnalistik. Proses framing tidak dapat dipisahkan dari strategi pengolahan dan
penyajian informasi dalam presentasi media. Dengan kata lain, proses framing
merupakan bagian integral dari proses redaksional media massa. Dominasi sebuah frame
dalam wacana berita bagaimanapun berkaitan dengan proses produksi berita yang
melibatkan unsur-unsur seperti reporter, redaktur dan lain-lain. Analisis framing tidak
melihat presentasi media sebagai sesuatu yang bebas nilai. Akan selalu ada faktor-faktor
yang memengaruhinya. Seperti yang dikemukakan oleh Pan & Kosicki (Pan & Kosicki,
1993: 58): “… it accepts both assumsions of the rule governed nature of the text
formation and the multidimensional conception of the news text that will allow for
cognitive shortcuts in both news production and consumtion”.
Akhirnya dalam perkuliahan paruh kedua semester ini kita akan membahas juga
soal analisis teks dalam kaitan kepentingan untuk “Analisis wacana Kritis ”. Terkait
dengan ini maka dikenal ada sejumlah analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis itu
misalnya seperti model analisis wacana kritisnya Norman Fairclough, Teun Van Dijk,
Sarah Mill, Ruth Wodak dan Foucolt. Kesemua model analisis wacana kritis dimaksud
tidak dapat dilakukan dengan sembarangan karena masing-masing model tersebut sudah
memiliki asumsinya sendiri-sendiri terhadap wacana itu. Dengan begitu, ini berarti
menjadi landasan epistemologis bagi pelaksanaan penelitian analisis wacana kritis.
Untuk sekedar diketahui, maka secara epistemologis, misalnya hendak melakukan studi
analisis wacana kritis dengan modelnya Norman Fairclough, maka si peneliti harus
menyadari bahwa ia pada dasarnya hendak mempelajari wacana secara kritis berdasarkan
asumsi perubahan sosial budaya sehubungan asumsi Norman Fairclough terhadap wacana

itu adalah berdasarkan bahwa wacana itu katanya tak tepas dari persoalan perubahan sosial
budaya. Jadi secara epistemologis idealnya seperti ini. Begitu juga dengan model analisis
wacana kritis lainnya, masing-masing juga memiliki asumsinya sendiri atas suatu wacana.
Untuk model analisis wacana kritis Teun Van Dijk asumsinya adalah terkait dengan
kelompok minoritas/kelompok etnis. Sarah Mill sendiri asumsinya berbasis pada soal
feminisme. Sementara Ruth Wodak basis asumsinya adalah bahwa konteks/historikal
menentukan kekuasaan. Discourse is always historical kata Wodak. Sementara menurut
Foucolt basis asumsi wacananya adalah bahwa relasi sosial itu mentukan realitas. Dengan
demikian berbagai model analisis wacana yang ada masing-masing memiliki asumsinya
sendiri. Namuin, dalam perkuliqahan ini fokus bahasan teks dalam kaitan studi wacana
kritis akan dibatasi pada beberapa model saja karena keterbatasan ruang dan waktu.
Beberapa model dimaksud itu yakni terkait dengan model analisis wacana kritisnya
Norman Fairclough, Teun Van Dijk dan Sarah Mill saja. Sementara model lainnya tidak
dibahas karena berkaitan dengan keterbatasan ruang dan waktu yang ada.
Daftar Pustaka
Charlotte, Ryan. 1991. Prime Time Activisme, Media Strategies for Grassroots
Organizing. Boston: South End Press.
De Vreese, Claes H. 2012. New Framing: Theory And Typology. Information
Design
Journal
13,
no.
1
(Februari
2),
http://www.tveiten.net/futurelearninglab/menu4/1233468300.pdf. (Acessed
February 2, 2012).
Entman, Robert M. 1993. Framing Toward Clarification of A Fractured Paradigm.
Journal of Communication: 41-53.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing Konstruksi, Ideology dan Politik Media.
Yogyakarta: LKiS
Fauzi, Arifatul Choiri. 2007. Kabar-Kabar Kekerasan Dari Bali. Yogyakarta: LKiS
Fauzi, Arifatul Fauzi. 2003. Wacana Terorisme dalam Media: Framing Analisis
Pemberitaan Harian Kompas dan Republika dalam Peristiwa Peledakan Bom
di Bali. Master Thesis, Universitas Indonesia.
Kendall, Diana Elizabeth. 2011. Framing Class: Representation of Wealth and
Poverty in America-2nd Edition. Maryland: Littlefield Publishing Group.
Michel Foucault : Teori tentang Kekuasaan, Wacana, dan Pengetahuan, dalam :
http://www.wartamadani.com/2013/09/michel-foucault-teori-tentang-kek,
diakses 19 mei 2015.
P, FX Dimas. 2011. Bom Cirebon Disinyalir Terkait dengan Jaringan Aceh. Koran
Tempo, April 18.
Riky. 2011. Pelaku Bom Cirebon Diduga Jaringan Lokal. Koran Tempo, April 17.
Rusadi, Udi. Ideologi Dan Media Dan Ideologi Dalam Media: Tinjauan Teoritis,
Konseptual
dan
Metodologis.
Sumber:
www.balitbang.depkominfo.go.id/.../IDEOLOGI%. Diakses tanggal 31
Oktober 2011.
Sheyholislami, Jaffer, Critical Discourse Analysis.

Siahaan, Hotman, 2001. Pers yang Gamang: Studi Pemberitaan Jajak Pendapat
Timor-Timur. Jakarta: Institute Studi Arus Informasi.
Taiwo, Rotimi. 2007. Language, Ideology and Power Relations in Nigerian. Nebula:
218-245
Wahyuni, Hermin Indah. 2008. Kecenderungan Framing Media Massa Indonesia
Dalam Meliputi Bencana Sebagai Media Event. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik, Volume 11 nomor 3. 287-414.